Read More >>"> Ilalang 98 (Terusir) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ilalang 98
MENU
About Us  

Duduk di tepian kasur dengan kedua tangan bergerak lemas melipat pakaian yang akan segera kumasukkan pada sebuah tas jinjing, otakku masih merenungkan apa yang telah terjadi. Yu Jum menemaniku di kamar, ia membisu, aku merasa sesungguhnya Yu Jum tak enak hati untuk mengusirku pergi. Tetapi kedua tangannya mengeluarkan isi lemari pakaian dengan cepat. Tetap saja ada kesedihan terpancar di wajahnya.

Ia mencoba mencairkan suasana dengan sesekali melempar lelucon. Aku tidak menanggapinya. Kepalaku sibuk menghitung-hitung jumlah uang yang harus kukeluarkan untuk mendapat kamar kos baru. Tentunya jauh dari daerah ini, pastinya juga terlalu  jauh dari kampusku. Namun sebenarnya aku sendiri risau, bagaimana aku menghadapi hari-hari di kampus jika kini semua orang telah mengenali wajahku. Sungguh aku tak suka menjadi pusat perhatian.

“Lang, cah bagus, sabar yo le.” Kata-kata Yu Jum mencoba menenangkanku. Selanjutnya ia mencoba menjelaskan akan posisinya yang juga sulit.

“Kamu tahu kan Lang, aku ini janda, usahaku ini ya cuma kos-kosan ini untuk menghidupi anak-anakku. Kemarin itu pas kamu di cari-cari orang , sebenarnya aku sudah ketakutan setengah mati lang.” mata Yu Jum melirikku, melihat reaksiku yang hanya tertunduk. Ia melanjutkan kembali.

“Warga kampung bukannya tega sama kamu lang, kami Cuma tak ingin ada masalah di kampung kami.” Semakin Yu Jum berkata semakin aku yakin ia hanya membela diri. Aku tahu ia juga menyesali tak bisa melindungiku, meskipun aku telah menceritakan duduk perkara yang sebenarnya pada Yu Jum dan warga kampung. Bahwa kemarin itu keterlibatanku semata-mata karena faktor tidak di sengaja, dan berita yang beredar hanya menggunakan gambarku saja tanpa izin sedangkan isi tulisan berita mereka berbeda-beda, ada yang  memberitakan positif , terkadang mengada-ada karena merujuk pada kata provokasi yang sebenarnya akupun sama sekali tidak mengetahui darimana sumbernya.

Berkali-kali aku menjelaskan tetapi mereka tetap berpendapat sebaiknya aku pergi. Aku tak dapat berbuat apapun lagi. Aku hanya bisa pasrah pada keadaan ini. Menuruti keinginan Yu Jum dan tetangganya karena aku hanyalah anak kos.

Suasana canggung di dalam kamar akhirnya pecah karena suara Merry yang datang dengan berisik, Merry datang dengan menangis. Kali ini ia datang dengan berpakaian ala gipsy berwarna merah berumbai, terbuka di bagian bahu, sebuah ikat kepala berwarna senada menghiasi rambut di kepalanya. Rupanya Merry datang bersama pak RT yang pasti baru saja menceritakan hal ini pada Merry.

“Kok bisa gini Lang, kamu kan tidak bersalah..,” kata Merry terisak. Aku hanya mengedikkan bahu.

“Nasib.., “ jawabku santai mencoba tetap tersenyum.

“Kenapa harus di usir si Yu..?” tangan Merry meggunjang bahu Yu Jum. Kali  ini Yu Jum ikut menangis, ku yakin ia tulus.

“ Aku tak punya pilihan Mer, kau lihat kan kemarin, Alang di cari orang-orang berbadan tegap. Kita semua tidak tahu ia telah berurusan dengan apa, ngeri Mer, warga juga tidak ingin ada masalah karena sebagian besar warga menyewakan rumah sebagai sumber penghasilan mereka.” Yu Jum memberi pengertian pada Merry yang masih saja merasa ini semua tidak adil untukku. Tentu saja akupun masih kebingungan dengan situasi ini, tetapi kupahami aku harus segera pindah agar Yu Jum dan tetangga tidak merasa cemas.

