Kemarau mulai menjalar, menggantikan posisi musim hujan yang kerap menyambangi Bumi Blambangan serta ibukota dan kerajaan bawah lain dengan guruh berkilat-kilat disertai bayu yang memaksa tetumbuhan untuk bergoyang. Kemarau itu lekas menyurutkan air yang mengalir dari pegunungan menuju gentong. Untuk menghemat persediaan air, aku mencuci di kali terdekat sebelum sang bagaskara mengintip kehidupan di Bagorejo. Kutenteng bakul yang menjadi wadah kain-kain kotor setelah menyelipkan keris kecil di balik lilitan jarik untuk jaga-jaga bilamana ada penjahat yang ingin mengusiliku, kemudian memijakkan kaki pada tanah yang dingin. Kemarau yang datang tak membuat embun ciut nyali. Mereka masih bertengger di dedaunan talas dan pakis sebelum kemilaunya jatuh akibat tersambar diriku yang melintas.
Adaptasi di lingkungan baru tak terlalu mudah bagi manusia yang terbiasa hidup di lingkungan individualis. Setibanya aku di Bagorejo, tak sedikit para tetangga memandangku dengan sinis, kadang juga berbisik-bisik sembari melirik ke arahku. Tetangga yang suka nyinyir pun memiliki sejarah dan nenek moyangnya sendiri. Aku yakin para manusia julid di masa depan merupakan keturunan tetangga-tetangga baruku itu.
Aku tak paham alasan mereka sinis padaku. Mungkin karena aku jarang bersosialisasi dengan masyarakat, atau karena tingkahku jauh dari tata krama. Entahlah, aku tak mau memikirkannya.
Gemercik kali mulai terdengar sebelum berbatuan besar yang teronggok tampak di balik jernihnya aliran sungai. Aku menyelesaikan acara mencuci ketika matahari sudah menyorot terang dari balik sela-sela dedaunan yang menaungiku. Aku beranjak, tercekat ketika mendengar gemeresik dari semak belukar yang kukira hanyalah binatang melintas. Namun, yang muncul malah seorang lelaki jangkung dengan keringat bercucuran serta berpakaian aneh. Kewaspadaanku muncul, kalau-kalau lelaki itu seorang bandit.
"Tolong saya! Saya dikejar babi hutan!" seru lelaki itu dengan terengah-engah sembari berlari ke arahku.
Aku melongo mendapatinya berucap dengan bahasa yang sudah terdengar asing tetapi aku masih mengerti. Aku mengerjap ketika langkah babi hutan makin dekat ke arah kami. Segeralah ia menarik lenganku untuk melesat tanpa suara. Aku yang beralih menuntunnya menuju perumahan hingga babi hutan itu tak lagi mengejar.
"Maafkan kelancanganku. Sini biar kubantu membawakan bakulmu." Lelaki itu berujar dan lagi-lagi membuatku terbengong. Aku sudah hampir lupa bahasa itu, tetapi sedikit-banyak aku paham artinya.
"Tidak perlu. Siapakah nama Kisanak dan tinggal di manakah Engkau?" tanyaku sedikit gagap menggunakan bahasa yang sama dengannya, menggunakan lidah yang terbiasa menuturkan bahasa Jawa Kuno.
"Saya Pranaja Reswara. Saya tersesat, tolong tampung saya di mana pun, saya tidak paham tempat macam apa ini," jelasnya semakin membuatku memutar otak.
Kuselidiki tampilannya yang aneh, dengan pakaian rapat menutupi badan hingga kakinya. Celananya biru mepet, alas kakinya pun rapat berwarna putih. Mataku memicing, mengingat-ingat apa nama benda itu. Kuingat bunga yang diberikan Arya waktu silam, dan akhirnya aku ingat nama benda itu. Sepatu. Aku amat yakin pemuda bernama Pranaja ini bukan berasal dari Majapahit juga. Namun, yang membuatku makin tercengang ialah kenapa diriku sempat lupa nama alas kaki yang dipakainya itu? Aku makin khawatir jika jiwaku semakin mendalami peran sebagai rakyat kolosal dan tak bisa kembali ke zamanku.
Pandanganku yang sedari tadi terarah kepada sepatunya, beralih pada wajah pemuda itu yang tengah menampakkan kecemasan. Aku kian memicing, tersadar bahwa aku mengenal pemuda itu.
"Kau Pranaja fakultas kehutanan, bukan?!" seruku geger. Lelaki yang mengaku sebagai Pranaja itu membelalakkan matanya sambil mengangguk. Tak salah lagi, ia memang mahasiswa yang lumayan populer itu. Syukurlah aku masih bisa ingat sesuatu yang berasal dari asalku. Jiwaku belum menyatu sepenuhnya dengan Majapahit.
"Kok tahu? Sebenarnya ini di mana? Apa yang sedang terjadi?!" Pranaja berseru tak kalah bising.
"Aku Renjana Maheswari sementara tubuh ini adalah Nayaviva Citrakara. Aku berasal dari masa depan sejak kurang lebih tujuh bulan yang lalu. Kita satu kampus."
"Jadi, aku sedang ada di masa lampau? Terus aku mesti bagaimana?!"
"Kamu sekarang ada di Majapahit. Tidak ada hal yang bisa kamu lakukan kecuali pasrah menjalani kehidupan baru."
Dia bungkam sambil mengedipkan mata berulang kali kemudian menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Aku tahu bagaimana perasaannya. Aku pernah mengalami kekagetan yang sama ketika tahu-tahu muncul di tempat asing.
"Aku takut."
"Tenang, tidak akan terjadi apa-apa."
“Bagaimana kau bisa mengatakannya dengan enteng begitu? Kau pasti punya kerabat dan cuma melakoni hidup sebagai tokoh baru. Sedangkan aku tak punya siapa pun. Bahkan aku tidak tahu bahasa yang digunakan. Aku bakal tinggal di mana? Makan apa? Baru sedetik saja sudah hampir celaka gara-gara celeng. Mam-”
“Diam dan jangan adu nasib di sini! Aku tahu perasaanmu. Percayakan semua padaku, aku sudah punya pengalaman.” Aku menuntunnya untuk mencari lahan terbuka yang bisa menjadi tempat tinggalnya untuk sementara.