Aku menurut saja ketika diboyong kembali ke Wanua Bagorejo oleh Biyung dan Arya yang pandai sekali merangkai kalimat rayuan bak mantra pemikat yang membuat hatiku terenyuh.
“Viva, Yu Nirmala amat menyayangkan jika kau tak mau kembali. Bahkan Lakshita demam karena seminggu ini tak bermain denganmu.” Begitulah bujukan Biyung sementara Arya menggenggam tanganku. Mereka tahu kelemahanku, menggunakannya untuk menebus pengkhianatan yang telanjur membuatku terlunta.
Meski aku menurut untuk kembali, aku bukan lagi perempuan lemah yang kudu tunduk pada suami. Hatiku kian keras dan egoku makin tegak. Aku tak mau dibuat semakin menderita sendirian.
Aku bertanya-tanya seperti apa sosok sundal yang demen pada suami orang itu. Tanganku gatal ingin merobek perutnya jika saja ia mengandung anak suamiku.
Rasa kecewa yang bercokol makin lama membentuk batu cadas yang tak dapat terkikis. Aku selalu dongkol terhadap Arya yang seolah-olah amat sayang padaku sehingga menjadi budak cinta. Bukannya membuatku luruh, aku malah risi mengingat ia bercinta dengan perempuan lain. Akibat kedongkolan yang membuat hatiku dilanda awan kelabu, aku jarang keluar untuk berbaur dengan tetangga. Bahkan aku tak acuh terhadap Lakshita yang menyeru dari balik pintu mengajakku bermain. Aku cuma keluar ketika merasa amat suntuk, itu pun aku bertolak menuju pondok Pranaja.
Takkan kuambil hati bila tetangga yang julid menjadikanku bahan gunjingan. Toh, anak mereka tak lain ialah gadis yang kerap memperlihatkan belahan dadanya ketika berjumpa dengan lelaki rupawan. Seketika aku teringat akan lukisan vulgar zaman dulu yang dipoles oleh seniman terkemuka. Lukisan yang kebanyakan menampakkan sisi montok tubuh perempuan tak keliru sama sekali. Aku sering mendapati perempuan yang menggunakan kemban dengan sengaja dimerosotkan demi menampakkan buah dadanya yang makin padat. Bahkan pernah kujumpai perempuan yang hanya menggunakan jarik sebagai bawahan. Buah dadanya tergantung jelas tanpa penutup sehelai kain pun.
Tubuhku yang setiap malam digerayangi tangan kasar Arya pun semakin semok, tetapi nyatanya ia tak puas dengan itu. Ia masih saja meladeni sundal pinggir jalan yang haus kasih sayang.
Karena status Pranaja masih menjadi budakku meskipun itu hanya guyonan, aku sempat memintanya untuk mencarikanku ramuan cepat mengandung dan ia mendapatkannya dari seorang tabib.
Ramuan itu kuminum setiap malam saat hendak bercumbuan, tapi tak kunjung ada jabang bayi yang hadir di perutku. Tidak mungkin aku mandul. Sejujurnya aku khawatir kalau itu benar terjadi.
Bagaimana kalau aku tak kunjung hamil dan perempuan penggoda itulah yang hamil?
Hari berganti minggu, minggu menjadi bulan.
"Ramuannya manjur?" tanya Pranaja.
"Mungkin manjur, tapi tidak padaku," sahutku.
Sungai jernih yang mengalir tenang menyumbangkan suara gemerciknya. Udang dan kepiting sekali-kali keluar dari batu persembunyiannya. Anggang-anggang meloncat-loncat di permukaan seperti sedang olah jasmani.
Sikap dinginku pada Arya tak membuatnya gentar. Ia malah memintaku untuk jadi objek lukisannya, tetapi aku menolak demi menegakkan ego dan mengujinya, apakah ia langsung menyerah atau membujukku sampai luruh. Namun, lagi-lagi rayuannya sanggup menghipnosisku untuk duduk anteng memegang sekeranjang buah sementara ia menata bunga sepatu dan kemboja di atas rambut ikalku yang tergerai, kemudian mulai menggores kuas warna pada papan kayu yang halus.