Aku menenangkan Merry dan akhirnya ia mau  mendengarkanku. Pak RT dan Yu Jum terdiam, perlahan menepi kearah pintu lalu beranjak pergi. sementara Merry masih menemaniku berkemas.

“Kapan kau pergi?” tanya Merry.

“ Secepatnya, barang-barangku hanya buku dan baju, akan cepat beres.” Jawabku.

Tiba-tiba Merry berdehem mengagetkanku. “Ups, maaf.” Ia menutup mulutnya namun tindakannya justru membuatnya bersendawa cukup keras.  Melihat rupanya yang selalu cantik, aku hampir melupakan jika aku dan Merry sebenarnya sejenis. Merry tertawa, aku juga. Entah bagaimana Merry yang terlalu ajaib ini menghiburku yang tengah kesulitan. Baru saja di putuskan pacar, lalu di usir ibu kos namun aku masih bisa tertawa.

Meraih ransel yang teronggok dekat lemari, kembali mengecek isinya. Mengusap sarung tustel yang terbuat dari kulit sintetis, teringat akan gadis yang membuatku berdebar diantara ribuan bendera yang berkibar kemarin. Akankah gadis itu juga menggunakan foto diriku untuk kepentingan pribadinya seperti media-media itu? Pikiranku gusar. Hal ini kukemukakan pada Merry, pertanyaanku sejak tadi pagi, mengapa diriku harus muncul di televisi, juga surat kabar pagi tadi. Tetapi Merry hanya asal menjawab, “Mungkin karena kau ganteng.” Ia terkekeh.

***

Untunglah aku di berikan waktu oleh Yu Jum sampai mendapatkan tempat kos baru. Waktu semalam kupergunakan dengan baik untuk berkemas. Sekarang aku di sebuah wartel dekat pasar, di kejauhan Merry nampak berbicara dengan seseorang. Menurut Merry orang itu yang akan membawaku ke Kotagede. Semalam Merry memang menganjurkanku untuk menerima tawarannya, ia bermaksud menitipkanku pada kawannya yang bekerja di kerajinan perak Kotagede.

Sementara Merry mengobrol dengan kawannya aku memutuskan untuk menelepon Emak di kampung. Tentu saja bukan telepon rumahku. Tetapi seorang Tuan tanah baik hati yang sudah menganggap keluarga pada aku dan Emak. Suara yang pertama kudengar adalah suara pria yang kukenal, berbasa-basi sebentar lalu ia memanggil seseorang untuk memanggilkan Emak. Aku menutup teleponnya dan selang beberapa menit kemudian menelepon kembali. Itu sudah menjadi kebiasaan untuk menghemat uang yang harus kubayarkan kepada penjaga wartel. Telepon luar kota jauh lebih mahal. Aku selalu menghubungi nomor yang sama tiap kali ingin mengobrol dengan Emak. Mereka yang di sana pun sudah paham kebiasaan ini.

Menunggu beberapa menit dengan gelisah, membayangkan Emak yang sedang berada di ladang berlarian menuju rumah Tuan tanah, lalu apa yang harus kukatakan pada Emak, bukankah tujuanku menelepon bukan sekedar ingin berkabar, melainkan menyelidiki apakah di desa Emak dan lainnya melihat berita di televisi.

Ketika suara seorang wanita yang begitu kurindukan justru terdengar lembut di telinga, tenggorokanku tercekat. Aku langsung mengatakan pada Emak bahwa di sini aku baik-baik saja, Emak tak perlu khawatir tentang keadaanku. Emak lantas menasihati beberapa hal umum seperti jaga kesehatan dan tak perlu berhemat untuk makan. Emak akan selalu mengusahakan uang kiriman tak pernah terlambat.

Entah mengapa ada semacam haru yang tak bisa ku bendung. Melepas kaca mata berembun, mengusap kedua mataku dengan lengan sebisanya, Emak tak perlu tahu aku menangis. Hingga di penghujung percakapan tak sedikitpun Emak menyinggung soal berita-berita di surat kabar atau televisi. Aku mulai bernafas lega, setidaknya sebelum bapak Tuan tanah mengambil alih telepon dari Emak dan mengatakan agar aku hati-hati.

Tentunya setelah Emak di suruhnya kembali ke ladang, ia mulai mengatakan bahwa beberapa orang di desa mengetahui wajahku terpampang pada berita, namun mereka tetap percaya aku tidak akan melakukan sesuatu hal yang buruk. Tetapi karena tidak semua paham situasi seperti itu dan kondisi apa yang tengah terjadi di seluruh negeri maka beberapa tetua desa memutuskan agar berita tentangku tidak tersiar apalagi sampai ke telinga Emak.

Di satu sisi aku lega mereka melindungi Emak. Di sisi lain aku merasa terbebani. Semua kesulitan ini harus berhasil ku atasi sendiri. Tujuanku kini hanyalah hidup dengan baik dan menyelesaikan kuliah tepat waktu. Agar nantinya aku tidak mengecewakan mereka.

Saat menutup telepon, dari bilik kaca aku melihat seorang gadis bertanya pada penjaga wartel apakah ada bilik yang kosong. Sayangnya penjaga itu langsung menggeleng. Gadis itu langsung berlari sepertinya ia terburu-buru. Meskipun melihatnya dari bilik kaca yang gelap , aku yakin benar gadis itu adalah gadis yang memotretku tempo hari. Aku segera keluar dan bermaksud mengejarnya, sialnya tangan penjaga wartel sigap menangkapku.

“Eits, mau kemana mas?” ia menyodorkan tangannya menagih bayaran.

 “ Ya ampun!” aku menepok jidat. Aku kan tidak bermaksud kabur. Kurogoh saku jeans dengan bersungut. Gadis itu hilang lagi dari pandangan.

Aku menyadari ada perasaan berbeda ketika melihat gadis itu dengan perasaanku pada Runi yang pernah menjadi kekasihku selama setahun.

Dulu, Seruni yang lebih dulu menyatakan cinta. Semenjak menjadi mahasiswa baru rupanya Runi sudah menaruh hati padaku. Terlebih gedung fakultas kami berseberangan. Sejak aku menyanggupi permintaannya ia dengan senang hati menggandengku kemanapun, memamerkanku pada teman-temannya dengan rasa bangga, aku sedikit kikuk, dulu awal mula berpacaran Runi selalu mengatakan telah menaklukkan idola anak sastra yang menjadi incaran teman-temannya. Dulu , kata-kata itu membuatku senang, merasa di hargai, tetapi pudar seiring waktu, nyatanya Runi tak pernah memunculkan debaran di hatiku. Sikapnya lambat laun berubah. Hari-hari kami menjadi terbiasa, Runi lebih sering memarahiku daripada mendengar aku bercerita. Beberapa kawan Runi diam-diam mencoba mendekatiku tetapi justru aku yang menjadi sasaran kejengkelannya. Selanjutnya aku tak pernah memberitahunya lagi ketika ada yang mengirim surat cinta untukku di loker jurusan atau tertempel di pintu kamar kos Yu Jum.

***

Sore itu, Merry mengenalkanku pada Kang Wok, menurut Merry Kang Wok memiliki kembaran yang bekerja di Kotagede yang bernama Kang Yok. Semula akupun sedikit bingung. Namun karena Merry baik padaku tentunya kawan  Merry juga baik. Akhirnya aku mengikuti saja arahan Merry membonceng Kang Wok menuju Kotagede. Aku hanya membawa dua tas, tas ransel yang ku gendong dan satu lagi tas jinjing berisi pakaian. Sementara buku-buku aku titipkan pada kamar Merry.

