Read More >>"> Ilalang 98 (Bulan Mei 1998) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ilalang 98
MENU
About Us  

 ~ Akhirnya aku menyadari, aku bukanlah pemeran utama, aku hanyalah ilalang yang menghiasi padang tandus gejolak muda.~

Namaku IIalang Alambara, semua orang memanggilku Alang. Jangan tanyakan padaku mengapa namaku ‘Ilalang’ yang berarti rumput liar atau sejenis gulma di lahan pertanian. Tanyakanlah pada Bapak yang telah dengan sengaja memberi nama tersebut, bahkan Emak pun hanya menggeleng ketika kutanyakan hal itu, namun sepertinya Bapak tidak akan pernah menjawab, karena dia sudah tertidur di dalam tanah semenjak aku kelas dua SD.

Berlatar tahun 1998 bukan berarti aku akan bercerita tentang carut marut negeri ini di masa itu, pergolakan jiwa muda di mana aku yang berusia dua puluh satu tahun merupakan mahasiswa semester dua jurusan Sastra Indonesia di Yogyakarta, turut andil di dalamnya. Bisa di bilang keterlibatanku secara tidak disengaja. Tetapi hal tidak disengaja itu pula yang mengantarkanku pada cinta platonik bertahun-tahun kemudian. Semua berawal dari hari itu, suatu hari di bulan Mei pada tahun 1998, hari penentuan tentang pilihanku, tentang perubahan dalam hidupku, dan inilah kisahku..

                                                                                                 ***

Gejayan, bulan Mei tahun 1998, pukul tiga sore warung angkringan semakin ramai, berjejalan mahasiswa kelaparan menyerobot antrian demi sebuah gorengan atau melepas dahaga dengan es teh Mang Kardi yang begitu pekat. Sementara Mang Kardi pemeran utama dari warung angkringannya tertutup desakan lelaki muda berpeluh keringat.

Kemeja flannel kotak-kotak kebanggaanku kusampirkan di pundak. Kini aku sama dengan yang lain berkaus putih polos saja di lengkapi peluh keringat. Gumaman para mahasiswa yang baru saja demo itu terus merongrong Mang Kardi. Tangan pria berkumis, berpeci hitam itu sibuk membuat es teh. Tubuh kecilnya tenggelam dalam kerumunan mahasiswa yang tak sabar ingin mencicipi es teh manis buatannya.

“Sabar..sabar, yang baru pulang demo dulu!” Mang Kardi mengangsurkan es teh pada teman-teman demonstran siang tadi. Beberapa yang protes dihardik mang Kardi.

“ Kasihan mereka sudah kehausan karena orasi, kamu kan tadi tidak ikut panasan, tho?”

Aku mulai merangsak memajukan tangan pada Mang Kardi, ia melihatku terlihat kaget.

  “ Kamu ikutan, Lang?” tanyanya keheranan.

Aku nyengir kuda, kerongkongan kering tercekik.

“Tidak biasanya..” ujarnya keheranan.

Mang Kardi memang cukup mengenalku sebagai pujangga amatiran, di gerobak angkringan Mang Kardi entah berapa banyak puisi telah tercipta dari coretan spidol merah dalam berlembar kertas bekas bungkus nasi kucing yang diberikan Mang Kardi gratis untukku, sebagai gantinya puisi-puisi itu ia kumpulkan dan disimpan dengan baik.

Membacanya membuat ia kadang tersenyum, kadang menangis, mengisi waktu senggang katanya. Mang Kardi mengetahui dengan pasti sebagian besar puisi-puisiku bercerita tentang romansa, kadang aku tidak membuat puisi melainkan lelucon yang berhasil membuat Mang Kardi terbahak, sama sekali tak pernah tulisanku menyinggung tentang politik atau tabiat manusia-manusia penguasa negeri.

Tidak merespon keheranan Mang Kardi, aku hanya mengulurkan tangan menerima seplastik es teh dengan sedotan, menunjukan pada Mang Kardi aku bagian dari mereka yang berhak cepat menerima es teh buatannya.

Aku tidak bohong, siang tadi aku memang ikut di antara demonstran. Aku tidak ikut berorasi atau meneriakan tuntutan, aku hanya kebetulan menemani Bang Putra yang kebetulan menjadi bagian demonstrasi.

Tadi pagi, secara tidak sengaja aku dan Bang Putra yang merupakan kating jurusanku bertemu di kantin sastra. Aku merasa tidak enak menolak ajakannya. Apalagi ia meminta tolong untuk di bantu mendokumentasikan saat ia dan teman-temannya berorasi. Bermodalkan tustel canon milik kawan Bang Putra, jadilah aku sebagai fotografer dadakan. Jepret sana jepret sini, sampai tak sadar beberapa kawan wartawan turut mengabadikan moment demo dengan aku berada  di dalamnya, saking asyiknya bahkan aku lupa berpanas-panasan di siang hari bolong yang membuat tenggorokan tercekik.

