- 2023 VenatorNoxRead More >>"> Daybreak (7. Sakit) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Daybreak
MENU
About Us  

Karena hari ini ada jadwal rapat Team Phoenix, aku memberitahu ibuku melalui chat WhatsApp bahwa aku akan pulang sedikit terlambat. Setelah mengirim pesan, aku keluar dari kelas. Karena baru saja bel pulang berbunyi, aku berniat menjemput Fajar di kelasnya— barangkali dia belum tahu soal rapatnya.

Aku berdiri di depan pintu kelas X MM-1 saat semua siswanya baru saja keluar dari kelas. Namun, selama aku berdiri di tempatku, tak kutemukan sosok yang kucari itu keluar dari kelasnya.

“Eh, Mbak mau cari siapa, ya?” tiba-tiba ada salah satu siswi kelas X MM-1 yang bertanya kepadaku.

“Fajar… di mana, ya? Mau rapat tim.” Jawabku. Mereka pasti tahu kalau Fajar satu tim e-sport dengan beberapa seniornya.

“Fajar nggak masuk, Mbak. Dia sakit. Tadi bundanya ke sini ngasih surat.”

Tiba-tiba jantungku berdebar kencang mendengarnya. “Dia… sakit apa, ya, Dek?” tanyaku cemas.

“Kurang tau, Mbak. Katanya bakalan nggak masuk seminggu.”

Aku terdiam mendengar jawaban dari juniorku. Kemudian aku tersenyum kepadanya. “Makasih, ya, Dek.”

“Sama-sama, Mbak.” Siswi kelas X MM-1 itu membalasku dengan senyuman.

Lalu aku berjalan cepat menuju ke basecamp OSIS untuk memberitahukan semua yang aku tahu kepada teman satu tim.

“Wawa?” Ari bersuara melihatku baru saja memasuki basecamp OSIS. “Dari mana aja kamu?” tanyanya.

Aku melepas sepatu, duduk bersimpuh di atas tikar. Ada Yaya, Rian, dan Guntur juga di ruangan itu. “Kalian udah tahu kabar Fajar, belum?”

Mereka berempat kompak menggeleng.

“Aku tadi nyari dia di kelasnya, terus ada temannya yang bilang kalau tadi ini dia nggak masuk. Sakit katanya.”

“Hah?” Ari mengernyit. “Sakit apa?” dia tampak cemas.

Aku menggeleng tidak tahu. “Katanya bakalan nggak masuk selama satu minggu ke depan.”

“Waduh…” gumam Guntur yang baru saja duduk di sebelah Yaya.

“Ayo, guys, kita jenguk Fajar, gimana?” aku menatap keempat lawan bicaraku.

“Kalau sakitnya serius sih mending besok aja, Wa. Kita nggak tahu Fajar sakitnya apa.” Jawab Rian. “Takutnya malah kita ganggu keamanan Fajar, itu bahaya buat kesehatannya.”

“Ya juga,ya…” gumamku.

“Bener kata Iyan. Besok aja kita jenguk si Fajar.” Timpal Ari yang setuju dengan pendapat Rian.“Emang sakit apa, ya? Kok bisa diprediksi seminggu nggak masuk sekolah?”

“Demam kali.” Timpal Yaya.

“Atau karena butuh waktu. Sakit itu nggak cuma soal fisik doang. Siapa tahu…” ujar Guntur.

Aku mengembuskan napas. Tak sengaja mataku melihat Ari yang menatap mataku pula. Kemudian aku langsung mengalihkan pandanganku, mendadak canggung. “Deal, ya? Besok kita jenguk Fajar sepulang sekolah.”

Deal.” Yaya dan Guntur kompak.

Deal.” Rian tersenyum. Pendapatnya benar-benar membuat pikiranku tenang, kecemasanku menghilang tentang Fajar. Dia benar-benar sosok kapten kami.

Sementara Ari hanya diam, sebenarnya dia juga setuju-setuju saja jika ada agenda menjenguk Fajar besok. Namun, tatapannya itu membuatku mengingat sesuatu.

Ah, apakah dia cemburu lagi? Bahkan di situasi seperti ini?

 

***

 

Hari itu, rapat selesai dengan cepat. Kami membahas tentang tim yang akan kami lawan pada hari Minggu nanti. Besar kemungkinan Guntur akan main sebagai pengganti Fajar sekaligus pelatih yang mengatur draft pick.

