“Coba katakan sekali lagi,”
Tory mendengus kesal ke arah Emma yang sudah menanyakan hal yang sama berulang kali.
“Juno tinggal tepat di sebelah apartemenku,” jawab Tory yang mulai sedikit lelah apalagi setelah ia memberitahukan fakta baru itu pada dua temannya. Emma menutup mulutnya karena syok sedangkan Theo seperti biasa hanya bengong tidak percaya.
“Bagaimana bisa?!” lanjut Emma yang sudah menemukan kewarasannya. Tory mengangkat bahunya tanda tidak tau.
“Aku memang pernah mendengar kalau Juno punya apartemen yang dijadikan sebagai studio melukisnya,” jelas Theo yang selalu tau banyak hal dari mereka semua.
“Menurutku juga begitu, aku ragu kalau ia tinggal di situ,” ucap Tory mengingat bagaimana kamar yang ditempati Juno terlihat sudah lama tidak digunakan dan berantakan.
“Eh tapi, kenapa ia bilang kalau ia tinggal disana? Maksudku, apakah…, ia benar-benar akan tinggal disana sekarang?” Emma mulai mengeluarkan alat-alat lukisnya. Saat ini mereka bertiga memang sudah siap untuk kelas pertama melukis. Tory sudah duduk di depan kanvasnya, sedangkan Emma dan Theo duduk mendekat karena mereka ingin mengobrol sebelum kelas dimulai.
“Aku juga tidak tau tentang hal itu, hari ini aku juga tidak melihatnya sama sekali,” jelas Tory membuat Emma mengangguk-angguk paham.
“Mungkin dia sedang tidak mau berada di rumah. Kau tau? Juno sering bepergian bahkan mengambil cuti kuliah untuk pergi dari sini. Kata banyak orang ia tidak betah tinggal di rumahnya,” bisik Theo lagi.
Emma menatap Theo curiga. “Bagaimana kau tau banyak hal tentang Juno?”
Theo langsung salah tingkah dan mengangguk kepalanya canggung. “Yah…, dari beberapa senior yang kadang sering membicarakan hal ini,” Jawab Theo sambil meringis. Theo memang lumayan mengenal banyak siswa senior. Beberapa diantara mereka bahkan mau menjadi tutor Theo.
“Tapi kenapa? Bukankah orang tuanya super kaya-raya?” tanya Tory penasaran.
“Yah…, memangnya kau tidak tau masalah apa yang selalu terjadi antara orangtua super kaya raya dan anaknya yang super berbakat. Katanya, ayah Juno tidak mendukung dia disini, ayahnya ingin Juno segera meneruskan bisnisnya saja,” jelas Theo lagi membuat Tory dan Emma berpandangan bingung. Tory sendiri langsung teringat pada orangtua angkatnya yang sebenarnya tidak terlalu mendukung Tory menjadi seniman, hanya saja mereka mau memberi kesempatan Tory terlebih dahulu.
“Bagaimana dengan ibunya?” tanya Emma lagi. Tory menyimak karena sama-sama penasaran. Theo terdiam sejenak sebelum mencondongkan tubuhnya agar Tory dan Emma bisa mendengarnya lebih jelas.
“Ibu Juno sudah meninggal sejak ia berumur 10 tahun dalam kecelakaan pesawat,” jelas Theo membuat Tory dan Emma tersentak. Hening sejenak tidak banyak yang berkomentar lagi. Tory masih larut dalam pikirannya. Entah mengapa ia paham betul dengan apa yang dirasakan Juno.
Kehilangan orang yang disayangi.
“Sudah, sebaiknya kita tidak mengobrol terus, sebentar lagi kelas akan dimulai,” ucap Tory memecah keheningan. Suasana kelas juga sudah mulai ramai dan mereka semua sedang bersiap untuk memulai kelas. Theo dan Emma pun berjalan kembali ke tempat duduk mereka. Ada sekitar 12 siswa yang hadir dalam kelas hari ini. Sebenarnya Tory sudah sangat tidak sabar. Ia mengeluarkan alat-alat lukisnya untuk mulai melukis. Namun seseorang menyenggolnya dari belakang sampai kuas milik Tory jatuh berhamburan di bawah.
“Sorry,” ucap orang itu yang langsung dikenali Tory sebagai Megan. Megan tersenyum kecil dan berjalan melewati Tory begitu saja. Dalam hati Tory sedikit terkejut dan kesal karena ia berada di kelas yang sama dengan Megan. Ditambah cewek itu sama sekali tidak berniat membantu. Megan duduk tepat di seberang Tory. Emma dan Theo sudah berdiri untuk membantu Tory memungut kuas-kuasnya namun Tory mengisyaratkan mereka untuk tetap duduk. Tory pun langsung berjongkok untuk memungutnya. Saat ini ia tidak mau mencari masalah apalagi dengan orang seperti Megan. Ia harus tetap sabar.
“Eh, sini kubantu,”
Tory mendongak dan mendapati seorang cewek membantunya memungut kuas-kuas yang berserakan. “Ah terimakasih,” ucap Tory langsung. Cewek itu memiliki rambut ikal pirang dengan topi baret berwarna ungu, mata biru yang sangat cantik, benar-benar mengingatkan Tory pada sebuah boneka. Cewek itu tersenyum saat menyerahkan semua kuas yang telah ia kumpulkan. “Terimakasih banyak,” ucap Tory sekali lagi.
“Sama-sama,” setelah berkata demikian cewek itu duduk di kursi sebelah Tory yang masih kosong. Dalam hati Tory masih mengagumi penampilan cewek itu. Benar-benar seperti seorang malaikat. Tanpa diduga cewek itu pun bangkit berdiri.
“Selamat pagi semuanya,”
Astaga! Apa dia yang akan mengajar kelas hari ini?! Tapi ia terlihat seumuran denganku? Pikir Tory sedikit terkejut.
“Hari ini Ms.Lisa sedang tidak bisa hadir mengajar kelas karena beliau sedang sakit. Jadi perkenalkan namaku Primrose. Kalian bisa panggil aku Prim. Aku adalah asisten Ms.Lisa sekaligus senior kalian di jurusan fashion design,” jelas Prim ramah. “Dan hari ini Ms.Lisa meminta kalian untuk melukis apapun yang membuat kalian mau belajar melukis di Franco University. Beliau ingin melihat kemampuan kalian masing-masing terlebih dahulu, jadi kalian punya waktu sampai kelas hari ini selesai,” Jelas Prim membuat seisi kelas mulai mengangguk-angguk paham. “Kalau tidak ada pertanyaan kalian bisa mulai sekarang,” setelah berkata demikian, seisi kelas langsung mulai menyiapkan alat lukis mereka dan mulai bekerja.
Dalam hati, Tory sempat bingung dengan apa yang akan ia lukis. Namun dalam waktu singkat ia mulai menggambar di kanvasnya. Kelas menjadi hening karena setiap orang mulai fokus dengan karya masing-masing. Tory mengeluarkan headset-nya dan mulai mendengarkan lagu yang selalu membuatnya fokus. Sejak pindah ke London, ia memang belum pernah melukis sesuatu secara serius sampai hari ini. Dan karena Ms. Lisa ingin melihat kemampuan mereka masing-masing, Tory harus membuktikan kalau dia sepadan berada di kelas ini.
Tak terasa waktu berlalu sangat cepat. Tory sudah hampir menyelesaikan seluruh gambarnya.
“Itu sangat mengagumkan,” spontan Tory menoleh sambil melepas headset nya. Prim menatap takjub ke lukisan Tory.
“Ini belum sempurna, dan aku sedikit kehabisan waktu,” ucap Tory. Prim mendekat di samping Tory membuat jantung Tory berdebar kencang karena takut mendengar komentar Prim.
“Bisa jelaskan cerita dibalik lukisan ini?” tanya Prim dan Tory mengangguk.
“Ini adalah orangtuaku, merekalah alasan aku mau belajar di Franco University,” jelas Tory. Tory memang menggambar ayah-ibunya. Ibu terlihat menyipakan makanan di meja makan, dan ayah membaca koran. Namun walaupun terlihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing, keduanya saling menatap penuh cinta. Semuanya persis seperti yang diingat Tory saat masih kecil.
“Ini bagus sekali, Ms.Lisa pasti akan suka dengan karyamu, hanya saja…,” Prim terlihat berpikir keras sambil memperhatikan lukisan Tory. Tory juga ikut memperhatikan kalau-kalau ada yang salah dengan lukisannya.
“Kalau hal ini saja yang menjadi alasan mu melukis sepertinya tidak cukup. Aku yakin semua orang diruangan ini punya alasan yang sama denganmu,” jelas Prim membuat Tory berpikir. Hal itu memang benar. Alasanya jelas kurang kuat. Jujur saja Tory juga tidak tau apa alasan selain orang tuanya yang membuatnya ingin melukis.
Prim tersenyum dan menepuk bahu Tory. “Tapi lukisanmu tetap sangat cantik, kau sangat berbakat Tory,” ucap Prim membuat Tory tersenyum dan sedikit merasa malu.
“Terimakasih kak,” ujar Tory langsung.
“Panggil saja aku Prim,” bisik Prim dan Tory langsung mengangguk. “Kalau ada sesuatu yang kau perlukan atau butuh bantuan, jangan sungkan datang kepadaku ya,” Ucap Prim sebelum pergi meninggalkan Tory. Kelas pun selesai tidak lama setelah itu, walaupun lukisan nya belum sepenuhnya selesai, Tory cukup puas dengan hasilnya.
***
Hari-hari berikutnya kelas menjadi cukup sibuk. Beberapa dosen terus memberikan banyak tugas. Sejauh ini ada dua essai dan tiga lukisan yang harus Tory selesaikan minggu ini. Walaupun baru jalan satu bulan, Tory sudah mulai cukup lelah ditambah lagi karena sepulang kuliah ia harus tetap melakukan kerja sambilannya. Namun Tory tidak mau terus mengeluh. Ia selalu tinggal lebih lama di studio lukis menyelesaikan lukisannya. Terkadang ia juga pergi ke perpustakaan untuk meminjam bahan-bahan untuk membuat essay. Emma dan Theo juga sama sibuknya. Beberapa kali mereka mengerjakan projek yang sama sepulang kuliah di studio lukis. Termasuk hari ini.
“Sepertinya aku tidak akan kuat belajar di sini,” Emma meregangkan tangannya ke atas.
Saat ini Tory dan Emma sedang berjalan pulang dari kampus. Sedangkan Theo masih tinggal di kampus untuk menyelesaikan proyeknya yang lain. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam.
“Jangan bilang seperti itu Em, nanti kau justru jadi stress,” ujar Tory sambil merapatkan mantelnya. Hari ini Tory juga lelah sekali tetapi ia tetap berpikir positif dan tidak terus memikirkan tugas-tugasnya yang menumpuk. Untung saja hari ini ia juga tidak bertugas menjaga kedai kopi. Sehingga Tory bisa menggunakan waktunya untuk menyelesaikan proyek di kampus.
“Tapi aku bersyukur kita satu proyek Ry, kalau tidak…, aku dan Theo pasti akan kerepotan. Ditambah lagi aku belum menyelesaikan benda ini!” Emma mendengus kesal sambil menunjuk sebuah patung kepala tengkorak yang sejak tadi dibawanya.
Emma memang memiliki tugas untuk membuat patung anatomi manusia. Dan bulan ini ia terus sibuk menyelesaikan kepala tengkorak yang terus menerus diulangnya.
“Sabar Em, ini baru kepala saja, masih banyak bagian tubuh yang lain,” ucap Tory membuat Emma menatap cewek itu sedikit kesal.
“Jangan ingatkan aku akan penderitaan lainnya yang menanti,” ucap Emma membuat Tory tertawa geli.
Tak terasa mereka sampai tepat di depan apartemen Tory. “Kau tidak pernah melihatnya lagi?” Tanya Emma.
Tanpa bertanya pun Tory tau kalau orang yang dimaksud adalah Juno. Sejak pertama kali melihat Juno pindah kesini, Tory memang tidak pernah melihat cowok itu. Setiap akan berangkat ke kampus, mobil Juno sudah menghilang. Dan saat pulang dari kerja sambilan nya, mobil Juno juga belum datang. Awalnya Tory mengira kalau Juno memang tidak tinggal di apartemen ini setelah ia meninggalkan bertemu dengan nya malam itu. Namun terkadang Tory bisa mendengar langkah kaki di malam hari. Dari situ Tory bisa menyimpulkan kalau Juno pulang sangat malam dan berangkat sangat pagi. Sehingga mereka jarang sekali bertemu, bahkan sudah satu bulan lebih.
“Tidak, hampir tidak pernah,”
Emma mengangguk-angguk paham. Saat ini pun mobil Juno tidak terlihat terparkir di depan apartemen. “Aneh sekali kan? Aku juga tidak pernah melihat nya di kampus.” ucap Emma sedangkan Tory masih terdiam. “Mungkin ia bekerja di gedung yang berbeda dengan kita,” ujar Tory yang sebenarnya cukup masuk akal. Hanya saja mengingat fakta kalau Juno adalah senior mereka, rasanya aneh sekali kalau tidak pernah berpapasan bahkan di perpustakaan atau cafetaria kampus. “Dia seperti hantu,” bisik Emma yang langsung disuruh diam oleh Tory. “Hantu yang tampan, hihi” sambung Emma sambil tersenyum geli.
“Sudah, bukankah kau bilang mau segera pulang karena lelah?”
“Oh iya! Kenapa kau menahan ku disini Ry,” ucap Emma sambil berjalan pulang. Rumah Emma juga tidak terlalu jauh dari sini. Ia hanya akan naik bus satu kali lagi. Tory melambaikan tangan dan langsung masuk ke dalam apartemen. Ia menaiki tangga dan ingin cepat-cepat menyelesaikan essay nya untuk besok. Sebelum membuka pintu kamarnya, Tory melirik sekilas ke kamar Juno. Tidak ada cahaya dari bawah pintunya, menandakan kalau cowok itu memang belum pulang. Tanpa pikir panjang Tory langsung masuk kamarnya. Setelah itu ia langsung mandi dan ingin segera menyelesaikan essay nya yang harus dikumpulkan besok.
***
Tory tersentak bangun saat ponselnya berdering. Tory baru sadar kalau ia ketiduran. Buku-buku masih terbuka dan essay nya juga belum selesai. Ternyata pesan dari Emma yang mengirimkan gambar patung tengkoraknya yang sudah selesai. Tory membalas pesan itu singkat dan melirik jam yang ada di ujung layar ponselnya. Waktu sudah menunjukan pukul 00.02 malam. Tory mendengus kesal dan langsung mengambil pena untuk menulis essay nya. Masih banyak bagian yang belum diselesaikan, ditambah lagi dosen nya ini mengharuskan Tory menyelesaikan essay secara manual alias ditulis diatas kertas, bukannya diketik. Alasannya karena menulis essay seperti ini harus terus dilestarikan dan dalam belajar seni hal ini sangat penting. Benar-benar sangat melelahkan. Tory mendengus frustasi karena kehabisan ide untuk essay nya. Ia meneguk secangkir kopinya. Beberapa hari ini ia memang kurang tidur dan terkadang hal itu membuat nya pusing.
Kemudian terdengar langkah kaki dari luar. Apa itu Juno? Apa cowok itu sudah kembali? Tory meilirik jam lagi. Kalau iya, itu berarti cowok itu kembali lebih awal dari biasanya. Terdengar suara pintu dibuka dan ditutup dengan sangat cepat. Karena dinding apartemen yang tipis terkadang Tory memang bisa mendengar suara-suara dari kamar sebelah. Kadang ia bisa mendengar suara lemari, meja, atau sekedar musik classic yang terdengar samar-samar.
Brakk!
Tory tersentak kaget saat mendengar suara yang sangat keras. Seperti meja yang dibanting. Apa yang terjadi? Biasanya suara nya tidak sekeras ini. Tory bangkit berdiri dan berjalan mendekat ke arah dinding. Ia menempelkan telinganya agar bisa mendengar lebih jelas. Namun tidak terdengar apa-apa lagi. Semuanya menjadi hening. Tory kembali duduk di depan meja nya. Mungkin saja cowok itu hanya mengalami hal yang berat. Itu juga bukan urusan ku, pikir Tory dalam hati. Ia menguap sekali dan memutuskan untuk melanjutkan essay nya besok pagi. Karena kalau sudah kehabisan ide seperti ini, nantinya Tory hanya akan membuang-buang waktu dan semuanya percuma. Lebih baik ia menggunakan waktunya untuk beristirahat selagi bisa. Tory berjalan ke arah tempat tidur, mengatur alarm di ponselnya dan bersiap tidur.
Sebelum tidur Tory teringat cerita Theo soal Juno yang tidak akrab dengan ayahnya. Apalagi fakta kalau Juno telah kehilangan ibunya. Dan malam ini cowok itu jelas mengalami sesuatu yang membuat harinya mungkin berat.
***