Es teh Mang Kardi baru saja membasahi bibirku, belum juga mengalir ke kerongkongan ketika bunyi sirine mengagetkan semua kawan. Mereka berhamburan, berteriak dengan tangan masih menggenggam bungkusan plastik es teh.

“Sembunyi,Sembunyi!” teriakan mereka panik, suasana mendadak kacau ketika pria-pria berbadan tegap menangkapi satu persatu para mahasiswa. Semua sibuk menyelamatkan diri masing-masing. Termasuk aku. Aku tak ingat lagi dengan Mang Kardi yang belum kubayar es tehnya, bahkan es teh itu terlempar entah kemana.

Aku terus berlari menyusuri pinggir selokan Mataram dan melewati rumah penduduk dalam gang-gang sempit. Napasku memburu dengan kehausan yang belum terobati. Keringat mengucur seperti bulir-bulir jagung.

Saat itu baru kusadari, kemeja flannel kotak-kotakku tak lagi di bahu. Akh, aku menepuk jidat, menyesali kebodohanku. Kuingat betul ada kartu mahasiswa di saku kemeja. Pada kartu tersebut terpampang nyata namaku ‘Ilalang Alambara’ dan juga nama universitas negeri tempat aku terdaftar sebagai mahasiswa

Ketakutan menjalar di rongga dada, lantas kuputuskan bersembunyi di salah satu rumah kosong, menunggu malam tiba. Duduk berjongkok sambil melepas kaca mata yang buram terkena debu jalanan dalam pelarian tadi, tiba-tiba aku teringat sesuatu yang menarik perhatianku siang tadi.

Bahkan kini baru kusadari moment itu satu-satunya moment dalam hidup yang tertangkap lensa mata lalu membuat aliran darah dalam tubuhku berpacu kencang menuju jantung hingga debarannya mampu menggetarkan hati. Tak sadar aku menaruh telapak tangan kanan pada dada sebelah kiri, ingin kurasakan lagi degup itu.

 Tadi siang, di antara teriakan para orator, di antara banyaknya warna-warni jas almamater mahasiswa, diriku yang hanya mengenakan kemeja flannel kotak-kotak serta menggendong tas ransel tanpa menunjukan darimana almamaterku berasal, larut dalam sesi dokumentasi kawan-kawan sampai akhirnya kusadari jepretan lensa sesorang dalam barisan demonstran bertubi mengarah padaku.

Untuk sesaat aku tertegun, orang dalam barisan itu sudah pasti mahasiswa dan bukan wartawan, dia seorang gadis berjas almameter berbeda warna dengan kawan kampusku, sudah pasti dia dari kampus lain, tetapi mengapa ia ada dalam barisan ini, sibuk memotret diriku dengan berani. Bukan memotret kawan-kawan yang berorasi, tetapi justru diriku yang juga sedang memotret.

Menurunkan kameranya perlahan, ia tersenyum padaku. Saat itulah rongga dada sebelaah kiri seperti tersengat oleh debaran yang tiba-tiba kurasakan. Aku yakin tidak pernah mengenalnya, gadis itu  entah siapa namanya, dia membalikkan badan berlari pada kawan dengan almamater sewarna dengannya setelah melemparkan senyuman penuh makna dan memberi akibat cukup pelik bagi diriku.

Aku tergoda dengan raut wajahnya, gerai rambut panjangnya, dagunya yang lancip, mata jenaka juga kesan misterius pada senyum gadis itu. Huuft, kembali tersadar siapa aku di situasi sekarang, mencoba mengajak otakku berpikir jernih, lalu sosok Seruni sekelebat mampir di bayang mata.

 Akh, benar juga, aku sudah punya kekasih gumamku mendesah lirih.

Hari menjelang malam ketika kuputuskan keluar saja dari tempat persembunyian. Perutku berbunyi berisik, sedikit mengaduh menahan perih di ulu hati, aku mulai berjalan terseok menyusuri gang-gang sempit sepanjang pinggir selokan mataram. Baru kuingat terakhir kali perutku terisi satu bungkus nasi kucing dan dua tempe goreng di kantin sastra pagi tadi.

Bermula dari sarapan pagi itu pula Bang Putra mengajakku turun ke jalan mengabadikannya berorasi dengan nasi padang untuk makan siang sebagai imbalan. Aku yang sedang berhemat untuk uang bulananku bertahan hidup di Jogja tentu saja tergiur dan langsung menyanggupi.

Namun kini aku menyesalinya, jangankan nasi padang bahkan aku belum sempat bertemu Bang Putra kembali ketika kami berpencar seusai demo. Aku dan beberapa teman yang kehausan langsung menuju Mang Kardi agar di buatkan es teh, tak disangka keributan terjadi, kini melangkah gontai aku berjalan menuju kos-kosan disertai dahaga yang semakin mencekik.

Sekilas tadi aku melihat beberapa kawan Bang Putra terangkut bak terbuka dan beberapa lainnya diangkut menggunakan jeep. Entah bagaimana nasib Bang Putra kini.

***

Tags: romancefiksi

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags