Tiiin! Tiiin!
Klakson kendaraan mengagetinya.
"Aaa!"
"Ah, sakit," lirih Raya yang tersungkur di sebelah selokan.
Saat Raya luput di dalam lamunannya, ia tak menyadari bahwa ada sepeda motor di belakangnya. Ia pun loncat dan tersungkur di sebelah selokan.
"Sorry sorry. Sini gue bantu berdiri. Lagian, Nengnya melamun, si, ya, jadi ketabrak, kan." Ujar pengendara pria berjaket hitam ala-ala anak geng motor. Di belakang jaket tertulis Ardeon Geng dengan logo singa mengaung yang tampak gagah ketika dipandang.
Raya masih tertunduk. Ia mulai kesal karena malah dirinya yang disalahkan, bukan malah pria itu.
"Lo lah, yang salah. Kok, malah gue yang dimarahin. Males banget, Emang ya cowok itu semua sama aja kelakuannya!" Sindir Raya sambil mengusap-usap debu di bajunya. Saya mendongak ke atas melihat lelaki yang tengah memakai helm di depannya.
Lelaki itu tingginya sama seperti Abangnya. Tinggi Raya hanya bisa sampai hidung lelaki itu. Diperkirakan, ya, 179 cm.
Cerewet. Lelaki itu melepas helm hitamnya secara perlahan. Tanpa sengaja, ia mengibaskan rambut mangkoknya yang basah karena keringatnya. Maka sinisnya yang tajam menatap raya dan hidungnya peseknya membuat Raya teringat akan sesuatu
Tapi apa tanda tanya siapa dia? Mengapa ia tak asing bagi Raya?
Reza?
Bumi seakan berhenti berputar, ikut tercengang melihat mereka berdua yang tak berhenti saling menatap satu sama lain.
Lelaki itu tersenyum tipis. Tiba-tiba saja, gerimis datang menjatuhkan air yang sudah tak kuat ia tahan.
Oh, Tuhan. Apa benar dirinya? Seseorang yang Raya Tunggu selama 3 tahun kini kembali padanya? Raya berharap ini bukanlah Perkiraannya saja, karena sudah lama tak saling berjumpa.
Sini naik, Aduh dulu di warkop. Ntar lu basah kalau melamun di sini. Boleh aja, kok, marliatin gue. Tapi, kita neduh dulu, ya, biar lu nya juga gak sakit, ujar lelaki itu menarik tangan kiri Raya.
Raya terdiam. Namun, ia ikut dengan apa yang lelaki itu ucapkan. Ia naik ke belakang kursi motor.
Benar saja, refleks Raya memegang pundak si lelaki.
"Uh de javu" lirih Raya dengan suara kecil.
"Kopi 1, ya, Bu. Lu mau apa" tanya Lelaki itu kepada Raya yang duduk di hadapannya.
"Mau kejelasan lu. Lu siapa sebenarnya? Bukan Reza, kan? Mana mungkin dia balik" Balas raya yang masih tak percaya dengan laki-laki yang kini tengah duduk di hadapannya.
"Ini gue. Leonardo Fahreza Arejaksa, cogan nomor 1 di dunia. Rajanya ratu-ratu cantik di dunia ini" Lelaki itu berdiri lalu berkacak pinggang.
Raya tak menyangka akan bertemu dengan masa lalu yang sampai sekarang pun ia belum bisa ikhlas ataupun lupa. Tangannya gemetaran, dan hanya bisa berkata, ah, gue kangen lo, Za.
Namun, ia telah berjanji kepada dirinya agar selalu bersikap Tegar dan waspada terhadap rasa. Raya ingin menghilangkan perasaannya kepada Reza dan hanya sekadar menemani tanpa memiliki.
"So, apa yang ngebuat lo balik lagi ke Bandung?" tanya Raya dengan embusan nafas yang ia luapkan.
"Ditanya dulu kek kabarnya. Baru nanya tujuannya kan nggak seru jahat amat sih cowoknya balik malah diginiin." Lelaki yang ternyata adalah reza itu kini mengerutkan wajahnya, seakan-akan ia kenal dengan Raya.
"Cowoknya? Saya terdiam sejenak. Ngaku banget lo! Emang Gue nganggap?" Raya memalingkan wajah.
"Emang kita nggak pernah ada hubungan ya?"
"Gak. Lupain. "
Reza menyeruput secangkir berisi kopi panas di dalamnya. Yah meskipun sedikit curi-curi pandang ke arah Raya.
"Eh"
"Hmm?"
"Lu sendiri Raya, kan?"
"Heem"
"Baguslah. Gak kalah orang."
"Hmm"
Reza melirik ke arah raya yang berwajah datar itu. Dengan ponsel yang tengah ia genggam di kedua tangannya.
"Emang ya anak zaman sekarang, jawabnya singkat banget udah kayak kehabisan kosakata. Ternyata oh ternyata terkena virus HP. Harus dicek sih ponselnya" sindir pelan Reza.
Raya melirik ke Reza yang dari tadi terus memperhatikannya. Ia meletakkan ponsel miliknya di atas meja dan meletakkan tangan di pipi Sambil memandangi Reza.
"Udah kek bapak gue aja lo. Megang ponsel semenit, dikomeninnya per menit-menit." Celetuk Raya
"Iyalah orang gue calon bapak"
"Idih calon aja belum punya lu."
"Lu aja, sini gue qitbah"
"Tch, ke rumah aja kalau berani."
"Oke, tak imbangi!"
Saya dan Reza terkekeh pelan. Baguslah, kini senyum Raya telah Reza kembalikan.
"Tapi, gue kuliah dulu Ih. Jangan disamperin beneran. Itu cuma bercanda kok yakan?" Tanya Raya sedikit menampol pipi Reza
"Mau diseriusin Neng?"
"Gak, jangan. makasih"
Hujan telah mereda dan waktu sudah terlalu malam bagi Raya. "Gila. Jam 12.12? Perasaan tadi keluar kamar jam 09.00 deh, kok udah tengah malam aja!" panik Raya melirik jam di ponsel miliknya.
"Yaelah, lo pikir waktu bagi bagaikan siput yang jalannya lambat hah? Lagian, panik benar lu takut dihajar Bokap?" Celetuk Reza.
"Perkiraan yang kurang tepat! Abang gue bakal nanya ke temen-temen Kenapa gue keluar selama ini" Balas Raya
"Lalu?"
"Gue ketahuan dong kalau sama lu bukan bareng temen-temen."
Reza terdiam sejenak. Sepertinya kali ini dia harus mengantar pulang raya hanya sampai depan gerbang perumahan.
"Ya udah. Ntar gue atur. Sekarang kita pergi dari sini dulu" ujar Reza dengan otak bling-blingnya.
Mereka berboncengan menaiki motor Ninja milik Reza. Raya Teringat sesering Apa dulu mereka berboncengan. Entah pagi, siang, malam selalu tertawa di atas motor bersama. Raya sering diajak Reza sunmori bersama geng buatannya itu.
Angin sepoi-sepoi Malam membuat mata Raya tertutup dengan sendirinya.
"Ya, Bangun dulu. Kalau gua antar di sini dekat nggak sama rumah lu?" tutur Reza menepuk-nepuk bahu Praya yang sudah lelap bersandar di punggung Reza.
"Huh? Deket kok. Makasih. Raya" berjalan meninggalkan Reza. Ia masih setengah sadar karena nyawanya belum sepenuhnya terkumpul. Reza yang melihat Raya jalan sempoyongan layaknya orang mabuk pun tersenyum menahan tawa.
"Cantik doang! Diajak naik motor ketiduran!" teriak Reza. Reza terkekeh. Raya melirik ke belakang dan lanjut jalan ke depan.
"Ternyata, wanita setia kalau dilihat-lihat sempurna juga ya" batin Reza. Reza pun meninggalkan Perumahan dengan motor kecepatan maksimal.
Kerenn bangeeet. Semangaat!
Comment on chapter Bab 1. Hujan Rintik-Rintik