Malam di hari Senin, Team Phoenix mengadakan latihan agar mental kami selama pertandingan tetap stabil dan tidak cepat down. Aku sering gemetaran saat sesi draft pick selesai. Dan saat pertandingan berakhir, rasa-rasanya jantungku akan copot.
Dan yang pasti, kami saling membuka fitur microphone dan bisa mengobrol tanpa harus mengetik agar permainan kami tetap fokus. Kurang lebih selama enam hari berturut-turut, kami sering latihan bersama bahkan sampai lupa caranya beristirahat.
Dan hari final telah tiba.
Di hari itu juga, Fajar telah kembali ke Sidoarjo. Aku sempat membuka kapan terakhir dilihatnya melalui aplikasi WhatsApp, yaitu pada pukul 04.30. Aku ingin sekali menelepon dan mengobrol dengannya sebelum bertanding. Namun, aku lebih mementingkan tubuhnya yang butuh istirahat setelah sekitar dua jam ada di pesawat.
Pukul 6.00, Ari menjemputku dengan mobilnya. Kemudian kami berangkat ke rumah Yaya, Guntur, dan terakhir Rian—sang Kapten kami. Karena antusiasnya, Rian membawa sekantong kresek besar camilan agar kami dapat tetap tenang saat di perjalanan.
“Tetap tenang, rileks. Fokus sama tim, jangan terlalu sindrom sama penonton yang tepuk-tepuk. Pokoknya headset kalian harus maksimal volume-nya biar cuma bisa dengar suara tim.” Rian memberikan amanatnya. Di situasi seperti ini, dia bersikap bak seorang pemimpin dan dewasa.
“Siap, Kapten!” Guntur dan Yaya kompak berseru sembari memakan camilan dari Rian yang kini ada di masing-masing pangkuan mereka. Aku juga sesekali mengambil dua keeping keripik pisang karena aku duduk di sebelah Yaya.
Ari ada di depan sendirian. Bangku di sebelahnya dibiarkan kosong karena saat pertama kali berangkat, bangku itu adalah tempat Fajar yang suka menatap langit saat di perjalanan.
Sial, aku merindukannya lagi di situasi seperti ini.
Lalu kami tiba di tujuan setelah kurang lebih satu jam perjalanan. Jiwa dan ragaku sudah penuh akan semangat yang membara. Hari ini, kami harus membawa piala kejuaraan jika harus menguras mental saat berada di panggung.
Seperti di babak ketiga, babak final membutuhkan empat poin sebagai penentu sang juara. Aku tidak mau lagi mengalami tujuh pertandingan seperti satu bulan silam—kejadian itu membuatku benar-benar kehilangan nafsu makan walau pada akhirnya tim kami yang memenangkan pertandingan.
Tepat pukul 8 pagi, kedua tim memasuki panggung final. Ini seperti nuansa pro-player yang mengikuti turnamen nasional sekelas APL. Aku menyeringai lebar saat duduk di kursi gaming seperti kursi milik streamer yang sering aku tonton di kanal YouTube. Kemudian headphone khusus gaming. Hanya saja di turnamen APL, penyelenggara akan menyiapkan ponsel khusus. Namun, kedua tim ini membawa ponsel mereka masing-masing.
Di belakang bangku kedua tim, terdapat layar lebar yang ditujukan pada para penonton. Di belakang kami juga ada penjaga—dan kami dilarang untuk menoleh ke belakang agar tidak curang—karena layar di belakang kami dapat mengungkap keberadaan musuh yang bersembunyi di semak-semak.
Pertandingan pertama dimulai. Tidak ada cekcok antara Rian dan Ari saat sesi draft pick. Kami bertanding dengan santai dan tetap waspada. Kami selalu menuruti aba-aba Ari sebagai sang Roamer tim. Hingga kami memenangkan game pertama.
Satu poin didapatkan oleh Team Phoenix. Namun, kami masih belum puas karena ada tiga poin lagi yang harus kami dapatkan untuk memenangkan pertandingan final dan menjadi juaranya.
Game kedua, Tim Pheonix yang menang. Rupanya hasil memata-matai musuh seperti ide Rian sama sekali tidak buruk. Kami bisa mengetahui kelemahan dan kelebihan tim yang kami hadapi.
Aku menaruh harapan besar pada pertandingan ketiga. Namun, harapanku pupus saat game ketiga dimenangkan oleh tim musuh. Skor menjadi 2-1untuk sementara. Dan kami harus mengejar ketertinggalan ini.
Pertandingan keempat berjalan sesuai dengan harapan kami. Team Phoenix memperoleh satu poin lagi. Sorak penonton semakin ramai, mereka bertepuk tangan dengan kombinasi gila Ari antara kecepatan spell dan skill hero-nya. Tidak heran jika dia pernah menduduki peringkat Top Jawa Timur saat masih satu squad bersamaku dulu.
Skor menjadi seri, 2-2. Dua pertandingan kemenangan lagi untuk Team Phoenix. Namun, hal itu benar-benar tidak mudah. Dalam pertandingan kelima, tim musuh yang mendapatkan poinnya. Skor menjadi 2-3. Pertandingan selanjutnya adalah poin penentu.
Dalam sesi ini, kami diberi waktu beristirahat selama lima menit di atas panggung. Aku meminum sedikit air putih yang disediakan oleh penyelenggara. Tanganku mulai terasa menggigil, apalagi Yaya tiba-tiba merangkulku. Aku khawatir kecemasannya mulai kambuh. Karena kami sama-sama perempuan, aku menggenggam tangannya yang terasa dingin, lalu mengusap-usap punggungnya.
“Wajar kalau kamu cemas, Ya. Tapi kita udah berjuang sejauh ini.” Ujar Guntur yang mencoba menenangkan teman satu kelasnya.
Kemudian Yaya mengusap kedua wajahnya yang memucat, lalu mengangguk-angguk seraya tersenyum pada rekan-rekannya. “It’s okay. Cuma tremor dikit.”
Kami merasa lega setelah mendengar suara Yaya, tetapi kami tidak bisa bernapas lega untuk waktu yang lebih lama sebab pertandingan keenam dimulai.
Dengan tekad dan keberanian yang kami miliki, pertandingan keenam itu dimenangkan oleh Team Phoenix. Skor menjadi seri, 3-3. Ini sama seperti pertandingan di babak ketiga di mana ada game ketujuh sebagai penentu di antara kedua tim.
Fokus, Najwa! Fokus! Kami harus memenangkan pertandingan ini karena kami telah berlatih selama berhari-hari. Kami akan membawa kebanggaan terhadap sekolah kami sebelum liburan akhir semester dimulai.
Begitu sesi draft pick usai, aku menyamankan posisi dudukku agar tetap santai dan fokus pada game-nya. Melalui headphone yang terhubung pada rekan-rekannya, Guntur memberi semangat. Yaya di sebelahku juga tampak berbeda dari sebelumnya—dia tak lagi gemetar dan menjadi percaya diri. Syukurlah jika keadaan mentalnya baik-baik saja.
Game ketujuh berlangsung selama kurang lebih tiga puluh menit lamanya. Tanganku terasa menggigil. Kami mempertahankan benteng utama agar tak dirobohkan oleh tim musuh. Hingga pada akhirnya, pemenang turnamen satu provinsi ini dimenangkan oleh tim kami, Phoenix.
Aku bergeming meski telingaku mendengar sorak penonton menyebut nama Tim Phoenix, sang juara pada turnamen ini. Aku masih merasa syok sekaligus mencerna apa yang baru saja terjadi.
Kemudian Ari menepuk bahuku yang membuat lamunanku bubar. Yaya langsung memelukku, kami berdua menangis haru karena telah mati-matian mempertaruhkan kecemasan di panggung ini.
“Mbak Najwa, kita menang! Kita juara 1!”
Aku mengangguk-angguk seraya menepuk punggung Yaya. “Ini semua karena kekompakan kita, Ya.”
Host acara memasuki panggung dengan pendampingnya yang membawa trofi kemenangan. Sebelum itu, kedua tim saling bersalaman sebagai bentuk solidaritas karena ini hanya pertandingan. Rian yang memiliki kenalan di tim musuh sempat saling beradu tinju, kemudian Rian mengacak-acak rambut kenalannya itu.
“Loh, bukannya dia adiknya Mas Iyan, ya?” ujar Yaya yang baru saja menyadari satu hal.
Aku melongo. “Jadi dia adiknya Iyan?”
Ari terkekeh. “Baru tahu, ya, Wa?”
“Kok nggak pernah cerita?” Aku tergelak.
