Pagelaran wayang purwa belum dimulai saat aku tiba di lokasi. Aku merutuki Pranaja yang terlalu bersemangat dan sempat mendesak Ki Darwanto untuk lekas kemari. Akhirnya kami menunggu lama kehadiran awayang (dalang) di atas panggung. Sementara itu, Ki Darwanto mengolok-olok Pranaja yang kecele, “Itulah akibatnya suka ngeyel sama orang tua.” Dan Dadari melerai dengan menjajakan kami bertiga minuman nira dari manambul (pengusaha makanan dan minuman) yang menggelar dagangannya di sekitar panggung, kemudian kami kembali duduk anteng di depan panggung saat pagelaran dimulai. Aku tak kuatir niraku tumpah karena semua penonton tak banyak tingkah dengan duduk lesehan seperti ini.
“Kira-kira cerita apa yang akan dikisahkan, ya?” Aku mencuri dengar percakapan pria paruh baya yang duduk di sebelahku.
“Kabar yang kudengar, awayang bakal membawakan kisah Wirataparwa.”
“Aku lupa itu tentang apa.”
“Pandawa lima mengabdi di Wirata.”
Matahari mulai menyembunyikan diri, masih menyisakan bias keemasan yang kemudian terpantul dari kulit wayang dan lampu blencong. Saat itu pula pertunjukan berlangsung. Walaupun tidak mengerti alurnya, tetapi aku suka suasana tenang di tengah awayang yang melakukan anatawacana sesuai karakter tokoh yang ditirukan suaranya.
Namun, lututku linu kelamaan bertimpuh. Aku takjub dengan wanita-wanita yang memangku anaknya begitu lamanya dengan posisi itu.
"Itu Ki Suro, kan?" bisik Pranaja.
Aku mengikuti pandangannya yang mengarah pada kandang sapi di sisi timur panggung. Netraku mendapati pria tinggi bercambang putih sedang berdiri memegang tongkat kayunya. Pakaiannya serba hitam dan menatap tajam pertunjukan yang tengah berlangsung—tidak! Sepertinya pria tua itu malah menatapku.
Aku bertanya-tanya akan sosok wanita berbusana layaknya pria seperti Ki Suro. Wanita itu juga menatap tajam diriku dari sisi kiri Ki Suro.
"Kita ke sana." Aku menarik lengan Pranaja untuk bertolak dari kerumunan penonton.
"Waktu mengejar dan kalian malah asyik menonton pertunjukan?" tanya Ki Suro datar.
Aku dan Pranaja mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada sembari membungkuk kemudian Pranaja berkata, "Kami benar-benar tidak tahu jalan pulang."
"He manusia bodoh! Mana bisa kalian tahu jalan pulang bila tidak benar-benar mencarinya?! Kalian hanya terlalu malas berusaha!" ketus si wanita bertusuk konde emas sembari mengentakkan tombak yang digenggamnya.
"Dia pengikutku. Biasa dipanggil Roro Sukmo," kata ki Suro seperti mengetahui tatapan penuh tanyaku.
"Ki Suro, kenapa setiap bertemu kami, Ki selalu menghilang tiba-tiba?" tanyaku.
Ki Suro dan Roro Sukmo bertukar tatap sejenak layaknya sedang telepati, lalu Roro Sukmo menyeletuk, "Jangan bertanya hal yang tak penting, Janda Kembang. Intinya, telusurilah Alas Ngares besok pagi. Jangan lupa membawa bekal karena perjalanan kalian akan panjang. Setibanya di pohon pule besar, letakkanlah ubo rampe dengan pikiran bersih. Kemudian, kalian bermediasi sejenak sampai terdengar suara-suara ganjil. Saat itu juga, bukalah mata kalian dan jangan terkejut bila menemukan jalan yang aneh. Teruslah maju bagaimanapun situasinya."
Aku menatap langit kelam dengan sejuta kartika, meresapi semua penjelasan Roro Sukmo supaya tak melupakan detail secuil pun.
"Ubo rampe itu, isinya apa sa—eh?"
Lagi-lagi Ki Suro dan pengikutnya itu melenyapkan diri.
"Mereka itu manusia atau jin, sih?!" seruku dongkol dengan lenyapnya mereka.
"Kita pulang saja, yuk. Itu Dadari sama Ki Darwanto sudah menunggu," kata Pranaja.
Kami menghampiri Dadari serta bapanya yang menatap kami kebingungan. "Kalian bicara dengan siapa?" tanya Dadari.
Pranaja hendak menjawab, tetapi aku membungkamnya dengan jari telunjuk.
"Ya sudah, mari kita pulang. Sudah hampir pagi," ujar Ki Darwanto.
"Apakah Ki Darwanto tahu apa saja bahan untuk ubo rampe?"
"Yang utama pasti kemenyan dan bunga—bisa mawar, melati, dan kenanga. Menilik saji itu untuk apa, sepertinya mesti ada damar, kayu cendana, dan hantrini."
Kurasa aku bisa mencari bahan-bahan itu sendiri. Kemenyan, damar, dan cendana dijual di pasar. Bunga dan hantrini (telur ayam) cukup mengambil di rumah jika Emak masih mau menerimaku di rumahnya.
"Aku tahu apa yang tengah menimpa kalian. Untuk saji itu, harus mengandung mantra. Nanti akan kusiapkan." Seperti mengetahui kegundahanku, Ki Darwanto menyeletuk ketika kami sampai di halaman rumahnya.