Setiba di Kotagede menuju rumah yang di maksud aku tidak perlu melewati jalan yang berliku karena letaknya persis di belakang deretan pertokoan yang menjual kerajinan perak. Sebuah rumah tua dengan aroma asap pawon menyambutku. Sebuah rumah lawas dengan banyak jendela kayu, serta ornament ukiran kayu melekat pada tiap bingkainya.

Aku menuruti Kang Wok yang menyuruhku mencium tangan simbah pemilik rumah. Simbah yang berjalan menggunakan tongkat masih berpenampilan anggun dengan kebaya dan jarik, rambutnya yang memutih di gelung rapih. Ia tersenyum senang ke arahku. Lalu ia berbicara pada Kang Wok, rupanya Simbah mengira aku adalah pekerja baru yang akan bekerja di kerajinan perak. Di sekitar sini memang banyak lelaki muda yang berpenampilan persis sepertiku, biasanya mereka bekerja sebagai desainer perhiasan. Kang Wok berbicara sangat sopan pada Simbah yang kemudian kuketahui bernama Mbah Karsa.

Ternyata tak ada lagi kamar kosong di rumah itu. Kang Wok menjelaskan pada Simbah bahwa ia sudah mendengar hal itu, aku hanya akan tinggal sekamar dengan Kang Yok saudaranya. Simbah mengangguk-angguk mengerti. Aku menggaruk kepala yang mendadak gatal, sebenarnya Kang Wok saja baru kukenal tadi sore, tapi malam nanti bahkan aku akan tinggal sekamar dengan orang yang sama sekali belum di temui apalagi ku kenal.

Tepat setelah makan malam, terdengar suara motor terparkir di halaman. Tidak seperti rumah kos Yu Jum, pada deretan kamar kos milik Mbah Karsa yang juga menghadap langsung ke halaman memiliki teras yang lebar. Halamannya sendiri luas dan terdapat pepohonan rindang. Beberapa kandang burung turut menghiasi bergantung cantik di pinggiran teras. Entah siapa pemiliknya namun sekilas bisa kupastikan terawat dengan baik. Beberapa burung perkutut sepertinya justru burung yang sering di lombakan. Kicauannya berbeda dari burung biasa. Layaknya burung yang terbiasa menjuarai kompetisi. Kandangnya terlihat mewah dan mahal.

Kang Wok langsung mengenali motor pitung berwarna merah yang terparkir di halaman. Pengendaranya bertubuh ceking berambut gimbal nampak mirip Kang Wok. Kini aku mengerti orang itu pasti Kang Yok. Perbedaan mereka hanya pada gaya rambut. Kang Wok yang membuka barbershop dekat pasar terkesan rapih dan necis. Kang Yok yang kulihat lebih kurus dari kembarannya itu berambut gimbal terkesan nyentrik. Ia mengenakan celana jarik serta baju lurik yang di rangkap kaos . Ku dengar dari Kang Wok bahwa Kang Yok saat ini masih terdaftar sebagai mahasiswa seni kriya  perguruan tinggi negeri di Sewon, Bantul. Namun karena sudah semester akhir dan jarang ke kampus ia lebih memilih tinggal di Kotagede yang dekat dengan pekerjaannya sebagai pengrajin perak.

Kang Yok menyapaku ramah. Rupanya Merry dan Kang Wok telah meneleponnya untuk meminta izin menitipkanku yang tengah tertimpa masalah. Tak sedikitpun keberatan terpancar dari mata Kang Yok, yang terlihat justru hanya ketulusan. Aku jadi merasa malu ketika Kang Wok mengulurkan amplop pada Kang Yok yang ternyata itu adalah titipan dari Merry untuk menampungku di kamarnya. Kang Yok justru menolaknya. Mereka saling berbisik dan sesekali nyengir melihatku.

Akh, rasanya saat itu aku ingin menghilang saja, aku sangat merasa tertolong dengan kebaikan Merry, Kang Wok juga Kang Yok, sekaligus malu.

Tags: romancefiksi

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags