- 2023 VenatorNoxRead More >>"> Daybreak (8. About He That I Never Know) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Daybreak
MENU
About Us  

Walau perasaan hatiku membaik setelah tahu kabar Fajar, tetapi tetap saja pikiranku melayang ke mana-mana mengenai penyakit yang diderita oleh adik kelasku itu. Di atas kasur sebelum waktuku tidur, aku memikirkan ucapan Fajar bahwa besok dia menjalankan operasi saat pagi hari.

Dan sepanjang perjalanan pulang, Ari terus menyuruhku untuk positif thinking, dan berdo’a agar semua proses operasi Fajar berlangsung lancar. Dan aku tersenyum saat Ari berkata,

“Mamaku dokter yang hebat, lho, Wa.”

Tante Rani memang dokter yang hebat. Ibuku berkata kalau Tante Rani menjadi dokter dua tahun sebelum Ari dilahirkan.  Dan aku tidak perlu cemas karena Fajar mendapatkan penanganan dari dokter yang sudah handal di dunia medis.

Pagi hari, dan pada hari-hari selanjutnya, kujalani seperti biasa. Dan itu rasanya aneh sekali jika aku tak berjumpa pada Fajar. Ari selalu menghiburku, bahkan terang-terangan mengajakku ke kantin. Ada dua reaksi dari teman sekelas kami: teman laki-laki bersorak cie cie, dan teman perempuan cemberut kesal melihatku. (jujur saja, aku tidak suka reaksi keduanya).

Aku mendengar kabar dari Ari melalui mamanya, bahwa operasi Fajar berjalan dengan lancar. Namun, kemungkinan untuk sembuh dari penyakitnya masih belum sepenuhnya yakin. Karena penyakitnya itu telah memasuki stadium ke-tiga.

Hari Minggu, hari turnamen. Di mobil yang dikendarai Ari, aku tak sabar untuk segera bertanding. Karena melihat auraku yang ceria, teman-temanku juga ikut ceria. Bahkan Ari tak perlu menyemangati diriku yang terlanjur bersemangat.

Game pertama, kami kalah. Lalu di game kedua, kami memenangkan pertandingan dengan kurang lebih tiga puluh menit lamanya. Team Phoenix dan musuh pun seri. Akhirnya dibuat game ke-tiga. Dan Team Phoenix memenangkan pertandingan terakhir dengan susah payah.

Jujur saja, tanganku sampai berkeringat. Benar-benar game yang memacu andrenalin. Babak kedua itu sudah membuat jantung kami berdegub kencang. Sementara babak ketiga berlangsung tiga minggu lagi. Dan kami bisa memiliki waktu untuk berlatih dan menganalisis kehebatan musuh yang akan kami hadapi kedepannya.

Di dalam mobil saat perjalanan pulang ke Sidoarjo, aku berencana untuk menjenguk Fajar di rumah sakit. Namun, Ari melarangku karena,

“Mamaku bilang, jangan disamperin dulu. Dia butuh waktu istirahat. Katanya, sih, nambah izin tiga minggu nggak masuk sekolah.”

Aku melongo. “Jadi dia nggak bakalan masuk selama sebulan, dong?”

Ari mengangguk. “Mamaku bilang kalau habis di operasi nggak boleh terlalu banyak ngelakuin aktivitas. Bener-bener harus istirahat total pokoknya.”

Aku, Yaya, Rian, dan Guntur mengangguk-angguk.

“Terus Fajar putus sekolah gitu?” tanya Guntur.

“Ya nggak lah. Paling home-schooling.” Jawab Rian. “Eh, Fajar tinggalnya di rumah sendiri atau di rumah sakit, Rik?”

“Di rumahnya sendiri, lah. Sama dijagain perawat. Orang kaya mah bebas.”

“Kalau kaya, kenapa nggak berobat ke Singapura atau negara-negara yang teknologi medisnya lebih maju, ya?” Yaya bertanya.

Kudengar Ari mengembuskan napas kasar. “Terlambat. Mamaku bilang, Pak Dani—ayahnya Fajar baru aja tahu kalau anaknya punya kanker otak waktu Fajar kelas sembilan SMP. Itu udah stadium dua. Pak Dani langsung jemput Fajar ke Karawang buat berobat ke sini, sekalian dirawat sama bundanya—atau ibu sambungnya.”

 “Gimana gimana?” ujar Yaya yang kepalanya masih kebingungan—aku juga. “Fajar dijemput? Maksudnya apa?”

“Aduh… ini masalah keluarganya, Ya.” Jawab Ari dengan keluhan. Aku tahu sifat Ari yang tidak suka membicarakan orang lain. Namun, Ari memilih untuk bercerita agar teman satu tim Fajar tahu tentang dirinya. “Ayahnya Fajar itu nikah sirih sama bundanya yang asli orang sini—katanya Fajar masih sepuluh tahun waktu ayahnya nikah lagi. Fajar sama ibunya di Karawang. Terus ibunya meninggal waktu Fajar kelas delapan, dan ayahnya nggak tahu kalau istri pertamanya meninggal.”

Kami semua terdiam, terutama aku yang melongo menatap wajah Ari yang masih fokus menyetir sembari bercerita.

“Pak Dani tahu kalau Fajar lagi sakit itu karena tantenya yang asli sana ngabarin lewat akun Instagram.” Imbuh Ari. “Itu cerita dari mamaku.”

Kami merasa iba. Rupanya kehidupan Fajar tak semulus yang kami kira.

“Berarti Fajar masih baru aja, ya, sama Sidoarjo?”

Ari mengangguk mendengar pertanyaan Rian. “Mamaku bilang, Fajar itu masih polos. Tapi hatinya tulus. Aku sampe ditegur sama Mama kalau nggak boleh ngajarin Fajar yang enggak-enggak.”

Aku mengulum bibirku yang terasa kering.

“Yang enggak-enggak? Contoh?” tanya Guntur—yang membuat suasana seisi mobil kembali ceria. Dia benar-benar moodbooster di tim kami.

“Ya merokok, mabuk diem-diem, terus toxic waktu main game. Itu enggak banget.” Jawabku—yang sekaligus menjadi teguran untuk sahabat masa kecilku itu.

Ari hanya menyeringai. Sedangkan Guntur, Yaya, dan Rian tertawa melihat raut wajah si tunggal kaya raya itu dari kaca spion di dalam tengah mobil.

“Aku dengar dari Bu Finda—guru Bahasa Indonesia yang juga walikelasnya Fajar, guru-guru di sekolah kita ada rencana buat jenguk Fajar hari Sabtu nanti, terutama walikelas sama temen sekelasnya.” Ujar Yaya.

“Wah. Pasti rameh tuh.” Timpal Guntur.

“Emangnya Fajar udah pulang? Kan, nggak boleh rame-rame ke rumah sakit.” Tanyaku.

“Udah, Wa. Hari ini dia dibolehin pulang, plus ada tiga perawat yang siap siaga di rumahnya.”

Aku ber-oh pelan. Lega mendengarnya.

 

***

 

Hari Senin, kujalani dengan semangat. Pun pada hari-hari berikutnya. Aku bersama Team Phoenix sering mabar sekaligus melatih chemistry saat sore hingga malam pukul 9. Bagaimanapun juga pertandingan babak ke-tiga akan berlangsung dua minggu lagi dari sekarang.

Pukul 8 pagi, kutelepon nomor Ari—aku mengajaknya untuk menjemput Fajar di hari Minggu ini. Aku sudah lama tidak menemuinya, dan aku pun menyadari bahwa hatiku sedang merindukan wajah dan kelembutan suaranya. Karena nomornya tidak bisa dihubungi, aku pun berangkat ke rumah Fajar sendirian dengan motorku.

Sembari membawa tas kresek besar berisikan buah-buahan dan roti, aku menekan bel di tiang pagar sebuah rumah yang cukup mewah—bahkan lebih mewah dari rumah Ari. Namun, aku tidak bisa mengukur kekayaan di antara keluarga Fajar dan Ari. Karena aku tidak ahli dalam hal itu. Pun juga tidak penting untuk membahasnya.

Pintu pagar dibuka oleh seorang perawat. Aku tersenyum dan menyapa, “Selamat pagi, Mbak—Ibu—eh. Suster…” lidahku selalu saja salah bicara jika berhadapan dengan orang baru.

Perawat itu terkekeh. “Panggil Mbak aja, masih muda nih.”

Wah. Aku terkejut sekaligus senang kalau perawat itu cukup gaul seperti anak-anak muda kebanyakan. “Selamat siang… Mbak?”

“Tina. Sepupunya Dokter Rani.”

Aku menganga. “S-sepupunya Tante Rani?”

Perawat itu—Mbak Tina terkekeh. “Masa nggak kenal Mbak Tina, sih, Najwa? Dulu Mbak suka gendong kamu pas masih kecil. Terus Mbak suka lerai kamu waktu bertengkar sama Arik.”

Aku menggeleng pelan. Karena aku benar-benar tidak ingat—lebih tepatnya ingatan tentang Mbak Tina memudar di kepalaku. Namun, aku ingat Ari pernah bercerita kalau dia memiliki tante yang pernah kuliah di luar kota dan bekerja sebagai perawat di RSU. Jarak usia Mbak Tina dan Tante Rani terpaut sepuluh tahun. Tentu saja saat aku bayi, boleh jadi Mbak Tina masih remaja.

“Kenapa masih berdiri? Ayo masuk.” Mbak Tina membuka lebar-lebar pintu pagar, mempersilakan diriku untuk lewat.

Aku terkekeh masam sembari berjalan di tanah rerumputan hijau. “Mau jenguk Fajar, Mbak. Tadinya mau ngajak Arik juga, tapi ditelepon dia nggak diangkat.”

Mbak Tina tertawa kecil. “Palingan dia lagi main game FPS di komputer. Biasanya gitu.”

Aku manggut-manggut. Masih pagi sudah bermain game? Aduh, si Ari itu benar-benar maniak game.

“Nyonya Ninda, ada tamu.” Ucap Mbak Tina—dan aku baru tahu nama bundanya Fajar setelah mendengar dari bibir Mbak Tina.

Seorang wanita berambut sebahu keluar dari rumah, menyambutku ramah. “Halo, Najwa.”

“Halo, Tante.” balasku dengan balik menyapanya.

“Ayo masuk, jangan diluar.”

Aku menyeringai, lantas memasuki rumah mewah itu dan duduk di kursi sofa seraya meletakkan bingkisan yang aku bawa di atas meja. “Tante, ini buat Fajar. Enggak seberapa tapi semoga Fajar suka.”

Tante Ninda tersenyum hangat. “Ehh, makasih banyak, lho, Najwa. Ngerepotin banget jadinya...”

"Sama sekali enggak repot, kok, Tante..." aku terkekeh.

“Fajar ada di belakang rumah, lagi cari udara segar. Najwa bisa nyamperin dia kalau mau.”

Aku tergugah. Refleks mengatakan, “Mau banget, Tante.”

Tante Ninda dan Mbak Tina yang masih ada di ruangan itu terkekeh melihat ekspresiku.

 

***

 

Setelah Mbak Tina mengantarku ke tempat di mana Fajar berada, Mbak Tina pergi karena tidak mau mengganggu urusan kami anak remaja. Serta ada beberapa hal yang harus diurus Mbak Tina karena dua rekan perawatnya yang lain masih belum datang.

Di halaman belakang rumah dengan tanah rerumputan hijau dan beberapa pohon mangga, aku menemukan sosok yang kucari, duduk di kursi roda sembari memangku buku dan earphone yang terpasang di lubang telinganya. Aku tidak terkejut saat melihat Fajar mengenakan topi rajut untuk menutupi kepalanya yang sekarang tak ada satu pun helai rambut—aku belum melihat, tetapi aku tahu dengan pasti.

Aku tersenyum. Awalnya Fajar tidak menyadari kehadiranku karena asyik membaca buku dengan alunan musik di telinganya. Kemudian aku menepuk pelan bahunya. Dia langsung memekik dan menoleh kepadaku.

Aku tersenyum. “Hi.

Raut Fajar seperti tidak menyangka akan kedatanganku. Kemudian dia melepas earphone-nya. “Najwa?”

Aku mengangguk, lantas tertawa. “Howdy?”

Laki-laki itu terkekeh pelan, lalu mengangguk. “Definitely fine. Gimana Team Phoenix di babak ke-dua?”

Aku tersenyum lebar sembari mengacungkan dua jempol. “Kita menang, dengan susah payah.”

“Maaf, aku nggak bisa lihat kabar kalian. Soalnya aku nggak dibolehin main hp dan aku nggak tahu kabarmu—eh, kabar kalian semua.”

Aku mengangguk-angguk, lalu menekuk lutut di depan kursi roda yang didudukinya. “Enggak apa-apa, kok. Babak ke-tiga dua minggu lagi.”

Fajar mengembuskan napasnya. “Kayaknya aku bisa ambil bagian.”

Aku tersenyum, senang karena melihat antusiasme Fajar, namun ada juga yang aku khawatirkan. “Tapi gimana kesehatan kamu? Pemulihan operasi butuh waktu lama, kan?”

Laki-laki itu tersenyum simpul, lalu tersenyum. “Oke deh. Aku lihat aja dari jauh.”

Halaman belakang rumah mewah itu lengang. Aku tidak suka jika mengalami situasi seperti ini jika sedang asyik-asyiknya mengobrol dengan lawan bicaraku.

“Buku apa, tuh?” Aku tiba-tiba kepikiran untuk menanyakan hal itu—sekaligus memecahkan keheningan.

Fajar menutup buku itu, sehingga aku bisa melihat sampulnya.

“Buku non-fiksi?” tanyaku.

Lelaki itu tersenyum. “Setidaknya ini yang aku bisa… bikin diriku bersemangat. Aku nggak boleh kelihatan sedih di depan Bunda, Ayah, adik, sama temen-temenku yang lain, termasuk kamu, Wa.”

Mataku mengerjap-erjap sebab menahan air mata agar tak menitik ke pipi.

“Di sini aku berjuang, Wa. Tentu aja. Tapi rencana Tuhan itu nyata, aku tinggal ngejalani dan sabar aja.” Imbuhnya.

Tenggorokanku terasa tercekat, tak sengaja air mataku jatuh dan aku langsung mengusapnya saat arah pandang Fajar tertuju pada buku di pangkuannya.

Kemudian Fajar menoleh padaku. “Ingat, Wa. Kamu harus menjaga tubuh kamu sebaik mungkin. Karena itulah harta terbesar yang dimiliki manusia.”

Aku mengangguk-angguk, setuju dengan pendapat Fajar. Namun, ucapannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. Benar yang dikatakan Tante Rani melalui Ari, bahwa Fajar memiliki hati yang tulus.

“Aku udah tahu tentang kamu, Jar. Dari Arik.” Ucapku pelan.

Kulihat dahi Fajar terlipat, kemudian dia tersenyum tipis setelah menyadarinya. “Bagus kalau Mas Arik yang cerita, jadinya aku nggak perlu cerita. Panjang banget.”

Aku tersenyum simpul. “Kenapa kamu nggak berobat ke Jakarta aja dari pada di sini?” tanyaku.

“Udah, Wa. Cuma, ya… nggak ngatasin.”

“Soal?”

“Pengurus.”

Aku ber-oh pelan, lalu tersenyum.

“Biasanya aku berobat di Surabaya, tapi karena kondisi darurat, aku dibawa ke RSU kota ini. Terus aku ketemu Dokter Rani yang ternyata mamanya Mas Arik. Aku seneng banget karena Dokter Rani, aku bisa cerita banyak hal ke beliau.” Kemudian Fajar mengusap hidungnya—gatal.

Aku mengangguk setuju. “Tante Rani emang baik orangnya, humble juga.” Lalu aku berdiri dari jongkokku karena tumitku terasa pegal.

“Oh, iya, Wa,” Ucap Fajar, seolah teringat sesuatu. “Tumben Mas Arik nggak ke sini?”

Aku menggeleng pelan. “Ditelepon nggak dijawab, mungkin main game di PC.”

“Aku juga punya PC di kamar. Kamu mau main, nggak?”

“Eh?” wajahku terkejut karena ajakan itu.

Fajar tertawa kecil. “Kamu boleh main, Wa.”

“Tapi aku nggak bisa main game FPS kayak Arik.”

“Main MOBA di PC juga bisa.”

“Bisa, tapi susah karena nggak ada analognya.”

Laki-laki itu tertawa lagi. “Ya udah kamu main Zuma aja, sama Feeding Frenzy.”

Aku tertawa. “Itu game waktu aku SD, lho. Masa kamu punya software-nya?”

 

***

 

Awalnya Tante Ninda kurang setuju jika aku akan memasuki kamar Fajar yang penuh dengan obat-obatan dan peralatan medis seperti tiang infus, dan lain-lain. Untuk itu, Fajar meminta bundanya agar memindahkan komputer dan benda-benda elektronik dari dalam kamarnya ke kamar sebelah yang kosong. Tante Ninda pun setuju karena ada ruangan tersendiri untuk bermain game dari obat-obatan yang sifatnya sangat steril.

Aku juga membantu memindahkan beberapa barang. Kami membersihkan debu di kamar kosong itu dengan sapu, lalu kamar itu menjadi bersih. Aku dengan bantuan Tante Ninda menata meja dan benda-benda elektronik milik Fajar dengan rapi. Di ruangan itu ada colokan listrik. Aku pun menyalakan komputernya.

“Seharusnya Bunda pindahin benda ini kemarin-kemarin, tapi belum sempat.” Ujar Tante Ninda.

Fajar menyeringai. “Makasih, Bunda.”

Tante Ninda mengusap pelan pundak Fajar. “Kalian mau main game yang mana lagi, sih?”

"Apa aja, deh, Bun. Yang penting game." jawab Fajar. “Daripada nggak kepake, mending dipake Najwa kalau semisal dia main ke sini. Adek juga masih kecil, mana bisa main komputer.” Kata Fajar dengan lembut pada bundanya. “Boleh, kan Bun?”

“Boleh aja, Nak. Itu punya kamu, hak kamu.” Tante Ninda terkekeh. “Ya udah, Bunda mau jemput Adek ke sekolahnya.”

Aku mengangguk sopan. "Iya, Tante."

“Jangan lama-lama, Bun.”

Tante Ninda terkekeh bahkan saat baru saja keluar dari kamar ini.

Aku duduk di kursi, kemudian aku menyeret kursi roda Fajar agar bisa lebih dekat dengan meja.

“Kamu tahu berapa usia bundaku, Wa?” bisik Fajar padaku.

“Eh?” aku terkejut saat Fajar tiba-tiba menanyakan hal itu yang membuatku penasaran. “Berapa emangnya?”

“Empat puluh lima.”

Aku menganga lebar. “Hah? Yang bener?”

“Beneran. Ayahku lima tahun lebih muda sama Bunda.” Ujar Fajar seraya tangannya mulai menggeser mouse lalu membuka file explorer.

“Tapi kok bisa kelihatan muda gitu, Jar? Kukira bundamu seumuranku.”

“Hei. Mana ada.” Laki-laki itu tertawa kecil. “Bunda awet muda karena makanan yang dikonsumsi itu selalu sayuran, buah-buahan, sama perawatan luar juga. Waktu nikah sama ayah, sebenarnya Bunda udah janda anak satu. Sekarang anaknya yang paling gede udah nikah dan punya anak, namanya Mbak Gita. Anaknya udah sekolah TK sama kayak adekku.”

Aku mengangguk-angguk, suka sekali mendengar Fajar bercerita.

“Kamu jadi main game apa, Wa?”

Aku tergugah. “Eh, hmm… apa aja deh. Pokoknya yang seru.”

“Semua game itu seru kalau kitanya nggak ambil pusing, Wa.” Timpal lelaki itu dengan kekehan.

Aku tertawa. “Yang tadi kamu bilang itu, lho, Feeding Frenzy.”

Fajar mengangguk, lalu dia menekan sebuah file yang tersimpan. Karena file software-nya belum terunduh, maka harus menunggu sampai diunduh dulu. Tak lama kemudian, aplikasi itu selesai terpasang, dan Fajar memberikan mouse-nya kepadaku.

Aku suka permainan ini saat masih SD. Menurutku, ini game tentang rantai makanan yang ada di lautan. Cara bermainnya cukup mudah: aku hanya perlu menggeser mouse agar ikan di dalam game itu memakan ikan yang lebih kecil dan menghindar dari ikan yang lebih besar. Saat ikanku besar, maka dia bisa memakan ikan yang pernah menjadi ancamannya.

Aku sempat gagal karena tanganku  terasa licin, juga jantungku yang berdegup kencang ketika berada di dekat Fajar.

Perasaan aneh itu muncul tanpa alasan. Aku perlahan menyadarinya...

 

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Alter Ego of The Ocean
478      322     0     
Short Story
\"She always thought that the world is a big fat unsolved puzzles, little did she knew that he thought its not the world\'s puzzles that is uncrackable. It\'s hers.\" Wolfgang Klein just got his novel adapted for a hyped, anticipated upcoming movie. But, it wasn\'t the hype that made him sweats...
Nobody is perfect
12138      2173     7     
Romance
Pada suatu hari Seekor kelinci berlari pergi ingin mencari Pangerannya. Ia tersesat, sampai akhirnya ditolong Si Rubah. Si Rubah menerima si kelinci tinggal di rumahnya dan penghuni lainnya. Si Monyet yang begitu ramah dan perhatiaan dengan si Kelinci. Lalu Si Singa yang perfeksionis, mengatur semua penghuni rumah termasuk penghuni baru, Si Kelinci. Si Rubah yang tidak bisa di tebak jalan pikira...
Untuk Takdir dan Kehidupan Yang Seolah Mengancam
443      309     0     
Romance
Untuk takdir dan kehidupan yang seolah mengancam. Aku berdiri, tegak menatap ke arah langit yang awalnya biru lalu jadi kelabu. Ini kehidupanku, yang Tuhan berikan padaku, bukan, bukan diberikan tetapi dititipkan. Aku tahu. Juga, warna kelabu yang kau selipkan pada setiap langkah yang kuambil. Di balik gorden yang tadinya aku kira emas, ternyata lebih gelap dari perunggu. Afeksi yang kautuju...
Love You, Om Ganteng
15304      3647     5     
Romance
"Mau dua bulan atau dua tahun, saya tidak akan suka sama kamu." "Kalau suka, gimana?" "Ya berarti saya sudah gila." "Deal. Siap-siap gila berarti."
Words Unsaid
568      314     2     
Short Story
For four years, I haven’t once told you my feelings. There are words still unsaid that I have always wanted to tell you.
Memoria
290      241     0     
Romance
Memoria Memoria. Memori yang cepat berlalu. Memeluk dan menjadi kuat. Aku cinta kamu aku cinta padamu
Reach Our Time
9282      2177     5     
Romance
Pertemuan dengan seseorang, membuka jalan baru dalam sebuah pilihan. Terus bertemu dengannya yang menjadi pengubah lajunya kehidupan. Atau hanya sebuah bayangan sekelebat yang tiada makna. Itu adalah pilihan, mau meneruskan hubungan atau tidak. Tergantung, dengan siapa kita bertemu dan berinteraksi. Begitupun hubungan Adiyasa dan Raisha yang bertemu secara tak sengaja di kereta. Raisha, gadis...
Fighting!
476      321     0     
Short Story
Kelas X IPA 3 merupakan swbuah kelas yang daftar siswanya paling banyak tidak mencapai kkm dalam mata pelajaran biologi. Oleh karena itu, guru bidang biologi mereka memberikan tantangan pada mereka supaya bisa memenuhi kkm. Mereka semua saling bekerja-sama satu sama lain agar bisa mengenapi kkm.
Ojek Payung
445      315     0     
Short Story
Gadis ojek payung yang menanti seorang pria saat hujan mulai turun.
Kreole
94      84     1     
Romance
Apa harus ada kata pisah jika itu satusatunya cara agar kau menoleh padaku Kalau begitu semoga perpisahan kita menjadi ladang subur untuk benih cinta lain bertunas