Loading...
Logo TinLit
Read Story - Asmaraloka Jawadwipa (Sudah Terbit / Open PO)
MENU
About Us  

Kami hanya berputar-putar mencari lahan kosong tetapi hasilnya nihil. Semua wilayah dijadikan ladang milik orang dan aku semakin dikejar waktu untuk kembali ke rumah karena matahari kian beranjak mencapai pucuk kepala.

“Kau dapat memotong bambu di sana kemudian kaujadikan anyaman bambu.” Aku meminjamkannya keris yang terselip di balik jarik yang melilit pinggangku.

“Jangan tinggalkan aku! Kau harus membantuku.” Ia menatapku nanar, mengambil keris yang kusodor dengan kuyu.

“Keluargaku bisa mengamuk jika aku tak kunjung pulang. Besok aku akan kembali ke sini.” Aku tak tega menatap wajah menyedihkan itu. Gegaslah aku berbalik, siap-siap mendapat wejangan karena telat pulang.

Matahari benar-benar mencapai atas kepala, membakar kulitku yang semakin gelap di bawah bulu halus yang menurut Arya menjadi penambah kemanisan seorang Nayaviva. Gapura batu bata sudah tampak dan aku gamang untuk ke sana, takut ditanya macam-macam. Namun, Arya sudah melihatku lebih dulu dari balik papan kayu yang tengah ia ukir.

“Kenapa berdiri di situ? Cepat kemari!” serunya, membuatku nyengir.

Aku menjemur cucianku pada tali yang memanjang dari pohon nangka sampai pohon jambu kemudian mencuci kaki dan tangan di sumur. Niatku ingin cepat-cepat masuk ke dalam menghindari Arya dan segala pertanyaan yang akan dilontarkan. Namun ia keburu memanggilku, membuatku melangkah gontai menghampirinya.

“Besok aku akan panen di sawah. Kau jangan pulang telat lagi karena harus mengirimiku makan siang,” ujarnya.

“Baiklah.”

“Mengapa kau pulang sampai tengah hari begini?”

Napasku tercekat sebelum menjawab, “Tadi cucianku ada yang hanyut. Aku harus mencarinya dahulu.”

“Apakah pria yang bersamamu itu tidak menolong?” Ia sibuk mengukir, tampak tak acuh padaku sementara lidahnya menghunjam jantungku.

“Jangan mengada-ada.” Aku berkilah, tetapi suaraku menelan ludah terlalu jelas.

“Di mana kerismu?”

Aku pura-pura mencari di balik jarik, kemudian mengatakan bahwa benda itu hilang.

“Viva, jangan sekali-kali membohongiku.” Ia menatapku tajam. Bayangan harimau putih terbayang lagi. Aku menciut menghadapi sikap Arya yang tak tengil seperti biasanya.

Aku terus menunduk sementara ia sibuk dengan pekerjaannya. Kami diselimuti kecanggungan yang baru pertama kali terjadi. Arya tak pernah menakutkan seperti ini. Aku lebih suka ia memarahiku terang-terangan daripada membunuhku dalam diam seperti ini. Terlampau takut dengan aura gelapnya, aku melangkah mundur sebelum berlalu ke dalam rumah.

Hari itu Arya tak kunjung buka suara kepadaku. Biyung tidak menyinggung apa permasalahan kami dan tampak tak acuh. Arya menolak makan bersama kami dan lebih memilih makan di teras. Dalam hati aku mengomeli sikapnya yang mirip anak kecil, mudah merajuk dan diam seribu bahasa seolah-olah aku bakal peka akan kesalahanku kemudian berlutut minta ampun padanya.

Jika ia bungkam seperti itu, aku juga bisa mengunci mulut rapat-rapat. Aku bakal memberinya umpan balik sesuai yang diberikannya padaku.

