"Dadari!" seruku tatkala yang kupanggil berlari menjauh setelah sekian menit menatap kami dengan sorot kecewa.
Arya mencekal lenganku, membiarkan Dadari pergi. Aku hanya tidak ingin Dadari membicarakan kegiatanku pada orang-orang terutama emakku. Aku tidak ingin mempermalukan seorang Nayaviva. Aku menghempaskan cekalan Arya kemudian berlari mengejar Dadari yang sudah tak tampak di netraku.
"Lihatlah! Pagi buta seperti ini kita sudah dapat perawan," celetuk seseorang yang menyembul dari semak belukar. Karena terkejut, aku menginjak jarik ketatku hingga tersungkur.
"Betapa menggodanya tubuhmu itu, benar bukan?" Bandit tinggi besar itu melihatku dengan tatapan melecehkan kemudian menoleh ke dua rekan di belakangnya meminta persetujuan.
Aku segera bangkit sementara mereka makin dekat ke arahku. Aku meludah tepat di depan jemari kaki mereka. Ludahku mengenai ibu jari ketua bandit jelek itu, membuat mereka bertiga naik pitam dan mencengkeram lenganku. Aku yang tidak sempat mengelak hanya bisa meringis nyeri.
"Berani denganku ha?!" bentaknya.
Aku meludah lagi tepat di wajahnya kemudian menggigit lengannya dengan sekuat tenaga. Selagi ia mengaduh, aku menendang kemaluannya hingga bandit itu berguling kesakitan. Melihat itu, dua bandit lain di belakangnya tak hanya diam. Mereka menatapku dengan bengis. Aku menaikkan jarik sampai lutut, lalu memasang posisi kuda-kuda.
"Ayolah, Manis. Bermain dengan kami, maka kami tak akan menyakitimu," ucap bandit bertubuh kerempeng serta kepala botak.
Sebelum menghajar mereka, aku kembali meludah. Untungnya air liurku berproduksi banyak, jadi aku tak perlu susah payah meludahi mereka.
Wajah mereka merah padam. Dengan cepat akan mencekal lenganku, tetapi aku segera berkelit. Beruntunglah aku, waktu sekolah pernah mengikuti ekstra pencak silat.
Aku tahu rata-rata lelaki di sini pandai berkelahi dan kemampuanku tak sebanding. Maka dari itu aku segera menendang kemaluan mereka seperti ketua bandit tadi sebelum mereka melukaiku dengan bogeman mereka.
Aku melaju kucar-kacir ke rumah dengan perasaan waspada. Selain takut bandit itu mengejarku, aku pun khawatir kalau Emak marah karena mendengar aduan dari Dadari. Dugaanku ternyata salah. Ketika lewat depan rumah Dadari, aku mendapatinya tengah memberi makan ayam peliharaannya. Ia balas menatapku sembari tersenyum, yang membuatku berprasangka bahwa ia menutupi sesuatu.
"Viva, kemarilah!" titahnya sembari melambai-lambaikan tangannya.
Aku pun melangkahkan kaki beralaskan sendal jerami dengan bimbang.
"Lihatlah jagoku, bukankah gemuk? Pasti enak kalau dimasak," ucapnya sambil menunjuk ayam jantan berbulu oranye yang ukurannya paling besar di antara kawanannya.
Aku hanya mengangguk takzim, masih merasa canggung. Kuberanikan diri menanyakan perihal tadi, "Kau tidak bilang pada siapa-siapa, kan?"
"Apanya?"
"Soal aku dengan Arya."
Dadari menggeleng sembari tersenyum jail, "Mengapa aku harus mengadu? Itu kan urusanmu dan Arya. Sekarang aku sudah tahu kalau kalian mempunyai hubungan dan aku tak akan mengganggu."
Aku mencari sorot kebohongan di matanya, tetapi yang kutemukan hanya tatapan tulus seorang sahabat. Aku pun ikut tersenyum, menggenggam kedua lengannya seraya berkata, "Semoga Arya setia padaku."
Dadari mengangguk. Pada akhirnya kami asyik berbincang di pelataran rumahnya yang terdapat gapura dari bata merah sambil menikmati kokok ayam dan burung-burung dari hutan yang saling bersahutan.
🌼
"Kau ternyata hebat ya," ucap Arya. Saat ini kami sedang berada di dekat danau kecil. Terdapat air jernih dan banyak ikan. Aku takkan tahu keberadaan tempat ini kalau pemuda di sampingku tidak memaksaku untuk mengikuti langkahnya menuju tempat yang jauh di dalam belantara.
"Hebat apanya?" tanyaku heran.
"Apa kau siluman?" Arya tidak mengindahkan pertanyaanku, malah balik bertanya dengan cengiran jail.
"Ngawur kau! Harusnya aku yang curiga seperti itu," hardikku tak terima.
"Baiklah, seharusnya aku tidak terkejut. Kau pasti dulu belajar silat dengan bapamu."
"Ih, aku tidak paham. Bicara yang jelas dari awal!" cetusku mendengar ucapan Arya yang makin tak kupaham.
"Bukankah kemarin kau melawan tiga bandit sekaligus?"
"Kau melihatku menendang dan meludahi mereka?"
"Ya. Aku sengaja tidak membantumu, ingin melihat sejauh mana perlawananmu."
"Hahaha kau lihat, kan? Aku memang hebat," balasku percaya diri.
"Tetap saja, lain kali kau tak boleh mengangkat pakaianmu sembarangan!" sahut Arya lalu mendengus. Aku baru ingat soal itu. Sepertinya sekarang urat maluku sudah terhubung kembali, buktinya wajahku terasa panas.
"Ah lupakan! Wajahmu memerah." Ia tergelak, membuatku refleks memukul ringan lengannya. "Menurutku, perawakanmu pantas menjadi pendekar wanita. Kau mau datang ke tempat latihan para pendekar?"
Aku dengan cepat menggeleng. Melihat anak panah saja merinding, boro-boro mau jadi pendekar.
"Memangnya kau mau kalau kutinggal menjadi pendekar yang jarang sekali pulang?" tanyaku.
"Tidak."
"Kau sendiri, kenapa tak menjadi pendekar? Bukankah kau hebat dalam bela diri?"
"Kau memujiku?" balas Arya sambil menyeringai.
"Iya-iya terserah kau saja. Jawab pertanyaanku!" sahutku jengah.
"Biyung tidak mengizinkanku. Ia takut kalau aku gugur di tengah jalan." Aku menganggukkan kepala sebagai respons. Aku jadi penasaran, bagaimana sih sosok ibunya Arya itu?