Ponselku berdering saat aku baru saja tiba di rumah. Aku merogoh saku jaket, melihat nama di ponsel itu, lantas langsung menghela napas. “Halo?”
“Wawa? Kenapa telepon? Maaf banget habis main game di PC.” Di seberang sana, suara Ari terdengar cemas.
Aku menepuk dahi, sembari berjalan ke teras rumah, “Tadi mau ngajak kamu ke rumahnya Fajar. Tapi kamu nggak bisa ditelepon.” Balasku.
“Aduhh… Maaf banget, ya, Sayang. Jangan marah.”
Aku nyaris muntah mendengar panggilan itu. “Lebay! Lagian masih pagi kok udah main game, sih? Sampe jam dua belas baru telepon aku?”
“Mumpung hari Minggu.”
Aku menghela napas kasar.
“Gimana kabar Fajar?”
“Kurang tepat kalau dibilang baik-baik aja. Pokoknya sedang lah.” Jawabku seraya membuka pintu lantas memasuki rumah.
“Besok pulang sekolah kita jenguk dia, mau, nggak? Sama aku.”
“Jangan. Biar Fajar istirahat,. Capek nerima banyak tamu. Apalagi tamu kayak kamu.”
Terdengar tawa Ari yang terbahak-bahak melalui ponsel—sampai pekak telingaku.
“Orang gila.” Timpalku.
“Iya, Wa. Aku gila karena kamu.” Kikik Ari.
“Aku udah muak!” teriakku, lantas kututup telepon itu secara sepihak—ah, aku melupakan prinsipku sendiri saat ada seseorang yang menelepon.
Kemudian ponselku kembali berbunyi. Karena masih kesal dengan godaan Ari yang terasa muak, aku menggeser tombol biru dan menjawab telepon dari Ari.
“Apa, sih, Rik?!” sungutku.
“Wa…” tiba-tiba suara Ari terdengar gemetar.
Amarahku perlahan mereda, perasaanku berubah seketika. “Kenapa, Rik?” tanyaku dengan lembut.
“Fajar, Wa… barusan Mamaku ditelepon sama bundanya Fajar.”
Dahiku terlipat. “Fajar kenapa, Rik?”
“Jatuh dari tempat tidur."
***
Ari menjemputku setelah kuajak untuk melihat kondisi Fajar di rumahnya. Tentu saja kami cemas. Ari berkata saat mendengar telepon mamanya, bahwa Fajar tak sadarkan diri setelah jatuh dari tempat tidurnya.
Aku dan Ari sampai di rumah mewah itu—terik matahari menyengat kulit tubuh. Pagar rumah Fajar terbuka, jadi kami bisa memasuki rumah mewah itu tanpa menekan bel.
“Permisi,” ucapku yang merasa bersalah karena memasuki rumah orang tanpa izin.
Aku tahu di mana letak kamar Fajar. Aku refleks menggandeng tangan Ari saat berlari, kemudian sampai di ambang pintu, aku menghentikan langkah karena melihat Tante Rani bersama Mbak Tina dan kedua perawat yang lain menyiapkan beberapa perlengkapan medis. Sementara tubuh Fajar terlentang tak berdaya di atas tempat tidurnya.
Lalu aku mendapati Tante Ninda yang menangis sesenggukan di dinding ruangan.
Kami melihat Tante Rani cekatan mengobati Ari.
“Tidak ada masalah serius. Bekas operasinya tetap utuh, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Ucap Tante Rani.
Aku menghela napas, aku baru menyadari bahwa Ari merangkul pundakku yang juga merasa lega mendengar kondisi adik kelas kami itu.
Kemudian mata Tante Rani tertuju pada sosok kami yang ada di ambang pintu.
“Kalian?” ujarnya dengan keheranan. “Ngapain ke sini, Arik? Sama Mbak Wawa juga?” nadanya benar-benar lembut walaupun kelihatannya marah.
Suara Tante Rani terdengar juga di telinga Tante Ninda. Beliau juga menyadari kehadiran kami. Saat itu juga, Ari melepaskan tangannya dari pundakku.
Ari menyeringai lebar. “Maaf, tadi denger telepon Mama. Khawatir aja sama Fajar.”
Tante Rani menghela, lalu lanjut mengurus pasiennya.
Seorang wanita berambut sebahu menghampiri kami di ambang pintu. “Maaf, udah bikin kalian khawatir…”
“Kita juga minta maaf, Tante, karena udah nggak izin kalau masuk rumah ini…” ujarku seraya sedikit menundukkan pandangan.
Tante Ninda tersenyum. “Makasih banget, ya. Karena udah khawatir sama Fajar.”
“Kronologinya gimana, Tante?” tanya Ari.
Wajah Tante Ninda terlipat sedih. “Barusan Tante ke dapur ngambil bubur kesukaan dia. Waktu itu para perawat juga lagi nggak ada di rumah ngambil perlengkapan medis di rumah sakit. Terus Tante ke kamarnya Fajar, nggak tahunya di udah ada di lantai, nggak sadar.”
Dahiku terlipat, mataku berkaca-kaca membayangkannya.
“Kata Mama, Fajar baik-baik aja, kan? Nggak ada masalah serius.” Ujar Ari dengan maksud menenangkan hatiku dan hati Tante Ninda yang khawatir.
Aku mengangguk-angguk, begitu juga dengan Tante Ninda.
“Kalau gitu kita permisi dulu, Tante…” ucapku. Karena Fajar sedang beristirahat dan aku tidak mau mengganggu ketenangannya.
Tante Ninda mengangguk seraya tersenyum. Setelah mencium tangan Tante Ninda, aku balik kanan, berjalan keluar dari rumah mewah ini. Ari juga melakukan hal yang sama sepertiku.
Saat sampai di gerbang, langkah kakiku terhenti.
“Rik,” kataku. “Makasih udah mau nemenin ke sini.”
Lelaki itu tersenyum lebar. “Aku senang karena bisa bantu kamu, Wa. Aku juga khawatir sama kondisi Fajar. Takut aja.”
Aku mengangguk samar.
“Mau pulang?”
“Nggak dulu.”
“Terus ke mana?”
“Kamu aja yang pulang. Aku bisa jalan-jalan nenangin diri.” helaku.
Mendengar kalimatku, dahi Ari terlipat. “Ya jangan gitu dong, Wawa. Cuaca lagi panas-panasnya. Aku juga nggak tega ninggalin kamu sendirian di jalanan.”
Aku menghela napas. Angin panas berembus menembus kulit wajahku.
“Kamu mau ke mana? Aku antar.” Tanya Ari.
Mataku memicing karena terik matahari di langit.“Bukannya kamu sibuk, ya?”
“Sibuk apa, orang cuma main game.”
Aku tersenyum. “Makasih, Rik. Bisa anterin aku ke toko buku?”
“Buat?”
“Ya beli buku, lah. Masa ke toko buku beli kue?”
Ari terkekeh mendengar leluconku. “Kirain mau foto-foto.”
Kemudian Ari menyalakan motornya. Aku naik di jok belakang dan motor yang kami tumpangi itu melaju dengan mulus ke jalanan. Aku tahu toko yang menjual buku-buku anti bajakan yang jaraknya lumayan dekat. Setelah sampai di tujuan, Ari menghentikan motornya. Kemudian aku turun dan memasuki toko. Ari juga ikut masuk untuk menemaniku atau sekedar melihat-lihat.
“Kamu suka buku, Wa?” tanya Ari.
Sembari melihat-lihat rak buku, aku menjawab. “Suka, dong. Biasanya buku fiksi.”
Ari mengangguk-angguk. “Kamu mau beli buku yang mana? Aku bayarin.”
“Nggak boleh. Aku punya uang sendiri.” Tolakku dengan tegas. Karena aku tidak mau terus-terusan bergantung pada Ari—walaupun uangnya banyak. Aku merasa sungkan saja walau kami berteman sejak kecil.
Ari menggaruk tengkuknya. “Kalau gitu aku traktir mie kesukaan kamu aja, gimana?”
Aku menoleh pada laki-laki itu. “Nggak. Aku lagi breakout. Nggak boleh makan junk food.”
Ari mengeluh pelan. “Ya terus aku beliin kamu apa, lho?”
“Bayarin parkirnya aja.”
Kemudian Ari menoleh pada halaman parkir di depan toko buku ini. Ada tukang parkir yang menjaga kendaraan para pengunjung, baik yang baru datang maupun yang akan pergi dari daerah toko.
“Ya elah, Wa. Parkir cuma dua ribu.”
“Iya. Aku bawa uang pas. Takutnya kurang.”
Ari menghela napas. “Ya udah deh. Kalau kamu suka.”
Aku tersenyum, lanjut fokus mencari buku yang bisa aku baca untuk mengisi waktu luang (selain bermain game). Karena aku sudah banyak memiliki buku fiksi, aku mencari buku non-fiki seperti self improvement. Kemudian aku menemukan salah satu buku yang menarik untuk kubaca. Dengan cepat aku mengambilnya, lantas pergi ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran.
Selesai pembayaran, aku menerima bungkusan plastik yang berisikan buku itu. Kemudian aku melangkah keluar dari toko, menuju ke motor Ari di parkiran.
Pertama, Ari telah membayar uang parkir sebesar dua ribu rupiah dengan wajah cemberutnya. Aku terkekeh melihat ekspresinya itu. Kemudian Ari menaiki motornya, disusul aku yang duduk di jok belakang.
“Udah?” tanya Ari
“Hm.”
“Ke mana sekarang?”
“Pulang aja.”
“Siap, Kanjeng Ratu.”
Aku tertawa kecil. Kemudian Ari melajukan motornya ke jalan. Siap mengantarku pulang ke rumah.
Selama di perjalanan, kami tidak banyak bicara. Karena Ari tahu aku tidak suka diajak bicara ketika sedang berada di jalan. Namun, Ari menyanyikan lagu berbahasa Inggris dengan logat daerahnya. Setidaknya dia membuatku terhibur setelah dibuat cemas.
“Please don’t be in love with someone else
Please don’t have somebody waiting on you…”
“Katanya nggak bisa bahasa Inggris?” kekehku.
“Nggak suka pas pelajarannya doang.” Jawab laki-laki itu.
“Oh, ya. Barusan yang kamu nyanyiin itu buat siapa?”
Ari menggeleng. “Nggak ada. Cuma lagu doang.”
Aku tahu Ari berbohong. Karena Ari selalu melakukan sesuatu dengan alasan yang tepat. Aku jadi merasa bahwa jawaban-jawabannya di tempo waktu adalah kebohongannya.
“Emang kamu tahu arti liriknya?” tanyaku—yang aku sudah tahu. Karena lagu yang dinyanyikan Ari termasuk lagu kesukaanku dan sering aku dengar ketika jam istirahat di sekolah melalui earphone.
“Iya dong.”
“Coba artiin.”
“Yang mana?”
“Yang terakhir.”
Motor yang kami tumpangi itu masih melaju dengan mulus di jalanan. Aku merasakan angin sekaligus terik matahari di musim panas. Terutama ketika aku mendengar suara dari sahabat masa kecilku ini.
“Kumohon jangan menjalin cinta dengan yang lain
Kumohon jangan beri harapan pada orang lain…”
***
Di rumah, aku menyendiri di dalam kamar pada malam musim panas. Bertahun-tahun, aku tak pernah menyangka jika teman masa kecilku itu sudah jatuh kepadaku. Namun, aku percaya itu hanyalah lagu, bukan perasaan Ari yang sebenarnya untuk diriku.
Salahkah aku tidak membalas perasaannya yang sama? Ari sudah merusak hubungan pertemanan kami dengan perasaan yang jauh berbeda maknanya. Dan aku… masih bertanya-tanya kepada diriku.
Siapa yang aku cintai?
Baik. Ini kisahku, kisah bagaimana aku menemukan makna cinta yang sebenarnya. Aku pernah jatuh cinta—hanya selevel mengagumi tanpa ingin memiliki saat SMP—masa di mana remaja baru saja pubertas dengan pemikiran naifnya. Namun, rasa itu menghilang ketika seseorang yang aku kagumi memiliki kekasih, atau bahkan bertingkah laku yang membuatku ilfeel melihatnya.
Aku menyadari, itu bukanlah rasa cinta, hanya kagum saja.
Namun, perasaan Ari kepadaku bukan rasa kagum lagi. Dan aku tidak mau membuatnya berharap lalu kecewa karena aku tak bisa membalas perasaannya.
Baik. Setelah lama merenung, aku membuka segel plastik buku yang aku beli, lantas membacanya karena aku tidak tahu harus berbuat apa. Latihan bersama Team Phoenix? Kami telah sepakat bahwa hari Minggu tidak ada latihan, bebas untuk beristirahat atau melakukan aktivitas lainnya.
Karena aku biasanya membaca buku novel, mataku jadi jenuh saat membaca buku non-fiksi. Benar. Malam itu aku tertidur.
Kujalani hari Senin ini dengan suka cita, pun seperti har-hari berikutnya. Sejenak kulihat nomor WhatsApp Fajar yang masih belum aktif sejak beberapa minggu yang lalu. Aku yakin, Fajar boleh jadi bermain ponsel tetapi tidak membuka WhatsApp agar teman-temannya tidak khawatir terhadap dirinya.
