Happy Reading
05. Night With You!
"Terima kasih untuk malam penuh tawa. Aku tahu ini adalah luka, tapi setidaknya aku bahagia."
"Eomma, Luna udah pulang?"
Jeman buru-buru turun setelah memastikan ruangan di sebelah kamarnya telah bersih.
"Iya tadi udah pamit sama eomma."
Titi adalah pekerja rodi di rumah ini. Tetapi dibalik kesibukan itu, dia malah senang. Berada dalam dekapan suasana keluarga kecil dapat membangun semangat dan jati diri perempuan muda itu.
"Lagian, masa kamu bawa anak cewek ke rumah. Mana gak izin lagi sama orang tuanya," sahut Atuy sembari memasukkan sepotong roti selai strawberry ke dalam mulutnya.
Jeman ikut duduk di samping papanya, "emang mamanya datang ke sini Tuy?"
"Enggak, cuman opini patuy doang," jawab Atuy membuat Jeman menghembuskan napas lega.
Atuy mengoleskan banyak sekali selai strawberry di atas roti yang ia hendak makan. Jeman telah menegur orang tuanya itu berkali-kali namun tingkah Atuy tidak dapat dihentikan. Perasaan Jeman mulai tidak enak sejak Atuy tiba-tiba mengoleskan selai nanas lagi.
"Jem, patuy punya pertanyaan, kalau berhasil jawab dapat sepuluh ribu."
Jeman mulai mendekat dengan Atuy. Raut wajah itu mulai serius dengan apa yang dibicarakan. Jika menyangkut uang, siapa saja pasti akan tertarik.
"Apa pa?"
"Papa mau nanya, kalau huruf pertama di abjad apa?"
"A," jawab Jeman bingung.
"Kalau, negara ASEAN yang gak pernah dijajah apa?"
"Gampang itu pa, Thailand lah." Jeman sepertinya terbawa permainan Atuy.
"Coba contohin orang lagi liat setan," pinta Atuy semakin diluar angkasa.
"Ish, apa hubungannya si pa?"
"Mau dapat sepuluh ribu gak nih?" tanya Atuy mewanti-wanti Jeman sembari terus mengoles selai nanas dan strawberry di atas roti yang tampak sudah sangat basah.
"Yaudah, demi sepuluh ribu itu, Jeman mau."
Jeman mengambil tarikan napas, "aaaaaaaaaa—" teriaknya keras namun tiba-tiba sesuatu menyumpal mulutnya.
Atuy yang melakukan itu. Benar saja, roti yang dari tadi ia putar bersama selai nanas dan strawberry ternyata bertujuan untuk masuk ke dalam mulut Jeman.
Rasa kesal tentu ada dalam diri Jeman. Ia berlari mengitari meja makan, mengejar papanya. Tidak ada yang ingin mengalah. Atuy tertawa lepas dengan kejahilan yang dia perbuat, sedangkan Jeman kesal setengah mati ingin memukul bokong Atuy.
"Eommma, popo johot bongot," ucap Jeman amburadul sebab roti yang terlalu besar menyumbat mulutnya. Jika saja rasanya enak, Jeman tentu segera mengunyah roti itu, tetapi karena rasanya sangat asin, Jeman hanya ingin segera melepas racun tersebut.
"Eh anjing!"
"Ustad liat dia ustad," cibir Jeman.
Bagaimana tidak marah? Jeman dengan sengaja menarik celana ayahnya, Atuy, hingga kolor spiderman lelaki paruh baya itu terlihat.
"Udah gede pake kolor spiderman," tegur Titi merasa malu.
Sedang sang pelaku, hanya tertawa kemudian pergi.
....
"Woi gua di sini." Mahen melambaikan tangan pada dua sahabatnya yang baru saja tiba.
Sejak pulang sekolah, anggota Desastrova merasa jerah dengan kehidupan masing-masing. Mereka memutuskan untuk segera melepas keluh kesah itu dengan nongkrong di kafe kebangsaan mereka. Namanya, Pig By Kafe. Percayalah, menu dalam tempat makan itu tidak seaneh namanya.
"Dari tadi lu di sini?" tanya Jeman kepada Mahen dan Ade.
"Udah dua abad yang lalu," jawab Ade santai, sembari menyeruput minuman rasa coklat di depan.
"Gak ada kasus lagi nih? Kepala gue udah sakit, udah lama gak dipake berpikir." Jika orang lain sakit kepala karena berpikir, Devan malah sebaliknya. Dia lebih suka dengan hal-hal diluar angkasa bahkan pemikiran manusia pun tidak sampai di sana.
"Emang agak lain lo."
Jeman menyeruput minuman rasa matcha yang baru dibawa pelayan tadi. Wajah tenang yang ia tunjukkan, sebenarnya tidak setenang hatinya. Pikiran cowok itu telah sampai di India sekarang. Luna. Cewek itu memenuhi setiap tempat di kepalanya.
"Kamu ini bagaimana sih, katanya bakal menang proyek ini, tapi apa hasilnya? Lagi-lagi perusahaan kita rugi lima ratus juta."
Wanita berpakaian rapi serta berpenampilan seperti CEO pada umumnya, menghempas sebuah map ke depan meja laki-laki yang sedang dia maki. Sedangkan yang dimarahi hanya menunduk takut, persis seperti suami takut istri.
"Maaf bu, ini semua terjadi karena perusahaan sebelah menjiplak karya dan usulan kita."
"Itu semua terjadi karena kamu tidak bisa meng-handle nya."
Jeman serta tiga sahabatnya memperhatikan dengan saksama pertikaian dua orang di sana. Jeman menyengir lebar, "kehidupan keras ya?" beonya.
"Yaiyalah, kalau enak namanya ke—Dupan bareng istri," ucap Mahen.
Dor—
"Eh asu kayang." Mahen terkejut sampai ke ubun-ubun. Badannya kejang-kejang seperti ikan baru saja di tangkap. Mendengar suara yang cukup besar secara spontan, siapa manusia yang tidak terkejut?
Desastrova lantas berdiri setelah mendengar bunyi pistol yang ditembakkan. Mereka segera berjalan mencari asal suara. Keempat pasang mata diasana terbelalak kaget. Lelaki yang tadi dia lihat kini terlentang tanpa nyawa dengan keadaan mengenaskan.
Dahinya telah bocor akibat tembakan tersebut. Sedang pistol yang diduga digunakan menembak, ada di dekat korban.
"Kenapa, kenapa pelakunya ninggalin barang bukti?" Jeman merangkul bahu Devan sembari terus memperkerjakan otaknya.
"Itu yang lagi gue pikirin. Minggirin tangan lo sebelum dua-duanya buntung!" Ancaman Devan memang tak perlu diragukan.
Jeman segera menepis tangannya.
"Semuanya! Apa kalian gak ada yang lihat kejadian ini?" teriak Ade berharap ada yang mengacungkan telunjuk.
"Tempat ini sepi bro, emang dari tadi si Sugiono, duduk di sini sendiri setelah ibu-ibu tadi pergi."
"Namanya Tarmanto, bukan Sugiono." Ade membenarkan penyebutan Mahen.
"Dia bandar bokep bro," papar Mahen setelah berhasil memberantas handphone milik korban.
Devan dan Jeman sudah beberapa kali mengotak-atik CCTV namun tidak ada gambar yang mencurigakan. Sepertinya, alat perekam itu telah dirusak sebelum penembakan terjadi.
"Aneh banget, orang kalo makan menghadap meja, lah ini malah membelakangi meja." Setelah melihat kembali keadaan korban, Ade dari tadi terkecoh oleh posisi korban. Mengapa tubuhnya membelakangi meja makan?
"Ini bunuh diri ini, noh pistolnya di dekat tangan bapaknya sendiri, trus ada sidik jarinya juga di sana."
"Masa milih tempat kek gini buat bunuh diri?"
"Jem, ini tempat sepi banget ini hari. Pengunjungnya cuman kita, Tarmanto, ibu itu, sama dua cewek yang masuk." Ade melempar tatapan keyakinan kepada Jeman.
"Lo lihat baik-baik lukanya De, seandainya itu bunuh diri, bakal ada luka bakar di sekitar luka tembak," papar Devan.
"Kenapa kek gitu?" tanya Ade kembali.
