Tak dapat dimungkiri, aku makin lama mampu beradaptasi dengan lingkungan baru yang sangat kental dengan adat dan tradisi leluhur ini. Apalagi putri Ki Darwanto, Dadari rutin ke rumahku sembari membawa dakon untuk kami mainkan.
Kemarin sore, utusan dari kadatwan mendatangiku sekaligus Dadari untuk ikut sanggar tari di pusat kota untuk merayakan tujuh hari kelahiran sang rajakumari, Kusumawardhani.
Aku merasa beruntung sekali karena tidak banyak perempuan desa yang berkesempatan ikut menari untuk tampil di pendopo kadatwan, tetapi aku didatangi langsung oleh utusan dari sana dengan dalih utusan itu melihat tubuhku yang luwes dan memiliki daya tarik ketika berkeliling pasar.
Penari akan berlatih di sana selama satu minggu sebelum tampil. Gusti Dyah Nertaja akan ikut menari bersama kami. Setelah mengetahui informasi itu, aku berniat pulang ke rumah karena takut gagal, tetapi urung karena Dadari dan Sunarti meyakinkanku.
"Baiklah, cukup istirahatnya. Mari kita berlatih lagi dengan sungguh-sungguh!" ucap guru tari kami, namanya Nyi Aru, yang pastinya orang dalam di Keraton Majapahit.
Dyah Nertaja tidak berlatih di sini. Aku yakin, ia sudah pandai tanpa perlu latihan. Anggota kerajaan pasti sudah jago menari.
Musik gamelan mengalun mengiringi ukel dan lenggok kami, membuatku rindu masa di mana aku mengikuti ekstrakurikuler karawitan di SMP silam, menjadi penabuh demung dan kadang kala menjadi waranggana (pesinden).
Senja telah berlabuh menampakkan semburat jingga di cakrawala, menjadi latar belakang burung kuntul yang terbang membentuk sudut segitiga. Latihan menari pun akan diteruskan besok pagi. Aku, Dadari, dan Sunarti berjalan menuju tempat persinggahan kami sambil melontarkan gurauan remaja yang melibatkan lawan jenis yang menjadi idaman mereka masing-masing.
"Ayo kita mandi!" ajak Dadari sambil membawa pakaian ganti.
Aku menaikkan sebelah alis, "Ke mana?"
"Bagaimana kalau di coban terdekat?" usul Sunarti, Dadari pun mengangguk sedangkan aku pasrah mengikuti mereka.
Hari mulai gelap, tetapi mereka masih bersemangat menjejakkan kaki sepanjang jalan setapak untuk mandi. Sedangkan aku bimbang karena cuaca benar-benar adem hingga kulitku timbul bintik-bintik macam katak.
Sunarti berjalan mendahului kami dengan riang sebelum teriakan lolos darinya.
Aku yang sedari tadi terpekur memikirkan dalih untuk tidak mandi pun segera mengerjap. Tawaku lepas ketika melihat Sunarti yang lari pontang-panting dengan seekor kunyuk mencengkeram kepalanya.
"Jangan ke sini!" pekik Dadari panik. Aku mengangkat jarik, lari secepatnya untuk kembali ke persinggahan.
Sampai di lingkungan kadatwan, kunyuk itu masih menjambak rambut Sunarti yang menjerit kesakitan. Perempuan bertahi lalat di atas bibir itu lega sekali saat seorang prajurit penjaga gapura timur berhasil mengusir kunyuk dari kepalanya.
"Kita akan mandi di mana?" tanya Dadari.
"Memangnya di sini tidak ada pemandian?" tanyaku.
Sunarti dengan gugupnya masih berada di dekat prajurit yang memegang tombak dan perisai. Matanya terlihat berbinar, mungkin kagum akan sosok penyelamatnya itu.
Aku memberi isyarat mandi padanya, kemudian menunjuk prajurit itu. Sunarti pun menanyakan di mana letak petirtaan untuk kami mandi. Ia kemudian menarikku dan Dadari ke petirtaan yang dimaksud. Wajahnya bersemu merah hingga ke telinga, cukup mudah untuk tahu bahwa ia jatuh hati pada sang prajurit.