Esoknya, aku bergegas ke kali untuk mencuci kain yang sudah menumpuk lagi. Kudapati potongan-potongan bambu tergeletak yang belum dibelah apalagi dijadikan anyaman. Yang membuatku terperangah bukan itu, melainkan sosok Pranaja yang meringkuk di bawah pohon waru. Aku mendiamkannya dan lekas menyelesaikan cucianku.

“He kau! Aku lupa siapa namamu. Kuharap kau puas melihatku mengenaskan seperti ini,” celetuknya belum beranjak dari bawah pohon waru.

“Kan sudah kubilang, buatlah anyaman bambu lalu dijadikan gubuk,” sahutku.

“Kau pikir keris sekecil ini bisa menggorok bambu dengan cepat? Kalau bego jangan terlalu!” Ia balas mengotot.

“Dasar tidak tahu terima kasih! Menyesal aku menolongmu!” Aku melangkah cepat meninggalkannya. Terserah keris itu tak dikembalikan. Aku sudah muak dengan lelaki songong itu. “Kok bisa lanangan angkuh itu populer di kalangan mahasiswi. Edan. Gara-gara dia, Arya merajuk padaku.” Aku terus menggerutu dengan mulut manyun.

“Eh tunggu! Tak ada niat untuk membantuku?” Ia menyusul langkahku. Kulirik pakaiannya yang kusut dan wajah yang kucel. Bau keringatnya menguar membuatku tambah gondok akan sosoknya.

“Gunakan otakmu sendiri. Aku cuma perempuan bego yang tak kauperlukan.” Aku mempercepat langkah, risi dengan lelaki sombong yang telah merendahkanku itu.

“Maafkan aku, eh siapa namamu?” Ia menghentikanku dengan cekalan tangannya.

Aku menepis, tapi ia terlampau kuat. “Viva.”

“Viva, maafkan aku. Aku tiap kelaparan memang suka kelepasan. Tolong bantu aku, ya?” Ia berlutut sembari menatapku dengan mata berkaca-kaca. Bukannya iba, aku malah tambah jengkel mendapati raut menyebalkan itu. Aku menolaknya dengan mengibas-ngibaskan cekalan tangannya di pergelangan tanganku yang terdapat gelang berukir naga. Setelah mengembuskan napas frustrasi, aku mengiakannya dengan syarat ia harus menuruti segala ucapanku.

“Nanti siang aku bakal mampir ke sini. Akan kubawakan kau golok dan alat lain untuk membuat gubuk. Sekarang aku harus cepat pulang. Lepaskan aku!”

“Ah, lama sekali! Aku keburu mati kelaparan!” protesnya.

“Kau sudah janji untuk jadi pengikutku. Jangan melayangkan protes apa pun! Selagi menungguku, kau bisa cari buah-buahan di sekitar.”

Akhirnya ia melepaskan cekalannya dengan tatapan tak rela sementara aku menjauh.

Arya sudah berangkat ke sawah ketika aku sampai rumah. Matahari baru menyingsing dan kabut tipis pudar sepenuhnya. Sembari menunggu waktu siang, aku bertamu ke beberapa tetangga untuk berkenalan lebih jauh supaya mereka tak lagi nyinyir terhadapku. Tiga rumah tetangga kusambangi, amat puas dengan suguhan mereka yang berupa pinang, daun sirih, dan jeruk nipis untuk kukunyah bersama mereka. Karena tak baik menolak, aku terpaksa melakukannya, toh gigiku juga bakal lebih bersih dan sehat.

Matahari hampir di atas kepala ketika aku berangkat ke sungai tempat Pranaja meratapi nasib. Kubawa golok, gorok, dan arit di dalam bakul yang juga berisi makanan.

“Kau mau ke mana lagi?” tanya Pranaja saat melihatku beranjak. Tangannya mencomot nasi dan ikan asin dengan buru-buru.

“Ke sawah, mengantarkan ini pada suamiku.” Aku menunjukkan bungkusan makanan lain dan segelas bambu air putih.

“Kau sudah bersuami?!” Ia melotot dan menghentikan kunyahannya. Sementara aku merengut kesal menghadapinya yang banyak tanya itu.

