Jakarta, 16 Februari 2027
Kedua mataku mengerjap saat ada seseorang memasuki mobil—tepat di sebelah bangkuku. Dia meminum es kelapa miliknya dari kantong plastik dengan sedotan, kemudian dia memberikan satu bungkus khusus untukku.
“Mumpung udah bangun, nih minum biar seger.” Ujar Ari.
Aku tersenyum seraya menerima kantong es kelapa muda. "Makasih Sopir Pribadi akuu..."
Pria itu tertawa seraya mengusap wajahku dengan telapak tangannya. Aku selalu menggodanya dengan sebutan 'Sopir Pribadi' sebab ia selalu bersedia mengantarku ke mana-mana. Karena aku juga masih tidak bisa mengendarai mobil. Padahal dia pernah mengajariku secara teori dan praktik.
“Kamu ngapain berhenti di sini?” tanyaku
“Lihat ada orang jualan es kelapa kayaknya seger. Terus beli deh.”
Aku pun meminum es kelapa pemberian suamiku.
Iya. Aku dan Ari menikah satu tahun yang lalu. Aku lulus dengan gelarSarjana dari Universitas Negeri Surabaya pada tahun 2026. Ari yang baru saja kembali dari Jakarta, langsung melamarku di rumah. Bahkan saat itu dia berseru girang sebab aku belum diambil oleh orang lain.
Kami nyaris tak bertemu selama empat tahun lamanya. Pun nomor telepon miliknya telah berganti karena ponsel Ari sebelumnya hilang saat belanja kebutuhan di pasar.
Aku merasa nyaman berada di dekatnya. Lambat laun benih cinta itu hadir padaku untuk Ari, sahabat masa kecilku yang selalu menjagaku, suka dan duka.
Dan kami tidak pernah membahas soal Fajar sejak kala itu. Atau boleh jadi, Ari tidak mau membuatku bersedih karena kepergian Fajar membuat hatiku begitu terpukul. Ari selalu tahu bahwa aku pernah mencintai Fajar dan itu membuatku jatuh terlalu jauh.
Setelah menikah, kami pindah ke Jakarta karena Ari membeli apartemen berkat perjuangannya menjadi pro-player E-sport. Ya, dia pernah memenagkan juara 1 dengan timnya di turnamen Piala Presiden, dan menduduki peringkat ke-3 di ajang turnamen nasional APL. Intinya, Ari telah mewujudkan cita-citanya untuk menjadi pro-player, hanya saja sifat alaminya yang suka marah-marah itu tidak pernah berubah saat sedang bermain.
Namun, aku bangga memiliki sosok suami sepertinya. Selain itu, Ari juga memiliki kanal YouTube pribadi dengan total pelanggan yang berjumlah sekitar lima ratus ribu dan terus bertambah setiap harinya. Dari sana pula, Ari mendapatkan penghasilan hingga bisa membeli barang-barang dengan uangnya sendiri.
Sedangkan aku menjadi guru bimbingan belajar di sebuah yayasan yang dibangun oleh kepala sekolah dari salah satu SMP di Jakarta. Ari mengizinkanku bekerja karena aku selalu merasa bosan duduk di apartemen terus.
“Jadi gimana? Mau ke rumah sakit, nggak?” Tanya Ari yang tiba-tiba memecahkan keheningan.
“Cuma mual biasa, Rik. Sekarang balik ke apartemen aja.” Balasku sembari mengernyit.
Ari mengecek suhu tubuhku melalui kening. “Kamu demam, ya?”
“Eh? Enggak, Sayang. Mungkin kena cahaya matahari.” Aku mengelak, karena aku benar-benar merasa baik-baik saja setelah mual pagi tadi.
Ari mengangguk-angguk. “Sebagai Sopir Pribadi kamu, kuantar ke rumah sakit sekarang.”
Suaraku tertahan karena ingin menolak. Tetapi Ari sudah melajukan mobilnya ke jalanan. Ari selalu mengerti keadaanku walau aku mengelaknya.
Di rumah sakit, aku diperiksa oleh dokter dan berbaring diam di atas bangsal. Sementara Ari duduk di sebelahku karena tak mau berada di luar—dia sedikit posesif tapi aku suka pria sepertinya.
“Tuan dan Nyonya, selamat, ya. Anda akan menjadi orangtua.”
Kami berdua tercengang mendengar pengakuan Dokter.
“M-maksudnya? Istri saya hamil gitu?” wajah Ari melongo menatap Dokter dan aku secara bergantian.
Dokter mengangguk. “Usia kehamilannya sudah tiga minggu. Itu sebabnya Nyonya Najwa merasa mual saat pagi seperti yang Anda sampaikan.”
Perlahan bibirku tertarik, aku bahagia mendengar kabar bahwa diriku tengah mengandung dan aku sama sekali tidak menyadarinya karena sibuk mengajar bimbel.
Kemudian Ari datang memelukku erat-erat, lalu mencium keningku dengan penuh kasih sayang.
Ini adalah hari yang paling bahagia sejak kami menikah. Kami kembali dari rumah sakit setelah menerima buku panduan ibu hamil dan Dokter sempat memberitahu berapa kali aku harus kontrol untuk melihat pengambangan janinnya.
Aku duduk di bangku mobil setelah Ari. Kami akan pulang karena Ari sudah berjanji untuk memasak makanan kesukaanku sebelum jadwalnya live streaming.
“Nanti kamu iku live aku. Mau, ya?” pinta Ari.
Sebagai seorang istri dari pro-player yang terkenal di kalangan game Ancient Legends, aku juga dikenal banyak orang. Aku sering mengikuti live streaming Ari jika ada waktu senggang.
Aku pun mengangguk. “Boleh. Tapi jangan toxic, ya. Nanti dede bayinya ikutan toxic kayak papanya.”
Ari tertawa terbahak-bahak. “Iya, sayangku. Lagian masih tiga minggu, mungkin masih embrio.”
Aku menyamankan posisi duduk seraya mengusap perutku dengan lembut. “Kalau nanti debay-nya cowok, kamu mau kasih nama apa?”
Terlihat Ari mengetuk dagu, berpikir. “Hmm… Apa, ya… gimana kalau Arhan? Ari Arhan. Cocok, kan?”
Aku terkekeh. “Namamu ditaruh di belakangnya aja. Arhan Ari baru cocok.”
Ari mengangguk-angguk. “Iya, deh. Pokoknya harus ada Ari-nya.”
“Terus kalau cewek, kamu kasih nama apa?”
Jawaban Ari langsung membuat hatiku terenyuh. Walau dia tidak menjelaskan alasannya, aku tahu arti di balik nama yang baru saja suamiku sebutkan.
“Aurora.”
***
TAMAT