"Viva! Jangan berbaring seperti itu!" Sekonyong-konyong Emak berkacak pinggang di ambang pintu sembari memelototiku. Aku mengernyit dan tersadar bahwa aku berbaring dengan kaki ditekuk dan sedikit mengangkang, kebiasaan yang dibawa dari masa depan tiap kali gabut.
"Maaf, Mak." Aku segera beranjak duduk dan memakai kembali cincin Surya Majapahit yang sedari tadi kuamati seraya mengenang kebersamaan yang kuukir bersama lelaki yang dengan kurang ajarnya mendobrak pintu hatiku.
"Kau membeli itu dengan uang siapa?" selidik Emak, memandangi cincin yang melekat di jari manisku.
"Dibelikan Arya." Aku menggaruk kepala, mencoba meredakan bibir yang bergetar. Emak yang mendengar jawaban itu tersenyum mengejek.
"Hati-hati kalau berduaan dengan Arya, dia pria normal yang bisa nafsu denganmu. Lebih baik kalian jangan pergi berdua terlalu lama," tuturnya, membuat pikiranku berkelana liar.
"Aku bisa menjaga diri kok," sahutku. Lagi pula kurasa Arya tidak mungkin punya nafsu dengan tubuh yang jauh dari kemolekan ini.
Emak masih menampakkan senyum ejekan, tatapannya tajam seolah tidak menerima bantahan. Lama-lama aku tak berani menatap mata yang tampak semakin dalam itu dan tertunduk.
"Oh ya, Mak. Aku tidak tahu nama desa ini." Aku mencoba menutupi rasa gelisahku.
"Wanua* Kapundungan. Apakah ingatanmu belum pulih?" Aku menggeleng, melanjutkan dusta yang klise. Padahal jika dipikir, tempurung kepalaku tak mungkin selembek itu sehingga kena amnesia hanya kena batu.
Obrolan kami berhenti ketika mendengar suara ketukan pintu. Aku segera beranjak mendahului Emak membuka pintu.
"Maaf, Kisanak siapa?"
"Ndherek langkung, saya Ki Darwanto, datang untuk menemui tetangga baru," ucap pria paruh baya seraya mengulurkan tangan.
Aku menyambut uluran tangannya dan menyilakan pria bercambang itu masuk ke rumah. Emak pergi ke ruang tamu dengan membawa campuran pinang, daun sirih, dan jeruk nipis* untuk mereka kunyah, kemudian berbasa-basi dengan Ki Darwanto.
"Saya berasal dari Daha. Saya dengar persawahan di sini sangat subur, jadi saya berniat menjadi petani di daerah ini," tutur Ki Darwanto.
"Memang, hampir semua padi di sawah tidak pernah terserang hama," sahut Emak.
Aku hanya diam membisu karena tidak tahu harus menimpali bagaimana sampai pria bersetelan hitam itu menceletuk, "Putri saya sepertinya seumur dengan Viva."
Dengan mata berbinar, aku menyahut. "Wah, bolehkah saya kapan-kapan bertemu dengannya?"
Ki Darwanto mengangguk sembari tersenyum ramah. Semoga putrinya tak kalah ramah dan mau berkawan denganku. Wanita lain yang sebaya denganku sering jutek kalau diajak berbicara, serta mereka disibukkan kegiatan rumah hingga tak ada waktu untuk bergaul lebih lama denganku.
🌼
"Tadi ada tetangga baru, namanya Ki Darwanto. Katanya punya putri yang sebaya denganku. Semoga saja kami bisa berteman," ucapku pada Arya. Saat ini kami sedang berada di pinggir sawah seperti biasa.
"Kalau kamu punya teman lain, kita tak bisa berdua sepenuhnya lagi.” Ia merajuk, membuatku terkikik alih-alih mencibir sikap kekanakan itu.
Aku menggeleng seraya tersenyum simpul. "Kau bisa memanjat pohon kelapa?"
"Kau tak bisa meremehkan seorang Buntara."
"Kalau begitu, tolong petikkan aku kelapa muda," pintaku.
"Aku bukan budak." Namun ia pergi juga ke pohon kelapa yang sedang gencar memamerkan buahnya. Setelah memetik dua buah, ia kembali ke tempatku duduk anteng sembari tersenyum bangga.
"Bagaimana membelahnya?"
"Kau ambil bambu itu saja!" Suruhnya, menunjuk potongan bambu hijau, mungkin akan dijadikan sebagai gelas.
Aku melongo mendapati gigi Arya mengoyak kulit kelapa yang tebal itu dengan mudah. Ia mirip pemain kuda lumping yang tengah kerasukan. Gigiku sendiri ngilu melihat pemandangan itu. Kemudian ia memukulkan batok kelapa yang telah bersih dari serabutnya pada batu. Setelah retak, ia belah kemudian mengalirkan airnya ke dalam bilah bambu yang sudah kubersihkan, sisanya dia minum langsung.
"Kudengar hari ini Prabu Rajasanagara membagikan dhana paribhoga bhojana kepada rakyat melarat di desa ini," ujarnya.
Kurasa aku mengerti ungkapan itu. Harta kekayaan, makanan, dan uang. "Wah pantas saja Majapahit senantiasa makmur, Rajanya saja adil dan tidak pernah pelit," sahutku.
Aku menengadah memandang tawang yang selalu cerah tiap pagi, tapi tubuhku menegang ketika mendapati ular berwarna hijau bergelantung tepat di atasku.
Aku membelalak sambil menoleh ke arah Arya, mengkodenya supaya cepat menolongku bagaimanapun itu caranya. Belum sukses membuat lelaki itu peka, ular itu jatuh di atas kepalaku.
Aku menjerit sejadi-jadinya sementara sekujur tubuh terasa berat untuk digerakkan. Ia dengan cekatan menepiskan ular itu dari rambutku yang tergerai.
"Tenanglah, ularnya sudah kubuang. Lain kali ikat saja rambutmu. Menurut mitos yang berkembang, ular suka hinggap di rambut yang tergerai."
“Jangan asal menggurui!” Aku keburu keki mendapat nasihat itu sedangkan jiwaku masih ingin melayang gara-gara terkejut dijatuhi ular.
“Penakut.”
Aku tidak meladeni ejekannya, terlampau dongkol. Sudahlah pikir nanti-nanti soal balas dendam. Sekarang aku ingin pulang. Aku tak mau bertemu dengan ular lagi.
Arya tergelak, berjongkok di depanku. "Naik ke punggungku!"
"Tidak mau! Aku bisa jalan sendiri," balasku.
"Tengah hari seperti ini banyak ular yang melintas dan tak jarang menggigit kaki manusia," lanjutnya menakut-nakutiku. Mau tak mau aku naik ke punggungnya daripada kakiku menginjak ular kemudian digigit. Aku jadi teringat petuah Emak perihal aku mesti waspada kalau berduaan dengan Arya. Bukannya lelaki itu yang nafsu padaku, malah seekor ular yang kurang ajar bernafsu untuk jatuh di kepalaku.
_______
*Wanua : sebutan untuk wilayah setingkat desa yang dipimpin oleh Rama.
*Menurut catatan Ma Huan, setiap tamu akan disuguhi campuran tersebut untuk dikunyah. Apabila hendak makan, mereka akan berkumur dan membersihkan mulut dari sisa campuran ini.