Ah, tiba-tiba saja aku berasumsi seperti itu.
Aku sampai di sekolah pada pukul 6.30. Karena ada upacara, aku sudah sarapan dan membawa botol minum dari rumah. Sehingga aku tak perlu ke kantin untuk membelinya. Kemudian aku melihat Ari yang membantu menyiapkan sound system di lapangan bersama anggota OSIS.
Beruntungnya, dia tidak menyadari kehadiranku. Ari sibuk dengan kabel-kabel di tangannya dan aku pun segera menaiki tangga lalu memasuki kelasku.
Eh?
“Halo, Najwa!” Rian menyapaku—aneh sekali raut wajahnya. “Gimana kemarin? Lancar?”
Aku mengernyit heran, seraya menggeleng. Sementara kulihat ekspresi wajah siswi di kelasku yang tidak bersahabat saat menatapku.
“Maksudnya?” tanyaku pada Rian.
“Pake nanya lagi. Kamu jadian sama Arik, kan?”
Aku menganga lebar, lantas menggeleng-geleng samar. “Nggak lah!”
“Kemarin aku ketemu kamu sama Arik lagi di jalan, boncengan pake motor.” Rian kembali berbicara.
“Enggak, Yan!” jawabku seraya melangkah maju ke bangkuku. “Kita ke rumah Fajar, terus ke toko buku. Bukan kayak yang kamu pikirkan.” Jawabku dengan ketus.
Rian menghela napas, kecewa. “Yah, kirain dah jadian.”
“Nggak ada.” Ketusku. Kudengar para siswi di kelas ini turut menghela napas lega saat tahu aku dan Ari tidak ada hubungan pacaran seperti yang Rian kira.
Kemudian aku keluar dari kelas. Rian mengikutiku di belakang dengan raut wajah yang berbeda. Syukurlah dia tidak membicarakan tentang aku dan Ari.
“Kabar Fajar gimana?” tanya laki-laki itu.
Aku mengangguk. “Kemarin dia jatuh dari tempat tidur. Katanya, sih, nggak ada masalah serius.”
Wajah Rian terlipat sedih—aku bisa meneliti dari samping. “Kamu sama Arik jenguk Fajar kemarin, Wa?”
Aku menggeleng pelan. “Waktu pagi, aku jenguk sendirian karena Ari nggak bisa ditelepon. Terus aku dapat kabar dari Ari melalui mamanya, kalau Fajar jatuh. Mulai dari situ, kita ke rumah Fajar, tapi kita langsung pergi biar Fajar istirahat setelah tahu kabarnya. Terus aku ke toko buku sama Arik. Nggak ada hubungan apapun, selain sahabat.” Jelasku pada Rian.
Rian mengangguk-angguk. “Syukurlah kalau Fajar nggak apa-apa.” Terus dia menyeringai lebar. Tanda topik obrolannya berubah. “Tapi Arik suka sama kamu, kan, Wa? Kenapa kalian nggak pacaran aja, sih? Biar murid cewek di sekolah patah hati semua.”
“Nggak. Emang pacaran sepenting itu, kah?” kataku dengan tegas. “Lagian aku Cuma anggap Arik sahabat, kami kenal sejak kecil. Dia emang suka sama aku, tapi aku nggak.”
“Yah, kasihan dong Arik.” Rian terkekeh.
Aku mengangkat kedua bahuku, lalu menuruni tangga, siap membuat barisan di lapangan karena upacara bendera akan dimulai sebentar lagi.
***
Selalu tinggal di dalam rumah benar-benar membuat laki-laki berusia enam belas tahun itu merasa jenuh. Setelah insiden jatuh dari tempat tidur kemarin karena ingin mengambil ponsel yang tersimpan di kotak nakas, dia dijaga selama dua puluh empat jam oleh Bunda.
Kini, dia ada di teras rumah dengan kursi roda yang sudah menjadi temannya. Walau bukan ibu kandungnya, Ninda merasa senang ketika mengobrol dengan Fajar. Karena mereka satu frekuensi.
“Bilang aja ke Bunda kalau kamu pengen main hp, Nak. Bikin orang cemas aja.” Ujar Ninda
Fajar menyeringai lebar. “Maaf, Bun. Udah lama gak pegang hp. Jenuh.”
Nina menghela pelan. “Tapi jangan sampai stress, ya. Jangan main game Ancient apalah itu. Bunda selalu lihat kamu marah-marah karena game itu. Pokoknya kamu harus santai, jangan mikirin beban apapun.”
“Iya, Bunda. Udah nggak main AL lagi.” Fajar membela diri. Lalu dia membuka ponsel yang sudah lama tidak ada di tangannya, lantas menekan aplikasi berwarna hijau untuk memberitahu seseorang.
Ninda melongokkan kepalanya. “Mau chat-an sama siapa, tuh?”
Fajar langsung menekan tombol power—layar ponselnya mati. “Nggak kok, Bun. Cuma ngecek kabar di grup kelas aja.”
“Hmmm yakin?” Ninda tersenyum, meledek anak itu. “Yakin cuma ngecek?”
Fajar menyeringai dengan wajah memerah. Aduh, dia salah tingkah.
“Kamu boleh cerita ke Bunda, kok, Nak. Soal cewek.” Ninda tersenyum seraya bersedekap.
“Eh? Em, ng-nggak, Bun… nggak ada.” Fajar menggeleng-geleng, tanpa menatap wajah Ninda di sebelahnya.
“Terus cewek yang kemarin ke sini itu siapa, hayo?”
Fajar tersentak pelan. “Eh, Najwa? Dia… temen satu tim aku. Kita kenal lewat game, Bunda. Nggak tahunya kita satu sekolah. Terus aku disuruh ikut turnamen sama temennya yang satu lagi itu.”
Ninda mengangguk-angguk. Dia tahu kalau Fajar mengikuti turnamen di Surabaya untuk mewakili sekolahnya. Namun, karena halangan besar ini, dia tidak akan ikut jika Team Phoenix masuk sampai final.
“Oh, yang anaknya Dokter Rani?”
“Iya, Bunda.”
“Berarti kamu sama Najwa baru aja kenalnya, ya?”
“Iya, sih…”
“Tapi Najwa kayak udah akrab, ya, sama kamu. Kayak udah lama kenalnya gitu. Dia perhatian banget sama kamu, lho.” Ujar Ninda, dengan maksud memancing putra sambungnya itu untuk bercerita mengenai Najwa.
“Emang kelihatannya gitu, Bun?” Fajar terkekeh pelan.
Ninda menyamankan posisi duduknya. “Menurut kamu?”
***
Sejak jam kelima, murid di kelas kami ada di Lab Komputer untuk mengedit gambar dan membuat logo sebagai tugas harian untuk mata pelajaran ‘Desain Grafis’. Dan saat aku menyelesaikan semua tugasnya, aku menyetel YouTube, atau bermain game MOBA di PC milik sekolah—bukan Ancient Legends. Sesekali Ari penasaran, dia melihatku bermain dengan payah di PC itu.
“Main MOBA di PC kalau basic MOBA kamu pake analog, pasti susah, Wa.” Ujar Ari.
“Iya. Lagian ini cuma nyoba aja, kok.” Ucapku dengan pandangan yang masih tertuju pada layar monitor.
Ari terus melihatku bermain. Sesekali Ari tertawa ketika melihat karakterku mati menabrak tower musuh. Itu karena tangan kanan dan kiriku yang tidak sinkron.
Satu jam kemudian, bel pulang berbunyi. Aku tidak lupa mematikan komputer sebelum meninggalkannya. Lalu aku mengambil tas di kelas—begitu juga dengan teman sekelasku yang lainnya.
Kemudian aku merogoh saku, sudah beberapa jam aku tidak membuka ponsel. Namun, sebuah notifikasi sekitar tiga jam yang lalu membuatku menganga lebar.
Di sebelahku, ada Ari yang penasaran melihatku bergeming di tepi koridor. “Kenapa, Wa?”
“Fajar WA aku!” ujarku dengan semangat. “Tiga jam yang lalu.”
“Iya, kah? WA gimana?” tanya Ari penasaran, namun raut wajahnya sedang tidak bersahabat.
“Halo, Wa. Gimana kabar kamu? Aku baik-baik aja di sini. Gitu.” Balasku dengan senyuman lebar yang masih terpasang di wajah.
Ari mengangguk-angguk. “Oh.” Kemudian dia pergi meninggalkanku yang senyum-senyum sendiri di tepi koridor.
Aku tidak menghiraukan Ari yang boleh jadi saat itu sedang merajuk padaku. Aku merasa bahagia ketika Fajar mengirimku sebuah chat melalui WhatsApp. Dan aku pun membalasnya,
Me : Halo alo juga, Jar. Maaf baru bales, tadi sibuk di Lab😃
Me : Syukurlah kalau kamu baik-baik aja. Besok aku mau jenguk kamu sama Team Phoenix. Bisa, nggak, ya?😁
***