“Life was a willow and it bent right to your wind, but I come back stronger than a 90’s trend,” begitulah kutipan lirik lagu Willow dari Taylor Swift yang tengah menjadi lagu favoritku.
Rasanya tak bosan mendengar lagu itu tiap kali akan berangkat sekolah. Biasanya kusempatkan mendengar satu atau dua kali lagu itu untuk sekedar membangun mood.
Selama dua minggu ini aku merasa selalu semangat untuk bersekolah. Hari-hariku berjalan dengan normal dan tidak ada lagi murid-murid yang mengganggu.
Mungkin hanya sekali-dua kali anak laki-laki dari kelasku yang dahulu mengejekku saat kami berpapasan.
“Go to hell,” balasku biasanya.
“Sudah bukan waktunya lagi memikirkan mereka,” pikirku.
Aku tak biasa mengontrol apa yang mereka lakukan namun aku bisa mengontrol reaksiku atas apa yang mereka lakukan.
“Otakku terlalu berharga jika diisi dengan memikirkan ucapan mereka,” kataku dalam hati.
Pagi itu aku tengah berjalan menuju kelas. Langkahku ringan seringan senyumku yang terus berkembang sejak hari pertamaku di kelas 11.
Mungkin sebenarnya aku adalah sosok yang suka dengan sekolah, mendapat ilmu tiap harinya, bertemu dengan teman. Hanya saja banyak ternodai dengan anak-anak usil di kelas lamaku.
“Tapi, dia akan memenuhi otakku,” batinku tiba-tiba saat melihat teman satu kelasku, Sean,
Saat itu tiba-tiba saja rasanya waktu berhenti. Jika ini adalah film atau sinetron apapun itu, mungkin saja sudah ada bunga-bunga di layarnya.
Aku terpesona dengan sosok itu, akhir-akhir ini aku tak bisa tak memikirkan laki-laki yang kini berjalan mendekatiku. Ralat, berjalan mendekati kelasku.
Dia adalah Sean, untuk kesekian kalinya mataku tak sengaja jatuh tepat di matanya. Ada perasaan aneh yang mulai menjalar saat melihat laki-laki jangkung itu.
Mungkin hal itulah yang membuatku akhir-akhir ini semangat berangkat sekolah. Aku tak bisa mengabaikan pesona Sean yang sebetulnya belum aku kenal dekat.
Sean merupakan teman sekelasku. Dia adalah sosok yang berbadan jangkung, berkulit putih, berhidung mancung, serta berambut kecoklatan.
Raut mukanya tidak jauh seperti tokoh-tokoh dalam film atau series remaja Amerika. Hal itu tidak terlepas dari fakta bahwa Sean masih memiliki darah Eropa dari sang kakek.
Saat Sean dan Bobby melewatiku, Mika tiba-tiba saja datang dari belakang. Mika dengan santainya menowel lengan kiriku cukup keras.
“Hei, Rin!,” ucap Mika membuyarkan lamunanku.
“Hai, Mik,” kataku tergagap.
Aku lantas mencoba fokus kembali. Namun, aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari Sean.
Kemudian datanglah Sarah, dengan cerianya ia menyapa kami. Sarah memang sosok yang selalu ceria aku rasa.
“Hei guys, aku laper nih temenin aku yuk ke kantin,” ajak Sarah.
“Lah pagi-pagi jajan, belum sarapan?,” tanyaku.
“Ibukku gak sempet masak nih, ayuk ah laper,” ajaknya lagi dengan manja.
Ngomong-ngomong, selama kelas II ini, aku cukup akrab dengan Sarah. Kami biasa jajan bersama
Selain Sarah dan Mika, aku biasanya juga bergerombol dengan anak-anak kelas yang lain, yaitu Venny, Meta, Regina, Laila, dan Sabrina. Aku rasa kehidupanku di kelas baruku ini berjalan sempurna.
***
Sementara itu, hari berjalan seperti biasanya. Diawali dengan pelajaran Bahasa Indonesia kemudian Bahasa Inggris barulah kemudian istirahat.
Setelah istirahat, aku merasa tidak suka harus bertemu dengan pelajaran Matematika. Aku sering berpikir apakah nantinya di masa depan aku tak akan bisa menjalani kehidupan jika aku tak bisa aritmatika.
Mungkin ya aku kesulitan dalam kelulusan SMA. Selain itu? Ya kesulitan kalau aku nantinya akan bekerja sebagai seorang pengusaha yang ingin menghitung untung rugi.
Meski aku berada di kelas Bahasa, namun kami tetap diharuskan untuk mendapatkan pelajaran itu. Pasalnya, Matematika masuk dalam pelajaran wajib Ujian Nasional kelulusan SMA.
Dengan sedikit mengantuk, aku mencoba tetap fokus dan berusaha mendengarkan Bu Lastri. Sebagian besar anak-anak kurasa tengah merasakan apa yang kualami.
Ada yang sedang mengibas-ngibaskan buku ke tubuh untuk menghempas rasa panas, ada yang saling berbisik-bisik, ada pula yang menaruh kepala ke meja untuk sepertinya memejamkan mata.
"Hoaaam," terdengar suara menguap dari beberapa anak-anak.
Guru Matematikaku, Bu Lastri sendiri saat itu terlihat lelah. Beberapa kali dia sedikit melotot menatap murid-muridnya meski tidak ada yang peduli.
Selama ini, dia dikenal sebagai sosok guru yang sabar. Bu Lastri selalu berusaha tenang dan tetap menerangkan pelajaran meski dia sadar bahwa murid-murid mengabaikannya.
"Hei, kalian sebenarnya mau apa ha?," kata Bu Lastri tiba-tiba cukup keras hingga menganggetkan seisi kelas.
"Aku sudah cukup sabar selama ini," lanjutnya.
Aku sendiri cukup kaget melihat guru dengan rambut pendek itu tiba-tiba terlihat sangat marah. Mungkin anak-anak sudah keterlaluan batinku.
"Aku tak masalah kalau kalian tidak fokus dan mengantuk karena pelajaranku. Aku maklum apalagi di siang-siang seperti ini."
"Tapi aku tak terima kalau kalian malah ketawa-ketawa di belakang sana, tidak sopan sama sekali," ujar Bu Lastri.
Aku lantas bertanya-tanya siapa yang berani berbuat demikian. Ku lihat sekeliling, aku duga kuat mereka adalah kelompok Sean.
Sean dan gerombolannya bukan sekali ini membuat gaduh di kelas. Terkadang mereka juga kedapatan berbisik-bisik waktu guru menerangkan.
Aku sendiri agak bingung bisa naksir Sean dengan tingkahnya yang seperti itu. Anehnya lagi aku terkadang merasa hal itu sesuatu yang lucu.
“Benar kata orang cinta itu rasa tai kucing,” batinku dengan bodoh.
"Kalian empat orang di belakang, ku rasa sebaiknya tidak boleh bersama! Kalian harus dipisahkan agar tidak seenaknya mengobrol dan ketawa-ketiwi enggak jelas," ujar Bu Lastri.
"Aku punya ide kalian harus dipisahkan dan duduk bersebelahan dengan para cewek selama pelajaranku. Kalian bebas memilih dengan siapa kalian duduk, tapi aku ingin kalian duduk di deretan depan," jelasnya lagi.
Kemudian, Bobby berdiri terlebih dahulu. Dengan berani dia langsung pindah ke deretan depan bertukar dengan Leila, sehingga ia duduk bersama Meta.
Lalu Yus bertukar tempat dengan Rena hingga duduk di samping Sabrina. Kemudian, Anton bertukar tempat dengan Venny dan duduk dengan Sarah.
Terakhir Sean bertukar tempat dengan Mika sehingga ia duduk di sebelahku. Lagi-lagi bunga entah dari mana asalnya melayang-layang di atas kepalaku.
"Apa? Sean di sebelahku? Perasaanku tidak enak, Bu Lastri menyuruh Sean dkk pindah agar fokus, mengapa aku yang malah repot." ucapku dalam hati.
"Hei, maaf ya jadi mengganggu," ucap Sean seakan tahu isi batinku.
"Oh, nggg oke," ungkapku salah tingkah.
Saat itu entah mengapa rasanya jantungku berdetak lebih cepat. Aku bingung harus bertingkah seperti apa di dekatnya.
“Bruk,” buku tebal matematikaku jatuh ke lantai hingga membuat semua mata tertuju padaku.
Seakan tak mau mendengar keributan lagi. Bu Lastri kemudian memberikan ancamannya lagi.
"Oke sekarang kuharap tidak ada kegaduhan lagi dengan para cowok duduk dengan para cewek."
"Kalau sampai ribut lagi, aku tak segan untuk mengeluarkan kalian dari kelas,," ucapnya galak sambil kembali menghadap papan tulis.
"Ku pikir dia sedang PMS," bisik Sean kepadaku.
Ku hanya bisa senyum membalasnya, semakin salah tingkah saat aku sadar tubuhnya mendekat ke sampingku.
"Hei Sean diamlah, aku sedang berusaha fokus, kamu sudah membuatnya berantakan," raungku dalam hati.
Tapi entah mengapa saat itu angka-angka yang ditulis Bu Lastri justru berubah menjadi bunga-bunga. Lagi-lagi bunga-bunga.
“Siapa yang menanam bunga-bunga ini di kepalaku woy,” batinku kesal.
Aku rasa aku begitu terpesona dengan Sean. Senyumnya mengalihkan fokusku dari papan tulis.