“Soalnya Mbak Najwa nggak nanya.” Timpal Guntur.
“Selain adiknya, ada juga teman mainnya Iyan. Rumah Iyan, kan, emang deket sama Smansa. Cuma dia nggak lolos masuk ke sekolah itu dulu karena nilanya anjlok.” Ari lanjut berbicara, menjelaskan padaku yang tidak mengerti.
Aku tertawa. Rian begitu akur dengan adik dan teman-temannya, mereka saling memberi dukungan.
***
“Adek kamu nggak nebeng sama kita, Yan?” tanyaku saat kami berjalan menuju parkiran mobil.
Rian menggeleng. “Dia mau main sama temen-temennya, nanti juga pulang sendiri.”
“Mbak Najwa baru tahu kalau Jungler musuh di final itu adiknya Mas Iyan.” Kekeh Guntur. “Padahal wajah mereka agak mirip, lho.”
Aku menyeringai lebar. “Soalnya fokus sama pertandingan, Gun.”
Kami memasuki mobil putih milik Ari. Rian memberikan trofinya padaku karena dia akan tidur saat perjalanan pulang.
“Kita langsung ke rumah Fajar, nggak, nih?” Tanya Ari yang sudah menyalakan mesin mobilnya.
“Gas!” seru Guntur.
“Setuju!” Yaya ikut bersuara.
“Gimana yang lain?” Tanya Ari.
Aku mengangguk. “Boleh.”
Di bangku paling belakang mobil, Rian merebahkan punggungnya ke sandaran kursi, siap untuk tidur. “Sekalian ngasih trofinya ke Fajar. Kita udah sepakat.”
Kami bereempat mengangguk mendengar ucapan Rian sebagai sosok Kapten yang bijaksana (di waktu-waktu yang tertentu).
Kemudian mobil yang kami tumpangi perlahan melaju di jalanan Kota Surabaya. Sepuluh menit perjalanan, Rian sudah tidur, Guntur menonton anime, Yaya memakan camilan Rian, Ari fokus berkendara di depan, dan aku yang melamun karena masih tidak menyangka tim kami bisa juara satu dalam turnamen Ancient Legends se-Jawa Timur.
“Ada hadiah uangnya, nggak, sih?” Yaya tiba-tiba bertanya.
“Ada.” Ari yang menjawab. “Nanti dikirim ke saldo DANA kalian. Mungkin dua ratus ribu per-orang.”
Aku dan Yaya ber-oh pelan.
“Fajar dapat bagiannya juga, kan?” Tanya Yaya.
“Pasti lah. Dia juga anggota Team Phoenix.”
Aku tersenyum, setuju dengan pendapat Ari. Sejenak aku menatap trofi dengan tinggi sekitar 30 cm yang ada di pangkuanku. Aku sengaja tidak mengirim Fajar pesan melalui WhatsApp kalau Team Phoenix juara di turnamen ini. Karena kami ingin memberinya kejutan.
Selama kurang lebih satu jam perjalanan dari Surabaya ke Sidoarjo, kami menyempatkan diri untuk mampir ke minimarket. Ari meminta tolong padaku untuk membawa barang belanjaannya sementara dia yang membayar. Aku pun setuju dan ikut turun dari mobil. Sedangkan ketiga rekan kami ada di dalam mobil. Guntur juga sedang membangunkan Rian dari tidurnya.
“Kamu tahu Fajar sukanya apa, Wa?” Tanya Ari saat baru saja memasuki minimarket.
Aku menggeleng pelan. “Kalau soal makanan, aku kurang tahu, Rik. Tapi dia suka baca buku sama main game.”
Ari terkekeh mendengarnya. “Kirain kamu tahu segalanya soal Fajar, Wa. Soalnya dia cinta kamu.”
Rasa-rasanya wajahku bersemu merah saat Ari mengatakan hal itu. “Ya nggak sampe segitunya juga kali, Rik.”
Aku tidak tahu—lebih tepatnya belum sadar bahwa hari itu adalah titik tertinggi di mana Ari menerima kenyataan bahwa dia bukanlah cintaku, melainkan orang lain. Saat kuperhatikan senyuman di wajahnya, semua itu palsu.
Setelah memberi makanan dan minuman dalam kantong kresek besar, kami keluar dari minimarket dan kembali ke dalam mobil. Aku meletakkan kantong kresek besar itu di antara tempat dudukku dan Yaya.
“Banyak banget. Berapaan tuh totalnya?” celetuk Guntur yang ada di bangku belakang.
“Nggak perlu dipikirin.” Ari melambaikan tangannya, kemudian memasang sabuk pengaman.
Rian menegakkan tubuh sembari mengusap wajahnya yang masih mengantuk. Kami berempat tertawa melihat wajah Kapten kami yang lucu saat baru saja bangun tidur.
Kemudian mobil yang dikendalikan Ari perlahan melaju ke jalanan. Kurang dua ratus meter lagi, kami akan sampai di tujuan. Jantungku berdegup kencang, tak sabar menunjukkan trofi kebanggaan ini kepada Fajar.
Namun, raut wajah kami tiba-tiba cemas. Pada sekitar lima puluh meter, kami melihat keramaian di depan rumah Fajar dengan beberapa bendera kuning yang terpasang di tepi pagar rumahnya.
Mataku terasa perih. Kepalaku masih mencerna dengan baik apa yang aku saksikan saat itu.
“Hentikan mobilnya, Rik!” seruku pada Ari.
Ari menuruti kemauanku dengan langsung menghentikan laju mobilnya di tepi jalan. Sembari membawa trofi, aku membuka pintu mobil, lalu berlari ke tepi jalan menuju ke rumah mewah itu. Yaya dan Rian sempat berteriak memanggil namaku. Tetapi aku tidak menghiraukan mereka. Saat itu, aku fokus pada apa yang ada di pikiranku.
Aku tidak mau perkiraanku benar. Aku berharap semua keramaian di rumah mewah itu hanyalah halusinasi pikiranku semata. Namun, saat aku sampai di depan rumah, aku melihat Tante Ninda yang duduk bersimpuh di lantai beralaskan tikar sembari menangis sesenggukan—sementara Pak Dani menenangkan istrinya.
Air mataku mulai menitik. Kuberanikan diriku untuk memasuki rumah mewah itu dengan segala keramaian para warga setempat yang sedang menyiapkan bunga-bunga yang dikaitkan dengan benang tipis. Juga beberapa warga pria yang menyiapkan selang air yang panjang lengkap dengan terbal biru yang luas.
“Najwa?” Tante Ninda menyadari kehadiranku. Beliau langsung bangkit dari duduknya, lalu datang dan memelukku dengan tangisannya.
“Tante… ada apa…?” tanyaku dengan suara yang serak.
“Fajar udah nggak ada…”
Jawaban Tante Ninda menghancurkan harapan tentang apa yang aku lihat di rumah mewah itu. Tangisanku mulai meluas, sembari membawa trofi, aku balas mengusap punggung Tante Ninda. Sebab beliau yang paling butuh seorang penenang daripada aku sendiri.
Kemudian Tante Ninda melepas pelukannya, lalu mendapati diriku yang sedang membawa trofi.
“Tante, boleh lihat Fajar?” pintaku seraya mengusap air mata.
Tante Ninda mengangguk, lalu mengantarkan diriku pada jenazah Fajar yang tertutup kain jarik dengan alas selimut. Kemudian Tante Ninda membuka kain jarik itu.
Aku menutup mulut saat menatap wajah pucat Fajar yang tak lagi bernyawa. Kemudian aku duduk bersimpuh di sebelah tubuhnya.
Saat itu juga, Ari, Yaya, Guntur, dan Rian datang ke rumah Fajar sekaligus mengikutiku. Ari langsung datang dan merangkul pundakku. Wajahnya terlipat sedih saat tahu kabar duka ini.
“Fajar, kita menang. Tim Phoenix menang. Juara 1.” Ujarku dengan dada yang sesak. Yaya juga duduk bersimpuh di sebelah dan menenangkan diriku yang sedang berduka saat itu.
“Trofinya buat kamu, Jar. Kita udah janji… tapi… tapi kamu malah pergi? Nggak pamit dulu? Kamu juga anggota Tim Phoenix, lho…”
Aku menarik napas. Air mataku tiada henti mengalir ke pipi. “Kamu suka dengerin suara aku, kan? Kayak di telepon? Aku udah di sini… Iya…” lalu aku tak dapat melanjutkan ucapanku, sebab dadaku terasa sesak, tenggorokanku tercekat.
Aku menangis sejadi-jadinya di rengkuhan sahabatku. Ari mengusap-usap punggungku, kemudian kulihat Guntur kembari menutup wajah Fajar dengan kain jarik. Jenazah Fajar siap dimandikan.
“Wawa, tenang… Ini semua takdir. Kamu harus terima semuanya.” bisik Ari tepat di telingaku. “Secanggih apapun teknologi pengobatan Singapura, jika Tuhan sudah berkehendak, maka manusia tidak bisa apa-apa selain pasrah.”
Aku masih menangis, air mataku membasahi jaket Ari. Hari itu, kurasakan diriku menjadi kehilangan akal sehat karena telah kehilangan sosok yang berharga . Iya. Dialah cahaya yang datang dari kegelapan. Fajar selalu mempercayai diriku di mana aku tak lagi semangat dalam menjalani hobiku sebagai pemain Ancient Legends.
Aku masih ingat bagaimana dia memberiku teka-teki atas siapa namanya. Hingga aku jatuh cinta padanya.
***
Jenazah Fajar dimakamkan pada pukul dua belas siang. Tangisanku telah berhenti, berganti dengan wajah yang pucat dan lusuh. Ari, Guntur, dan Rian, dan Pak Dani ikut ke pemakaman Fajar. Sementara aku, Yaya, dan Tante Ninda masih ada di rumah.
“Minum dulu, Mbak.” Ujar Yaya padaku dengan memberikan segelas air putih.
Aku mengangguk pelan, tersenyum tipis. “Makasih, Ya.” Aku masih tak selera meminum atau memakan sesuatu sejak satu jam yang lalu. Namun, keadaanku saat itu sedikit membaik setelah menangis getir.
Sembari membawa trofi, aku menghampiri Tante Ninda yang duduk bersandar di sebelah kursi sofa. Beliau tidak sanggup menghadiri acara pemakaman putranya. Walau bukan ibu kandung, aku bisa merasakan apa yang ada di hati Tante Ninda.
Aku tersenyum tipis—walau rasanya ingin sekali menangis saat itu juga. Kemudian aku menangkup tangan Tante Ninda.
“Tante bisa simpan trofi ini di perpustakaannya Fajar.” Ujarku pelan.
Beliau tersenyum pahit seraya menggeleng, lalu mengusap kepalaku. “Tante yakin, Fajar bangga sama kalian yang juara. Maaf, Tante nggak berhak simpan trofi yang berharga itu, soalnya Fajar udah nggak ada lagi, Nak.”
Aku mengulum bibirku yang kering.
“Kalian simpan saja trofi itu buat kenang-kenangan.”
Aku tersenyum tipis, lantas mengangguk-angguk. “Iya, Tante…”
“Sebentar…” Tante Ninda mengusap pipinya, kemudian merogoh saku yang ada di baju, lantas mengeluarkan sesuatu dari sana. “Waktu di pesawat, Fajar nulis sesuatu. Katanya mau dikasihkan ke Najwa. Tante nggak tahu apa isi suratnya.”
Tante Ninda memberikan lipatan kertas itu padaku. Aku menerimanya, dan aku masih tidak sanggup untuk membukanya.
“Fajar itu anak yang baik. Awalnya Tante kurang suka kalau Dani punya anak kandung dari pernikahan istri pertamanya. Tapi, waktu Fajar ke rumah ini, Tante bersyukur bisa punya anak laki-laki kayak dia. Anak-anak tante sebelumnya perempuan semua. Walau bukan anak kandung, tapi Tante sayang banget sama Fajar. Tante sedih waktu Fajar dipanggil sama Tuhan.” Ucap Tante Ninda.
Aku hanya bisa diam dan mendengarkan.
“Najwa, Fajar sering cerita ke bundanya ini, kalau dia punya teman yang sangat istimewa. Dia nggak pernah nyebut nama, tapi Tante tahu kalau yang dimaksud Fajar itu kamu.”
Tubuhku bergeming dengan pengakuan Tante Ninda.
“Soalnya, Fajar nggak pernah punya teman waktu masih tinggal di Karawang. Dia suka dikucilkan hanya karena suka baca buku di pojokan kelas. Itu cerita dari papanya.” Sambung Tante Ninda.
Aku baru mengetahui kebenaran itu.
Kemudian Ari, Guntur, Rian, dan Pak Dani kembali. Pemakaman telah selesai. Ari langsung mendekat, mengajak kami untuk pulang.
Aku menggenggam erat lipatan kertas dari Tante Ninda. Kami berlima memutuskan untuk pulang setelah berpamitan pada Tante Ninda dan Pak Dani. Beliau berterima kasih pada kami yang sudah menjadi teman Fajar.
Setelah mengantar Rian, Guntur, dan Yaya pulang, hanya aku dan Ari yang ada di dalam mobil. Di perjalanan, kami tidak berbicara satu sama lain. Pandanganku tertunduk, sesekali menatap trofi yang ada di sebelahku.
“Arik, bisa simpan trofinya di rumahmu aja?” ujarku memecahkan lengang.
Ari tersenyum—bisa kulihat wajahnya dari spion tengah. “Oke, Wa. Kamu istirahat aja di rumah. Kamu boleh nangis, kok, Wa. Aku tahu perasaan kamu.”
Aku tersenyum simpul. “Makasih, Rik.”
“Tadi barang belanjaannya udah dikasih ke Tante Ninda, kan?” tanyaku lagi.
“Udah, Wa. Iyan yang ngasih.”
Aku mengangguk samar sebagai balasannya.
Sekitar sepuluh menit kemudian, aku turun dari mobil saat Ari sampai di depan rumahku. Ari smepat melambaikan tangannya sebelum meninggalkan kawasan rumahku dan melaju ke jalanan.
Di teras rumah, aku duduk di kursi dengan wajah yang sembab. Aku tidak mau terlihat menangis di hadapan Ibu. Dan sebelum itu, aku membuka lipatan kertas yang sudah lama berada di genggaman tangan.
Aku melihat tulisan Fajar yang rapi. Hanya tulisan sederhana yang mampu membuat air mataku menetes lagi.
Untukmu, Najwa…
Selama ini, aku tidak menganggap kamu sahabatku. Sejujurnya, sejak kita pertama kali bertemu, aku sudah menyukaimu dalam diam. Perasaan itu muncul begitu saja tanpa aba-aba. Kamu yang membuatku merasa bahagia di saat bencana sedang menggerogoti isi kepalaku.
Najwa, bila saat dewasa nanti, kuharap kamu menemukan calon suami yang tulus mencintaimu. Karena aku tidak bisa menikahimu, selamanya tak bisa.
Kumohon jangan menangis saat aku pergi nanti. Dan aku meminta maaf jika telah membuatmu menangis.
Dariku, kekasih sang Senja.
Aku menutup mulut. Tangisanku pecah, tak peduli lagi jika di dalam rumah, ibu dan adikku mendengar suara tangisanku. Aku memeluk surat itu dengan segenap hati dan kesedihan yang mendalam. Sebab aku baru tahu bahwa selama ini… Fajar jatuh cinta padaku.
Bayangan dari wajahnya mengelilingi isi kepala dengan gelimang air mata di pipi. Hatiku terasa sakit saat tahu bahwa Fajar juga mencintaiku. Ada sedikit penyesalan yang ada, jika aku mengungkapkannya sebelum dia berangkat ke Singapura, aku tidak akan jatuh terlalu dalam seperti ini.
“Wawa? Kenapa, Sayang?” Ibu keluar dari rumah, beliau langsung memelukku yang menangis di teras. “Cup cup cup. Ada apa? Apa tim kamu kalah?”
Aku menggeleng sebegai jawaban. Dan di hari itu pula, aku menceritakan semua pada ibuku. Bahuku langsung terasa ringan setelah membiarkan tangisanku pecah di rengkuhan ibu yang setia mendengar ceritaku. Selain Ari, Ibu juga tahu tentang perasaanku pada Fajar yang tak pernah kuungkapkan pada sosoknya.
Dia telah pergi. Selamanya telah pergi. Andai saat itu aku mengalihkan panggilan suara ke panggilan video agar aku bisa melihat wajah terakhirnya yang tersenyum. Namun, semua itu telah terjadi. Aku hanya bisa menangis pasrah dan membutuhkan waktu untukku menerima semuanya.
Ini yang terbaik untuknya. Dalam istirahatnya yang abadi, Fajar tak lagi merasakan rasa sakit seperti pada kehidupannya.
Aku akan selalu merindukan senyuman dan suaranya.
***