Aku terus mengusap rambutnya yang legam lagi tebal. Tatapanku melayang menuju sepetak tanah di kebun yang disemayami talas. Di sisi lain, bergerombol tanaman cabai dan kapulaga yang ditanam satu petak. Di dekatnya terdapat dua pohon salak yang durinya mencuat-cuat.
"Berapa usiamu?" tanyaku memecah keheningan dan mengalihkan topik pembicaraan.
"Dua satu. Kau?" Arya menyahut sambil menggenggam telapak tanganku.
"Dua tahun lebih muda darimu," jawabku tercekat. Diperlakukan seperti ini membuat sekujur tubuhku ingin bergidik risi, tetapi tak ayal rasa senang yang hinggap lebih dominan. Menelan ludah susah payah, aku mengalihkan perhatian pada buah maja yang tumbuh banyak di pohonnya. Aku penasaran seberapa pahit buah itu.
"Arya, apa kau pernah makan buah maja?" Tanyaku.
"Tentu saja tidak."
"Aku penasaran sepahit apa buah itu. Apa lebih pahit dari ramuan yang dulu kuminum?" gumamku.
"Kau bisa mencobanya sendiri."
Aku cemberut, berlagak ingin memukulnya. Namun, aku malah yang mendapatkan cubitan gemas dari Arya.
"Kau senang sekali mencubitku, ya?!" ucapku geram sembari mengelus-elus pipiku yang terasa panas karena cubitannya.
Tak mendapat sahutan, kudapati ia tengah menatapku intens. Kami saling tatap entah berapa lama, dadaku kian bergemuruh. Waktu terasa berhenti dan aku tidak bisa bernapas dengan lancar.
Wajahnya mendekat perlahan hingga bibir kami bersinggungan. Kupejamkan mata menikmati kebersamaan ini. Pantas saja orang-orang gemar berciuman, wong senikmat ini.
Tangannya berada di tengkuk serta pinggangku. Sedangkan tanganku berada di dada telanjangnya. Ia dekatkan tubuh kami hingga menempel. Sebelum kegiatan kami lebih jauh, aku melepaskan diri.
Aku maupun Arya mengambil udara dengan rakus. Setelah itu Arya mengecup dahiku tulus, membuatku tersipu malu sambil menunduk.
🌼
Arya telah pulang beberapa jam yang lalu, Emak baru kembali ke rumah menenteng jenang abang. Rupanya di desa sebelah ada acara syukuran.
Malam hari hanya ada suara binatang malam. Aku yang hanya diterangi cahaya dari lampu damar pun mulai merenung perihal masa depanku bersama Arya yang tampak indah di khayalan. Tak lama kemudian, gerimis membumi dan aku teringat akan kehidupanku yang sebetulnya.
"Kau kenapa?" tanya Emak, berjalan menghampiriku yang sedang duduk melamun di ranjang.
Butiran bening asin meluncur di pipiku membentuk anak sungai, merindukan keluargaku di masa depan. Aku tidak bisa berbagi beban di benakku, aku tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya.
Aku masih merasa asing di sini, tidak bisa bergantung pada siapa pun. Emak menepuk punggungku, memberi kekuatan.
"Kenapa hm?" tanyanya dengan lembut, kubalas dengan gelengan kepala.
"Lebih baik kau tidur sekarang."
"Emak tidur denganku ya ..."
Seperti bocah, tidurku dipeluk dan diusap-usap kepalanya.