Read More >>"> Ilalang 98 (Kos Yu Jum) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ilalang 98
MENU
About Us  

Malam belum terlalu larut, melewati perkampungan di gang-gang sempit mengharuskanku terus menyapa beberapa pria paruh baya yang memang sengaja berjaga di gardu. Situasi negeri ini memang sedang genting. Gonjang-ganjing ibukota merambah hingga ke daerah-daerah. Penjarahan dan tindakan anarkis dapat terjadi di mana saja, wajar bila RT dan RW setempat melakukan penjagaan lebih di pemukiman padat penduduk ini.

Untunglah sebagian besar dari pria yang duduk-duduk di gardu ronda itu mengenaliku, sebagai salah satu mahasiswa yang ngekos di tempat Bu Jumiarti yang sering di panggil Yu Jum saja. Ada banyak rumah yang di jadikan tempat kos di lingkungan ini. Melihatku baru pulang dengan kelelahan luar biasa tercermin di wajahku, serta menggendong tas ransel yang terlihat kotor tak membuat mereka curiga.

Mereka pasti sudah mengira, “ Paling mahasiswa yang ikut demo.” Kudengar celetukan salah seorang dari mereka.

Aku hanya perlu terus melangkah, sudah sangat mengantuk, bayangan kasur empuk sudah membayang di pelupuk mata. Tidak lupa ku berikan senyuman terbaikku kepada bapak-bapak tadi, menganggukan kepala takzim ketika melewatinya.

Satu tikungan lagi rumah kos Yu Jum akan terlihat, namun sebuah suara berat yang sengaja di lembut-lembutkan membuyarkan lamunan.

“Mas ganteng, baru pulang Mas..?”  suara itu ramah menyapa.

Aku menoleh kaget. Aku mengenalnya, ia tetangga kosan. Seorang wanita, eh tidak lelaki, akh, tidak juga, aku bingung mendefinisikan sosoknya. Dia berpakaian wanita, gaun kuning mencolok dengan stocking hitam kegemarannya. Bibirnya bergincu tebal merah menyala, di telinganya berjuntai anting panjang berbentuk bola, saat ia menggerakan dagunya ,bola-bola itu terkesan ingin mampir membentur bibirnya. Sementara bass betot kotak sudah terpasang rapi di depan perut. Pertanda pemiliknya siap berangkat kerja.

“ Woi, kok bengong Lang.., di cariin orang-orang loh kamu tadi,” ujarnya memberi informasi. Aku sedikit terperanjat tetapi perhatianku teralihkan pada air mineral yang di pegang Merry sosok bergaun kuning mencolok itu. Ku usap perlahan jakun di leherku. Kedua mataku tak dapat beralih dari botol mineral yang airnya bergoyang karena tangan Merry sibuk terangkat sana-sini.

“Mer, boleh kuminta airnya..,” aku memberanikan diri.

Merry heran tapi tangannya langsung mengangsurkan botol air minumnya. Tangan satunya masih sibuk menyumpalkan semacam gulungan kaus kaki ke dalam BeHa di balik gaun kuningnya. Aku mengambil botol air itu cepat, segera memuaskan dahaga yag tertahan sejak siang tadi. Rasanya air satu botol berukuran 500ml sangat kurang bagiku, tetapi aku sudah sangat berterimakasih pada Merry. Ia memang selalu baik padaku. Hanya sepersekian detik air di dalam botol itu tandas olehku.

“ Haus sekali ya Lang?” Merry merasa heran.

“ Apa kau juga lapar?” tanyanya lagi.

Aku mengangguk berharap Merry juga berbaik hati memberikan sebungkus pecel lele seperti biasa menunya saat makan malam. Tetapi sayangnya ia menggeleng. Rupanya malam ini ia juga belum makan malam.

“Aku kan belum berlayar Lang, bagaimana sepulang aku berlayar saja ya , aku kirim ke kamar kosmu.” Suara beratnya menjelaskan dengan lembut dan manja, berlayar adalah istilahnya ketika berangkat ngamen.

