Aku pernah mendengar suatu kalimat; cinta selalu datang tanpa disadari. Gadis remaja yang naif sepertiku masih tidak bisa membedakan antara cinta atau kagum semata.
Aku tidak tahu bagaimana hatiku memilih Fajar. Namun, keberadaannya membuatku merasa bersyukur dilahirkan di bumi ini. Dan aku selalu yakin, bahwa penyakit Fajar akan sembuh setelah berobat ke Singapura nanti. Di saat itu pula, aku akan mengungkapkan perasaanku yang tersimpan—dan hanya Ari yang tahu.
Hari itu, Fajar berangkat ke Singapura bersama keluarga besarnya—selain Ina—adik sambungnya Fajar. Karena dia tidak bisa bolos sekolah dengan ikut ke Singapura.
Anggota Team Phoenix yang lain telah mendengar kabar ini. Saat istirahat kedua, kami berlima berkumpul di kantin dengan bermacam-macam menu makanan yang kami pesan, seperti bakso, mie goreng, lontong kupang (kesukaan Ari), soto ayam, dan rujak kikil.
“Ya kita di sini berdoa aja supaya pengobatan Fajar berjalan lancar.” Ungkap Rian, setelah itu dia menyeruput kuah baksonya.
“Kita juga harus sering-sering latihan. Kemarin aku lihat akun musuh kita, hero utamanya udah dua puluh ribu match.” Ujar Guntur.
Kami semua tercengang saat mendengarnya.
“Buset… Emangnya mereka nggak belajar apa?” Yaya tertawa.
“Arik yang males belajar aja tiga ribu match, belum hero lainnya yang hampir seribu.” Celetukku.
Ari yang duduk di sebelahku menyeringai. “Bisa jadi mereka pemain dari 2016—waktu AL awal-awal rilis.”
“Iya. Tapi di jaman itu kita masih SMP, masih bocil.” Jawab Guntur.
“Justru yang bocil-bocil itu lebih jago mainnya, Gun. Tergantung mindset.” Papar Arik seraya menunjuk keningnya.
“Belum lagi di jaman itu AL belum rame, sama resource-nya juga nggak segede sekarang.” Ujar Guntur
“Di antara kita, mungkin Mas Arik sama Guntur yang udah main dari dulu kalau dilihat dari ID server-nya.” Kemudian Yaya memakan kerupuk udangnya.
“Iya, si Arik mah udah sepuh.” Celetuk Rian.
“Aku masih pemula.” Ari tertawa.
“Ajarin dong, puh.” Celetuk Guntur seraya terkekeh.
“Kalau yang sepuh ngakunya pemula, terus kita yang main dari 2019 apaan, dong?” Yaya memegang perutnya yang terasa sakit karena tertawa.
“Embrio.” Celetuk Guntur.
Kami berlima tertawa, bahkan kami sempat dijadikan bahan tontonan oleh siswa lain karena keramaian yang kami buat. Kemudian kami kembali pada masing-masing makanan kami. Ari dan Guntur selalu saja membuat candaan yang tak tahu kondisi dan tempat.
Dan syukurlah, saat itu mood-ku benar-benar membaik. Aku semakin rajin menulis dan selalu bermain AL di saat jam istirahat bersama Team Phoenix, sekaligus berlatih di basecamp OSIS yang dianggurkan. Kabar Team Phoenix yang memasuki final dan akan bertanding satu bulan lagi tentu menjadi sebuah kebanggan bagi sekolah—walau ada dari mereka yang meremehkan kami dengan kalimat,
“Halah, itu cuma permainan anak kecil. Lagian siapa aja juga bisa main.”
Padahal yang kami lakukan tidak semudah itu, bahkan lebih rumit jika sudah menyerang mental.
Saat jam pelajaran habis, aku berniat untuk langsung pulang ke rumah karena tidak ada tujuan lagi seperti sebelumnya. Boleh jadi sekarang Fajar tengah menghirup udara Singapura.
“Wawa.”
Panggilan itu membuatku menoleh saat baru saja keluar dari gerbang.
“Main ke Surabaya, yuk.”
Aku terkekeh, tiba-tiba saja Ari berucap padaku seperti itu. “Emang di Surabaya ada apaan?”
“Main di dekat danau UNESA. Siapa tahu impian kamu terwujud.”
Kami masih berjalan menepi sebelum sampai ke parkiran. Juga ada beberapa siswi yang menatap takjub—ada juga yang sinis padaku. Dan aku menganggapnya seperti fenomena alam biasa.
“Ya harus belajar rajin-rajin, lah! Emangnya danau UNESA punya efek ke impianku?”
“Ehmm… siapa tahu, kan?”
Aku mengembuskan napas. “Aku mau langsung pulang aja, capek seharian di Lab.”
“Tapi janji nanti mabar berdua sama aku, ya, Wa?”
Aku menoleh kepada Ari yang ada di sampingku. “Oke.”
Setelah itu kami pulang bersama—di motor yang berbeda. Berkali-kali aku menolak ajakan Ari untuk satu motor dengannya saat berangkat dan pulang sekolah. Sebab aku memiliki motor yang masih berfungsi dengan baik.
***
Aku tahu dan sadar bahwa selama kurang dari sebulan itu, Ari berusaha membuat kehidupanku tak lagi merasa kesepian. Aku sangat menyayanginya sebagai seorang sahabat, dan kami jarang berdebat di kala final semakin ada di depan muka.
Aku dan anggota tim yang lain berlatih sekuat mental, jika ada dari kami yang mengantuk, Rian sebagai kapten tim memutuskan untuk berhenti dan dilanjutkan pada keesokan harinya. Namun, hari Minggu adalah waktu bagi kami selama lebih dari lima belas jam untuk berlatih.
Seminggu sebelum final dimulai, Team Phoenix mengadakan latih tanding bersama juara ketiga turnamen ini—dari Kota Banyuwangi. Mereka pemain anti-toxic yang menanamkan moral-moral kehidupan yang baik. Ari bisa menyontoh sikap baik mereka ketika bermain game di manapun tempatnya.
Dari latih tanding tersebut, kami menemukan teman-teman baru. Kami mempelajari banyak hal dari mereka yang ternyata masih kelas sepuluh.
Selain melatih mental agar siap duduk di panggung final, aku juga sering memakan makanan sehat yang sekiranya membuat tekanan darahku selalu normal. Karena belakangan ini aku sering merasa pusing setelah tiba-tiba bangkit dari duduk maupun tidur.
Aku selalu bercerita kepada Ari tentang keadaanku. Kemudian Ari berkata, “Mamaku bilang kamu harus sering mengkonsumsi sayuran hijau dan kacang-kacangan kalau nggak suka daging kambing.”
Saat ini Ari sedang bermain di rumahku—di ruang tamu setelah pulang sekolah. Dia merasa kesepian di rumahnya karena papa dan mamanya sibuk bekerja. Bermain game di komputer pun bosan katanya.
“Dulu kamu diasuh sama nenek kamu, nggak, sih, Rik?” tiba-tiba saja aku menanyakan hal ini.
“Iya. Nenekku udah meninggal gitu, lho, waktu kita kelas empat. Terus keluargaku pindah rumah karena rumah di sebelah itu dipake adiknya papaku. Kamu lupa, ya?”
Aku menyeringai lebar. “Lupa-lupa inget, sih, Rik.”
Teras rumah lengang. Aku menundukkan pandangan, tak tahu topik apa lagi yang harus aku katakan agar keadaan tak lagi canggung.
“Minggu depan Fajar balik ke Indonesia, ya?” tiba-tiba Ari bersuara.
Kedua alisku terangkat. “Eh, katanya sih gitu. WhatsApp dia nggak on.”
“Mungkin nggak ada waktu buat ngecek hp, Wa.”
Aku mengangguk, setuju dengan pendapat Ari. “Iya. Biar Fajar istirahat aja sebelum jadwal pulangnya tiba.”
Kemudian ponselku bordering. Sempat kukira Yaya karena kami ada janji main bersama malam ini. Ternyata seseorang yang tak pernah kudapati kabarnya.
Ari yang penasaran, menatap ponselku.
Aku menggeser tombol hijau ke atas. “Nala! Ih, apa kabar kamu?” ucapku dengan penuh semangat. Sudah sebulan lebih Nala pindah sekolah ke Surabaya. Kami jarang sekali berinteraksi dari media karena Nala boleh jadi sibuk mengikuti bimbel dan kursus ini-itu.
Di sebelahku, Ari membelakakkan kedua matanya. “Nala?” bisiknya.
Aku mengangguk pada Ari. Kemudian kuaktifkan speaker agar Ari bisa mendengarnya juga. Bagaimanapun juga kami bertiga teman satu kelas.
Di seberang sana, terdengar suara Nala. “Halo, Wawa! Aku baik-baik aja di sini. Surabaya panas banget waktu siang.”
Aku terkekeh. “Jangan lupa pake sunscreen!”
Nala juga terkekeh. “Oh, ya, Wa. Aku dengar kamu ikut turnamen E-sport di Surabaya, ya?”
Aku dan Ari tercengang, sejenak saling bertukar pandang. “Eh, kok tau?”
“Iya. Dari Instagram Surabaya Hits. Tim kamu masuk final. Ada nama kamu soalnya.”
Aku tertawa canggung.
“Arik ikut juga, ya, Wa? Nggak kaget, sih. Dia suka main AL soalnya.” Ujar Nala lagi.
“Aku di sini!!!” Ari berbicara setelah lama diam dan menyimak obrolan.
“What?! Arik? Itu suara Arik, kan?”
Aku mengaduh pelan, khawatir jika Nala curiga kami memiliki hubungan special lalu cemburu. Sebab Nala menyukai Ari seperti siswi lainnya di kelas kami.
“Iya, dong! Nggak enak kalau nggak ada Nala di kelas, nggak bisa nyontek matematika lagi.” Ari tertawa.
“Ya ampun, Rik. Nggak nyangka banget. Eh, kalian kok bisa ada di satu tempat gini?” Tanya Nala.
“Eh, ya, dia iseng aja main ke rumahku, Na.” jawabku gugup.”
“Owalah...”
“I-iya, Na…”
“Kalian pacaran?”
“Heh? Eng-enggak, Na! Sama sekali enggak!” aku menggeleng kuat-kuat walau Nala tak bisa melihat ekspresiku. Sementara Ari di sebelahku tertawa penuh kemenangan. Enak saja raut wajahnya itu.
“Ih, masa siiihh?” nada Nala terdengar meledekku.
Karena ini ada hubungannya dengan perbincangan sesama perempuan, aku beranjak bangkit memasuki rumah. “Tunggu, ya, Rik.” Aku sengaja meninggalkan lelaki itu sendirian di teras, sementara aku melanjutkan obrolanku dengan Nala melalui panggilan suara di dalam kamar.
Aku menutup pintu kamar, lalu mematikan fitur speaker. “Halo, Na?”
“Iya, Wa.” Jawab Nala.
“Aku lagi di kamar biar Ari nggak denger obrolan kita.” Ujarku pelan.
Terdengar Nala tertawa. “Mau ngomongin apa, sieeehh?”
“Eh, itu, soal crush kamu—”
“Crush? Siapa? Arik?” kudengar Nala tertawa terbahak-bahak setelah menyahut ucapanku. “Aku udah uncrush dia, Wa. Aku cuma kagum waktu itu, nggak jatuh cinta beneran. Lagian aku nggak mau dibuat kecewa kalau Ari suka sama cewek lain.”
Aku terkekeh pahit. Benar, Ari memang menyukai perempuan selain Nala.
“Di sekolah baru aku ada cowok ganteng-ganteng, Wa. Aku udah bikin list nanti tinggal diseleksi aja.” kekeh Nala
Aku tergelak, sudah tidak heran lagi dengan sifat sahabatku yang satu ini. “Nala Nala, sama aja kamu, ya.”
Nala tertawa kecil. “Kenapa Arik emangnya?” Tanya Nala.
“Eh, ng… enggak apa-apa. Dia suka nyontek tugas aku sekarang, Na. Nasib aku jadi kayak kamu dulu.” Helaku.
“Santap dia sama buku paket, Wa!” ujar Nala dengan gemas. Karena dia salah satu murid ambis yang nilainya selalu di atas KKM, Nala tidak sudi jika ada seseorang yang dengan seenak jidat menyontek hasil tugasnya.
Namun, Nala akan membantu dan mengajar temannya bila ada yang kebingungan dengan soal matematika.
Aku tertawa mendengarnya. “Iya iya! Eh, kamu kapan balik lagi ke Sidarjo lagi, Na?”
“Mungkin menetap di sini sampe lolos SNMPTN. Kalau nggak lolos, aku bakalan ikut tes SBMPTN di Unesa. Pokoknya aku bakalan menetap di Surabaya sampe bisa keterima di UNesa, Wa. Itu kampus impian aku banget.”
Aku mengangguk-angguk setuju. “Aku juga mau ikut SNMPTN terus milih Unesa nanti. Semoga kita nanti satu almet, ya, Na.”
“Hehehe, iya, Wa. Amin paling kenceng.”
Akan sangat seru jika suatu hari nanti kami ada dalam satu universitas. Dan boleh jadi, Nala akan mengambil prodi kimia atau matematika. Karena dia sangat menyukai dua mata pelajaran itu.
“Aku doain semoga juara satu buat finalnya, Wa. Oh, ya, sampaikan ucapan makasih dariku sama Arik. Soalnya dia pernah jadi crush aku.”
Aku tersenyum simpul. “Okay, Na.”
“Kalau gitu aku tutup dulu teleponnya, ya, Wa.”
“Eh? Buru-buru banget, Na? Mau ke mana?”
“Ke tempat bimbel. Udah ditungguin Papa di teras.”
“Oalah, iya iya, Na.”
“See you, Wawa!”
“See you too, Na!”
Kemudian Nala menutup panggilan. Alangkah semangatnya Nala belajar. Sedangkan aku, masih bersantai-santai dan belum membuka satu buku mata pelajaran pun di malam ini. Namun, aku juga harus belajar dengan giat agar diterima jalur SNMPTN di kampus impianku.
Aku kembali membuka kamar, lantas ke teras rumah untuk menemui Ari yang asyik menggeser beranda Instagram. Aku pun duduk di sebelahnya.
“Kalian ngomongin apa, sih?” Tanya Ari setelah menutup layar ponselnya—karena ada aku di sini.
Aku mengulas senyum lebar. “Rahasia. Cowok nggak perlu tahu.”
“Idih…” cibir Ari.
Aku menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. “Nala bilang makasih ke kamu.”
“Buat apa?” Ari tergelak.
“Dia bilang gini, soalnya dia pernah jadi crush aku. Gitu.”
Sejenak Ari terperangah heran. “Hah? Maksudnya… Nala pernah suka sama aku, Wa?”
Aku memicingkan kedua mata. “Kenapa emangnya? Wajar soalnya kamu disukain cewek satu sekolah—kecuali aku. Masa nggak sadar, sih?”
Ari menggeleng. “Lebih tepatnya nggak peduli, sih.” Kemudian dia menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.
Banyak hal random yang kami obrolkan saat malam itu. Setelah beberapa menit, Ari ditelepon papanya—karena dia yang membawa kunci rumah. Dan karena sudah pukul 9 malam. akhirnya dia pulang dengan mengayuh sepeda warna pink dengan keranjang di bagian depannya.
Aku tertawa setiap kali Ari membawa sepeda yang masih awet sejak ia SD dulu. Lucu saja melihat laki-laki yang mau memakai benda-benda berwarna merah muda yang umum sekali digunakan oleh perempuan. Namun, aku tidak masalah, karena warna tidak memiliki gender, bukan?
Kututup pintu rumah saat suasana mulai sepi. Kemudian ibuku datang ke ruang tamu dengan membawa sepiring pisang goreng yang masih hangat. Aromanya terciup di hidungku.
“Loh, Adek Arik mana?” Tanya Ibu. Sejak kami bayi, ibuku memanggil Ari dengan sebutan ‘adek’, sedangkan mamanya Ari memanggilku dengan sebutan ‘mbak’ di awal nama karena aku lahir terlebih dahulu.
Aku tergelak. “Ditelepon papanya tadi, terus pulang.”
“Eh, baru aja dibuatin pisang goreng.”
“Kalau gitu buat aku aja, ya, Buk.” Aku menyeringai dan langsung mengambil piring pisang goreng itu, lalu membawanya masuk ke kamar. Rezeki mana bisa ditolak.
Ibu tertawa melihat tingkahku. “Jangan lupa cuci piringnya kalau habis!” seru ibuku dari luar kamar.
“Yes, Madam!” balasku, kemudian duduk di tepi kasur, memakan pisang goreng buatan Ibu yang masih hangat. Sayang sekali Ari sudah pulang, sehingga tidak mencicipi pisang goreng yang enak ini.
Kemudian ponselku bordering. Aku menganga lebar saat melihat nama yang tertera. Segera aku mengusap jemariku yang penuh minyak dengan celana training yang aku kenakan—kebiasaan burukku itu selalu muncul saat sedang terburu-buru.
Kemudian aku menggeser tombol hijau. “Halo, Fajar!” Ujarku penuh semangat. Sebab selama hampir tiga minggu ini aku tidak tahu kabar dan suaranya.
Malam itu, Fajar meneleponku. Aku merasa lega saat mendengar suaranya yang selalu aku rindukan. Suara yang selalu terdengar menghangatkan hatiku.
“Halo, Wa.” Jawabnya.
“Gimana kabar kamu, Jar?”
“Baik. Di Singapura, aku menjalani macam-macam pengobatan. Nggak tahu apa namanya, pokoknya rumit.”
Aku mengangguk-angguk walau Fajar tidak meluhat ekspresiku sekarang. “Terus gimana perkembangannya?”
“Aku nggak apa-apa, Wa. Udah enak dikit, nggak sering pusing juga. Hari Minggu aku dibolehin pulang.”
Aku nyaris berseru karena saking senangnya. Syukurlah kalau Fajar baik-baik saja. “Eh, waktu final, dong?”
“Iya, Wa. Penerbangan Singapura ke Sidoarjo kayaknya sekitar dua jam perjalanan, deh.” Kemudian Fajar berdeham. “Finalnya jam berapa, Wa?”
“Jam delapan pagi, Jar. Berangkatnya jam enam soalnya Arik harus jemput temen-temen yang lain juga.” Ujarku.
Tak terdengar suara Fajar selama beberapa saat. Aku pun menunggunya untuk berbicara.
“Eh, Wa, hp-nya Mas Arik belum aku kembaliin.” Ucapnya memecah lengang.
“Ya, nggak apa-apa. Nanti pas kamu balik ke Sidoarjo aja kasih ke Arik. Atau nggak kamu simpen aja, Arik punya hp sekarung.”
“Bukan gitu, Wa. Ini soal tanggungjawab. Lagian aku cuma pinjem ke Mas Arik.”
Aku menghela napas pelan. Sepertinya Fajar tidak memiliki kegelapan di hatinya. Dia selalu memperhatikan hal-hal sekecil apapun.
“Wa, aku minta tolong boleh, nggak?” suara Fajar lagi.
“Eh? Minta tolong apa?”
“Besok setelah pulang sekolah, kamu sama Mas Arik ke rumahku buat ambil hp-nya.”
Awalnya aku merasa heran kenapa Fajar meminta bantuan kepadaku seperti itu. “Bukannya di rumah kamu nggak ada siapa-siapa, ya?”
“Dulu aku lupa bilang kalau Nenek sama Ina nginep di rumah. Bunda sama Ayah ikut ke Singapura, jadi nggak ada yang jagain rumah.” Kemudian Fajar terkekeh pelan.
Aku ber-oh kecil.
“Nanti aku telepon Nenek kalau besok kamu mampir ke rumah, Wa. Biar disiapin hp-nya.”
Aku mengangguk-angguk. “Okay, Jar!”
“Maaf ngerepotin, Wa.”
“Santai, Jar.”
“Makasih, Wa. Kirain ini tadi kamu udah tidur. Takutnya ganggu waktu mau telepon.”
“Eh, nggak, kok. Aku lagi nyemil pisang goreng, belum ngantuk.” Aku tertawa.
“Wih, enak tuh pisang goreng."
“Iya, dong." aku tertawa.
“Ya udah, Wa. Aku tutup teleponnya. Senang bisa denger suara kamu.”
“Okay, Jar.”
Kemudian Fajar memutuskan panggilan suara itu. Sejenak aku bergeming di tepi kasur seraya mencerna kalimat terakhir yang diucapkan Fajar beberapa saat yang lalu.
Dia… senang mendengar suaraku?
Malam itu pula, aku nyaris tak bisa tidur sebab terlalu memikirkan kalimat terakhir Fajar di telepon. Bahkan aku tertidur saat pukul dua pagi setelah pikiranku kembali tenang.
***
Netraku masih menyipit karena mengantuk saat berjalan di koridor sekolah. Apa boleh buat, aku hanya tidur selama tiga jam. Walau Ari selalu bersedia jika aku meminta tumpangan motornya, tetapi aku tetap mengendarai motorku sendiri dalam keadaan mengantuk. Dan jangan meniruku karena sangat berbahaya.
Aku sampai di sekolah saat suasana sudah ramai—karena ini hari Senin dan akan diadakan upcara bendera. Lihatlah Ari di lapangan sana yang membantu menyiapkan perlengkapan sound system bersama anggota OSIS yang lain. Walau sudah kelas dua belas, keahlian Ari tetap dibutuhkan walau ia seringkali mencari keributan dengan siswa lain.
“Eh, Wawa!” Ari tiba-tiba menyapa seraya melambaikan tangannya.
Aku sedikit kikuk—dan aku langsung berlari ke anak tangga dan memasuki kelas.
“Disapa Arik kok nggak dijawab, sih? Sombong.”
Sebuah suara dari laki-laki bongsor mengejutkanku. “Bodo amat.” Ujarku pada Rian, kami sempat berpapasan di pintu kelas. Boleh jadi Rian sempat melihat Ari yang menyapaku dari atas balkon.
Rian terkekeh saat aku masuk ke kelas dan meletakkan tas. Karena masih ada lima belas menit sebelum upacara dimulai, aku meletakkan kepalaku di atas meja dengan tas sebagai alasnya. Kemudian kupejamkan mata untuk meredakan rasa kantuk.
Walau telah memejamkan mata, pikiranku masih tertuju pada panggilan suara kemarin malam. Kalimat terakhir Fajar terngiang-ngiang di kepalaku. Bahkan aku sempat membayangkan bagaimana ekspresi Fajar saat mengatakan kalimat itu.
Ah, ya! Kenapa kemarin aku tidak mengubah panggilan suara menjadi panggilan video? Namun, aku merasa canggung saat bersitatap dengan orang lain walau terkesan tidak langsung.
“Kamu kenapa, Wa?”
Suara itu langsung membuat mataku kembali terbuka, lalu aku mengangkat kepala.
Ari terlihat cemas menatapku. “Kamu sakit, Wa?”
“Eh?” aku kebingungan. “Nggak, kok. Rik...”
“Iyan bilang kamu sakit.”
Aku terkekeh. “Iyan bohong. Aku cuma ngantuk, kok.”
Ari mengembuskan napas. Siswi perempuan di kelasku terlihat biasa-biasa saja saat melihat interaksi kami. Boleh jadi mereka sudah tahu bahwa aku dan Ari teman sejak kecil, itu sebabnya mereka sudah menganggapnya hal biasa.
“Beneran cuma ngantuk?”
“He-em.” Aku mengangguk seraya menguap pelan.
“Tidur jam berapa emang?”
“Jam dua.” Jawabku singkat, kemudian aku kembali meletakkan kepalaku di atas meja dengan tas sebagai alasnya.
“Kalau nggak kuat begadang, jangan begadang. Kenapa bisa sampai tidur jam dua?”
Aku tahu Ari peduli dan selalu mengkhawatirkan kesehatanku, tetapi ini berlebihan. Aku tidak mau dia selalu memikirkan diriku sementara dia tidak sempat memikirkan dirinya sendiri.
“Heleh, kamu juga sering begadang, kok.” aku kembali mengangkat kepala.
“Tapi aku kuat.”
“Kuat? Kenapa kamu sering ketiduran di kelas?”
“Oi! Jangan ribut! Mau upacara tuh!” dari ambang pintu, suara Rian mengejutkan kami berdua yang sedang asyik berdebat. Bahkan Ari yang sudah membuka mulut, mengurungkan kalimatnya.
Teman-teman yang ada di kelas tertawa dengan perdebatan kecil kami.
Ari terkekeh seraya bersedekap. “Ke UKS aja, pura-pura sakit.”
Aku langsung beranjak berdiri dari kursi, tidak terima. “Aku bisa ikut upacara walaupun cuma tidur tiga jam, kok, Rik!”
“Oke! Buktikan!”
Aku geram sebab Ari menertawaiku—dia memang suka menggodaku. Rian dan teman-teman kami yang lain tertawa. Dan aku… Aku akan membuktikan kepada mereka bahwa aku seseorang yang dilahirkan dengan pertahanan terhadap rasa kantuk!
***
Ini memang memalukan! Rasa-rasanya aku ingin menghilang dari sekolah karena aku jatuh pingsan saat upacara berlangsung.
Aku tidak pusing, lebih tepatnya mengantuk. Setelah upacara selesai, Ari mendatangiku di UKS.
“Tidur aja, Wa. Nanti aku bilangin ke Pak Setio kalau kamu sakit perut di UKS.”
Aku mengernyit saat baru saja mendudukkan diri. Rasa kantukku menghilang karena tertidur di UKS selama empat puluh menit. “Nggak boleh bohong. Aku harus ikut mapelnya biar nggak ketinggalan.”
“Ngeyel.”
Kemudian aku memasang sepatu pantofel di kedua kakiku secara bergantian. “Tadi aku diangkat pake tandu, Rik?” tiba-tiba aku ingin menanyakan hal ini.
Ari tersenyum. “Nggak.”
“Terus siapa yang bawa aku ke UKS?”
“Pake nanya.”
Aku langsung melotot. Seketika aku membuat asumsi… Ari? Membopong tubuhku ke UKS saat pingsan di lapangan?
Laki-laki itu menggaruk tengkuknya. “Kelamaan kalau pake tandu, keburu kamu kepanasan. Aku nggak tega, Wa. Ya udah, aku…” kemudian dia memalingkan pandangan, tak dapat menyelesaikan kalimatnya.
Aku tahu, dia sahabat yang peduli dan selalu mengkhawatirkan diriku. Sikapnya kadang membuatku jengkel, kadang pula membuatku terenyuh.
“Thanks.” Aku mengulas senyum tipis.
“Nggak bisa bahasa Inggris.”
Aku tertawa, tidak percaya dengan ucapannya. Tiba-tiba saja aku berpikir kalau hari itu dia sedang menahan wajahnya yang tersipu.
Kami berdua berjalan di koridor—mata pelajaran pertama ada di Lab Komputer yang terletak di lantai dua. Di perjalanan, aku meregangkan tubuhku yang terasa linu dengan mata silau saat menatap ke arah lapangan.
“Kemarin Fajar nelepon aku, Rik.” ujarku memecah keheningkan.
“Hm?” sembari berjalan, Ari menoleh ke arahku. “Gimana kabarnya?” dia terlihat antusias saat kusebut nama Fajar.
“Katanya dia udah enakan, nggak sering pusing juga. Hari Minggu dia pulang ke Sidoarjo.”
“Syukurlah.” Ari menghela napas lega. “Pas banget, tuh. Habis tanding, kita makan-makan ke rumah Fajar.”
Aku tersenyum. “Iya. Kamu yang traktir.”
“Siap! Gampang kalau urusan itu.” Ari balas tertawa. “Terus Fajar ngomong apa lagi?”
“Eh, dia minta tolong ke aku buat ngambil hp kamu di rumahnya, setelah pulang sekolah nanti.”
Seketika dahi Ari terlipat tipis. “Hp aku? Yang mana?”
Aku memutar bola mataku—tentu saja dia lupa ponselnya yang mana karena saking banyaknya. “Yang ada gambar apelnya itu, Rik. Kamu pernah minjemin Fajar hp waktu babak pertama, kan?”
Pandangan Ari berpaling, mencoba berpikir. Setelah itu dia tergugah pelan. “Oh, iya ya!”
Aku mengangguk. “Nah, nanti kita ke rumahnya Fajar buat ambil hp kamu. Fajar udah bilang kalau di rumah ada nenek sama adiknya. Nanti hp-nya dititipin sama neneknya.” Jelasku padanya. Semoga saja dia cepat paham.
“Nggak usah, deh. Anggap aja hadiah buat Fajar. Siapa tahu hp-nya Fajar rusak.”
Aku menyeringai, lalu menatap tajam Ari di sebelah. Raut wajahku berubah signifikan. “Kalau gitu aku aja yang ngambil! Kamu nggak usah ikut!” sungutku kesal. Kemudian aku menaiki tangga terlebih dahulu.
Kudengar di belakang Ari tertawa, dia berjalan cepat mengikuti langkah kakiku saat di tangga. “Iya iya, Wa. Aku ikut. Apa ini soal tanggungjawab peminjam?”
“Kurang lebih gitu.” Jawabku. Setelah itu kami tiba di Lab Komputer. Untungnya, Pak Setio belum datang dan memulai jam pelajaran sehingga kami berdua tidak dianggap alfa.
Memasuki Lab Komputer, semua mata tertuju pada kami—lebih tepatnya pada Ari yang telah melakukan aksi heroiknya saat menolongku di lapangan—aku tidak tahu bagaimana kejadiannya. Dan yang pasti, perilaku Ari membuat para siswi terkesima. Lihatlah ekspresi mereka saat menatap Ari—seperti melihat salah satu pahlawan di film-film aksi Amerika.
Kemudian Rian mengangkat kedua alisnya saat berhadapan denganku. Dan dia mulai meledekku dengan kalimat, “Seorang Pangeran telah menyelamatkan Putri dari kutukan tidur abadinya!”
“Pendongeng handal!” Celetuk Ari seraya menarik kursi. Dia khawatir aku merasa tidak nyaman karena ledekan itu.
Namun, itu justru membuatku tertawa. Jika di Team Phoenix Rian seperti sosok yang dewasa dan berjiwa kapten, maka di kelas dia menjadi laki-laki yang rese. Boleh jadi Rian memiliki alter ego dan sifat aslinya itu ada pada Team Phoenix. Sebab dia sangat tidak cocok saat meledek diriku dan Ari.
“Mabar PB gak, Rik?” ucap Rian saat baru saja duduk di kursi.
“Gas!” Ari menjawabnya dengan penuh semangat. Dia mulai mengaktifkan komputer di hadapannya.
Aku mengembuskan napas. Mentang-mentang Pak Setio belum memasuki Lab Komputer, dua anak laki-laki ini sudah bermain game di pagi hari. Dan semoga saja Ari tidak toxic da membuat suasana ruangan yang damai dan tentram ini ricuh karenanya.
Sedangkan aku kembali membuka file naskah film yang belum aku selesaikan. Rian sudah mengerjakan bagiannya, sementara Ari belum sama sekali. Lihat saja! Setelah game-nya selesai, aku akan menghantuinya dengan tugas naskah film kelompok kami. Enak saja.
***
Ari selalu memanfaatkan kelebihanku yang suka mengkhayal dan membuat ide-ide cerita. Sehingga dia hanya berleha-leha saat diberi tugas kelompok. Karena aku kesal, aku memaksanya untuk mengerjakan bagiannya. Biarlah dia berpikir sendiri—apapun itu. Kemudian aku bisa merevisinya jika ada kalimat yang keliru.
Setelah pulang sekolah, kami ada agenda untuk ke rumah Fajar bersama. Kali ini kami tidak perlu mampir ke minimarket terdekat seperti biasa.
Dua motor yang kami kendarai berhenti di depan gerbang rumah mewah. Saat aku baru akan menekan tombol, seseorang membukakan gerbangnya.
Aku tersenyum—baru mengetahui neneknya Fajar—ibu dari Tante Ninda. Aku dan Ari kompak menunduk, kemudian mencium tangan beliau.
“Maaf sebelumnya, Mbah. Eh, kita temannya Fajar.”
Neneknya Fajar tersenyum pada kami. “Hp-nya ada di dalam. Kalian boleh masuk dulu.”
“Eh, kami bisa langsung pulang, Mbah.” Ari bersuara. “Udah sore, Mbah.”
Neneknya Fajar ber-oh pelan. “Kalau begitu kalian tunggu sebentar, ya.”
Kami berdua kompak tersenyum.
Begitu neneknya Fajar kembali memasuki rumah, aku menyikut lengan Ari. “Kenapa nolak tawarannya, sih?” bisikku.
“Nggak enak aja, Wa. Kita main tapi nggak ada Fajar.” Ari balas dengan kedua bahunya yang terangkat.
Aku terdiam, lantas menghela napas pelan. Apa yang diucapkan Ari ada benarnya juga.
Beberapa saat kemudian, neneknya Fajar kembali dengan kotak putih di tangannya. Tentu saja Ari meminjamkan ponselnya pada kami lengkap dengan kotaknya agar tetap aman dari benturan.
Kemudian neneknya Fajar memberikan kotak putih itu. Awalnya Ari ragu-ragu menerimanya, sehingga aku yang menerima kotak itu—walau bukan aku pemilik aslinya.
“Ini, Nak. Fajar bilang makasih banget. Gitu.”
Aku sedikit menundukkan kepala seraya tersenyum. “Iya, Mbah. Maaf kalau ganggu waktunya. Eh, Adik Ina di mana, ya, Mbah?”
Neneknya Fajar tersenyum. “Lagi bimbel. Nanti pulang jam lima sore.”
Aku mengangguk-angguk.
“Kalau gitu kita permisi dulu, ya, Mbah.” Ujar Ari—yang sepertinya tidak tahan berdiri di depan rumah itu.
“Eh, iya iya, Nak. Hati-hati di jalan, ya kalian.” Neneknya Fajar balas dengan ramah ucapan kami.
Kami bergantian mencium tangan neneknya Fajar. Boleh jadi beliau wanita yang berusia tujuh puluhan tahun. Tetapi penampilan beliau membuatnya tampak sepuluh tahun lebih muda.
Fajar memiliki keluarga yang beruntung. Dia dikelilingi oleh orang-orang yang selalu mendukung dan menyayanginya. Namun, takdir seperti menguji kehidupannya.
Aku memasukkan kotak ponsel itu di dalam jok motor Ari karena dia tidak pernah membawa tas saat ke sekolah. Kemudian kami menaiki motor masing-masing. Neneknya Fajar masih berdiri di dekat gerbang. Lagi-lagi kami menundukkan kepala saat pergi dari rumah itu dengan motor yang kami kendarai.
Di jalan, aku membuka kaca helm-ku, lalu bersejajar dengan motor yang Ari kendarai. “Kamu kenapa buru-buru, Rik?” aku sedikit mengeraskan suara.
“Nggak enak aja. Sungkan.” Balas Ari.
Aku pun tak lagi menjawab. Dan saat itu aku menyadari apa yang Ari maksud. Sebenarnya dia ingin ponsel itu tetap ada di tangan Fajar—karena Ari tahu, Fajar pernah bermain game di ponselnya—selain di komputer. Namun, Fajar sendiri berkata kalau dirinya hanya meminjam, bukan mengambil alih barang milik Ari. Sehingga barang itu harus dikembalikan ke pemilik asalnya.
Aku sengaja memperlambat laju motorku, sehingga Ari mendahuluiku di depan. Biarlah dia berperang pada pikirannya sendiri yang suka berbagi itu. Sementara di sisi lain, ada orang yang begitu mempertahankan rasa tanggungjawabnya.
***