Selagi duduk diam menanti lukisannya rampung, aku sadar bahwa semakin lama Biyung jarang mengajakku bicara, mungkin muak dengan sikapku yang sering mengurung diri dan sibuk dengan kesendirian. Selain itu, aku curiga Biyung sudah mendengar desas-desus bahwa aku sering berdua dengan Pranaja.
Semakin lama aku mengenal tempat ini, semakin aku merasa kalau orang-orang di sini mengerikan. Harapanku hanya tersisa pada sosok Pranaja karena ia mengalami nasib perjalanan waktu sepertiku.
“Kau boleh istirahat. Tinggal beberapa pewarnaan dan kujamin kau takkan kecewa pada hasilnya.” Arya berkata tanpa menatapku, masih terfokus pada papan yang tengah dipoles menggunakan cairan warna dari alam.
🌼
"Pisah saja sama Arya, daripada semakin ribet," usul Pranaja.
"Maunya juga begitu, tapi perasaanku tidak bisa ditepis," sahutku.
"Gimana kalau Arya yang mandul?" Kalimat itu membuatku tidak berkedip untuk beberapa saat.
"Rupanya kau di sini. Viva, apa yang sebenarnya kauinginkan? Menyelinap tanpa pamit kemudian berduaan dengan pria lain apakah tindakan yang bagus?" celetuk Arya sinis di belakang kami. Hawa kelabu langsung menyergapku tatkala kilatan mata harimau putih menguar dari pandangan Arya.
"Arya, aku hanya butuh waktu melupakan kejadia–"
"Kau hendak mengungkit lagi kesalahanku? Aku hanya berbuat satu kesalahan besar untukmu. Sedangkan kau? Berapa kali kau pergi bersama bocah ini? Jangan bersikap seolah-olah kau yang paling benar, Nayaviva!" Tubuhku bergetar. Belum pernah Arya menunjukkan sifatnya yang keras seperti itu.
Raut tengilnya sirna berganti raut tegas yang mengerikan di balik bayang-bayang loreng putih hitam yang terlintas di anganku. Pranaja di sebelahku hanya diam tak berkutik.
"Barusan ada perempuan datang ke rumah kita untuk meminta pertanggungjawaban," ucap Arya tertahan akibat rahang yang mengeras.
Bagai petir di siang bolong, rasa nyeri kembali menghunjam dada. Kekhawatiranku selama ini menjadi nyata bahwa jalang itu mengandung darah daging suamiku. Aku bisa apa? Aku cuma wanita lemah yang baru menginjak kepala dua. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menangis meratapi nasib yang kudu kuhadapi.
"Jangan sentuh istriku!" tegas Arya ketika Pranaja mulai menepuk bahuku prihatin.
"Setidaknya aku tidak pernah membuatnya menangis," balas Pranaja kemudian berlalu melewati Arya begitu saja.
"Viva, kau telah banyak mengeluarkan air mata yang disebabkan olehku. Aku sungguh mencintaimu tapi kau boleh membenciku mulai saat ini atas kebejatan yang kuperbuat," ungkap Arya saat Pranaja menghilang dari pandangan. "Aku akan membunuh perempuan itu jika kau menghendaki."
"Tidak! Dewata tak akan mengampunimu kalau kau membunuh perempuan yang mengandung darah dagingmu sendiri," jawabku berusaha tegar.
"Tapi aku tidak mau membuatmu terus bersusah hati," Arya memegang lembut pipiku yang basah.
"Nikahi perempuan itu dan sayangi jabang bayinya. Aku akan baik-baik saja." Aku menuturkannya sambil memasang senyum keterpaksaan, membuat air mata mengalir kian deras.
Arya memelukku sedemikian erat sambil terisak kecil. Netraku tak sengaja menangkap siluet Pranaja di balik pepohonan yang tengah menatapku dengan sendu.