Read More >>"> Bittersweet My Betty La Fea (BAB 8 BOBBY) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Bittersweet My Betty La Fea
MENU 0
About Us  

"The more that you say

            The less I know

            Wherever you stray

            I follow

            I'm begging for you to take my hand

            Wreck my plans

            That's my man," demikian penggalan lirik lagu Willow milik Taylor Swift memenuhi telingaku.

            Dengan asyiknya, ku ikut menyanyi lagu favoritku  tersebut di dalam kelas. Sudah menjadi kebiasaanku mendengarkan lagu dari ponsel dengan mengenakan headset saat jam istirahat datang.

            Semenjak ada masalah dengan Sarah, aku lebih sering tinggal di dalam kelas. Jika pun aku ingin jajan, maka aku memilih untuk membawanya ke dalam kelas.

            Terkadang aku merasa senang duduk sendirian di dalam kelas. Namun terkadang aku rindu berkumpul dengan Sarah dkk yang menurutku mereka teman yang lucu dan seru.

            "Kring.. kring," lonceng tanda masuk kelas berbunyi.

            Suaranya sangat keras hingga memecah lamunanku. Bunyinya memang memekakkan telinga.

            Aku sering berpikir para guru sengaja memilihi lonceng bel sangat keras agar kami gugup dan segera masuk kelas. Padahal menurutku sama saja, anak-anak akan tetap memilih telat masuk kelas.

            Bu Clarisa, guru bahasa Inggrisku datang 10 menit kemudian. Ia lantas membagi kelas kami ke dalam beberapa kelompok berisi 6 anggota. 

            Guru cantik tersebut mengelompokkan kami berdasarkan nomor urut absen. Aku berada di kelompok dua bersama dengan Bobby, Bela, Dedi, Dodit, dan Fatia.

            Teman-teman yang jarang sekali aku bersama mereka. Lumayan, daripada aku harus satu kelompok dengan Sarah.

           

            Bu Clarisa menugaskan kami untuk membuat naskah dialog sederhana berbahasa inggris. Naskah dialog drama dapat diadaptasi dari karya-karya Sastra Inggris yang terkenal.

            “Saya minta pada kalian untuk memilih satu karya sastra Inggris untuk diperagakkan di dalam kelas,”  ujar Bu Clarisa.

            “Tak perlu mencari karya sastra yang sulit, asal kalian fasih melafalkan Bahasa Inggris di depan kelas,” lanjutnya sambil memutari kelas.

            Guru itu memang selalu rajin dalam mengajar. Ia hampir tidak pernah duduk dan memilih berjalan memutari kelas memastikan semua anak paham dengan penjelasannya.

            “Minggu depan adalah penilaiannya, aku ingin kalian bersungguh-sungguh dalam tugas ini,” tegasnya.

            Kelompokku lantas memilih untuk membuat  naskah dialog dari novel terkenal The Cronicles of Narnia, dari CS Lewis. Kami memilihnya karena kami semua  tidak asing dengan novel itu.

            Bahkan, filmnya juga sering diputar berulang kali di televisi. Aku sendiri cukup menyukai film tersebut.

            Saat duduk bergabung awalnya anak-anak dalam kelompokku diam saja. Apalagi memang di antara kami tidak ada yang saling akrab.

            Aku lantas memilih bersuara dan mencoba mengeluarkan unek-unek akan bagaimana dialog yang harus kami buat. Tidak seperti biasa aku bertindak bagai pemimpin seperti ini.

            "Oke, bagian cerita mana yang akan kita jadikan dialog?,"

            "Kurasa, kita harus mencari bagian di mana semua anak bisa mendapatkan jatah dialog bicara," kataku.

            "Setuju," ujar Fatia.

            Lalu, Dedi mengusulkan agar kami mengambil bagian saat akhir dari cerita di mana Sang Singa, Aslan memberi empat saudara Pevensie mahkota masing-masing. Namun, aku langsung menolaknya.

Aku lantas engusulkan agar mengambil bagian lain. Menurutku, dialog di akhir cerita kurang seru, sudah datar, hingga tidak menarik ditampilkan di depan kelas.

            Orang-orang pasti akan bingung kenapa tiba-tiba cerita sudah happy ending. Setidaknya adegan perkenalan jauh lebih baik.

            Kemudian, Fatia mengusulkan agar kami membuat dialog di mana, Aslan membagikan senjata pada Peter, Susan, dan Lucy untuk menyelamatkan Edmund dari Penyihir Putih.

            "Loh apa bedanya dengan bagi-bagi mahkota," ujar Dedi.

            Dedi sedikit masih kekeuh untuk memilih membuat naskah dialog di akhir cerita. Namun, aku lagi-lagi menolaknya dan memilih pendapat Fatia.

            Diceritakan dalam  The Cronicles of Narnia setelah empat bersaudara mendapat senjatanya masing-masing, mereka lantas bersiap untuk berperang melawan musuh mereka penyihir putih.

            "Tidak hanya di situ, akan lebih seru karena setelah pembagian senjata, mereka akan mulai menyerang Penyihir Putih," jelasku.

            "Duh cari yang simple aja kali, bagaimana?," kata Bela menimpali.

            "Jangan. Benar kata Erin kalau ambil bagian akhir, bagi-bagi mahkota abis itu ngapain? Kan cerita udah selesai?," timpal Fatia.

            Lalu Dodit yang sedari tadi diam saja lantas mencoba mengeluarka pendapatnya. Ia merasa setuju dengan ideku dan ide Fatia. Dengan gaya serius dibuat-dibuat, Dodit langsung duduk lebih rapat ke arah kami.

            "Kalau di tengah setidaknya akan lebih mudah untuk menjelaskan bagian awal dan bagian akhirnya."

            "Maksudku lebih mudah untuk diketahui apa maksud dialog kita," jelas Dodit.

            Kemudian, Bela masih bertanya lagi mengapa juga tak memilih membuat dialog dari awal cerita novel tersebut.

            Aku beralasan bahwa bagian perkenalan, tokohnya belum banyak dimunculkan. Sedangkan kelompok kami ada enam orang dan semua harus mendapat jatah.

            Lalu mereka akhirnya setuju dengan pendapatku untuk mengambil bagian perang dari cerita klasik ini.

            Sementara itu, Bobby hanya diam saja dan seperti biasa cengengesan tanpa terlihat merasa bersalah. Dia hanya memilih untuk menurut segala keputusan yang kami ambil.

            Setelah berbagai pertimbangan Bobby berperan sebagai Aslan, Dodit sebagai Peter, Bela sebagai Lucy, Dedi sebagai Edmund,  Fatia sebagai penyihir putih, dan aku sebagai Susan.

            Setelah pembagian peran, semua anak kecuali Bobby dan Dodit sibuk berdiskusi tentang naskah dialog drama. Lagi-lagi Bobby dan Dodit malah sibuk mengobrol.

            Sambil mencatat dialog, mataku tak sengaja jatuh di mata Bobby yang sedang mengobrol. Aku yang agak kesal melihatnya lantas langsung menegurnya.

            Aku sendiri heran mengapa dari tadi ia mengobrol dan hanya mengamati kami yang sedang berdiskusi. Andai bisa Bobby kutukar dengan Mika yang lebih berguna bagi kelompok kami.

            "Bob, Dodit, ga usah ngobrol mulu," tegurku.

            Mungkin karena malu, mereka akhirnya mencoba serius mengikuti diskusi. Tugas ini memang bukan tugas yang mudah.

            Setelah ditegur demikian Bobby tiba-tiba saja mengajukan sebuah saran. Aku sendiri kaget, sedari tadi Bobby yang diam saja akhirnya bisa bersikap serius.

            Bobby bahkan mengajak kami untuk berlatih agar hasilnya akan sempurna. Walaupun aku belum terlalu mengenal Bobby, namun ini seperti bukan dia yang mengatakannya.