Sepanjang malam, di kamar dengan suara kipas angin, aku selalu memikirkan penyakit apa yang diderita Fajar. Pun WhatsApp-nya masih belum terlihat aktif juga.

Tiba-tiba ponselku berdering. Dahiku terlipat melihat nama yang meneleponku itu.

“Halo?” aku pun menjawabnya.

“Halo, Wa.” Di seberang sana, suara Ari terdengar fresh.

“Ada perlu apa. Rik?” tanyaku.

“Eh… aku lagi nganggur nih di depan komputer. Nggak tahu mau ngapain. Jadi aku telepon kamu aja.”

“Ooh…” jawabku singkat.

“Wawa mau mabar sama aku, nggak? AL.”

Aku menggeleng—walau Ari tidak melihat ekspresiku sekarang yang seakan-akan menahan air mata. “Nggak main AL dulu. Nggak mood.” Jawabku dengan tenggorokan yang rasanya ingin tercekat.

Aku tidak mendengar suara Ari selama beberapa saat.

“Kamu main aja sama temen-temen kamu.” Ujarku lagi.

“Aku pengennya mabar sama kamu, Wa. Bukan yang lain.”

Aku menjauhkan ponselku di atas kasur agar suara tangisanku tak sampai terdengar di seberang sana.

“Wa? Kok nggak ada suaranya, sih? Kamu ke mana?”

Suara Ari dapat kudengar. Lalu aku mengaktifkan speaker. Tanganku terasa lemas memegang ponselku sendiri. “Aku masih di sini, kok.”

Ari tertawa. “Kamu boleh cerita ke aku, Wa.” kemudian suaranya terdengar pelan.

Aku menarik napas dalam-dalam. “Cerita apa emangnya?” jawabku.

“Tentang Fajar.”

Aku menggigit bibirku seraya membawa guling ke dekapan.

“Kamu khawatir sama dia, kan?”

“Sok tau kamu, Rik.” Aku terkekeh.

Terdengar Ari tertawa di seberang sana. Dia selalu saja tahu apa yang aku pikirkan. Benar-benar laki-laki aneh.

“Wajar lah, Wa, Fajar nggak online WA. Dia sakit, mana bisa main hp.” Suara Ari di seberang sana.

Aku terdiam untuk beberapa saat. Apa yang dikatakan Ari memang benar. Ah, kenapa aku tidak berpikir sampai ke sana? Aku terlalu mencemaskan hal-hal yang belum tentu terjadi.

“Besok sekolah aku jemput, ya? Jangan bawa motor sendiri.” Ucap laki-laki dari seberang sana melalui ponselku.

“Hah? Kenapa?”

“Katanya mau jenguk Fajar? Biar nggak kebanyakan motor. Yaya sama Guntur, biar Iyan sendirian sama motornya.”

Aku ber-oh pelan. “Aku sama Rian aja gimana? Kasian Rian sendirian.” Candaku.

“Kalau kamu sama Iyan, aku yang sendirian. Kamu nggak kasihan sama aku?”

“Nggak.” Jawabku sambil terkekeh.

Selama beberapa saat, tak kudengar suaranya. Mungkin dia mengambil sesuatu yang biasanya dikonsumsi oleh para laki-laki? Orangtua Ari tidak ada di rumah karena bekerja, dan Ari bebas melakukan apa saja di rumahnya itu.

“Halo, Rik?” panggilku.

“Aku masih di sini.”

Aku tersenyum. “Kamu ngerokok, ya?”

“Eh? Kok tau?”

“Baunya sampe sini.” 

Terdengar suara Ari tertawa. “Bagus kalau kamu bisa ketawa sekarang.”

Aku tersenyum.

“Aku tutup dulu, ya, Wa. Semoga mood kamu membaik biar bisa mabar. Aku tunggu kamu online di AL.”

Tut. Sambungan diputuskan secara sepihak. Aku tidak kesal, karena Ari yang pertama menelepon, maka dia berhak untuk memutuskan panggilan lebih awal. Jika aku yang memutuskan secara dia yang menelepon, menurutku itu tidak sopan. Itulah prinsipku. Aku menerapkannya ketika orangtua atau siapapun yang meneleponku, tidak hanya kepada Ari saja.

