- 2023 VenatorNoxRead More >>"> Daybreak (2. Hari yang tak pernah terulang lagi) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Daybreak
MENU
About Us  

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring.

Setelah bertemu di perpustakaan, aku tidak bertemu dengan Fajar lagi di kantin saat jam istirahat. Aku tidak tahu dia di mana, mungkin itu privasi. Satu hal lagi, aku juga tidak mau tahu.

Nala pamit pergi terlebih dahulu, dia dijemput papanya. Dan berita yang menyedihkan, Nala dan keluarganya akan pindah ke Surabaya, Nala juga akan sekolah di sana. Ayahnya telah mengurus surat pindah bersama dengan Kepala Sekolah tiga puluh menit sebelum bel pulang.

Lagi-lagi aku kesepian.

Aku mungkin satu SD bersama Nala. Dia teman baik. SMP, aku hanya satu tahun satu sekolah dengannya. Kini, di SMK, tiga tahun pun belum tuntas.

Aku sedih, tapi itu jalan yang terbaik. Papanya pembisnis. Nala anak bungsu dari empat bersaudara. Kakaknya sudah ada yang kuliah, ada juga yang sudah menikah. Di keluarganya, hanya dia yang masih sekolah.

"Nanti kalau dah lulus jangan lupa mampir ke rumah." Kataku sebelum Nala masuk ke dalam mobilnya.

"Utututuuu Wawa... Iya iya, tenang aja."

Aku tersenyum kecut, sedih. Kemudian Nala masuk ke mobilnya. Papa dan Mama Nala sempat menyapaku, aku balas tersenyum, mengangguk sopan.

Mobil keluarga Nala pergi meninggalkan area sekolah. Aku masih ada di depan gerbang. Malas sekali menuju parkiran untuk mengambil motor. Begitu ramai, sesak, dan panas.

Lima menit aku menunggu, akhirnya parkiran motor berangsur-angsur sepi. Ketika aku hendak menyebrang jalan, ada seseorang yang memanggilku.

"Najwa!"

Aku menoleh, mengurungkan niat untuk menyebrang. Rupanya itu Fajar. Rambut tebalnya acak-acakan, keringat mengucur di dahinya. Pemuda yang tingginya hampir sama denganku itu berlari menghampiriku.

"Mau pulang?"

"Iya." Jawabku.

"Naik motor?"

"Ho oh."

"Daerah mana rumahnya?"

"Kebonsari."

"Deket berarti. Rumahku di desa, eh, apa, ya namanya..." Fajar terlihat kebingungan.

"Kamu asli, sini, kan? Kok nggak tahu nama desanya sendiri?"

Fajar menyeringai lebar. "Aku cuma inget Desa Kebonsari aja. Eh, yang ada sekolah SMPN-nya itu desa apaan, sih?"

"Oh, itu Desa Ngampelsari. Lumayan deket dari daerah rumahku. Emangnya kenapa?"

Fajar terlihat gugup. "Eh, boleh ikut numpang motornya, nggak? Ayahku sibuk, nggak bisa jemput."

Aku mengernyit heran. Bukan berarti aku tidak mau membantunya. Tapi baru saja aku mengenal siapa itu Fajar, dia juga baru mengenalku. Dan tiba-tiba dia meminta bantuanku? Apakah dia tidak merasa sungkan?

Tapi jika dia meminta tolong, aku dengan senang hati akan membantunya.

"Boleh, kok... Boleh aja..." Aku mengangguk.

"Aku yang bonceng, ya."

"OK."

Kemudian Aku berjalan menyebrang jalan. Disusul Fajar yang berusaha menyejajari langkah kakiku. Sampai di parkiran, aku mengambil motorku.

"Aku aja yang bayar parkirnya." Fajar memberi uang seharga dua ribu rupiah kepada pak parkir saat sebelum aku yang membayar.

"Kenapa kamu yang bayar?"

"Emang gitu, kan?"

"Tapi aku bukan ojek." Aku cemberut, tidak terima.

"Udah, terima aja. Kamu kayaknya nggak pernah ngasih tumpangan ke temen kamu, ya?"

Aku menggeleng. Tidak menjawab. Sementara itu Fajar memakai helm—eh, sejak kapan dia membawa helm? Aku masih heran sambil memberikan kunci motorku kepadanya. Lantas aku memakai helm-ku.

"Maaf, Najwa. Aku kelihatan sok asik, ya?"

"Maksudnya?" Tanyaku setelah naik ke atas motor. Aku meletakkan tas ranselku di belakang punggung Fajar. Sebagai 'pembatas'.

"Nggak jadi, deh."

Kulihat melalui kaca spion, Fajar tersenyum. Dia mengemudikan motor itu dengan mulus membelah jalanan. Ini untuk pertama kali aku dibonceng oleh laki-laki yang baru saja aku kenal.

Sepanjang perjalanan, Fajar hanya diam. Aku pun tidak memiliki topik yang pas untuk dibicarakan. Juga, aku tidak selera berbicara saat berada di atas motor karena angin di perjalanan membuatku kesusahan mendengar suaranya.

Entahlah, Fajar ini datang dari mana. Bisa-bisanya dia lupa nama desa tempat tinggalnya.

Dua puluh menit, waktu berjalan begitu cepat. Aku mengerjap, tersadar dari lamunan. Fajar menghentikan motornya di depan warung.

Sejenak aku berpikir, orangtuanya punya usaha warung? Ini sudah ada di Desa Ngampelsari itu. Di depan sana terdapat sekolah SMP Negeri ternama.

"Aku mau beli makanan buat Bunda, Wa."

"Loh, ini bukan rumah kamu?"

Fajar menyeringai. "Hehe, sebenarnya rumahku udah kelewat. Tapi aku pingin beli di warung ini. Hadiah buat Bunda."

"Hadiah?" Aku bergumam.

Fajar tersenyum, tidak menjawab. Sementara dia berjalan lebih dulu masuk ke warung. Aku buru-buru melepas helm. Sedangkan Fajar tidak melepas helm-nya.

"Permisi, Pak. Mau beli nasi."

"Nasi apa, Nak? Itu kamu lihat di daftar menu."

Kulihat Fajar kebingungan. Dia menggaruk tengkuk setelah mendengar pedagang warung itu berbicara.

Aku yang berdiri di sampingnya, masih tetap diam.

"Eh, Wa, bapaknya tadi bilang apa, ya?"

"Hah?" Aku mengernyit. "Bapaknya bilang 'Nasi apa, Nak? Itu kamu lihat di daftar menu'"

"Lihat... Oh, gitu, ya..."

Aku masih tidak mengerti. Fajar ini tidak tahu apa tidak dengar? Kemudian aku melihat Fajar memilih beberapa lauk beserta nasi. Entahlah, aku tidak terlalu memperhatikan. Udara di sini terasa panas meski di samping etalase warung itu terdapat kipas angin. Ditambah bau wangi dari lauk-pauk yang masih hangat itu, membuatku lapar.

"Udah. Ayo." ucap Fajar setelah selesai dengan pesanannya.

Aku mengangguk. Saat memakai helm dan sebelum Fajar menyalakan mesin motor, aku hendak bertanya.

"Tadi kamu nggak ngerti, ya?" Tanyaku terus terang.

Fajar menyeringai. "Iya. Aku nggak bisa bahasa Jawa."

"Nggak bisa bahasa Jawa?" Aku berseru tertahan. "Jadi kamu bukan asli orang sini, dong?"

Fajar menggeleng. "Aku orang Jawa Barat. Aku memang lahir di sini, tapi aku besar di sana."

Aku ber-oh, baru memahami. "Jauh banget dari Jawa Barat. Daerah mana kalau boleh tau?"

"Karawang." jawab Fajar seraya mengontak motor.

Aku mengangguk-angguk. Aku juga melakukan hal yang sama. Tidak lupa dengan meletakkan tasku sebagai 'pembatas'.

Lagi-lagi, selama di perjalanan, aku dan Fajar sama-sama diam tanpa sepatah kata. Situasi ini membuatku semakin canggung.

Kemudian Fajar menghentikan motornya di depan rumah dengan gerbang putih setinggi dua meter. Halaman rumahnya luas. Sepertinya dia dari keluarga yang berada.

"Makasih, ya, Wa. Jangan lupa nanti mabar."

Aku terkekeh, mengambil alih kemudi setelah Fajar turun dari motorku. Aku melambaikan tangan kepada Fajar sebelum melaju dengan motor.

Barangkali aku melihat orangtua Fajar, tapi tidak. Fajar tetap ada di depan rumah hingga aku meninggalkan jalan. Aku dapat melihatnya dari kaca spion.

Menurutku, dia itu misterius.

  

***

  

Sesampainya di rumah dan setelah mandi, aku makan masakan Ibu di rumah. Huh, kapan-kapan aku akan membeli lauk di rumah makan itu—jika ibuku tidak memasak. Mengingat bau harum warungnya membuat selera makanku bertambah.

Tapi tetap saja, masakan Ibuku paling enak sedunia, segalaksi, sejagat raya.

"Kamu jangan main game terus, Wa. Udah kelas dua belas. Jangan baca novel yang nggak-nggak. Harusnya kamu baca buku pelajaran." Ibuku menasehati.

"Kalau mainnya sehari sekali boleh, kan?" Tawarku.

"Boleh aja. Asal jangan marah-marah." Ibuku tertawa, jelas tawanya itu sedang menyindirku.

Aku membela diri. "Aku kalau marah diem, Buk. Kesel, sih... masa iya aku yang berusaha, sementara temen satu tim-ku mainnya nggak bener."

"Kan itu cuma game, Wa."

Aku mengeluh pelan, lanjut menyendok makanan.

"Kamu dulu punya temen mabar, kan? Kamu pernah cerita itu ke Ibu."

Aku menyeringai. "Hehe... aku keluar dari squad, Buk. Nggak kuat lagi lihat temen satu squad marahin aku. Ya gitu deh... Kesalahan teknis."

Ibuku tersenyum, senyuman yang membuat hatiku tenang. "Lagian kamu itu harusnya rehat dari game. Mental kamu capek, perlu istirahat."

Aku mengangguk. Setia mendengarkan. Memang benar apa yang Ibuku katakan. Untuk saat ini aku memang harus rehat, fokus sejenak dengan dunia nyata—ujianku akan dilangsungkan enam bulan lagi.

Ibuku meninggalkan dapur saat aku selesai makan. Tak lupa juga aku mencuci piringku sendiri. Kemudian aku pergi ke kamarku.

Ah, aku teringat sesuatu. Bagaimana kabar Fajar sekarang? Sejenak aku membuka aplikasi game untuk melihat kabarnya. Aku tidak selera bermain. Jika dipaksa, gameplay-ku nanti jadi amburadul.

Nama pengguna Brainnn itu online, sedang tidak bermain. Kemudian ada suara notifikasi muncul. Aku membukanya, ternyata itu dari Fajar. Rasa antusiasku bertambah

DXRK • Brainnn
Najwa, boleh minta nomor WA-nya gk?

 

Aku mengernyit membaca pesan itu.


VenatorNox
Buat apa?

 

DXRK • Brainnn
Buat nambah temen aja


VenatorNox
OK. Bentar


DXRK • Brainnn
πŸ˜‰

VenatorNox
Nih, 08885656565

 

DXRK • Brainnn
Makasih 😁

 

Kulihat status dari daftar pertemanan. Nama pengguna Brainnn itu langsung offline.

Aku menghembuskan napas, menutup aplikasi game. Lima menit bengong, aku mendengar suara notifikasi WhatsApp dari nomor tak dikenal.

Unknown : P

Unknown : sv Fajar yg di ml

Oh, rupanya dia. Aku tersenyum, sebelum aku membalas chat-nya, aku telah menyimpan kontaknya dengan nama "Fajar ML" eh, "Fajar X MM". Aku bingung. Kemudian aku memutuskan untuk memberi nama kontaknya "Fajar X ML" artinya adalah, dia adik kelasku yang kelas 10 (X dalam angka romawi), sekaligus teman bermainku di game.

Chat itu berlanjut,

Me : Oh, iyaa

Me : Udh ya

Fajar X ML : Makasih

Me : Sama-sama

Fajar X ML : Main yuk

Me : Ayo

Fajar X ML : Login

Memang benar. Aku langsung login ke aplikasi game karena dia mengajakku. Fajar jarang bermain Rank, dia lebih suka bermain di mode Classic, bersenang-senang. Fajar mungkin ciri-ciri orang yang tidak mau ambil pusing atas sesuatu yang tidak seratus persen mengubah masa depannya.

Dua puluh menit, game selesai. Aku mengantuk, memutuskan untuk tidur. Fajar juga tidak mengirim pesan lagi—dia sepertinya tahu keadaanku yang besok berhadapan dengan materi rumit di kelas dua belas.

Kulempar ponselku ke atas kasur. Perlahan kedua mataku terpejam. Sedikit membayangkan tentang masa depan—ritual sebelum tidur. Dan ada satu pemikiran lagi yang mengganggu 'ritual' ini.

Tahun depan aku akan lulus dari SMK.
 

***

 

Aku benar-benar tidak menyangka, hari seperti kemarin ternyata tidak akan terulang lagi di hari-hari berikutnya.

Pagi hari aku masuk lebih awal. Suasana kelas masih sepi, hanya satu-dua siswa yang berjalan di koridor atau tidak ibu-ibu kantin yang menata makanan. Dan aku pun memutuskan mampir ke kantin, membeli air mineral. Aku lupa membawa botol minum yang sudah disiapkan oleh ibuku.

Lantas aku berjalan menuju kelasku di lantai dua. Suasana sekolah ini, saat pagi hari begitu sejuk dan menenangkan. Setengah jam lagi akan ramai oleh murid laki-laki yang bermain bola.

Aku masuk ke kelas. Ternyata sudah ada yang hadir mendahuluiku. Ari Erico. Panggilannya Ari atau teman-temannya biasanya memanggilnya Arik (aku pun begitu). Laki-laki itu masih pagi sudah bermain game. Apakah kehidupannya hanya soal game?

Sesaat Ari tidak menyadari kehadiranku. Aku tetap berjalan santai. Tempat duduk Ari ada di sebelah tempat dudukku.

"Ah, sialan!"

Tuh, kan. Masih pagi sudah mengumpat kasar. Aku harap kalian tidak menirunya.

Aku meletakkan tas. Sesaat Ari menoleh ke arahku, lalu menoleh lagi ke layar ponselnya.

"Hai, Wawa. Tumben pagi banget berangkatnya?" Tanya Ari yang kedua matanya masih fokus menatap layar ponsel.

Aku tersenyum—meski Ari tidak melihatku wajahku. "Biar gak macet."

Ari mengangguk-angguk, fokus lagi dengan game-nya. Lima menit kemudian, game itu berakhir. Sejenak aku melihat Ari yang tersenyum bahagia. Aku yang tadi sibuk menggulir beranda Instagram sempat mendengar suara "Victory" dari ponsel Ari.

"Eh, Wa,"

Aku menoleh. Ari berpindah duduk di sebelahku—tempat duduk Nala dulu.

Aku hanya mengangkat kedua alis sebagai jawaban 'apa?'

"Nala pindah, yo?"

"Ho oh."

"Waduh, aku jadi nggak bisa nyontek lagi."

Aku menghela napas. Ari memang anak yang suka mendesak Nala agar memberikan tugas dari semua materi pelajaran kepadanya. Walaupun Nala sudah menolak berkali-kali. Tapi Ari ini pantang menyerah meminta daripada berpikir sendiri.

"Pindah ke mana, sih, Wa?"

"Surabaya." Jawabku. Aduh, kenapa aku dan Ari jadi mengobrol begini? Biasanya kami tidak pernah mengobrol berdua saja. Dan Ari ini mudah sekali mencari topik.

Sekilas Ari mengangguk. Aku masih berpura-pura menatap layar ponsel. Enggan menatap langsung wajah Ari.

Harus kuakui. Ari atau Arik ini salah satu siswa yang paling tampan di kelas kami. Tapi kepribadiannya itu jauh dari kata tampan. Dia selalu ngomong kasar, bermain game saat pelajaran dimulai, suka mencari masalah dengan anak kelas lain, beberapa kali dia dipanggil guru BK. Intinya dia biang kerok. Namun, dia menjadi andalan beberapa guru di bidang Multimedia karena kepintarannya dalam hal komputer.

Dan entah kenapa, dia selalu berkata halus kepada teman perempuannya, apalagi saat memaksa meminta jawaban ke Nala. Mungkin Ari memiiki motto "Nakal boleh, tapi jangan menyakiti hati wanita".

"Eh, Wa," suara Ari setelah keheningan.

"Apa?"

Aku melihat dari ujung mata. Ari sedikit mendekatkan wajahnya ke arahku. Dia berbisik, "Kamu main game Ancient Legends, ya?"

Aku tercekat, berhenti sejenak dari kegiatanku menggulir beranda Instagram.

Kini aku memberanikan diri menatap wajah Ari. Aku masih ingat ucapan Nala kalau Ari pernah melihatku bermain game itu.

"Bener, kan? Username kamu Venator." Kemudian Ari tertawa kecil.

"Kok tahu?" Aku memicingkan kedua mata. "Pasti Nala yang bilang, kan?"

Ari menggeleng. "Aku tahu sendiri pas lihat kamu main beberapa hari yang lalu. Aku kaget, ternyata kamu VenatorNox itu."

Sekali lagi aku merasa heran. "Memangnya ada apa sama Venator?"

Ari terdiam, dia sepertinya sudah tidak berani menatap wajahku. Dia memilih untuk menatap suasana ruang kelas yang sepi.

"Aku dulu pernah mabar sama username itu, satu squad lagi. Kamu nggak pernah tahu kalau username Koraki AE itu aku."

Kedua mataku melebar.

Benar. Aku mengingat semua nama pengguna pemain satu squad denganku dulu. Dan Koraki AE itu memiliki skill paling jago di antara kami. Dia memegang role Roam, dan dia menguasai semua hero. Kadangkala Koraki AE bergonta-ganti role.

Jika kalian bermain game Ancient Legends atau MOBA sejenisnya, pasti kalian paham bahwa pemain yang bisa menguasai semua hero itu benar-benar langka.

Aku menelan saliva, terkejut bahwa Koraki AE itu Ari Erico. Arghh! Kenapa aku tidak menyadarinya dari dulu?

"Squad kita, eh, ICTR, udah bubar tiga bulan lalu, tepat sehari setelah kamu keluar dari squad."

Aku mendengarkan ucapan Ari. Nama squad kami ICTR, singkatan dari Incantator yang memiliki arti "Pemikat" dalam bahasa Latin. ICTR beranggotakan lima pemain. Aku masih ingat tiga nama pengguna dari pemain ICTR selain aku dan Ari.

Bonesabone dari Kota Solo, MayorK dari Kota Banyuwangi, dan RosellDeLux dari Kota Jakarta Selatan.

Hanya aku dan Ari yang satu kota. Aku ingat Ari pernah mendapat title No. 50 Sidoarjo. Tapi aku tidak menghiraukan, bodo amat dengan title orang lain. Aku sibuk mengejar title-ku sendiri.

"Kenapa dibubarin, Rik?" sejenak aku merasa bersalah. Karena aku yang keluar, squad itu jadi bubar.

"Nggak ada yang bisa gantiin posisi kamu, Wa. Squad ICTR bubar, tapi aku tetep mutualan sama mereka, kok. Sering mabar juga."

"Aku juga masih mutualan sama mereka. Eh, sama kamu juga."

Ari tersenyum, menoleh ke arahku. "Tadi malam aku mau ngajak kamu mabar. Eh, kamunya main. Pas selesai, eh kamunya langsung off. Aku udah nungguin kamu, lho."

"Hah? Yang bener? Habis main kemarin aku langsung tidur." Aku menyeringai.

"Hilih." Ari mendengus. Raut wajahnya jadi berubah melas. "Sejak kamu keluar dari squad, aku jadi sungkan ngajak VenatorNox mabar. Mungkin dia suka main solo. Atau... Ada pengganti lain?"

Aku melotot.

"Bercanda." Ari menyeringai.

Aku menyunggingkan senyum. Belakangan ini aku mabar berdua dengan Fajar. Hanya Classic. Aku sudah tidak akan mengejar title lagi. Bersenang-senang jauh lebih penting. Itu hanya game, bukan?

"Tapi nanti beneran mabar, ya, Wa.Aku kangen sama gameplay kamu "

Aku terkekeh, mengangguk-angguk

Ari beranjak dari kursi. Kelas mulai ramai. Obrolanku dengan Ari mengundang perhatian siswa yang baru saja datang ke kelas. Ari memelototi beberapa siswa yang memperhatikan dirinya—yang juga sempat ikut memperhatikanku juga.

Kemudian Ari keluar dari kelas. Sepertinya dia hendak bermain bola di lapangan sana. Aku tidak tahu apakah Ari sudah mengerjakan PR atau belum. Bisa-bisa nasibku akan sama seperti Nala nanti.

Kuhempaskan punggung ke sandaran kursi. Sejenak aku mengambil napas lantas menghembusnya. Sambil sesekali aku melihat Ari yang sedang berlari-lari bermain bola di lapangan.

Eh, aku tak sengaja melihat Fajar. Dia duduk di kursi yang ada di depan ruang guru. Dia sendirian. Wajahnya tampak ceria melihat beberapa murid seniornya yang bermain sepak bola di lapangan. Seakan-akan dia juga ingin bermain bola bersama mereka.

Aku tersenyum. Dari kejauhan aku bisa melihat wajah itu.

Namun, aku tidak sengaja melihat Fajar yang meringis, seperti menahan rasa sakit. Dia sempat memegangi daerah kepalanya.

Kemudian Fajar terlihat berdiri dari duduknya. Dia menuju ke suatu tempat—ke arah kamar mandi laki-laki. Apa yang akan dia lakukan? Kenapa raut wajahnya sampai mengernyit begitu?

Aku menghembuskan napas. Masih penasaran. Nanti-nanti saja di WhatsApp atau pas bermain game, aku akan bertanya.

   
***

    
Ternyata Aku tidak perlu bertanya melalui perantara WhatsApp. Karena aku tidak sengaja bertemu dengan Fajar di perpustakaan saat istirahat. Aku hendak meminjam buku.

"Baca buku apaan, tuh?" Fajar menjulurkan lehernya, penasaran dengan judul buku yang aku bawa.

Aku duduk di kursi, berhadapan dengannya. "Bahasa Inggris."

"Oh, gampang itu. Waktu lulus dari SMP, nilai bahasa Inggris-ku yang paling tinggi." Fajar menyeringai, membanggakan diri.

"Oh, ya?" Aku benar-benar terlihat antusias. "Kamu bisa bahasa Inggris?"

"Of course I can."

"Widih, aksen apa, ya, itu..."

"British."

"Oh iya! Aksennya keren. Aku nyoba ngomong bahasa Inggris pake aksen British. Tapi lidahku gak mendukung."

Fajar hanya tertawa kecil.

Perpustakaan lengang. Kami saling diam membaca buku masing-masing. Lantas aku diam-diam memperhatikan Fajar yang membaca komik yang entah apa judulnya. Raut wajah Fajar terlihat serius sekali.

"Eh, Fajar," panggilku.

"Ya?" Fajar beralih menatapku. Menutup buku komik yang ia baca.

"Eh, tadi dari jendela kelas aku lihat kamu duduk di kursi di depan ruang guru."

Fajar mengangguk-angguk. "Iya emang."

"Aku sempat lihat kamu meringis gitu, kayak nahan rasa sakit. Terus kamu lari ke kamar mandi. Kamu lagi sakit?" tanyaku ragu-ragu

Fajar mengembuskan napas, raut wajahnya berubah.

Mendadak aku jadi berasa bersalah. "Eh, sorry, Fajar. Itu privasi, ya? Maaf."

"Iya, aku memang sakit." Fajar menjawab. Dia tersenyum—senyum yang terlihat memaksakan.

Aku mengernyit. "Kalau sakit kenapa sekolah? Harusnya istirahat aja di rumah." Aku berusaha untuk tidak bertanya kepada Fajar tentang sakit apa dia sekarang.

Fajar tersenyum, menggeleng. "Sakit kecil, kok. Eh, masuk angin, eh, diare."

Dahiku terlipat. Jika Fajar sakit diare, lalu kenapa saat dia meringis tadi—aku tidak melihatnya memegang perut? Fajar malah memegang kepalanya.

Aku pun mengangguk-angguk, mengiyakan saja. Lagi pula topik tentang penyakit ini kurang enak jika dibahas.

Namun, Fajar berbohong. Aku yakin sekali dia tidak sakit diare atau masuk angin.

Boleh jadi aku mengganggu privasinya, atau pertanyaanku terasa sensitif sehingga Fajar berbohong.

"Kamu nggak bosen baca buku pelajaran, Wa?" Fajar mencomot topik baru.

"Biasa aja. Kamu juga lagi baca komik. Judulnya apa, tuh?"

Fajar mengangkat buku, menunjukkan sampul itu ke arahku.

Eh? Sepertinya aku pernah mengenali jenis komik—yang sudah diangkat menjadi animasi. Komik asal Jepang yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Aku bahkan sudah habis menonton animasinya.

"Shigatsu wa kimi no uso?" Aku menutup mulut. "Eh, Your Lie In April."

"Kamu tahu?" Fajar terlihat antusias.

"He em." Aku mengangguk mantap. "Aku udah nonton full anime-nya. Kamu juga, kan?"

Fajar mengangguk. "Iya, ini lagi baca versi komiknya."

Aku tersenyum sekali lagi.

"Sebelum meninggal, si tokoh perempuan menitipkan surat kepada orangtuanya yang hanya ditujukan kepada si tokoh laki-laki. Kasihan sekali tokoh utama laki-lakinya. Dia baru menyadari bahwa si tokoh perempuan mencintainya."

Entah kenapa mendadak intonasi suara Fajar berubah prihatin, menjadi sedih.

"Itu cuma cerita karangan, kan. Kenapa kamu sedih?" Aku terkekeh, berusaha menghiburnya.

"Iya juga, ya. Cuma karangan. Kenapa aku jadi sedih begini..." Fajar mengangkat bahu, kemudian tersenyum.

Lima belas menit kemudian, Fajar hendak keluar dari perpustakaan. Aku juga harus masuk ke kelas lima menit sebelum bel masuk berbunyi.

"Jangan lupa nanti mabar, Wa." ucap Fajar.

Aku terkekeh, mengacungkan jempol. Mana mungkin aku menolak ajakannya. Dia temanku, sejak kemarin.

Kami berjalan di tepi lapangan. Ramai anak laki-laki bermain bola di tengah lapangan dengan terik matahari yang menyengat kepala.

"Awas!" Aku tersentak saat melihat lemparan bola yang hampir saja mengenai kepala seseorang yang ada di sebelahku.

Fajar! Dia cekatan menangkap bolanya.

Aku mendengus kepada anak laki-laki yang telah melempar bola itu. "Udah mau bel masih aja main bola!" aku marah, lebih tepatnya kesal.

Laki-laki itu adalah Ari, dia hanya nyengir saat kumarahi. Kemudian dia memandang Fajar dengan tatapan mengintimidasi. "Pacar kamu, ya?"

"Apaan, sih, Rik?" Aku mengernyit. Satu, karena marah kepada Ari. Dua, karena matahari di atas sana bersinar terik menyengat kulit kepalaku.

"Dih. Pacaran kok sama adik kelas. Cupu lagi." Ari tertawa.

"Maksudmu apa, heh? Yang jelas kalau ngomong!" Aku berteriak sekali lagi.

Fajar hanya diam, wajahnya terlihat polos. Mungkin karena dia tidak mengerti bahasa yang aku ucapkan.

Kemudian Ari mengambil bola itu dari tangan Fajar. Wajahnya itu—ingin sekali aku meninjunya sekarang juga.

"Kelas sepuluh, ya?"

Fajar mengangguk. Aduh, aku tidak mau mereka ribut. Apalagi Ari suka sekali bersahabat dengan masalah.

"Baru kelas sepuluh gak usah sok keras, Dek."

"Udah, woy." Aku melerai, menarik tangan Fajar untuk membawanya menjauh dari lapangan. "Jangan ldiladeni"

Mungkin Ari terlihat kesal di tepi lapangan sana. Aku terus menarik tangan Fajar, menjauhkan dia dari Ari si biang kerok.

Saat kami sudah ada di koridor lantai bawah, baru aku melepas tangan Ari. "Sorry. Dia temen sekelas aku. Agak gendeng itu anaknya."

"Gendeng?" Fajar mengernyit.

Aku menepuk dahi. "Gendeng itu artinya gila. Udah deh, kamu masuk ke kelas aja."

Fajar mengangguk-angguk. Aduh, wajahnya itu polos sekali, seperti seragamnya yang tidak terpasang atribut sekolah.

Kebetulan sekali kami melewati area kelasnya Fajar, X MM-1. Aku melambaikan tangan ketika Fajar memasuki kelasnya. Sejenak aku dijadikan tontonan oleh adik-adik kelas. Aku bergegas berjalan cepat menuju ke tangga, memasuki kelasku di lantai dua.

Aku duduk di bangkuku setelah memasuki kelas. Menghempaskan punggungku ke sandaran kursi. Persis saat aku hendak menarik napas, si biang kerok itu datang memasuki kelas.

Aku mengernyit, memalingkan pandangan. Si Ari itu, aku malas menjawab jika dia bertanya-tanya soal Fajar. Kurang ajar dia menganggapku dan Fajar berpacaran.

Ari menuju ke bangkuku, sekilas aku melihat wajahnya yang ceria, sekaligus menyebalkan.

"Jangan marah, Wa. Aku tadi nggak niat ngajak dia gelut, kok." Ari mulai bersuara.

Aku tetap diam, bersedekap, menatap ke arah jendela. Di lapangan sana siswa laki-laki yang sempat bermain bola berangsur-angsur membubarkan diri karena bel masuk akan berbunyi.

"Tapi, Wa, kalau kamu marah itu... Berarti beneran, dong?"

"Apaan, sih, Rik?" Aku berseru pelan, menatap wajah Ari yang duduk di sebelahku. Aku tidak bisa menahannya lagi. Kupingku terasa panas. "Dia adik kelasku. Ngerti?"

Ari mengerjap. "Terus kenapa kamu marah?"

"Aku marah karena kamu hampir aja nendang bola ke kepalanya!" Aku melotot, gemas.

"Ya... Tadi itu nggak sengaja, Wa," Ari mengangangkat bahu. Sepertinya dia benar-benar tidak merasa bersalah.

"Bukannya minta maaf, kamu malah bersikap sok senioritas ke dia. Kakak kelas macam apa kamu ini, heh? Gak sopan sama adik kelas." Aku mendengus sebal. Memalingkan pandangan.

Aku melihat dari ujung mata, Ari tersenyum. "Ya udah, nanti aku bakalan minta maaf—"

"Buat apa?" Aku menyahut. "Buat siapa kamu minta maaf?"

Ari terbungkam. Aku tahu, dia berniat meminta maaf ke Fajar karena aku marah. Bukan karena dia menyadari kesalahannya.

"Kamu harus tulus minta maafnya." ujarku.

Ari mengangguk kikuk, kemudian dia beranjak dari kursi, pindah ke bangkunya sendiri.

Aku tidak tahu pasti apa yang sedang dipikirkan oleh Ari saat ini. Setidaknya dia tidak menggangguku sampai pelajaran hari ini berakhir.
 

***

 

Ternyata aku salah, Ari tetap menggangguku.

Dia itu, aduh, sejak Nala pindah, dia menyontek tugasku. Apa susahnya, sih, berpikir? Atau melihat buku? Karena kesal, aku menjitak kepalanya dengan buku paket yang aku bawa.

"Please, Wa, nomor 5 aku belum..." Ari merengek seperti anak kecil.

"Enggak boleh!" sergahku. "Lihat yang lain aja! Dari tadi aku terus."

"Enggak mau. Kamu, kan, jago bahasa Inggris. Ayo, Wa, ini mau dikumpulin..." Ari tetap merengek. Di depan, Miss Andin—guru bahasa Inggris kelas ini melotot ke arah kami yang berdebat. Aku segera merubah raut wajah sesopan mungkin.

"Ciye... Nggak lama lagi, nih..." celetuk salah satu siswa laki-laki di sekelasku. Kemudian aku melotot mengancamnya.

"Apa susahnya, sih, Wa, ngasih contekan ke Ari." siswa yang lain menyahut. Sementara pandangan siswi di kelas ini menatapjutek padaku. Apa mereka iri karena aku bisa berinteraksi dengan idole mereka (Arik) sedekat ini?

"Enak aja. Mikir sendiri, dong!" jawabku ketus.

Aku tidak suka diledek seperti itu jika aku berdebat dengan Ari. Kenapa sih teman-teman di kelas ini menganggap perdebatan antara murid laki-laki dan perempuan itu memiliki hubungan spesial seperti pacaran? 

Aku tidak pernah berpacaran, orangtua melarangku agar aku fokus dengan sekolah. Bukan cinta-cintaan remaja yang tidak jelas akan bertahan lama atau tidak. Lagi pula aku tidak sudi dijodoh-jodohkan dengan Ari. Ewhh!

Sejenak Aku menghela napas, mengingat bel pulang akan berbunyi sepuluh menit lagi. Karena aku tidak ingin berdebat dan terus diledek oleh teman sekelas, akhirnya aku memberikan buku tulis bahasa Inggris-ku kepada Ari. Wajahku datar tanpa tersenyum sedikitpun.

Kulihat wajah laki-laki itu sumringah ketika meraih buku tulisku. Lima menit Ari menulis, sebenarnya tulisannya lebih mirip cabai rawit. Jawaban atas nomor 5 itu cukup panjang. Aku sempat menyaksikan tangan Ari yang gemetar saat menyalin tulisanku di bukunya.

"Time's up, students!" Miss Andin berseru.

Di saat itu juga, Ari menyelesaikan tulisannya. Dia mengumpulkan bukuku dan bukunya kepada Miss Andin.

"Makasih, Wa... Kamu teman terbaik sejagat raya." ucap Ari saat kembali ke bangkunya sendiri. Tersenyum.

Aku menghela napas. Mencibir, "Kimi timin tirbiik sijigit riyi."

Huft.

 

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Alter Ego of The Ocean
478      322     0     
Short Story
\"She always thought that the world is a big fat unsolved puzzles, little did she knew that he thought its not the world\'s puzzles that is uncrackable. It\'s hers.\" Wolfgang Klein just got his novel adapted for a hyped, anticipated upcoming movie. But, it wasn\'t the hype that made him sweats...
Nobody is perfect
12138      2173     7     
Romance
Pada suatu hari Seekor kelinci berlari pergi ingin mencari Pangerannya. Ia tersesat, sampai akhirnya ditolong Si Rubah. Si Rubah menerima si kelinci tinggal di rumahnya dan penghuni lainnya. Si Monyet yang begitu ramah dan perhatiaan dengan si Kelinci. Lalu Si Singa yang perfeksionis, mengatur semua penghuni rumah termasuk penghuni baru, Si Kelinci. Si Rubah yang tidak bisa di tebak jalan pikira...
Untuk Takdir dan Kehidupan Yang Seolah Mengancam
444      310     0     
Romance
Untuk takdir dan kehidupan yang seolah mengancam. Aku berdiri, tegak menatap ke arah langit yang awalnya biru lalu jadi kelabu. Ini kehidupanku, yang Tuhan berikan padaku, bukan, bukan diberikan tetapi dititipkan. Aku tahu. Juga, warna kelabu yang kau selipkan pada setiap langkah yang kuambil. Di balik gorden yang tadinya aku kira emas, ternyata lebih gelap dari perunggu. Afeksi yang kautuju...
Love You, Om Ganteng
15305      3648     5     
Romance
"Mau dua bulan atau dua tahun, saya tidak akan suka sama kamu." "Kalau suka, gimana?" "Ya berarti saya sudah gila." "Deal. Siap-siap gila berarti."
Words Unsaid
568      314     2     
Short Story
For four years, I haven’t once told you my feelings. There are words still unsaid that I have always wanted to tell you.
Memoria
290      241     0     
Romance
Memoria Memoria. Memori yang cepat berlalu. Memeluk dan menjadi kuat. Aku cinta kamu aku cinta padamu
Reach Our Time
9282      2177     5     
Romance
Pertemuan dengan seseorang, membuka jalan baru dalam sebuah pilihan. Terus bertemu dengannya yang menjadi pengubah lajunya kehidupan. Atau hanya sebuah bayangan sekelebat yang tiada makna. Itu adalah pilihan, mau meneruskan hubungan atau tidak. Tergantung, dengan siapa kita bertemu dan berinteraksi. Begitupun hubungan Adiyasa dan Raisha yang bertemu secara tak sengaja di kereta. Raisha, gadis...
Fighting!
476      321     0     
Short Story
Kelas X IPA 3 merupakan swbuah kelas yang daftar siswanya paling banyak tidak mencapai kkm dalam mata pelajaran biologi. Oleh karena itu, guru bidang biologi mereka memberikan tantangan pada mereka supaya bisa memenuhi kkm. Mereka semua saling bekerja-sama satu sama lain agar bisa mengenapi kkm.
Ojek Payung
445      315     0     
Short Story
Gadis ojek payung yang menanti seorang pria saat hujan mulai turun.
Kreole
94      84     1     
Romance
Apa harus ada kata pisah jika itu satusatunya cara agar kau menoleh padaku Kalau begitu semoga perpisahan kita menjadi ladang subur untuk benih cinta lain bertunas