Sekitar jam sembilan Pak Galuh datang, dan kami langsung digiring menuju tempat prakerin olehnya. Seperti biasa, aku berangkat bersama Windy, sedangkan ketiga kembar siam itu —Erika, Meli dan Sofia— harus boti —bonceng tiga— karena hanya Sofia yang membawa motor, sedangkan Pak Galuh tak mau membonceng siapapun karena takut dimarahin istrinya.
Kami diantarkan Pak Galuh di salah satu bank swasta yang ada di Jakarta, dan setelah kami sampai, kami langsung dibagi menjadi beberapa kelompok. Aku mendapatkan bagian KPR —Kredit Pemilikan Rumah— Windy mendapat bagian mikro, Meli dan Erika mendapat bagian kas besar, dan Sofia mendapat bagian Deposito.
Aku dan Sofia ditempatkan di satu ruangan yang sama, ruang back office di lantai satu. Sedangkan Windy, Erika dan Meli, mereka ditempatkan di ruang back office yang ada di lantai dua.
"Kamu dapet bagian apa, Neng?" tanya salah satu pegawai yang duduk tak jauh dari pintu masuk.
"KPR, Bu" jawabku tersenyum ramah padanya.
"Oh, KPR. Kalo gitu kamu duduk aja di meja yang ada tas itemnya itu, pembimbing kamu kayanya lagi survei" ujarnya menunjuk meja sebelah kiri.
"Iya, makasih Bu" jawabku, kemudian berlalu menghampiri meja yang ditunjuknya.
“Namanya siapa?" tanyanya setelah aku meletakan tasku di laci meja.
"Anja, Bu" jawabku singkat.
"Kamu tunggu aja pembimbing kamunya, ya. Dia lagi survei agunan" suruhnya.
Aku mengangguk, kembali ku perhatikan ruangan berbentuk akuarium besar ini dengan seksama. Ruangan ini bernuansa putih dengan aroma tinta dan kertas yang lebih dominan dari pada wangi vanilla yang tergantung di temboknya. Terdapat satu mesin fotocopy di sebelah kanan pintu masuknya, juga beberapa meja yang tersusun rapih dengan monitor di atasnya.
Selesai mengabsen interior ruangan, mataku kini tertuju pada pegawai di dalamnya. Mereka terlihat sibuk sekali. Di sebelah kanan meja yang kutempati, seorang pria bertubuh gembal sedang asik sendiri dengan telponnya. Di sebelah kirinya, beruntun tiga pegawai lain yang entah sedang memperbincangkan masalah apa dengan mimik seriusnya.
Aku menguap, rasa kantuk tiba-tiba datang menghampiriku yang sedari tadi tidak melakukan apapun, kecuali duduk. Hampir setengah hari aku habiskan untuk duduk diam memandangi para pegawai di sekitarku yang sibuk sendiri dengan pekerjaannya. Sesekali aku melirik Sofia yang berada di belakang mejaku. Ku lihat Sofia sedang diajarkan cara menscan data oleh pembimbingnya.
Ku ambil ponselku di dalam saku, saat aku membukanya, terlihat foto Edgar tengah mendrible bola dengan gagahnya di sana. Foto itu aku ambil secara diam-diam beberapa waktu yang lalu. Aku segera membuka galeri dan memilih foto lain untuk mengganti wallpaperku. Sekarang, aku harus benar-benar melupakannya, aku tidak boleh menjadi perusak hubungan orang.
Aku beralih membuka grup chat kelas yang sejak tadi malam tidak aku lihat, dari isi chat yang mereka kirimkan, aku bisa menebak kalau mereka sedang pusing mengerjakan soal perpetual dan periodik. Dapatku tebak dari isi chat mereka yang menyebut-nyebut nama Bu Imay dan beberapa isi kebun binang karena kepusingan.
Saat aku sibuk dengan ponselku, tiba-tiba seseorang berdehem di belakangku, sontak aku langsung mengalihkan pandanganku padanya.
"Lho?" ucap kami bersamaan, dengan posisi yang sama pula, saling menunjuk satu sama lain.
Aku memicingkan mata, memperjelas penglihatakanku guna memastikan apakah objek yang ada di depanku ini nyata atau hanya ilusi semata.
Tanpa sadar, tanganku masih setia menunjuk wajahnya. Saat beberapa karyawan lain mulai memperhatikan kami, aku segera menurunkan tanganku.
"Kamu lagi ngapain di sini?" tanya pria itu, dia menatapku penuh selidik.
"Bapak sendiri lagi ngapain di sini?" aku balik bertanya.
"Kerja" jawabnya, kemudian mendudukan pantatnya pada kursi kosong di sebelahku. "Kamu ngapain?" tanyanya lagi.
"Prakerin" jawabku.
Pak Galfin kembali menatapku, namun kali ini bukan dengan raut curiganya, melainkan dengan senyuman yang pernah dia sunguhkan padaku saat di warung mie ayam waktu itu.
Aku segera memasukan ponselku ke dalam saku, beralih memperhatikan Pak Galfin yang kini mengeluarkan sebuah tustel dari tas kecilnya.
“Kamu ngapain prakerin? Katanya males, takut disuruh-suruh sama pembimbingnya yang killer" sindirnya.
Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal, ucapannya tadi benar-benar membuatku malu. Tapi tunggu! Apa tadi dia bilang? Pembimbing killer? Ngomong-ngomong, siapa pembimbingku?
"Pak, pembimbing gue siapa ya?" tanyaku.
"Mana saya tau" jawab Pak Galfin tak acuh.
"Ishhh, serius Pak, gue beneran belum tau siapa pembimbing gue"
“Ya cari tau dong"
"Cari tau dimana? Google juga nggak mungkin tau kalo gue tanya siapa pembimbing prakerin gue"
"Sumpah ya" gumamnya sedikit terkekeh. “Sekarang kamu duduk dimana?" tanyanya.
"Di sini"
"Ya di mana?
"Di sebelah Bapak"
"Yaudah"
"Maksudnya? Bapak yang jadi pembimbing gue?"
“Iya!"
"Horeeeeee......." teriaku kegirangan, tanpa aku sadari, sekarang aku menjadi sorotan semua pegawai di ruangan ini.
*****
"Sumpah Jay, gue rasanya pengen masuk ke rahim emak gue lagi" ucap Windy menggebu-gebu. "Tau dia bakal jadi pembimbing prakeirn gue, gue nggak akan ngehina dia waktu itu" sesalnya.
Sekarang waktu istirahat, dan Windy menyambut istirahat pertamaku dengan cerita sialnya. Pak Hasan, pria botak bertubuh gempal yang Windy marahi saat di café waktu itu, ternyata menjadi pembimbing prakerinnya.
Windy bilang, Pak Hasan langsung melakukan aksi balas dendam dengan memberinya banyak pekerjaan. Pagi tadi dia disuruh bolak-balik mengambil ATK —Alat Tulis Kantor— di ruang ATK yang letaknya lumayan jauh dari ruangannya.
"Makanya Win, jangan suka marah-marah" sahutku yang kemudian langsung mendapat pelototan tajam.
"Jangan suka marah-marah lo bilang? Waktu itu lo yang udah bikin gue marah-marah sama dia!" sulutnya tak terima.
"Ya maap, kan waktu itu gue nyuruh lo ngobrol sama dia, siapa tau bisa lebih akur"
"Dianya sih, kegatelan minta digaruk. Lo kan tau gue paling jijik sama cowok gatel, apalagi udah tua begitu"
"Sabar ya Win, dunia memang sebercanda itu sama lo"
"Emang monet, ya, lo"
"Sabar Win, Sabar"
"Sabar pala bapak lo" ketusnya.
Dalam hati aku tertawa, ini sebuah kebetulan yang sangat luar biasa. Pak Hasan yang waktu itu Windy marahi habis-habisan menjadi pembimbingnya, dan Pak Galfin yang tidak sengaja bertemu denganku di warung mie ayam menjadi pembimbingku. Apa mungkin, aku memang berjodoh dengan Pak Galfin? Dan Windy berjodoh dengan Pak Hasan?
Aku tidak keberatan, akan ku terima dengan senang hati.
*****
Pagi tadi Windy kembali menjemputku, namun kali ini kami langsung menuju tempat prakerin. Setelah kemarin Pak Galuh mengantarkan kami, kami diberitahu untuk langsung berangkat sendiri setelahnya.
Saat sampai, Pak Hasan langsung meminta Windy mengarsip beberapa dokumen. Aku hendak membantu Windy, tapi Pak Hasan menyuruhku untuk kembali ke tempatku, dan berakhirlah aku memperhatikan Pak Galfin yang sedang sibuk dengan komputernya.
Setelah beberapa menit terdiam, rasa kantuk tiba-tiba datang menghampiriku. Aku baru tahu, ternyata prakerin lebih membosankan dari belajar. Jika saja sekarang aku diberi pilihan untuk memilih, aku pasti akan memilih untuk mengikuti pelajaran Bu Imay. Sungguh, prakerin benar-benar membuatku bosan.
"Pak, gue mau ke kamar mandi dulu ya" aku menahan mulutku yang sebentar lagi akan menguap.
"Iya" jawab Pak Galfin singkat. Aku pergi kekamar kecil untuk mencuci muka dan sedikit merapihkan rambutku yang terlihat acak-acakan. Setelah selesai, aku langsung kembali ke mejaku.
"Anja, kamu sudah tau KPR itu apa?" tanya Pak Galfin saat aku kembali. Aku menggeleng.
"Syarat-syarat yang dibutuhkan untuk mengajukan KPR?" aku kembali menggeleng.
"Risiko yang ada pada KPR?" sekali, lagi aku menggeleng.
"Berapa batas maksimal pinjaman KPR?"
"Nggak tau, Pak, KPR nya aja gue nggak tau, batas minimal maksimalnya juga pasti nggak tau lah" jawabku pada akhirnya. Kali ini Pak Galfin yang menggelengkan kepalanya, prihatin.
"Kamu udah tau kalo kamu dapet bagian KPR, kan? Kenapa pulang prakerin kemarin kamu nggak cari tau KPR itu apa?"
"Iya, kemaren niatnya mau nyari tau, tapi lupa" jawabku yang tentu saja berbohong. Ingat mendapat bagian KPR saja tidak, bagaimana mungkin aku berniat mencari tahunya?
"Kamu ini ya, sini" titah Pak Galfin, aku menarik kursiku mendekat padanya.
"Kalo lagi di kantor, jangan ngomong lo gue, usahanin sedikit lebih formal" bisiknya, aku mengangguk.
"Jadi gini, Anja. KPR, itu singkatan dari kredit pemilikan rumah, kredit ini digunakan untuk membeli rumah atau untuk kebutuhan konsumtif lainnya dengan jaminan atau agunan berupa rumah" Pak Galfin menatap sebentar, memastikan aku mendengarkan penjelasannya dengan seksama.
"Tujuan adanya KPR adalah untuk membantu para nasabah yang ingin memiliki rumah tapi tidak memiliki uang dalam jumlah bayak. Pada intinya, KPR merupakan sarana fasilitator untuk mendapatkan suatu kredit khususnya rumah.
Karena masuk ke dalam kategori konsumtif, maka peruntukan KPR haruslah untuk kegiatan yang bersifat konsumtif, seperti pembelian rumah, furniture, pembelian kendaraan, dan kegiatan konsumtif lainnya. Jenis kredit ini tidak boleh digunakan untuk kegiatan yang bersifat produktif seperti pembelian stok barang dagangan, modal kerja, dan lain sebaginya.
Cara pengajuan KPR ada dua macam, yaitu diatas tangan dan dengan menggunakan notaris. Debitur bisa mengajukan diatas tangan jika pinjamannya kurang dari 500 juta, tapi harus menggunakan notaris jika pinjamannya lebih dari 500 juta" jelas Pak Galfin panjang. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
"Ketentuan umum bagi calon debitur KPR ada dua. Pertama, golongan pengusaha. Yaitu semua pengusaha warga Negara Indonesia yang bergerak di berbagai sektor ekonomi, seperti sektor pertanian, perdagangan, dan jasa lain yang karena usahanya tersebut layak di beri KPR. Kedua, golongan pengusaha tetap. Yaitu semua pegawai yang memiliki penghasilan tetap, seperti pegawai tetap dari suatu perusahaan swasta, wiraswasta mapan, maupun pegawai negeri seperti PNS, ABRI, pegawai BUMN, BUMD, ataupun pensiunan dari PNS dan ABRI"
Dari penjelasan panjang Pak Galfin selama kurang lebih setengah jam, kesimpulan yang bisa aku ambil hanyalah satu, yaitu kepanjangan dari KPR, kredit pemilikan rumah. Semua yang sudah Pak Galfin jelaskan dari mulai pengertian KPR, syarat-syarat pengajuan, proses pemberian pinjaman, sampai risiko yang ada pada KPR hanya numpang lewat ditengaku, aku sama sekali tidak mengingatnya.
Tak apa, itu sudah cukup. aku tidak rakus.
"Gimana? Udah ngerti sekarang?" tanya Pak Galfin mengakhiri pelajarannya. Aku kembali mengangguk.
"Good girl" puji Pak Galfin, padahal aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dia jelaskan.
"Sekarang kamu percaya, kan, kalo prakerin itu sama aja kaya belajar?"
"Iya" aku mengangguk setuju. Dalam hati aku mencibir, apanya yang sama? Yang ada prakerin jauh lebih membosankan dari pada sekolah. Setidaknya, di sekolah masih ada Edgar yang bisa aku pandangi kalau aku bosan.
"Nggak ada tuh, saya jadiin kamu pesuruh, iyakan?" tanya Pak Galfin lagi.
Aku kembali mengangguk. "Iya, Pak"
"Harusnya kamu bersyukur dapet pembimbing kaya saya" Aku mengernyit mendengar ucapannya yang penuh percaya diri itu.
"Saya kan ganteng" ucapnya berbangga diri. Aku hampir tersedak mendengar ucapannya.
Pak Galfin tertawa, dia terlihat puas mengejekku. "Prakerin itu mudah dan menyenangkan, bukan?"
"Bukan!"