Walaupun Ari sahabatku yang menyebalkan sejagad raya, tapi dia selalu bisa memahamiku. Waktu SMK, aku jarang mengobrol dengannya karena kamu tahu, Nala—teman sebangkuku yang sekarang pindah ke Surabaya—menyukai Ari sejak kelas sepuluh. Selain itu, alasanku jarang mengobrol dengan Ari adalah karena dia crush siswi-siswi di kelas kami dan aku tidak mau dimusuhi oleh mereka hanya karena interaksi kami.

Aku membuang napas. Malam ini aku sama sekali tidak selera membuka aplikasi Ancient Legends. Aku pun merapikan bantal dan guling, lantas merebahkan tubuhku di atas kasur, bersiap untuk tidur.

 

***

 

Karena hari ini Ari sudah berjanji untuk menjemputku, aku bangun dan bersiap-siap lebih awal. Karena aku tahu tipikal Ari yang suka berangkat pagi saat sekolah. Setelah semuanya siap, aku duduk di teras rumah menunggu kedatangannya.

“Eh? Nggak berangkat?” Ibuku tiba-tiba muncul dari pintu rumah.

Aku menyeringai. “Dijemput Arik, Buk…” jawabku, gugup.

“Arik? Kenapa motor kamu?” dahi ibuku terlipat heran.

“Motorku baik-baik aja, kok. Itu, lho, Buk… ada anggota tim kami yang sakit. Rencananya nanti kami besuk dia sepulang sekolah.” Jelasku.

Ibuku mengangguk-angguk. “Ini masih setengah enam, emangnya Arik biasanya berangkat jam berapa?”

Belum sempat aku menjawab, sosok yang kami bicarakan muncul dengan motor matic-nya. Aku tersenyum tipis, kulihat ibuku menatap laki-laki itu ketika menghentikan motornya di halaman rumah.

“Eh, Budhe…” Ari turun dari motor, mencium tangan ibuku. “Wawa mau boncengan sama saya, Budhe. Boleh, kan?”

Hah? Mataku melotot. Bukankah dia yang menawariku untuk berboncengan? Kenapa jadi aku?

“Iya-iya. Katanya mau jenguk temen yang sakit, ya?” ibuku terlihat senang dengan sikap sopan Ari—walau itu hanya pencitraan.

“Iya, Budhe.” Ari tersenyum.

Aku pun mencium tangan Ibu, pamit ke sekolah. Tak lupa juga aku memakai helm-ku sendiri. Ari pun melakukan hal yang sama. Kemudian dia berjalan ke motornya, aku pun mengikutinya di belakang. Setelah Ari memakai helm dan menaiki motornya itu, giliranku yang naik di jok belakang. Tak lupa juga aku meletakkan tas sebagai ‘pembatas’.

Aku melambaikan tangan kepada Ibu saat motor yang kami tumpangi melaju ke jalanan hingga suasana rumahku menghilang dari pandangan.

“Dasar pencitraan!” ketusku setelah membuka kaca helm.

Ari tertawa. “Ya iya dong. Aku harus dapetin hati mertua sebelum anaknya.”

“Apa?!” aku mengernyit.

“Bercanda.”

Tiba-tiba aku terdiam sejenak. Ari tidak mungkin bercanda dengan apa yang dia katakan jika sudah menyangkut soal itu.

“Maksudnya apa, Rik?” tanyaku dengan badan yang sedikit condong ke depan.

“Apanya?”

“Yang kamu bilang tadi.”

Setelah beberapa saat diam, Ari menjawab, “Nggak. Aku cuma asal-asalan ngomong aja. Beneran bercanda.”

Pandanganku tertunduk, lantas mengangguk—walau Ari tidak bisa melihat ekspresiku saat ini. Kedua kaca spion motornya itu mengarah ke jalanan di belakangnya.

“Aku nggak mau kamu berharap sama aku, Rik.” Ujarku dengan pelan.

“Iya, Wa. Aku nggak maksa kamu.”

“Tapi kayak nggak adil, Rik. Kamu suka aku, tapi akunya nggak.”

“Biarin aja, Wa. Walaupun beda perasaan, tapi kita masih bersama, kan? Persahabatan ini misalnya.”

Aku menggigit bibirku yang kering—baru ingat bahwa aku lupa memakai lip balm saat di rumah. Ah, saat ini pikiranku melayang ke mana-mana setelah mendengar ucapan Ari.

“Maaf, Rik.”

“Nggak apa-apa, Wa. Santai.” kekeh Ari.

Aku tersenyum simpul. Motor yang kami tumpangi terus melaju ke jalan raya. Butuh waktu sekitar dua puluh menit dari rumah ke sekolah dengan kendaraan motor.

Tidak ada hal yang aku khawatirkan karena kami sampai lebih awal—saat suasana gerbang sekolah masih sepi. Bayangkan, jika Ari sampai di sekolah pada pukul 06.45, para penggemar beratnya itu akan menatapku dengan tatapan benci, tidak suka kalau idolanya boncengan dengan teman satu kelasnya.

Ari menghentikan motornya dengan mulus di lahan parkiran. Dia nomor satu yang menempati lahan ini. Setelah itu, kami berdua berjalan menyebrang jalan, lalu memasuki gerbang sekolah yang dijaga oleh anggota OSIS. Dan kebetulan sekali, penjaga OSIS itu perempuan—ada beberapa, mereka menatapku saat tahu Ari Erico—idola mereka datang ke sekolah bersama teman sekelasnya.

“Eh, mau ke mana, Wa?” tanya Ari saat menyaksikan langkah kakiku yang melenceng dari arah kelas.

“Ke kantin. Lupa nggak bawa air putih.” Jawabku.

“Oke. Habis ini aku ke Lab Komputer, disuruh Pak Setio bikin undangan.” Serunya.

Aku melambaikan tangan tanpa menatap wajahnya yang mungkin saja sudah menaiki anak tangga.

Ari memang pemalas dan selalu saja bermain game ketika pelajaran di Lab Komputer berlangsung. Namun, jika dia mulai serius, hasil tugasnya akan sangat memukau, bahkan Pak Setio—guru tergalak kami di jurusan Multimedia ini pernah memuji hasil tugasnya dengan bangga. Itulah mengapa Ari bisa dikatakan asisten Pak Setio, termasuk Rian yang pandai berurusan dengan komputer.

Aku mencari alasan untuk menjauh dari Ari dengan pergi ke kantin. Setelah membeli dua botol air minum, aku duduk di kantin sejenak, merasakan udara sejuk karena Ibu Kantin belum menggoreng sosis dan gorengan yang lain.

“Najwa?”

Panggilan itu membuatku mengerjap. “Iyan?”

“Ari udah datang, belum?” tanya Rian saat mengambil dua bungkus roti, lalu membayar kepada Ibu Kantin dengan uang pas.

Aku mengangguk. “Dia ke Lab Komputer. Katanya disuruh Pak Setio bikin undangan.”

“Emang.” Rian membuka bungkus roti yang telah dibelinya itu. “Katanya itu undangan wisuda kelas dua belas nanti.” Kemudian dia memakan roti itu.

Awalnya aku tak menyangka. “Bukannya ini masih bulan September, ya?”

“Tau tuh Kepala Sekolah. Katanya wisudanya awal bulan Mei.”

Aku mengangguk-angguk. “Masih lama, sih.”

“Mungkin buat pemberitahuan berapa biaya dan apa aja yang harus dilunasi sebelum wisuda.” Ujar Rian—suaranya tidak terdengar jelas karena dia berbicara dengan roti yang masih ada di mulutnya.

Aku mengangguk-angguk. “Dan kamu nggak ke Lab Komputer bantuin Arik?”

“Iya, habis ini.”  Kemudian Rian membuang bungkus plastik itu ke tempat sampah. “Duluan, ya, Wa.” Lalu dia melangkah pergi dari area kantin.

Suasana kantin lengang. Aku membuka botol air putih, lantas meminumnya sedikit. Aku menghabiskan waktuku selama beberapa menit di kursi kantin itu. Bahkan ada beberapa siswa-siswi yang juga membeli minuman atau roti karena mereka tak sempat sarapan.

Aku pun beranjak dari tempat duduk dan segera memasuki kelas. Lalu aku tak sengaja melewati kelas X MM-1 yang terletak di dekat tangga menuju lantai dua.

Kubuang napas sekasar mungkin. Kemudian lanjut menaiki tangga. Karena hari ini aku tidak boleh terlalu memikirkan kondisi Fajar yang entah sakit apa. Aku harus sabar menunggu semua materi ini selesai.

 

***

 

Tujuh jam waktu berjalan bagai merangkak. Dan untungnya, selama jam pelajaran berlangsung, Ari tak lagi mengusikku atau mengajakku berbicara. Atau karena dia tahu kalau mood-ku kurang membaik sehingga dia memilih untuk membiarkanku tenang sejenak.

Begitu bel pulang, Ari langsung menghampiriku yang baru saja bangkit dari tempat duduk.

Tanpa berkata, aku langsung berjalan lebih dulu. Ari berusaha menyamakan langkah kakinya. Dia tahu tujuanku hendak ke mana—anggota Team Phoenix lainnya sedang menunggu kami di depan ruang guru.

Yaya melambaikan tangannya kepada kami saat baru saja turun dari tangga.

“Kita beli sesuatu buat Fajar dulu. Roti atau apa gitu. Masa nggak bawa apa-apa.” Ujar Yaya yang satu pemikiran denganku.

“Iya, aku juga maunya gitu. Tapi beli di mana?” tanyaku.

“Di minimarket ada. Kita beli bareng-bareng aja.” Jawab Ari.

“Yey! Dibayarin Mas Arik semuanya, nih?” seperti biasa—Guntur menjadi yang paling girang soal hal ini.

Ari terkekeh. “Gampang.” Lalu dia berjalan mendahului kami berempat. Tentu saja ke parkiran untuk mengambil kendaraan.

Seperti yang Ari katakan kemarin, aku bersamanya di motor yang sama. Yaya dengan Guntur, dan Rian sendirian di belakang barisan. Kemudian kami berlima berhenti di depan minimarket, lalu membeli roti dan buah-buahan. Semua itu Ari yang membayar. Kami pun tidak keberatan dan tahu betul bagaimana Ari itu.

Aku membawa kantong kresek besar berisikan buah-buahan. Sementara Yaya membawa bingkisan roti. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Fajar.

Sesampainya di tujuan, kami menghentikan motor di sebelah gerbang setinggi dua meter itu. Lalu aku melangkah maju mendekat, lantas menekan bel rumah.

Beberapa saat menunggu, tak kudengar reaksi dari pemilik rumah.

Aku kembali menekan bel. Kami menunggu beberapa saat lagi, dan sama sekali tidak ada jawaban.

“Waduh, Nak…”

Suara seorang pria separuh baya mengejutkan kami semua. Boleh jadi beliau tinggal di rumah sebelah.

“Keluarga Pak Deni lagi ke rumah sakit jagain anaknya.” ujar pria paruh baya itu.

Aku, termasuk keempat temanku mengernyit keheranan.

“Pak Deni? Ayahnya Fajar itu, ya Pak?” Rian bertanya dengan sopan.

Pria paruh baya itu mengangguk.

“Memangnya sakit apa, ya, Pak… sampai dibawa ke rumah sakit?” tanyaku dengan suara yang sedikit gemetar.

“Kalau itu kurang tahu, Nak. Eh… dia dibawa ke RSU.” Jawab pria paru baya itu.

Aku terdiam.

“Kalau gitu makasih, ya, Pak. Kita bisa besuk.” Ucap Yaya seraya sedikit membungkukkan kepala—sikap yang sopan kepada orang tua. Kami berempat pun melakukan hal yang sama.

Kami berlima kembali menaiki motor dengan tujuan ke Rumah Sakit Umum di salah satu kota kecil ini. Ari dan aku yang paling di depan, sementara yang lain di belakang mengikuti.

Selama lima belas menit perjalanan, kami sampai di tujuan. Kali ini aku tidak akan tergesa-gesa untuk menemui Fajar yang entah sedang sakit apa. Biarlah Ari atau temanku yang lain memberikan arahan. Aku tidak tahu karena aku tidak pernah ke rumah sakit sebelumnya.

Ari berjalan mendahului kami. Guntur membawakan roti yang sebelumnya dibawa oleh Yaya, sementara Rian langsung mengambil bungkusan buah-buahan yang aku bawa.

“Kenapa diambil, Yan?”

“Berat. Si Arik gak mau ngambil. Ya udah, aku aja.”

Aku tersenyum. Rian memang teman yang peduli.

Baru saja kami memasuki pintu rumah sakit, Ari langsung berjalan ke arah meja resepsionis untuk menanyakan di mana ruang kamar Fajar. Mungkin karena mamanya bekerja di rumah sakit, Ari jadi mengerti.

“Eh, nama lengkap Fajar apa, ya?” tanya Ari kepada kami berempat.

Aku menggeleng pelan. “Nggak tahu, ya…”

Ari mengembuskan napas. Lalu pandangannya kembali menghadap pada resepsionis. “Ya pokoknya namanya Fajar, usianya sekitar enam belas tahun.”

"Tidak semua remaja punya nama Fajar, Mas." jawab resepsionis itu.

Kulihat Guntur menahan tawa saat Ari memaksa resepsionis itu untuk segera menjawab pertanyaannya.

“Loh, Arik?”

Suara itu mengejutkan kami berlima, terutama Ari yang langsung terkejut. “Mama…”

Aku tersenyum sebab bertemu dengan mamanya Ari—beliau wanita yang awet muda walau usianya sudah berkepala empat. Rambutnya pendek sebahu.

“Ngapain kamu ke sini? Sama Mbak Wawa juga?”

Aku tersenyum. Sejak kecil mamanya Ari selalu memanggilku dengan panggilan 'Mbak', dan itu membuatku semakin akrab dengan mamanya Ari “Halo, Tante Rani.” Sapaku riang.

“Halo, Tante...” Yaya juga ikut menyapa—sepertinya dia terkejut kalau mamanya Ari ternyata seorang dokter.

“Iya, Ma, kita mau jenguk temen. Maaf tadi belum bilang di WA.”

Aku melotot. Ari menjadi seperti anak kecil yang manja dan polos ketika berhadapan dengan mamanya. Seperti keajaiban.

Guntur dan Yaya menahan tawa, mungkin merasa aneh ketika melihat sikap Ari yang biasanya selalu ceplas-ceplos tidak tahu diri mendadak seperti anak kecil.

Tante Rani terkekeh. “Kebetulan Mama punya klien yang usianya kayak kalian—nggak jauh beda lah. Namanya Fajar, bukan?”

“Iya iya, Ma!” Ari berseru tertahan. “Dia… sakit apa, ya, Ma?”

Pertama, Tante Rani terdiam sembari mengulum bibirnya. Kemudian beliau tersenyum kepada kami berlima. “Kalian bisa jenguk dia sekarang, kok.”

Ari tersenyum, lalu menatap kami berempat. “Makasih, Ma. Di mana ruangnya Fajar, ya, ma?”

 

***

 

“Mas Ari lucu banget kalau sama mamanya.” ujar Yaya.

“Iya iya. Pasti di rumah sering dimanja.” Guntur terkekeh pelan.

"Diem." ketus Ari yang merasa malu.

Aku tersenyum lega. Kami berlima berjalan di lorong setelah Tante Rani menunjukkan di mana ruangan Fajar. Padahal aku curiga sekali, bukankah Tante Rani seorang dokter bedah? Lalu kenapa memiliki klien seperti Fajar?

Kemudian kami sampai di tujuan. Ari mengetuk pintu kamar dengan nomor 028. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka.

Seorang wanita berambut pendek sebahu.

“H-halo, Tante…” Ari menyapa, kami berempat di sebelahnya tersenyum sopan.

Bundanya Fajar itu tersenyum melihat kehadiran kami. “Kalian… temannya Fajar itu, kan?”

“Iya, Tante.” Kali ini aku yang menjawab. “Kami diberitahu teman sekelasnya Fajar, kalau Fajar lagi sakit. Jadi kami mau besuk.”

Bundanya Faja rmengangguk-angguk. “Boleh banget. Silakan,” lalu beliau membuka lebar-lebar pintu kamar itu.

Jantungku berdebar sekaligus merasa lega saat melihat sosok Fajar yang duduk di bangsal. Dia tersenyum lebar melihat kehadiran anggota timnya.

Namun, aku tak melihat sosok ayahnya Fajar. Ah, beliau pasti sedang bekerja dan bunda yang menjaganya.

“Adeknya Fajar di mana, ya, Tante?” Ari tiba-tiba bertanya. 

Dengan senang hati, bundanya Fajar menjawab, “Lagi di rumah neneknya. Bakalan repot bawa adek yang masih kecil.”

Kami mengangguk paham.

“Fajar, bunda keluar dulu, ya. Kalian bisa ngobrol santai-santai.” Ucap Bunda kepada Fajar.

Laki-laki yang duduk di bangsal itu mengangguk seraya tersenyum. Kemudian bundanya Fajar keluar dari ruangan.

“Kok tahu aku di sini, Mas, Mbak?” tanya Fajar, aku bisa melihat kegirangan di wajah pucatnya itu.

“Ada, deh.” Jawab Yaya.

Sementara Guntur dan Rian baru saja meletakkan bungkusan buah-buahan dan roti di atas meja. Lalu mereka duduk di sofa yang ada di dekat bangsal.

“Ini dari kita semua, Jar.” Ujar Guntur yang melihat adik kelasnya itu terheran-heran melihat dua bungkusan kresek. "Ari yang bayarin, tenang aja jangan sungkan-sungkan."

Fajar mengangguk-angguk. “Makasih banyak. Ngerepotin banget.”

“Nggak repot, kok.” Ujar Rian. “Iya, kan, Rik?”

Ari mengangguk-angguk, dia mengambil kursi, duduk di sebelah bangsal. “Kamu tahu Dokter Rani Astia?” tanyanya pada Fajar.

Yang ditanya mengangguk.

“Itu mamanya Arik, Jar.” timpal Rian dengan kekehan. “Kamu baru tahu, pasti.”

“Ooh… pantesan kayak nggak asing sama wajah Dokter Rani.” Faja rmengangguk-angguk.

Ari terkekeh. Memang benar, wajahnya itu mirip sekali dengan Tante Rani yang cantik, sedangkan putranya sangat tampan. Bibit unggul. Eh…

Sejak tadi aku diam melihat wajah Fajar yang terlihat cerah. Atau boleh jadi, itu satu-satunya cara untuk Fajar menyembunyikan rasa sakitnya.

Aku mengambil kursi, duduk di sebelah Ari. Sedangkan Yaya duduk di sisi lain bangsal—berhadapan denganku dan Ari.

“Jadi… sebenarnya kamu sakit apa, Jar?” tanyaku, yang juga menjadi pertanyaan teman-temanku.

Awalnya Fajar mengembuskan napas pasrah, lalu dia tersenyum dan dengan entengnya menjawab, “Kanker otak.”

Kami berlima memelotot. Termasuk aku yang diam membeku di tempat.

Ruang inap ini lengang sejenak.

“Udah lama, sih. Sejak kelas delapan SMP aku didiagnosis kena kanker otak stadium dua,” lalu Fajar terkekeh. “Kemarin lusa penyakitku kambuh, terus dibawa ke sini buat kemoterapi.”

Kami sama-sama menatap prihatin Fajar, sedih, begitu tercampur menjadi satu. Namun, sama sekali tak kulihat kesedihan di wajah Fajar.

“S-stadium berapa…?” tanya Ari lemas.

“Tiga.”

Aku mengernyit, terutama Ari saat kulihat sejenak raut wajahnya. Dia bahkan sampai memainkan bibirnya dengan jemari—tanda hatinya sedang cemas, sedangkan sikunya bersangga di bangsal.

Selain kami, Rian, Yaya, dan Guntur juga tampak tidak menyangka jika penyakit Fajar sudah memasuki stadium tiga. Aku pernah membaca artikel mengenai penyakit kanker otak, dan di artikel itu tertulis bahwa kanker otak stadium satu dan dua peluang sembuhnya lebih besar ketimbang stadium tiga dan empat.

“Tapi maaf, ya. Aku nggak bisa ikut turnamen ke depannya.” Ujar Fajar dengan senyuman yang masih ada di wajahnya.

“Nggak apa-apa, kok, Jar. Kesehatanmu lebih penting.” Jawab Rian selaku kapten kami.

Aku, Ari, Yaya, dan Guntur mengangguk setuju dengan pendapat Rian.

“Doain aja Team Phoenix bisa sampai final, terus juara satu.” Kulihat Guntur mulai ceria.

Fajar mengangguk-angguk. “Aku selalu doa buat kalian.”

"Kalau Team Phoenix juara satu, kita bakalan makan-makan sama ditraktir Mas Arik." ujar Yaya yang ikut ceria seperti temannya.

Melihat Fajar yang tersenyum, bagaimana aku tidak? Sementara Yaya dan Guntur kembali semangat, mereka yakin bahwa Fajar bisa sembuh dari penyakitnya. Aku pun ikut tersenyum. Jika Fajar bersungguh-sungguh untuk sembuh, aku juga harus bersemangat, bukan?

Aku tidak boleh mengeluh sementara Fajar sendiri terlihat tetap semangat bahkan di wajah pucatnya.

“Mau buah, nggak, Jar?” tawar Rian seraya membuka bungkusan kresek di atas meja.

“Mau. Ada buah apa aja?”

“Apel, pisang, mangga, banyak deh. Najwa yang pilih tadi.” Jawab Rian.

Fajar langsung menoleh kepadaku. Dan aku balas mengangguk dengan tersenyum.

“Makasih banyak…” kulihat raut wajah Fajar tulus mengatakannya.

Aku terkekeh—akhirnya semangatku bangkit sekarang. Kemudian Rian memberikan buah apel kepada Fajar. Junior kami itu merasa senang saat memakannya.

 

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Guguran Daun di atas Pusara
427      286     1     
Short Story
Comfort
1119      474     3     
Romance
Pada dasarnya, kenyamananlah yang memulai kisah kita.
Trust
1727      700     7     
Romance
Kunci dari sebuah hubungan adalah kepercayaan.
Teilzeit
717      357     1     
Mystery
Keola Niscala dan Kalea Nirbita, dua manusia beda dimensi yang tak pernah bersinggungan di depan layar, tapi menjadi tim simbiosis mutualisme di balik layar bersama dengan Cinta. Siapa sangka, tim yang mereka sebut Teilzeit itu mendapatkan sebuah pesan aneh dari Zero yang menginginkan seseorang untuk dihilangkan dari dunia, dan orang yang diincar itu adalah Tyaga Bahagi Avarel--si Pangeran sek...
Her Glamour Heels
470      319     3     
Short Story
Apa yang akan kalian fikirkan bila mendengar kata heels dan berlian?. Pasti di khayalan kalian akan tergambar sebuah sepatu hak tinggi mewah dengan harga selangit. Itu pasti,tetapi bagiku,yang terfikirkan adalah DIA. READ THIS NOWWW!!!!
Pacarku Arwah Gentayangan
3860      1320     0     
Mystery
Aras terlonjak dari tidur ketika melihat seorang gadis duduk di kursi meja belajar sambil tersenyum menatapnya. Bagaimana bisa orang yang telah meninggal kini duduk manis dan menyapa? Aras bahkan sudah mengucek mata berkali-kali, bisa jadi dia hanya berhalusinasi sebab merindukan pacarnya yang sudah tiada. Namun, makhluk itu nyata. Senja, pacarnya kembali. Gadis itu bahkan berdiri di depannya,...
Tulus Paling Serius
1484      624     0     
Romance
Kisah ini tentang seorang pria bernama Arsya yang dengan tulus menunggu cintanya terbalaskan. Kisah tentang Arsya yang ingin menghabiskan waktu dengan hanya satu orang wanita, walau wanita itu terus berpaling dan membencinya. Lantas akankah lamanya penantian Arsya berbuah manis atau kah penantiannya hanya akan menjadi waktu yang banyak terbuang dan sia-sia?
Transformers
243      203     0     
Romance
Berubah untuk menjadi yang terbaik di mata orang tercinta, atau menjadi yang selamat dari berbagai masalah?
I\'m Too Shy To Say
397      261     0     
Short Story
Joshua mencintai Natasha, namun ia selalu malu untuk mengungkapkannya. Tapi bagaimana bila suatu hari sebuah masalah menimpa Joshua dan Natasha? Akan masalah tersebut dapat membantu Joshua menyatakan perasaannya pada Natasha.
Be Yours.
1889      1034     4     
Romance
Kekalahan Clarin membuatnya terpaksa mengikuti ekstrakurikuler cheerleader. Ia harus membagi waktu antara ekstrakurikuler atletik dan cheerleader. Belum lagi masalah dadanya yang terkadang sakit secara mendadak saat ia melakukan banyak kegiatan berat dan melelahkan. Namun demi impian Atlas, ia rela melakukan apa saja asal sahabatnya itu bahagia dan berhasil mewujudkan mimpi. Tetapi semakin lama, ...