Kudengar cita-citanya memang menjadi ABK di salah satu kapal pesiar, sayangnya ia tertipu oleh kawannya satu kampung. Uang yang seharusnya di setor untuk mengurus surat-surat izin berlayar di bawa kabur oleh temannya itu, jadilah ia seperti sekarang. Menggunakan daya kreatifitasnya untuk mengais rejeki di kota gudeg ini.

Aku menggeleng pada Merry. “ Aku mau tidur saja Mer, terimakasih ya minumannya.” Kataku tulus. Merry mengibaskan tangannya. Lalu ia melanjutkan obrolan.

“Ibu kosmu pasti menunggumu pulang, tadi ada banyak tamu mencarimu.” Ujar Merry bernada khawatir.

Mengernyitkan dahi sedikit, aku tidak fokus pada perkataan Merry. Selama ini tidak pernah ada tamu mencariku kecuali Runi kekasihku. Kampus kami sama, fakultas kami berbeda tetapi gedungnya berhadapan, aku berada di Fakultas Sastra sedang Runi berkuliah di Fakultas Ekonomi, namun kami sering berselisih jalan dan lama tak bertemu. Kalau sudah begitu Runi akan menghampiri kosanku dengan mengomel. Jika aku tak ada di kamar, ia akan membuat pesan panjang yang di tempel di pintu kos-kosan.

Di tahun 1998, hampir semua pintu kamar kos memang terpasang notes dan pulpen untuk menulis pesan jika penghuni kamar tidak berhasil di jumpai. Tapi sepertinya tamu itu bukanlah Seruni.

Suara berat Merry lagi-lagi mengagetkan, “ Kamu terlibat demonstrasi siang tadi?” tanya Merry lugas dengan pandangan mata menyelidik.

Aku tak menampik perkataannya. Aku menunduk terdiam. Merry menarik nafas panjang. Merry selalu cepat paham akan situasi yang terjadi padaku. Ia lebih tua sekitar tiga tahun di bandingkan aku. Namun obrolan kami lebih sering terlihat seperti ibu dan anak. Mungkin karena jiwa keibuan Merry sangat kuat. Lantas Merry menepuk bahuku sambil berlalu.

Aku melanjutkan langkah demi langkah menuju rumah kos. Rumah  kos Yu Jum berbentuk huruf ‘L’ dengan deretan kamar-kamar kos berjumlah sepuluh pintu dan rumah induk semang berada di pojoknya. Masing-masing dari kamar kos itu langsung menghadap gang sempit dengan secuil teras yang hanya cukup untuk diduduki empat orang pada masing-masing kamarnya.

Kondisi kosan Yu Jum yang seperti ini sudah sangat ku syukuri. Apalagi Yu Jum selalu meletakan air kendi untuk air minum kami pada teras kamar. Kendi itu pula barang yang pertama ku gapai setiba di depan kamar. Aku bersyukur kawan lain tidak ada yang menguras habis air kendiku. Kuangkat tinggi kendi yang tidak lebih besar dari kepalaku, langsung meminum airnya tanpa gelas. Kembali memuaskan dahagaku dengan dinginnya air kendi yang yang terlarut melewati tenggorokan seperti menyembuhkan rasa perih dan tercekik yang terpaksa ku derita berjam-jam lalu.

Membuka pintu kamar yang pengap, perasaan lega memenuhi hatiku. Teringat kawan-kawan yang terciduk dan di angkut jeep, syukurlah aku selamat pikirku. Meskipun aku yakin kawan-kawan esok juga pasti di lepaskan karena hanya di mintai keterangan.

Namun aku bergidik membayangkan jika aku yang terangkut. Aku bukanlah keluarga kaya, Emak hanyalah petani kentang di dataran tinggi Dieng. Aku tidak memiliki penjamin, apalagi seseorang yang dapat aku andalkan. Apakah kemungkinan Bang Putra akan menolongku? Ku dengar orang tuanya cukup memiliki jabatan, tetapi tidak, aku tidak terlalu mengenalnya tetapi aku tahu, Bang Putra adalah tipe manusia yang akan menyelamatkan dirinya sendiri jika berada dalam situasi terjepit. Kupandangi tas ranselku, tustel milik kawan Bang Putra masih berada di dalamnya. Bang Putra pasti akan datang mencariku.

Dengan semua alasan latar belakangku, aku tidak berani untuk aktif berorganisasi, terlibat dalam hal-hal demonstrasi dan semacamnya. Bukan, bukan karena aku tidak patriotik atau pengecut, hei, aku bukanlah pecundang.

Aku hanya tak sanggup melihat air mata Emak jika terjadi hal buruk pada diriku, aku hanya selalu terbayang tangan kasar Emak dengan guratan berwarna hitam di telapak tangannya, terbayang banyaknya kentang-kentang kecil yang harus Emak bersihkan dari tanah kemudian ia masukkan dalam bejana besar, memasaknya dicampur air gula merah dengan kedua tangan terus mengaduk bergantian , menunggu orang-orang yang menuruni bukit setelah melihat matahari terbit menghampirinya dan menyantap kentang-kentang itu lalu menukarkan dengan sejumlah rupiah yang akan Emak kumpulkan guna membiayai hidupku di kota pelajar.

Aku adalah kebanggan Emak juga warga desaku, mereka menganggap sosokku berbeda, aku berbadan tinggi juga kulit putih bersih seperti orang Jepang, mungkin menurun dari darah Bapak yang masih merupakan keturunan Jepang, kata mereka aku terlihat pintar dengan kacamata yang selalu bertengger manis di hidung mancungku.

Satu desa hanya aku yang berhasil kuliah di perguruan tinggi negeri. Keberangkatanku untuk pertamakali ke Jogja di antar mereka sampai terminal dengan tangisan haru dan harapan. Karena itu semua, selama ini aku menahan diri untuk tidak terlibat apapun apalagi yang berkaitan dengan politik. Karena itupula aku selalu mensyukuri air yang kuminum, makanan yang kumakan, kasur tempatku tidur yang hanya berisi kapuk tetapi aku membayangkannya seolah tumpukan bulu angsa.

                                                                           ***

Rasanya aku terlelap cukup lama, sinar matahari terpantul pada kaca jendela membangunkanku, akh ya aku memang tidak memiliki gorden. Sepertinya itu pula alasan anak gadis ibu kos sibuk berbisik di jendela kamarku tiap pagi, mereka mengintipku, namun jika kutanyakan tetap saja tidak ada yang mengaku. Suara tawa mereka di sertai gedebug sandal jelas terdengar di telinga.

Aku terbangun, bersila di pinggir kasur tanpa dipan ini. Rupanya seseorang telah meletakkan sebungkus nasi dan air mineral dekat kasur tidurku. Pasti Merry pikirku, hanya Merry satu-satunya orang di kota ini yang selalu memberikanku makanan.

Setelah membasuh muka, kuhabiskan nasi bungkus itu cepat. Kondisi tubuhku kini terasa lebih baik.

Handuk sudah kusampirkan di bahu, gayung berisi peralatan mandi sudah berada di tangan ketika sebuah ketukan di pintu kamar membuat aliran darahku memanas, aku sedikit takut. Ketukan itu kasar dan memburu.

“Alang! Ku tahu kau di dalam,” teriakan orang itu membuat lega, orang itu Runi kekasihku, sepertinya aku langsung ingin memeluknya. Namun tak di sangka setelah pintu terbuka, justru pukulan tas wanita mengenai lenganku, aku mengaduh, berakting di depan Runi berharap ia melembutkan sikapnya, pukulannya sama sekali tidak sakit. Tetapi wajahnya membentuk mendung yang sangat gelap, ia menggerutu, memberikan sumpah serapah padaku.

Lama-lama aku kesal, kutangkap tangan Runi, kini ia berhadapan denganku. Berdiri sangat dekat hingga kawan kos yang terbangun dan menghampiri kami karena keributan itu langsung berseru riuh. Aku tersenyum pada mereka, akhirnya mereka bubar meninggalkan kami. Ada yang langsung kembali tidur, ada yang langsung berangkat kerja atau kuliah. Sementara lirikan tajam anak-anak gadis ibu kos yang telah siap memakai seragam putih abu tertangkap mata olehku, cemburu pada Runi, sudahlah, aku tidak peduli, bukankah Runi pacarku.

Tanpa kacamata aku memang tidak dapat melihat dengan baik, tetapi tidak perlu kacamata untuk melihat jelas wajah kekasihku Seruni yang merenggut dan menekuk bibir. Tanganku masih memegang kuat pergelangan tangannya, kata-kata Runi meluncur deras, terus menyalahkanku mengapa aku turut serta dalam demonstrasi kemarin siang. Aku memang tidak memberitahunya, selain tidak sempat juga karena aku tak menduga demonstrasi siang kemarin adalah demonstrasi besar-besaran.

Lalu ketika Runi mengungkit taman kodok sebuah taman yang berada di dalam kampus sastra, aku terhenyak, untuk sesaat aku teringat akan janjiku padanya untuk bertemu di taman kodok pukul tiga sore. Aku benar-benar melupakannya. Berkali-kali meminta maaf namun Runi tidak menggubris. Aku tidak mengelak, nyatanya aku memang terlalu banyak melanggar janji.

“ Lebih baik kita putus!” seruan Runi selanjutnya mengejutkanku. Teramat parahkah kesalahanku mengikuti demonstrasi dan melupakan janji bertemu dengannya. Melepaskan pergelangan tangan Runi perlahan. Aku tidak mengatakan apapun. Jujur, aku tidak memiliki apapun untuk menahannya pergi.

Runi berkata seperti bergumam, “ Kau tahu kan Lang Ayahku seorang pejabat polisi, tidak mungkin aku dapat terus menggandeng tanganmu kemana saja, sedangkan wajahmu telah terpampang di Koran, berita televisi dan banyak media cetak sebagai seorang demonstran.”

“Hah, apa maksudmu?” aku kebingungan dengan alasannya, aku memang ikut dalam barisan itu tetapi aku hanya bertugas membawa kamera. Setidaknya andai benar aku memang demonstrasi, ada banyak mahasiswa yang melakukannya kemarin.Puluhan bahkan ribuan di seluruh negeri. Lalu mengapa Runi seakan malu dengan diriku. Karena ayahnya seorang pejabatkah?

Runi mendorongku menjauh, kata-katanya menyakitiku, dengan sedikit berteriak ia mengatakan kata ‘putus’ demikian keras. Seakan gendang telingaku tak mampu menangkap jika ia berkata lirih. Selanjutnya aku justru merasa lega ketika ia berbalik pergi. Sedikit berlari dan tubuhnya menghilang dari pandangan tertutup jemuran tetangga yang bergantungan melambai-lambai.

Tidak cukup kekagetanku Yu Jum ibu kosku datang tergopoh-gopoh menemuiku, suara keributan Runi tadi pasti terdengar dari dapurnya.

Ternyata sekali lagi aku keliru, Yu Jum dengan heboh mengabarkan bahwa wajahku tesebar di Koran pagi ini. Berita televisipun menayangkan aku yang memakai kemeja flannel dan juga tas ransel tengah sibuk memotret.

Aku mengerti sekarang. Tentunya ada banyak wartawan kemarin siang. Lalu mengapa aku yang di jadikan gambar pada headline berita. Seandainya mereka tahu, aku bahkan hanya mengikuti barisan itu karena sebuah permintaan dari kawan juga imbalan makan siang yang akhirnya tak pernah aku nikmati.

“Kau tahu Lang, hari ini reformasi.” Seru Yu Jum lagi.

“ Tuntutan para mahasiswa tercapai!” serunya lagi.

Informasi yang bertubi-tubi ini membuatku gundah. Lalu beberapa tetangga tiba-tiba bermunculan, mereka menghampiriku gusar. Yu Jum dan para tetangganya menarikku ke depan layar televisi.

Berita masih menayangkan gegap gempita seluruh negeri. Mau tidak mau perubahan memang akan terjadi. Tetapi sayangnya video-video yang menampilkan peristiwa demo kemarin jelas salah satunya terlihat jelas wajahku dan gerak–gerik yang kulakukan dan di tayangkan berulang-ulang.

Aku terkesiap, tak sadar gayung berisi alat mandi terjatuh berserakan. Menatap orang-orang yang menoleh padaku, seperti gerakan lambat tertangkap di kedua mataku.

Lalu lamat gerak bibir Yu Jum dapat ku artikan sebagai kata-kata, “Kamu harus segera pergi dari sini Lang.”

***

 

Tags: romancefiksi

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags