Alunan musik itu masih terus terdengar. Juno mendengus kesal sambil mematikan musik dan meletakan kuasnya di meja terdekat. Pandangannya kembali keluar jendela. Sejak ia kembali dari Madrid, belum juga pikirannya kembali tenang. Tepatnya belum juga ia mendapatkan inspirasi baru untuk melukis.
Yap, melukis.
Juno kembali memperhatikan lukisannya yang baru setengah jalan. Hanya gambar seorang pria tua yang ia lihat di perjalanan pulang semalam. Ia masih ingat dengan jelas, pria tua yang sedang memainkan biola nya di depan stasiun kereta. Juno memejamkan matanya untuk mengingat alunan biola pria tua itu yang nyaris sempurna. Namun apa daya tidak ada orang yang menyedari hal itu. Semua orang hanya berlalu melewati pria tua itu. Kalau beruntung beberapa dari mereka akan memberikan sedikit uang ke dalam wadah biola pria tua itu yang terbuka lebar.
Untuk apa terus memainkan biola itu kalau ia hanya akan mendapatkan simpati dan sedikit uang recehan dari orang-orang yang bahkan tidak punya waktu untuk mendengarkan musik indahnya. Butuh waktu yang cukup lama untuk Juno memahami pria tua itu.
Karena ia menyukainya.
Karena ia hidup di dalam dunia yang tidak Juno pahami.
Dulu Juno selalu memiliki perasaan yang sama dalam hal melukis. Ia melukis karena ia menyukainya. Ia melukis karena melukis selalu membawa dirinya ke dalam ketenangan yang tidak bisa dijelaskan. Setelah melihat pria tua itu, entah mengapa ada dorongan dalam diri Juno untuk melukisnya kedalam sesuatu yang nyata. Namun semuanya tidak semudah yang Juno kira. Kalau ia mundur dua atau tiga tahun ke belakang, mungkin Juno bisa dengan mudah menumpahkan semua ide diatas kanvas. Juno merindukan perasaan itu. Perasaan dimana ia ingin menciptakan lukisan yang bukan sekedar indah, tapi memiliki makna.
Hanya saja dulu bukanlah sekarang. Sudah dua jam lamanya sejak Juno datang di studio Picasso pukul lima pagi, belum juga lukisan itu selesai. Kenapa ia tidak memiliki semangat itu lagi? Semangat untuk melukis seperti yang ia rasakan beberapa hari yang lalu? Atau mungkin semangat itu memang sudah hilang. Apa yang di rasakannya kemarin hanyalah kerinduan? Kerinduan akan perasaan itu.
Juno menghela nafas panjang dan bangkit berdiri. Ia berjalan menuju jendela kaca yang menghadap langsung ke taman utama. Beberapa orang terlihat baru saja datang dan hendak menuju kelas mereka masing-masing. Juno meraih ponsel dari saku celana dan mendapatkan satu pesan dari Prim yang menanyakan keberadaanya. Juno membalas pesan itu. Selain melukis beban pikirannya saat ini adalah Prim. Tentang perjodohan dan semuanya. Juno menggelengkan kepala karena tidak mau memikirkan hal itu, tidak sekarang.
Kemudian ia mulai mengetikan nama di daftar kontaknya.
Tory.
Dan inilah penyesalan terakhirnya. Mungkin cewek itu sudah membenci Juno karena tidak hadir dalam acara pameran untuk mendukungnya. Kapan terakhir kali mereka bertemu? Mungkin baru dua atau tiga minggu namun itu terasa sangat lama. Juno berharap kalau Tory baik-baik saja, Gale sudah berjanji akan membantunya. Lagipula Juno yakin kalau Tory bisa melewati semuanya dengan mudah. Tory memiliki bakat alami, itu yang selalu dipikirkan oleh Juno.
Juno memasukan kembali ponsel ke saku celananya lalu mulai membereskan alat-alat lukisnya. Hari ini bukan waktu yang baik untuk melukis. Pada saat yang sama terdengar pintu di ketuk.
“Juno?”
Juno sedikit terkejut saat mendapati Tory sudah berdiri dihadapannya.
“Juno sudah pulang?” Tory mengulang kata-katanya.
“Iya, kemarin aku baru pulang.” Juno menjawab sebelum hening menyelimuti mereka. Entah mengapa suasananya menjadi sedikit canggung. Mungkin karena sudah lama tidak bertemu. Tory hendak mengatakan sesuatu namun cewek itu terlihat bingung harus mulai darimana.
“Bagaimana kau tau aku ada disini?” Juno bertanya.
“Eh, Gale yang memberitahuku dan aku cuma mau memberikan ini.” Tory memberikan sebuah tas kertas yang berisikan kopi yang masih mengepul dan juga sandwich. “Aku belum sempat berterimakasih sejak insiden di pesta hari itu. Aku mencoba menghubungimu namun Gale bilang kau sangat sibuk.” Tory menjelaskan.
Juno hanya mengangguk pelan. “Terimakasih, tapi kau tidak usah repot-”
“Tidak apa-apa! Sungguh, aku berhutang padamu, dan soal pameran juga kau sangat membantuku,” sambung Tory.
Juno tersenyum dan menerima tas kertas itu. “Baiklah.”
Tory menghela nafas lega saat Juno menerimanya. “Lagi pula aku yang membuatnya pagi-pagi sekali, jadi kau harus menghabiskannya,” Tambah Tory.
Sekali lagi Juno hanya tersenyum geli lalu mengangguk. “Aku akan mencobanya tapi aku tidak yakin kalau ini tidak beracun.”
Mendengar itu Tory sedikit terkejut. “Tentu saja tidak, aku membuatnya dengan sepenuh hati!” Tory tidak bisa menyembunyikan wajah cemberutnya.
“Hahaha. Aku bercanda, lagipula dari mana kau tau kalau aku belum sarapan.” Juno mengambil kopi dan meneguknya.
“Ya karena kau nggak pernah sarapan.” Tory menjawab sambil melihat sekelilingnya. Ini adalah kali pertama Tory masuk ke dalam studio lukis yang ada di gedung senior. Studio ini jelas lebih besar dengan banyak alat lukis yang lebih lengkap. Kemudian pandangan Tory jatuh pada lukisan yang baru dikerjakan Juno.
“Ini lukisan barumu ya?” Tory tidak bisa menahan diri untuk melihat lukisan Juno dari dekat.
Juno buru buru meletakan kopi dan mengambil kanvas itu lalu menyingkirkannya. “Belum selesai.”
“Kenapa? Itu bagus sekali.”
Juno menggeleng. “Aku sedang tidak dalam kondisi yang bagus untuk melukis.”
Tory mengangguk pelan masih memperhatikan sekitarnya. “Bagaimana bisa tidak berada di kondisi yang baik, melukis dari sini benar-benar menguntungkan!” Sekarang Tory terlihat takjub saat mendapati pemandangan dari atas studio.
“Kalau begitu coba saja melukis disini.”
Tory menoleh ke arah Juno dengan heran. “Memangnya boleh? Bukankah ini studio privatmu?”
Juno menggeleng lalu mengambil kanvas baru dan meletakkannya di depan Tory.
“Kalau kau bisa mengesankanku, aku akan menunjukan lukisanku yang tadi,” ucap Juno.
Tory sedikit terkejut. “Benarkah? Kau janji?”
Juno mengangguk tapi Tory hanya menghela nafas panjang. “Sayangnya aku tidak membawa peralatanku.”
Juno langsung mengisyaratkan cewek itu untuk mengiktinya. Tory mengikuti Juno menuju ruangan lain yang ternyata berisi peralatan lukis seperti kuas dan cat yang sangat lengkap dan terlihat mahal. Tak hanya itu ada banyak lukisan karya senior yang sangat terkenal yang terpajang di dindingnya. Tory tidak mau melewatkan kesempatan untuk mengaguminya.
“Ambil saja peralatan yang kau butuh kan disini-”
“Ini lukisanmu ya?” Tory menunjuk lukisan seorang wanita yang sedang duduk di tepi pantai.
“Iya, tapi itu saat aku masih-”
“Ini indah sekali Juno!” Tory berseru membuat Juno sedikit terkejut.
“Tory, fokus, katanya kau mau melukis?” Juno menjentikan jarinya.
Tory meringis dan langsung mengikuti cowok itu untuk mengambil peralatan lukis yang ia butuhkan.
“Ini beneran aku boleh menggunakannya?”
“Ya, ambil yang kau butuhkan.”
Tory tidak bisa menyembunyika wajah antusiasnya saat ia memilih peralatan yang ia butuhkan. Ditambah cewek itu terus-terusan bertanya terkait semua peralatan lukis dan juga lukisan-lukisan yang ada di ruangan itu. Juno dengan sabar menjelaskan semuanya dan entah mengapa ia ikut larut ke dalam pembicaraannya bersama dengan Tory. Juno juga akhirnya menjelaskan tentang lukisan yang baru ia kerjakan tadi.
“Itu karena dia sangat mencitai musik,” ujar Tory langsung.
Juno menghela nafas panjang. “Aku juga berpikir begitu, itu membuatku sedikit iri.”
“Iri kenapa?”
“Akhir-akhir ini aku tidak memiliki keinginan untuk melukis, lebih tepatnya inspirasi yang kuat. Saat aku mendapatkanya, kemauan untuk mengerjakan itu selalu hilang begitu saja.” Juno menjelaskan sedangkan Tory hanya menyimak dalam diam. Juno menyandarkan tubuhnya di kursi. Saat ini Tory mulai melukis seperti yang diminta oleh Juno.
“Juno? Apa semuanya baik-baik saja?” Tory bertanya tiba-tiba. Ia merasa kalau Juno terlihat sangat lelah. Keadaannya jauh berbeda dengan Juno yang terakhir kali ia temui. Terdapat lingkar hitam tipis di bawah mata cowok itu. Walaupun Gale sudah memberitahu tentang Juno, entah mengapa Tory ingin mendengar keadaanya Juno secara langsung dari cowok itu sendiri.
“Apa maksudmu? Aku baik-baik saja.” Jawaban Juno membuat Tory terdiam. “Aku hanya lelah karena baru pulang semalam, itu saja,” sambung Juno yang tidak mau membuat Tory khawatir akan dirinya.
“Apa kau kecewa padaku karena aku tidak bisa menang di Athena Exhibit? Apalagi karena kau sudah membantuku.”
Juno tersentak medengar kata-kata Tory. “Apa yang kau bicarakan? Tentu saja tidak, lagipula bukankah lukisanmu dibeli oleh-.”
“Ah iya, apa yang kubicarakan. Seharusnya aku bersyukur.” Tory kembali mengambil kuas dan melanjutkan lukisannya. Walaupun dalam hati ia masih bertanya-tanya apakah Juno membencinya atau tidak.
“Maafkan aku,” ucap Juno pelan.
Tory menoleh ke arah cowok itu dengan heran.
“Seharusnya aku datang bukannya menghilang tanpa kabar begitu saja.” j
Tory buru-buru menggeleng. “Eh bukan begitu maksudku-”
“Tory, aku mengerti dan aku minta maaf aku nggak bermaksud pergi begitu saja. Pameranmu sama pentingnya dengan apapun urusan yang membuatku harus pergi,” potong Juno yang terkejut dengan kata-kata nya sendiri. Lalu Juno menambahkan.“Dan soal pesta itu, aku nggak mau itu terjadi lagi, kau harus bisa menjaga diri, sekarang ini tidak sedikit orang yang mau memanfaatkan atau melakukan hal jahat.”
Tory terdiam sebelum akhirnya mengangguk dan tersenyum. Entah mengapa ia lega mendengar kata-kata Juno. “Terimakasih Juno.”
“Sudah, katanya kau mau melukis untukku?”
“Tapi kau juga harus melanjutkan lukisanmu, mungkin sulit tapi kau harus berkomitmen Juno karena itulah kunci seorang pelukis.” ujar Tory membuat Juno menggelengkan kepalanya tidak setuju. “Tidak-”
“Ayolah, kita belum pernah melukis bersama-sama itu pasti menyenangkan, lagipula aku juga bisa memberikan kritik yang valid kok.” Tory tersenyum jahil membuat Juno menghela nafas panjang. Awalnya ia akan menolak namun ia mengiyakan permintaan Tory.
“Awas saja kalu lukisanmu itu masih buruk.” Juno mengambil kanvasnya.
Tory bersorak girang. “Tidak akan, kau kira aku tidak berlatih selagi kau jalan-jalan keliling Eropa?” cibir Tory.
Juno menggelengkan kepalanya sebelum tertawa geli. “Kalau begitu aku tidak sabar untuk melihatnya.”
***
Satu jam kemudian…
“Jangan pakai warna itu, seharusnya kau campurkan yang ini saja.” Juno mengambill beberapa warna dan menyampurkannya di atas pallet. Tory sejak tadi terus memperhatikan dengan hati-hati.
“Hah, kok bisa warnanya jadi seperti itu?” Tory bertanya karena penasaran.
“Memangnya kau nggak belajar tentang teori warna?”
“Ya belajar tapi takaranmu tepat sekali!” Tory mengambil warna yang sudah dicampur Juno dengan kuasnya lalu melanjutkan lukisannya.
“Jangan lupa perhatikan refleksinya, sudah sesuai atau belum,” tambah Juno sebelum kembali kepada lukisannya sendiri. Mungkin tidak butuh waktu yang lama untuk Juno menyelesaikan lukisannya.
Tidak buruk. Pikirnya dalam hati. Juno menoleh ke arah Tory yang masih sangat fokus mengerjakan lukisannya. Sudah satu jam sejak mereka bekerja secara mandiri. Tory ternyata tidak main-main saat ia mau menerima tantangan Juno. Ini juga bukan pertama kali Juno melihat Tory melukis, hanya saja ia cukup takjub dengan semangat cewek itu yang tidak pernah sedikit pun padam dari hari pertama. Tanpa Juno sadari senyum mengembang dibibirnya.
“Ada apa dengan mu?” tanya Tory yang menyadarinya.
Spontan Juno kembali menghadap ke lukisannya dengan wajah tenang. Namun senyuman tidak luntur dari bibirnya.
“Apa ada sesuatu di wajahku?” tanya Tory lagi.
Juno hanya menggeleng pelan dan langsung bangkit berdiri. “Sudah selesai?”
Tory buru-buru kembali pada lukisannya. “Sedikit lagi hanya butuh sedikit detail.” Tory menambahkan beberapa bentuk akar-akaran di lukisannya sedangkan Juno masih menunggu dengan sabar.
“Sudah!” Seru Tory girang. Juno membungkukan badan tepat di samping Tory. Tory langsung menahan nafas karena ia tidak menduga kalau ia akan sedekat ini dengan Juno. Jarak mereka mungkin kurang daro 10 centi.
Kenapa mendadak jantungnya melompat-lompat gila?!
“Not bad, kau jelas sudah banyak belajar hanya saja….” Juno mengambil kuas dari tangan Tory dan langsung mengolekannya di lukisan itu. “Bagian ini jangan seperti ini karena terlihat tidak alami.”
Tory tersadar dan mulai memperthatikan bagian yang dikoreksi oleh Juno. “Juno kau merusaknya!” Tory langsung merebut kuas dari tangan Juno membuatnya cowok itu sedikit terkejut.
“Merusaknya? Aku sedang memperbaiki nya.” Juno hendak mengambil kuasnya lagi sebelum Tory berhasil mengelak dan bangkit berdiri. Kali ini Tory terlihat benar-benar kesal apalagi ia merasa kalau Juno sudah merubah lukisannya.
“Tapi aku punya gaya melukis sendiri!” jelas Tory tanpa bisa menyembunyikan nada kesal dalam suaranya.
Juno menghela nafas panjang sambil melipat kedua tangannya di dada. Entah mengapa ia melihat Tory menjadi sangat lucu. Apalagi ini pertama kali nya Juno melihat Tory merajuk.
“Aku tidak mengubah gaya lukismu, kau tetap bisa menggunakannya dan ini membuatnya lebih bagus.” Juno mengambil kuas yang lain dan kembali mengoreksi lukisan Tory.
“Jangan di ubah lagi!” Tory berusaha menghentikan Juno. Diluar dugaan Tory tanpa sengaja mengoleskan cat tepat di pipi Juno.
Saat menyadari apa yang baru ia lakukan Tory langsung terkejut. “Eh, maaf aku-”
Juno dengan cepat langsung membalas dengan mengoleskan cat pada hidung Tory membuat cewek itu menatapnya tidak percaya.
“Kenapa? Kau dulu yang mulai kan?” Tanpa di duga Juno justru tersenyum jahil kearah Tory.
Tory semakin kesal dan langsung mengambil palet cat untuk membalas Juno. “Aku hanya mengoles sedikit kenapa kau banyak sekali?!” Sekali lagi Tory mengoleskan kuas ke wajah Juno, hanya saja cowok itu sedikit mengelak sehingga tidak sengaja justru mengenai kerah kemeja cowok itu yang berwarna putih. Awalnya Tory sedikit menyesal tapi tidak saat Juno membalas dengan mengoleskannya juga pada lengan kanan Tory.
“Sekarang kau tidak hanya memasak tapi harus mencuci bajuku juga,” balas Juno sebelum akhirnya mereka saling berusaha mengoleskan cat. Hanya saja kekesalan Tory sudah mereda dan ia justru tertawa apalagi saat Juno mengejarnya sampai ujung ruangan.
“Cukup Juno! Kau sudah seperti Joker!” ucap Tory yang sudah penuh cat disekujur tubuhnya sambil tertawa sampai perutnya sakit.
“Kau berkaca dulu saja karena kau lebih mirip Penywise,” balas Juno.
Tory langsung menggeleng. “Itu karena kau!” Kini giliran Tory yang mengejar Juno yang beberapa detik kemudian terpeleset oleh alas kain lukis dan terjatuh di lantai diikuti oleh Tory yang tersandung dan jatuh tepat di samping Juno. Keduanya tertawa bersama bak anak kecil. Selama beberapa detik Juno memperhatikan Tory yang masih mengomel disela tawanya.
“Tunggu, tenanglah sebentar.”
Tory berhenti tertawa dan menoleh kearah cowok itu. Juno mengulurkan tangannya dan mengusap pelipis kanan Tory. Cewek itu spontan langsung membeku. Ia bisa merasakan jantungnya tiba-tiba berdebar kencang.
“Cat nya hampir mengenai matamu,” ucap Juno pelan saat ia masih mengusap pelipis Tory. Jarak mereka sudah sangat dekat. Kali ini Tory bisa mencium aroma maskulin Juno yang mengingatkan nya pada hutan pinus yang tenang. Ia benar-benar tidak bisa bergerak. Juno sudah menjauhkan tangannya namun ia masih menatap Tory lekat-lekat. Tory tidak bisa berkata apa-apa. Mendadak bibirnya menjadi kaku.
Apakah ini saat nya? Pikir Tory dengan dada berdebar.
Apakah Juno akan menciumnya?
Tiba-tiba pintu studio terbuka lebar membuat keduanya spontan langsung bangkit duduk.
“Apa yang kalian lakukan di bawah sana?” Gale yang baru saja masuk terlihat tekejut.
“Tidak kami hanya melukis tadi.” jawab Juno sambil meletakan kuas di atas meja. Gale hanya mengerutkan keningnyanya heran. Prim yang datang bersama Gale terlihat sama terkejutnya.
“Astaga? Kenapa kalian penuh cat seperti itu?” Prim menghampiri Tory dan mengambil sapu tangan untuk membersihakan cat yang ada di wajah Tory. “Pasti Juno yang mengerjaimu seperti ini ya?” tanya Prim sambil melirik kearah Juno dengan curiga.
Juno sudah hampir protes namun disela oleh Gale. “Kau nggak boleh semena-mena pada anak didikmu.” komentar Gale sambil menepuk bahu Juno.
“Bukan salah Juno kok, tadi aku dulu yang mulai.” jelas Tory dan Juno langsung mengangguk setuju.
“Hati-hati Tory yang kalian anggap kalem ini ternyata punya sisi lain tau,” balas Juno.
Tory langsung menoleh kearah cowok itu dengan tidak percaya. Apalagi karena barusan ia berusaha membela Juno.
“Kan memang benar?” Juno berkata tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Prim hanya menggelengkan kepalanya. “Sudahlah nggak usah dengarkan Juno, ayo aku bantu bersihkan.”
Tory tidak bisa menolak bantuan Prim.
“Tapi kau ngapain kesini?” Juno menoleh kearah Gale.
“Prim mencarimu, ia sudah menelepon sejak tadi tapi kau tidak mengangkat ponselmu.” jelas Gale.
Juno langsung meraih ponsel dari saku celananya. “Oh iya? Maafkan aku, sepertinya aku tidak sengaja mengaturnya ke mode silent.”
“Sudah ku bilang kan,” komentar Gale sambil menoleh kearah Prim.
“Memangnya ada apa? Apa ada sesuatu tentang kakek?” tanya Juno langsung.
Prim hanya menggeleng pelan. “Tidak, aku hanya ingin mengajakmu makan siang.”
“Jadi kau belum makan?”
“Sudah kok, habisnya kau lama sekali.” Prim menjawab tanpa bisa menyembunyikan nanda kesalnya.
“Maaf, aku akan menebusnya aku janji,” ujar Juno.
Gale berjalan ke arah Tory yang sejak tadi masih menyimak. “Sebaiknya kita meninggalkan pasangan ini dari pada menganggu mereka,” bisik Gale pelan pada Tory.
“Aku bisa mendengarmu ya!” semprot Prim.
Gale langsung mati kutu.
“Begini saja, bagaimana kalau sore ini kita jalan-jalan? Kita bertiga sudah lama nggak pergi bersama kan? Lalu Tory juga ikut ya!” ucap Prim antusias.
“Aku sibuk hari ini jadi tidak bisa-”
Prim menutup mulut Juno membuat cowok itu sedikit terkejut. “Klien yang akan kau temui membatalkan janji hari ini aku sudah mengeceknya.” jelas Prim.
Juno menatap Prim penuh selidik. “Kau bohong.”
“Makanya cek emailmu Juno. Kau tidak membalasnya jadi aku yang melakukannya,” jelas Prim lagi saat Juno mengecek email itu dan ternyata benar.
“Aku setuju, kita harus jalan-jalan apalagi setelah kalian berdua menghilang cukup lama dan tidak mengajakku,” tambah Gale membuat Prim tertawa kecil.
“Tory juga ikut ya?”
“Eh tapi-”
“Sudahlah, kita kan juga belum sempat merayakan lukisanmu yang kudengar sangat spektakuler di pameran Athena Exhibit, ayolah Tory aku mohon,” bujuk Prim langsung.
“Prim benar, kau harus ikut bersama kami. Tory itu seru sekali tau tunggu sampai kalian mendengarkan cerita-cerita konyolnya.” Gale merangkul Tory akrab membuat cewek itu cemberut.
“Cerita konyol apa? Aku tidak pernah bercerita seperti itu,” balas Tory tidak terima.
“Eh, kau pernah cerita saat ada monyet yang mengejarmu di kebun binatang, itu konyol sekali tau.”
Tory yang tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang merah padam dan langsung menggeleng ke arah Prim.
Namun Prim sudah terlanjur tertawa. “Astaga, benarkah?”
Gale langsung mengangguk cepat. “Benar, aku sudah mendengar banyak, nanti cewek Seattle ini akan menceritakan nya sendiri.” Gale mengacak-acak rambut Tory membuat cewek itu semakin cemberut.
“Kalian ternyata sudah sedekat itu ya?” Komentar Prim sedikit terkejut karena ini pertama kalinya ia melihat interaksi Gale dan Tory. Tidak hanya Prim, Juno yang sejak tadi hanya menyimak juga tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Sejak kapan sahabatnya ini dekat dengan Tory?
“Yep, Tory membantuku sedikit dalam proyek fotografi kami punya banyak kemiripan, mungkin kami ini soulmate-” Gale berheti berbicara saat Tory menyenggol bahunya mengisyaratkan cowok itu untuk diam.
“Kalian lucu sekali, kalau begitu kau ikut kan Tory? Ayolah aku ingin sekali bisa mengobrol banyak denganmu, iya kan Juno?” Prim menoleh kearah Juno yang sejak tadi hanya diam.
“Jangan paksa Tory kalau ia tidak mau ikut,” jawab Juno.
“Aku bisa kok.” jawab Tory tiba-tiba membuat Prim dan Gale langsung bersorak senang.
“Baguslah, kalau begitu sebaiknya kita pulang sekaran,” ucap Prim sebelum mereka berempat keluar dari studio. Mereka masih mengobrol saat akan keluar dari kampus. Namun Tory bisa merasakan perubahan sikap Juno. Ia kembali menjadi Juno yang cuek dan hanya menjawab seadanya tidak seperti saat mereka bercanda tawa di studio tadi.
***