- 2023 VenatorNoxRead More >>"> Daybreak (6. Into Me?) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Daybreak
MENU
About Us  

Lima belas menit sebelum giliran Team Phoenix bermain, kami bersiap-siap di bagian belakang venue. Di tempat ini, kami berenam duduk di meja bundar berdiameter 60cm. Selain kami, ada beberapa tim yang juga menunggu untuk bertanding, mereka juga duduk seperti kami. Apalagi saat kami bertemu tim yang berasal dari Nganjuk. Tim mereka penuh dengan laki-laki. Tiba-tiba saja nyaliku menciut untuk percaya diri.

Kemudian Fajar menepuk pundakku, membuatku tersadar dari lamunan.

Aku menoleh kepadanya.

“Semangat.” Kata itu terucap di bibir Fajar.

Aku tersenyum hingga deretan gigiku tampak. Namun, tiba-tiba kulihat ekspresi Ari yang duduk di depanku melirik tajam kepadaku dan Fajar. Apakah dia kembali badmood? Dan beruntungnya, hanya aku yang menyadari ekspresi laki-laki itu.

“Kira-kira hero yang akan mereka pakai apa, ya?” Guntur memulai topik, nadanya terdengar lirih.

“Pasti ngikutin META lah.” Rian menjawab santai dengan pandangan yang fokus pada layar ponsel di tangannya.

META yang dimaksud Rian adalah singkatan dari Most Effective Tactics Available, sebuah strategi dan taktik yang paling efektif untuk memenangkan sebuah pertandingan. META di game Ancient Legens seringkali muncul di turnament nasional hingga internasional. META bisa berubah seiring dengan pembaruan patch dalam game di setiap musimnya.

Bermain game Ancient Legends selama beberapa season, tentu aku tahu setiap META yang lagi ramai.

“Pokoknya kita harus ban hero-hero yang sering dipick di ranked atau nggak hero yang setidaknya bikin tim kita kewalahan. Latihan tiga hari itu cukup buat kita memahami satu sama lain.” Ucap Rian.

Kami berlima mengangguk.

Di Ancient Legends pada tier Epic hingga di atasnya, terdapat fase ban-pick dalam mode ranked. Pemain dapat memblokir enam hero yang tidak boleh digunakan oleh tim sendiri atau tim lawan. Setelah fase ban selesai, maka pemain bisa memilih hero. Misal, jika di timku memilih hero Gandiwa, maka tim musuh tidak dapat memilihnya. Namun, tim musuh bisa saja memilih hero kelemahan Gandiwa.

Dalam turnamen ini, kemungkinan besar terdapat sepuluh slot untuk nge-ban hero seperti pada turnamen nasional APL (Ancient Legends Pro League).

Lima belas menit kemudian, tim kami dipanggil untuk memasuki venue.

Aku sedang bersemangat sekarang. Aku mencoba untuk tidak menatap tim lawan—itu satu-satunya cara agar aku tidak gugup. Kemudan kami duduk di bangku dan memasang headset maisng-masing yang disediakan oleh penyelenggara. Guntur tetap berdiri di belakang bangku kami. Selain menjadi pemain cadangan, dia menjadi pelatih tim kami. Rian sudah memutuskannya.

“Ciye, Coach Guntur.” Ledek Yaya.

Laki-laki itu hanya menyeringai.

Fase ban-pick pun dimulai. Kami mengikuti arahan Guntur, ternyata dia benar-benar pemain yang bijak dalam mengambil keputusan. Sementara itu, Ari sejak tadi diam tanpa berbicara. Ah, semoga saja performa bermainnya tidak menurun hari ini.

Saat pertandingan dimulai dan fase ban-pick itu usai, Guntur keluar dari venue dan kembali ke luar venue—di meja bundar. Dari tempat itu, dia bisa melihat pertandingan kami melalui layar lebar, juga disaksikan oleh beberapa orang yang juga gemar dengan game MOBA Ancient Legends.

Selama pertandingan berlangsung, aku berusaha untuk fokus. Dalam sepuluh menit pertama, tim kami mendapatkan lima ribu gold lebih banyak, dan itu membuahkan kesempatan bagi kami untuk memenangkan game pertama ini.

Kami berlima bernapas lega saat game pertama ini selesai dna dimenangkan oleh Tim Phoenix. Tersisa kemenangan di game selanjutnya untuk naik ke babak kedua.

Dan sepanjang game berlangsung, Ari diam saja. Dia hanya memberi arahan singkat—sepertinya dia malas berbicara.

Game ke-dua, awalnya kami kekurangan sebanyak dua ribu gold. Namun, karena kekompakan, tim kami memenangkan pertandingan ini. Tim Phoenix berhasil lanjut ke babak ke-dua.

Guntur langsung memasuki venue, lantas kami berenam menepuk tangan satu sama lain. Namun, hanya Ari yang tidak mau bertepuk tangan denganku.

Hatiku seperti terbelah. Tidak pernah kudapati Ari berperilaku seperti itu kepadaku. Ada apa? Jika ada masalah, kenapa dia tidak langsung mengatakannya? Ke mana sifatnya yang selalu blak-blakan itu?

“Syukurlah, kita menang. Babak kedua minggu depan, guys. Masih lama juga. Tapi kita bisa latihan.” Ucap Rian sebagai kapten tim.

“Jadi, ke mana kita sekarang?” tanya Yaya antusias.

“Ke mana lagi? Pulang yuk.” Ujar Guntur dengan raut wajah memelas.

“Heleh! Kamu gak main aja ngeluh gitu!” Yaya menepuk kencang bahu temannya itu.

“Tapi aku ikut deg-degan! Di game ke-dua tadi tim kita hampir aja kalah.”

Aku menyeringai. Jika Guntur yang tidak bermain saja deg-degan, bagaimana dengan diriku yang mengikuti pertandingannya? Benar. Tanganku berkeirngat dingin. Berkali-kali aku mengusap telapak tanganku di lengan bajuku selama pertandingan berlangsung.

Siang itu, kami memutuskan untuk pulang. Ari dengan senang hati mengantarkan kami ke rumah masing-masing. Hingga hanya tersisa aku dan Ari, berdua di dalam mobil.

Ini kesempatan bagiku untuk bertanya—

“Aku gak suka, ya, kalau kamu akrab sama cowok lain.”

Baru saja aku ingin bertanya, Ari lebih dulu berbicara.

Aku tidak mengerti maksud dari perkataannya. “Maksudnya?”

Ari menghentikan mobilnya di sebuah lapangan sepak bola. Tetap di bangku kemudinya, Ari memutar tubuhnya dan berhadapan denganku yang duduk di bangku belakangnya.

“Susah ngejelasinnya. Kamu nggak akan paham.” Jawab Ari.

“Gimana aku nggak paham kalau kamu sendiri nggak jelas kalau ngomong.” Timpalku dengan geram.

Ari terdiam dengan mata yang menatap wajahku lamat-lamat.

“Dari kecil kalau kamu bertengkar sama aku, ya gini, kan? Maunya kamu dipahami, tapi kamu nggak mau memahami. Aku bukan peramal, Rik.” pungkasku.

Ari terdiam sejenak, lalu dia mengangguk-angguk pelan.

Aku menghela napas pelan. Tidak nyaman dengan situasi ini. “Memangnya salahku apa? Sampe bikin kamu murung?” kataku dengan nada memelan.

“Aku kurang suka aja kalau kamu deket-deket Fajar, Wa.” Ari terlihat terus terang.

“Oh, jadi itu masalahnya?”

Ari mengalihkan pandangannya, tiba-tiba menjadi kikuk.

“Kenapa aku nggak boleh deket-deket Fajar? Orang kita cuma temen, kok. Kamu aja yang mikirnya aneh-aneh. Lagian… emangnya aku ini siapa kamu, sih, kok larang-larang—”

“Aku suka kamu.” Pungkasnya.

Aku terdiam sejenak. Barusan… barusan apa yang Ari katakan kepadaku?

Ari kembali menghadap ke depan. Tidak berani menatapku.

“Apa?” aku terkekeh. “Suka aku? Kamu?”

Dari kaca spion, aku bisa melihat Ari yang sedang menggigit ujung jarinya. “Emangnya gak boleh, ya? Aku suka kamu?”

Aku menggeleng heran, masih tidak menyangka jika... “Kamu bercanda, ya, Rik?”

“Iya. Cuma bercanda, kok. Aku orangnya blak-blakan emang.”

Aku menghela naps lega.

“Ya enggak lah, Wa.” Ari langsung menyahut, benar-benar membuat perasaanku seakan-akan menaiki roller coaster. “Kamu pikir perasaan itu buat bercandaan?”

Lidahku terasa kelu. “Eh, i-iya aku nggak nyangka aja gitu… kalau ada yang suka.. sama modelan kek aku ini…” lalu aku tertawa pahit, masih syok.

Kulihat dari kaca spion, Ari tersenyum tipis. “Setiap orang seleranya beda-beda lah. Aku seleranya kamu. Udah nggak bisa diganggu gugat.”

Aku menundukkan kepala. Kedua mataku berkaca-kaca. Dalam seumur hidupku, baru kali ini ada seseorang yang berkata suka kepadaku. Dan itu teman masa kecilku sendiri.

Terdengar Ari menghela napasnya. “Aku nggak maksa kamu buat suka balik ke aku, kok. Kehadiran kamu di dunia ini aja udah bikin aku semangat. Tadi itu… aku cuma kesel aja. Seharian ini kamu deket Fajar terus. Wajar, dong, aku cemburu…”

Aku terdiam, air mataku menetes.

“Wawa?” panggilnya.

“Hm?” aku langsung mengangkat pandangan, menyeka air mata.

Ari menoleh ke arahku. “Kamu nangis?” tanyanya dengan tawa.

“Enggak. Habis kecolok kabel kulkas.” Ketusku.

Ari tertawa. Dia bisa memahami, jika aku membuat lelucon, maka keadaan kembali membaik. Dan jika sebaliknya, maka tidak perlu ditanyakan lagi.

Ari kembali menyalakan mesin mobil, lalu menacapkan gas untuk mengantarku pulang. Walau Ari telah berkata suka kepadaku, aku tetap menganggapnya seorang teman. Karena aku tidak mau merusak pertemanan itu dengan cinta.

Atau… karena aku tidak (belum) memiliki rasa kepada Ari?

Mobil putih yang kami tumpangi berhenti di seberang jalan. Aku turun dari mobil itu. “Thanks, Rik.” Ucapku pada laki-laki itu.

Ari tersenyum. “Maafin, ya. Udah bikin kamu khawatir hari ini.”

“Ih, gitu doang.” Ketusku. Rasanya aneh sekali jika Ari menggunakan kalimat yang halus saat berbicara kepadaku.

Ari tertawa di bangku kemudinya. Kemudian dia bersama mobilnya pergi meninggalkan kawasan rumahku.

Kemudian aku berlari masuk ke rumah. Adikku yang duduk membaca komik di sofa, sampai terkejut dengan sikapku saat baru saja pulang. Belum sempat adikku bertanya mengenai diriku, aku langsung masuk ke kamar, lantas menutup pintunya.

Benar. Siang itu, aku terus memikirkan kalimat yang Ari katakan di mobil saat hanya ada kami berdua.

 

***

 

Waktu di mana tubuhku terasa malas namun harus dipaksakan karena ini hari Senin. Selama kelas 12 ini, aku tidak boleh bolos sekolah agar tidak tertinggal materi pelajaran.

Begitu aku memasuki kelas, aku sudah disambut oleh laki-laki yang membuat pikiranku tidak fokus—Ari—dia duduk di kursiku. Aku pun melangkahkan kaki menuju bangkuku dengan wajah datar, isyarat bahwa Ari harus minggir sekarang juga.

Seakan tahu maksudku, Ari pindah ke bangkunya sendiri sambil menyeringai lebar.

“Wa, maaf.” Laki-laki itu bersuara.

Aku menoleh saat baru saja duduk di kursiku. “Buat apa?”

“Kamu mikirin apa yang aku katakan ke kamu, ya?”

“Ih, ge-er.” Ketusku.

Ari tertawa. “Ya… sebenarnya kemarin itu aku keceplosan aja bilang ke kamu. Hehehe… tapi habis itu, hati aku langsung plong.”

Aku mengangguk-angguk, tersenyum simpul. “Baguslah kalau gitu.” Kemudian aku membuka tas, mengambil kotak berisikan ponsel pinjaman dari Ari. “Ini, aku balikin.” Kataku sembari menydorkan benda itu.

“Nanti aja kalau udah selesai semua. Kamu ambil hape itu juga nggak apa-apa. Spesial buat Wawa.”

Dahiku terlipat—ingin tertawa rasanya. “Beneran, nih, balikinnya nanti?”

“Iya, cantikku.”

Aku memelotot. Beruntung di kelas ini hanya ada aku dan dia. Jika Ari memanggilku dengan kata itu, aku bisa langsung memarahinya habis-habisan.

Aku tidak mau dijadikan bahan omongan oleh teman-teman perempuan jika mereka tahu bahwa Ari—idola mereka itu menyukaiku. Fakta yang boleh jadi membuat hati para fans Ari meronta-ronta.

Aku kembali memasukkan kotak itu ke dalam tas. Kemudian membuka layar ponselku sendiri, menggulir beranda Instagram.

“Wa,” panggil Ari.

“Apa?” tanyaku dengan pandangan yang tetap tertuju ke layar ponsel.

“Eh… Maaf karena aku merusak persahabatan kita dari kecil sama perasaanku ini.” Ucapnya.

Aku menoleh, terkekeh. “Enggak, kok. Kamu aja yang berpikiran kayak gitu. Kamu tetep sahabatku, walaupun ngeselin sejagad raya.”

Laki-laki itu tertawa kecil. “Bagus kalau gitu. Kamu nggak risih sama aku setelah kejadian kemarin, kan?”

Aku menggeleng pelan, kemudian kembali menatap layar ponsel.

“Tapi, Wa, kamu nggak ngelarang aku buat suka ke kamu, kan?”

“Ih, apaan, sih, Rik?” ujarku, gemas. Aku pun menutup layar ponsel—sepertinya Ari ingin berbicara kepadaku dengan mengusikku yang asyik menggulir beranda Instagram. “Kamu ada lihat aku risih sama kamu?”

“Eh, gak sih.”

“Ya udah. Aku nggak ngelarang kalau—”

Aku langsung membungkam mulutku saat Rian datang memasuki kelas.

“Widih, tumben kalian ngobrol? Biasanya saling jaim.” Kekeh Rian saat meletakkan tasnya ke kolong meja.

“Wawa aja yang susah diajak ngobrol. Padahal kita temenan sejak kecil.”

Aku memasang wajah jutekku pada Ari dan Rian.

Rian tertawa. “Login, Rik. Eh, Najwa mau ikut juga?”

“Enggak ah, ada Arik. Malas.” Aku memalingkan wajahku ke jendela.

Sementara kudengar Ari tertawa. Dia pun bermain game dengan Rian. Syukurlah dia tidak mengusikku lagi. Aku harus bagaimana untuk menjawab semua celotehan dan pertanyaan anehnya itu? Kepalaku ingin meledak.

Aku tidak masalah jika Ari menyukaiku, itu hatinya, haknya pula, dan aku tidak berhak melarangnya. Namun, aku merasa tidak enak hati jika perasaan Ari kepadaku tidak terbalaskan dengan perasaan yang sama. Karena aku hanya menganggap Ari sebagai sahabat masa kecilku yang menyebalkan sejagad raya.

Aku dilema memikirkannya. Aku tidak mau membuat Ari mengharapkan perasaannya terbalaskan dariku.

Aku menoleh, diam-diam menatap gestur wajah Ari yang sangat fokus dengan layar ponselnya. Lalu aku langsung mengalihkan pandangan—karena takut ketahuan. Sementara ada banyak siswa-siswi yang memasuki kelas secara bergantian. Mereka menyiapkan topi untuk upacara di hari senin.

Saat kulihat suasana lapangan, sudah ada anggota OSIS termasuk Yaya membantu menyiapkan peralatan sound system untuk upacara.

Aku juga menyiapkan topiku sendiri. Terdengar suara Yaya melalui microphone dari lapangan sana, dia memanggil siswa-siswi yang masih ada di kelas untuk segera turun ke lapangan dan membuat barisan.

 

***

 

Istirahat pertama, syukurlah Ari sibuk bermain bola di lapangan dengan teman-temannya. Aku bisa hidup tenang (sementara waktu) tanpa usikan Ari. Aku dengan bahagia membeli jajanan di kantin, setelah habis, aku pergi ke perpustakaan. Lalu bel masuk berbunyi dengan cepat. Kami ada kelas di Lab Komputer. Ketenangan hidupku bertambah panjang, karena Ari sibuk bermain game FPS dengan teman-temannya. Kemudian Pak Setio menegur lmuridnya itu agar mengerjakan tugas yang diberikan, bukannya main game seenaknya sendiri.

Aku tertawa, puas sekali melihat Ari saat dimarahi.

Istirahat kedua, Ari tidak lagi mengusikku karena dia sibuk bermain game di Lab Komputer (padahal jam materinya sudah habis). Ini membuahkan kesempatan untukku merasakan kehidupan yang tenang.

Namun, aku merasa bosan saat di perpustakaan. Aku pun menyadari bahwa diriku tengah menunggu seseorang—kami berkenalan di perpustakaan ini beberapa hari yang lalu.

Dan aku… sama sekali tidak melihatnya hari ini.

“Fajar ke mana, ya?” gumamku pelan. Apa dia tidak datang ke perpustakaan? Aku tidak memiliki keberanian untuk memeriksa kelasnya.

Argghh!

Lalu aku membuka ponselku, mengetuk tombol aplikasi berwarna hijau. Aku mencari sebuah nama di daftar kontak.

Dahiku terlipat saat memeriksa terakhir online kontak tersebut pada pukul 21.30 malam . Yang berarti, seharian ini dia sama sekali belum online. Apakah Fajar tidak masuk sekolah? Apa ada urusan dengan keluarganya? Ah, kenapa aku jadi ingin tahu sekali, sih.

Aku kembali menutup ponsel. Aku tidak mau mengganggu kesibukan Fajar dengan mengiriminya pesan WhatsApp.

Aku kembali ke kelas dengan hati yang gelisah. Kemudian kusaksikan Ari yang melongokkan kepalanya melalui jendela kelas—tahu kalau aku sudah ada di sini.

“Kamu dari mana aja, Wa?” tanyanya saat baru saja memasuki kelas.

Aku duduk di bangkuku. “Ke perpus.”

“Gak ngajak aku?”

Aku menoleh ke sekitar—teman sekelas melihat interaksi kami dengan tatapan mengintimidasi—terutama para siswi-siswi. “Emang kamu suka baca?” tanyaku.

“Suka, kalau sama kamu.” Jawab Ari tanpa ada keraguan, dengan suara yang lumayan jelas di telinga pula.

Mataku melebar. Pandangan aneh para siswi di kelas langsung tertuju padaku. Ingin sekali aku memarahi Ari saat ini karena mulutnya yang tidak bisa dikontrol. Menyebalkan!

Sementara Ari menyeringai lebar. Kemudian datanglah seorang teman kami yang membuat kejadian semakin runyam.

Ooo Maa Gaa! Arik suka sama Najwa, to?” seru Rian, si ketua kelas yang satu frekuensi dengan Ari.

Aku ingin sekali menghilang dari bumi.

Para siswi di kelas ini menatapku tajam, tidak suka, jengkel, apapun itu yang seolah jijik melihatku.

Kemudian Ari menarik tangan Rian, membawanya keluar kelas. Aku bisa sedikit bernapas lega walaupun harus merasakan tatapan nyelekit dari teman perempuan di kelasku.

Hatiku meronta-ronta ingin segera pulang dari sekolah.

 

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Guguran Daun di atas Pusara
427      286     1     
Short Story
Comfort
1117      474     3     
Romance
Pada dasarnya, kenyamananlah yang memulai kisah kita.
Trust
1727      700     7     
Romance
Kunci dari sebuah hubungan adalah kepercayaan.
Teilzeit
717      357     1     
Mystery
Keola Niscala dan Kalea Nirbita, dua manusia beda dimensi yang tak pernah bersinggungan di depan layar, tapi menjadi tim simbiosis mutualisme di balik layar bersama dengan Cinta. Siapa sangka, tim yang mereka sebut Teilzeit itu mendapatkan sebuah pesan aneh dari Zero yang menginginkan seseorang untuk dihilangkan dari dunia, dan orang yang diincar itu adalah Tyaga Bahagi Avarel--si Pangeran sek...
Her Glamour Heels
470      319     3     
Short Story
Apa yang akan kalian fikirkan bila mendengar kata heels dan berlian?. Pasti di khayalan kalian akan tergambar sebuah sepatu hak tinggi mewah dengan harga selangit. Itu pasti,tetapi bagiku,yang terfikirkan adalah DIA. READ THIS NOWWW!!!!
Pacarku Arwah Gentayangan
3850      1311     0     
Mystery
Aras terlonjak dari tidur ketika melihat seorang gadis duduk di kursi meja belajar sambil tersenyum menatapnya. Bagaimana bisa orang yang telah meninggal kini duduk manis dan menyapa? Aras bahkan sudah mengucek mata berkali-kali, bisa jadi dia hanya berhalusinasi sebab merindukan pacarnya yang sudah tiada. Namun, makhluk itu nyata. Senja, pacarnya kembali. Gadis itu bahkan berdiri di depannya,...
Tulus Paling Serius
1482      622     0     
Romance
Kisah ini tentang seorang pria bernama Arsya yang dengan tulus menunggu cintanya terbalaskan. Kisah tentang Arsya yang ingin menghabiskan waktu dengan hanya satu orang wanita, walau wanita itu terus berpaling dan membencinya. Lantas akankah lamanya penantian Arsya berbuah manis atau kah penantiannya hanya akan menjadi waktu yang banyak terbuang dan sia-sia?
Transformers
243      203     0     
Romance
Berubah untuk menjadi yang terbaik di mata orang tercinta, atau menjadi yang selamat dari berbagai masalah?
I\'m Too Shy To Say
396      260     0     
Short Story
Joshua mencintai Natasha, namun ia selalu malu untuk mengungkapkannya. Tapi bagaimana bila suatu hari sebuah masalah menimpa Joshua dan Natasha? Akan masalah tersebut dapat membantu Joshua menyatakan perasaannya pada Natasha.
Be Yours.
1887      1032     4     
Romance
Kekalahan Clarin membuatnya terpaksa mengikuti ekstrakurikuler cheerleader. Ia harus membagi waktu antara ekstrakurikuler atletik dan cheerleader. Belum lagi masalah dadanya yang terkadang sakit secara mendadak saat ia melakukan banyak kegiatan berat dan melelahkan. Namun demi impian Atlas, ia rela melakukan apa saja asal sahabatnya itu bahagia dan berhasil mewujudkan mimpi. Tetapi semakin lama, ...