Aku bergegas melangkah ke petak-petak sawah yang letaknya tak terlalu jauh dari kali. Sesampainya di pematang sawah, aku melambai dari kejauhan pada lelaki yang sedang leyeh-leyeh di bawah pohon pisang.

"Apa yang kau lakukan di perjalanan?" tanyanya tanpa ekspresi.

"Ya berjalan lah," jawabku ketus.

"Kau bertemu laki-laki, bukan?"

"Kok tahu?"

"Aroma mu berbeda." Salah satu sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum miring. Aku bertanya-tanya dalam hati bagaimana bisa ia mengetahui segala yang kulakukan?

Keheningan lagi-lagi menyelimuti kami. Dua elang terbang jauh di atas kepala kami. Sang surya telah mencapai puncak singgasana, menyebarkan hawa panas dengan teriknya.

Arya memandang lurus ke depan. Sejak Arya tahu kalau aku berasal dari masa depan, ia tak lagi akrab padaku. Entah apa alasannya, padahal aku sudah nyaman dan bisa beradaptasi dengan tempat ini.

"Kurasa ada orang lain yang tertarik padamu," ucap Arya dingin.

"Aku tidak peduli! Kau pasti tahu kalau aku hanya mencintaimu seorang," sahutku tak terima.

"Kalau begitu, beri aku seorang putra agar hubungan kita lebih terlihat."

"Astaga, Kangmas! Kau sekarang seperti paedofil!" Dengan panik aku berlari menjauh darinya.

Kami berkejar-kejaran layaknya adegan di film Bollywood. Aku yang memakai jarik tentu saja kalah cepat dengan Arya yang punya langkah lebar. Ia berhasil menyergapku dengan melingkarkan lengan kekarnya pada perut rataku sebelum meletakkan dagunya di bahuku.

"Wajahmu memerah. Kurasa panas matahari terlalu menyengat hari ini," bisiknya di balik tengkukku sembari menggerakkan tangannya ke atas perutku, makin ke atas kemudian mengepal pelan buah dadaku, membuatku spontan mendesah.

"Viva! Kau meninggalkan lauk untuk sua... Aaaaa mataku ternoda!"

Astaga! Itu Pranaja. Aku segera memisahkan diri dari dekapan Arya kemudian menghampiri Pranaja.

"Dasar! Merusak suasana saja," kataku sambil menunduk menahan malu dan merebut bungkusan daun jati berisi lauk untuk Arya.

"Salah siapa lupa tempat." Pranaja mendekat pada sosok yang selalu membayangiku dengan harimau putih, mengulurkan tangan sambil berkata, "Hai, saya Pranaja Reswara."

Arya menatap tajam Pranaja tanpa membalas uluran tangan pemuda di depannya. Terpaksa, aku pun menyikut pinggang suamiku itu.

"Arya Buntara, suami Nayaviva."

"Posesif amat, Pak!"

"Aku tidak tahu bahasamu, tapi aku paham apa yang kau maksud. Apa perlu kukeluarkan keris dari warangkanya?" Aku melirik Pranaja yang jakunnya naik-turun itu. Arya memang senantiasa membawa sebilah keris yang dikaitkan pada ikat pinggangnya.

"Sudahlah! Kalian ini kenapa? Lebih baik petikkan aku kelapa muda!" Arya segera melengos pergi menuju pohon kelapa yang sedang berbuah hijau muda.

"Suami kamu mengerikan," kata Pranaja setengah berbisik.

"Begitulah, tapi sebetulnya tengil kok," sahutku setelah terkikik geli.

Sekembalinya Arya, ia menginterogasi hubunganku dengan Pranaja yang tampak mencurigakan di matanya itu. Aku menjelaskan awal pertemuan kami dan asal-usul Pranaja yang sama dari masa depan. Tak ketinggalan, kujelaskan penyebab Pranaja bertampang awut-awutan seperti itu, bahwa ia sedang butuh tempat tinggal.

Arya merengut padaku setelah mendengar bahwa aku diam-diam membawa beberapa senjata dari rumah untuk membantu Pranaja. Namun, aku berhasil membujuknya untuk membantu membangunkan tempat tinggal untuk Pranaja.

“Aku mau membantu bukan karena kau! Aku hanya tak membiarkan istriku berduaan denganmu.” Arya menghunus Pranaja dengan matanya yang tajam.

“Dan kau, Viva. Lain kali jujurlah padaku. Berbohong walau hanya satu kali akan membuatmu terbiasa lama-kelamaan.” Tatapannya ganti menghunusku. Aku tak berani beradu pandang dengannya lebih lama dan memilih untuk menunduk.

🌼

“Kau yakin akan tinggal di sini?” tanya Arya tak yakin. Ia berkacak pinggang sembari mengamati tanah pinggir kali yang menjadi bakal rumah Pranaja.

Karena Pranaja tak paham bahasa Jawa Kuno dan Arya tak paham bahasa Indonesia, akulah yang menjadi penerjemah dan perantara mereka bercakap-cakap.

“Kau bisa tinggal di pemukiman Mleccha yang lebih layak. Pekerjaanmu juga bakal jelas.” Arya masih bimbang.

Mleccha itu apa lagi?” Pranaja menyeletuk padaku.

“Pemukiman para warga asing,” jawabku.

Pranaja terburu-buru menggeleng. “Aku takut ketemu orang-orang keras dari zaman ini apalagi dari luar negeri. Tidak apa-apa menyepi di sini dengan gubuk yang sempit.”

Dengan kepercayaan diri tinggi, Pranaja menggorok bambu dengan ukuran yang ditentukan Arya. Kemudian suamiku itu terus menggerutu karena Pranaja tak becus menganyam bambu. Sementara itu, aku berteduh di bawah pohon sembari menikmati kelapa muda dan menonton mereka berdebat dengan bahasa masing-masing.

Arya tak membolehkanku membantu, lagi pula itu pekerjaan kaum laki-laki. Perdebatan dengan logat berbeda itu membuatku tergelak kencang, cukup terhibur mengetahui Arya tidak lagi membisu. Mereka terlihat seperti anak-anak yang tengah silang pendapat dan tak terlalu serius menanggapi pertikaian itu. Arya mematahkan stigma tentang betapa keras dan seriusnya pria Jawa Kuno. Nyatanya mereka mempunyai sisi kekanakan juga.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
Take My Heart, Mr. Doctor!
6878      2007     2     
Romance
Devana Putri Aryan, seorang gadis remaja pelajar kelas 3 SMA. Ia suka sekali membaca novel. Terkadang ia berharap kisah cintanya bisa seindah kisah di novel-novel yang ia baca. Takdir hidupnya mempertemukan Deva dengan seorang lelaki yang senantiasa menjaganya dan selalu jadi obat untuk kesakitannya. Seorang dokter muda tampan bernama Aditya Iqbal Maulana. Dokter Iqbal berusaha keras agar s...
Gunay and His Broken Life
8583      2527     0     
Romance
Hidup Gunay adalah kakaknya. Kakaknya adalah hidup Gunay. Pemuda malang ini telah ditinggal ibunya sejak kecil yang membuatnya secara naluri menganggap kakaknya adalah pengganti sosok ibu baginya. Hidupnya begitu bergantung pada gadis itu. Mulai dari ia bangun tidur, hingga kembali lagi ke tempat tidur yang keluar dari mulutnya hanyalah "kakak, kakak, dan kakak" Sampai memberi makan ikan...
Dear N
15780      1821     18     
Romance
Dia bukan bad boy, tapi juga bukan good boy. Dia hanya Naufal, laki-laki biasa saja yang mampu mengacak-acak isi hati dan pikiran Adira. Dari cara bicaranya yang khas, hingga senyumannya yang manis mampu membuat dunia Adira hanya terpaku padanya. Dia mungkin tidak setampan most wanted di buku-buku, ataupun setampan dewa yunani. Dia jauh dari kata itu. Dia Naufal Aditya Saputra yang berhasil m...
Percayalah , rencana Allah itu selalu indah !
159      118     2     
True Story
Hay dear, kali ini aku akan sedikit cerita tentang indahnya proses berhijrah yang aku alami. Awal mula aku memutuskan untuk berhijrah adalah karena orang tua aku yang sangat berambisi memasukkan aku ke sebuah pondok pesantren. Sangat berat hati pasti nya, tapi karena aku adalah anak yang selalu menuruti kemauan orang tua aku selama itu dalam kebaikan yaa, akhirnya dengan sedikit berat hati aku me...
Teman Berbagi
3741      1371     0     
Romance
Sebingung apapun Indri dalam menghadapi sifatnya sendiri, tetap saja ia tidak bisa pergi dari keramaian ataupun manjauh dari orang-orang. Sesekali walau ia tidak ingin, Indri juga perlu bantuan orang lain karena memang hakikat ia diciptakan sebagai manusia yang saling membutuhkan satu sama lain Lalu, jika sebelumnya orang-orang hanya ingin mengenalnya sekilas, justru pria yang bernama Delta in...
Kisah Kemarin
7357      1749     2     
Romance
Ini kisah tentang Alfred dan Zoe. Kemarin Alfred baru putus dengan pacarnya, kemarin juga Zoe tidak tertarik dengan yang namanya pacaran. Tidak butuh waktu lama untuk Alfred dan Zoe bersama. Sampai suatu waktu, karena impian, jarak membentang di antara keduanya. Di sana, ada lelaki yang lebih perhatian kepada Zoe. Di sini, ada perempuan yang selalu hadir untuk Alfred. Zoe berpikir, kemarin wak...
Under The Moonlight
2291      1121     2     
Romance
Ini kisah tentang Yul dan Hyori. Dua sahabat yang tak terpisahkan. Dua sahabat yang selalu berbagi mimpi dan tawa. Hingga keduanya tak sadar ‘ada perasaan lain’ yang tumbuh diantara mereka. Hingga keduanya lupa dengan ungkapan ‘there is no real friendship between girl and boy’ Akankah keduanya mampu melewati batas sahabat yang selama ini membelenggu keduanya? Bagaimana bisa aku m...
Premium
Di Bawah Langit yang Sama dengan Jalan yang Berbeda
22460      1969     10     
Romance
Jika Kinara bisa memilih dia tidak ingin memberikan cinta pertamanya pada Bian Jika Bian bisa menghindar dia tidak ingin berpapasan dengan Kinara Jika yang hanya menjadi jika karena semuanya sudah terlambat bagi keduanya Benang merah yang semula tipis kini semakin terlihat nyata Keduanya tidak bisa abai walau tahu ujung dari segalanya adalah fana Perjalanan keduanya untuk menjadi dewasa ti...
Unlosing You
484      337     4     
Romance
... Naas nya, Kiran harus menerima keputusan guru untuk duduk sebangku dengan Aldo--cowok dingin itu. Lambat laun menjalin persahabatan, membuat Kiran sadar bahwa dia terus penasaran dengan cerita tentang Aldo dan tercebur ke dalam lubang perasaan di antara mereka. Bisakah Kiran melepaskannya?
Seharap
8026      2704     2     
Inspirational
Tisha tidak pernah menyangka, keberaniannya menyanggupi tantangan dari sang kakak untuk mendekati seorang pengunjung setia perpustakaan akan menyeretnya pada sebuah hubungan yang meresahkan. Segala kepasifan dan keteraturan Tisha terusik. Dia yang terbiasa menyendiri dalam sepi harus terlibat berbagai aktivitas sosial yang selama ini sangat dihindari. Akankah Tisha bisa melepaskan diri dan ...