            "Harusnya kita latihan dulu sebelum minggu depan kita memperagakannya di depan kelas."

            "Lucu dong kalo ekspresi kita datar," usul Boby.

            Mendengar itu, aku langsung setuju dengan pendapat Bobby. Perlu setidaknya beberapa latihan agar benar-benar seperti drama, dan tidak terkesan hanya hafalan.

            Jika kami hanya berlatih saat pelajaran Bahasa Inggris, maka tentu saja waktunya tidak mencukupi. Belum lagi kita tidak bisa fokus dalam berlatih karena suasana kelas yang ramai.

            "Ya udah bagaimana kalau Minggu ini? Kata Bobby lagi.

            Kemudian, kami mengangguk saja tanda setuju. Aku cukup semangat dengan ide Bobby hingga aku punya alasan untuk keluar rumah.

            Selama kelas 11 ini aku memang jarang bermain di luar. Rasa-rasanya duniaku hanya sebatas sekolah dan rumah yang hanya berjarak 2 kilometer saja.

            Setelah pelajaran Bahasa Inggris selesai, kemudian kami kembali ke kursi masing-masing. Bukannya kembali ke kursinya, Bobby justru mengikutiku yang hendak ke toilet.

            "Hei Rin," serunya menyusulku keluar kelas.

            "Apaan Bob, mau pipis kebelet nih," ujarku.

            "Aku minta nomormu dong, biar nanti gampang bahas Bahasa Inggris," ungkapnya.

            "Hah, tumben serius amat sama sekolah," celotehku.

            "Seriusan, mana nomormu?," pintanya lagi.

            "Duh, kan di grup Whatsapp ada, cari aja sendiri," protesku sembari menahan pipis yang sudah makin terasa.

            "Oh iya, hehe," jawabnya sambil menggaruk rambutnya yang hitam kecoklatan karena kena sinar matahari.

            Saat aku sudah beberapa langkah menuju toilet rupanya Bobby masih mengikutiku. Dengan sebal aku langsung menegurnya.

            “Bob ngapain sih, ya ampun sana aku mau ke toilet, mau mesum ya?,” ujarku galak.

            “Apaan woy, emang kamu aja yang kebelet pipis, ah elah ini cewek,” balasnya sambil mendahului langkahku.

            “Oh ya ampun Bobby, maap,” ujarku malu sendiri dan segera berlari menuju toilet.

 

***

            "Kring...kring," lonceng tanda kelas telah usai. Tepat pukul 13.00 WIB, aku mengemasi barang-barangku dan mulai membuka ponselku di dalam tas.

            Ku buka ponselku lalu langsung ku hidupkan data seluler agar aku bisa kembali memperoleh akses internet.

            Sekolahku memang tidak memperbolehkan kami untuk bermain ponsel saat pelajaran. Guru tak sungkan menindak tegas murid yang ngeyel memainkan hpnya saat proses belajar mengajar berlangsung.

            Setelah aku menghidupkan paket internet, aku sedikit terkejut muncul 20 notifikasi pesan Whatsapp. Tidak biasanya aku mendapat banyak pesan seperti ini.

            Saat aku buka, ada dua pesan dari grup kelas, kemudian satu pesan dari Mamah, dan 17 pesan lainnya dari nomor yang belum aku kenal.

            "Save, Ini Bobby," bacaku setelah membuka pesan dari nomor tak dikenal tersebut.

            Di dalam pesan itu, Bobby hanya menulis kapital P sampai 16 kali. Dari semua kata maupun kalimat yang ada  di dunia ini, Ia hanya menulis P.

            "Gila," batinku.

            Aku kemudian membuka pesan lain dari Mamah hingga lupa menyimpan nomor Bobby maupun membalas pesannya.

            Saat aku baru saja mengembalikan ponselku ke dalam tas, ku lihat Bobby nyengir padaku. Sepertinya, dia dari tadi mengamatiku.

            “Nomorku jangan lupa di-save ya,” seru Bobby.

            "Orang ini aneh," pikirku segera keluar kelas.

           

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
DAMAGE
2978      1072     2     
Fan Fiction
Kisah mereka berawal dari rasa penasaran Selgi akan tatapan sendu Sean. Ketidakpuasan takdir terhadap pertemuan singkat itu membuat keduanya terlibat dalam rangkaian cerita selanjutnya. Segalanya pun berjalan secara natural seiring kedekatan yang kian erat. Sean, sang aktor terkenal berperan sangat baik untuk bisa menunjukkan kehidupannya yang tanpa celah. Namun, siapa sangka, di balik ...
Laci Meja
472      315     0     
Short Story
Bunga yang terletak di laci meja Cella akhir-akhir ini membuatnya resah. Dia pun mulai bertekad untuk mencari tahu siapa pelakunya dan untuk apa bunga ini dikirim. Apa ini....teror?
A - Z
2727      942     2     
Fan Fiction
Asila seorang gadis bermata coklat berjalan menyusuri lorong sekolah dengan membawa tas ransel hijau tosca dan buku di tangan nya. Tiba tiba di belokkan lorong ada yang menabraknya. "Awws. Jalan tuh pake mata dong!" ucap Asila dengan nada kesalnya masih mengambil buku buku yang dibawa nya tergeletak di lantai "Dimana mana jalan tuh jalan pakai kaki" jawab si penabrak da...
Dear N
4003      1561     18     
Romance
Dia bukan bad boy, tapi juga bukan good boy. Dia hanya Naufal, laki-laki biasa saja yang mampu mengacak-acak isi hati dan pikiran Adira. Dari cara bicaranya yang khas, hingga senyumannya yang manis mampu membuat dunia Adira hanya terpaku padanya. Dia mungkin tidak setampan most wanted di buku-buku, ataupun setampan dewa yunani. Dia jauh dari kata itu. Dia Naufal Aditya Saputra yang berhasil m...
Under The Moonlight
1825      963     2     
Romance
Ini kisah tentang Yul dan Hyori. Dua sahabat yang tak terpisahkan. Dua sahabat yang selalu berbagi mimpi dan tawa. Hingga keduanya tak sadar ‘ada perasaan lain’ yang tumbuh diantara mereka. Hingga keduanya lupa dengan ungkapan ‘there is no real friendship between girl and boy’ Akankah keduanya mampu melewati batas sahabat yang selama ini membelenggu keduanya? Bagaimana bisa aku m...
TAKSA
375      289     3     
Romance
[A] Mempunyai makna lebih dari satu;Kabur atau meragukan ; Ambigu. Kamu mau jadi pacarku? Dia menggeleng, Musuhan aja, Yok! Adelia Deolinda hanya Siswi perempuan gak bisa dikatakan good girl, gak bisa juga dikatakan bad girl. dia hanya tak tertebak, bahkan seorang Adnan Amzari pun tak bisa.
Cinta Pertama Bikin Dilema
3984      1213     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...
LARA
7867      1958     3     
Romance
Kau membuat ku sembuh dari luka, semata-mata hanya untuk membuat ku lebih terluka lagi. Cover by @radicaelly (on wattpad) copyright 2018 all rights reserved.
KETIKA SENYUM BERBUAH PERTEMANAN
511      359     3     
Short Story
Pertemanan ini bermula saat kampus membuka penerimaan mahasiswa baru dan mereka bertemu dari sebuah senyum Karin yang membuat Nestria mengagumi senyum manis itu.
Praha
280      172     1     
Short Story
Praha lahir di antara badai dan di sepertiga malam. Malam itu saat dingin menelusup ke tengkuk orang-orang di jalan-jalan sepi, termasuk bapak dan terutama ibunya yang mengejan, Praha lahir di rumah sakit kecil tengah hutan, supranatural, dan misteri.