"Seseorang yang bunuh diri memakai benda seperti pistol, cenderung menempel alat tersebut ke bagian tubuh mereka. Ketika pemicu ditarik oleh jari,
suhu yang sangat tinggi akan dihasilkan keluar dari laras bersama dengan peluru."
Ade dan Mahen mengangguk bersamaan.
"Kalau misalkan dia bunuh diri, pistol itu pasti dia genggam."
Jeman memasang sarung tangan guna mencari barang yang sekiranya dapat membantu.
"Bapak Tarmanto, karyawan yang bertanggung jawab atas proyek pembangunan taman milik Company Group. Catat semua profilnya," ujar Ade.
Polisi ikut turun tangan dalam kasus ini. Meski sedikit kewalahan, mereka tidak pantang untuk kalah. Apalagi Desastrova, mereka yang paling berpengaruh di sana.
"Ibu, kan yang bunuh?"
Devan menjitak dahi Jeman. Merutuki kebodohan sahabatnya yang satu itu. Kenapa ia bertanya pada salah satu tersangka tanpa mendesak? Jelas dia tidak akan mengakui bahkan jika dialah pelakunya.
Gita. Perempuan itu yang menjadi tersangka utama. CEO dari Company Group adalah dia. Matanya menatap cukup tajam ke arah Jeman. Tidak ada ekspresi bahkan sedikit gerakan bibir dari ibu muda itu.
"Jem, dia meninggal sekitar pukul enam lewat dua puluh, sore."
Jeman beralih menatap perempuan cantik di depan.
"Pada jam itu, anda ada di mana ibu, Gita?"
"Saat pukul enam lewat lima belas, saya ke wc. Jelas terlihat di CCTV, saya meninggalkan korban sendiri di sini. Kalau anda tidak percaya dengan alibi saya, silahkan cek kembali CCTV!"
Jeman dan Devan membenarkan perkatan Gita. Perempuan itu memang berkata jujur.
"Anda berdua, di mana anda saat itu?"
"Gue sama dia lagi makan. Jarak kita cukup jauh, gue aja ngira gue berdua doang di sini."
Devan mencurigai dua orang itu. Panggil saja Ashella dan Violetta. Gadis yang mungkin seumuran dengan mereka.
"Gue tau kok, lo semua Desastroke kan? Gue percaya lo semua bakal ngungkap kasus ini. Btw sepi banget ya kafe hari ini?"
Sok asik. Satu kata yang dapat menggambarkan gadis satu itu. Parasnya cantik namun tidak dengan bibirnya yang sok asik.
"Sejak kapan Desastrova jadi Desastroke?" Jeman melempar tatapan sinisnya.
"Ups, sorry. Mungkin mulut gue TYPO," ucap Ashella santai.
Mereka kembali mencari barang bukti. Hari akan semakin larut. Mereka harus menemukan pelaku sebelum hari esok tiba.
"Kenapa pelanggan sepi?" Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulut Devan.
Dengan acuh dan angkuh, Jeman mendekat ke arah kasir serta pintu masuk kafe yang jaraknya lumayan dekat.
"Close? Buka sampai jam lima? Perasaan tadi ini gak ada."
Devan ikut menjelajahi isi kafe. Satu hal lagi yang mengganjal di otaknya, kenapa posisi korban terbalik? Apakah tidak ada orang yang melihat kejadian ini?
"Mba, anda adalah orang terakhir. Anda seorang kasir di sini. Di mana anda saat peluru ditembakkan?"
"Saya—saya sibuk menyediakan makanan," ucapnya.
Satu jam berlalu. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Tidak ada hilal yang menandakan kasus akan selesai. Ada banyak hal yang mengecoh setiap anggota Desastrova, salah satunya posisi korban dan mengapa tersangka meninggalkan barang bukti.
Ade tampak sangat lelah mondar-mandir ke sana lalu kembali lagi. Cowok tersebut duduk di salah satu meja.
"De, ini air buat lo." Karena simpati, Mahen membawakan air guna melepas dahaga Ade.
Ade membalikkan tubuhnya menghadap arah datang air. Jeman memperhatikan lamat-lamat posisi tersebut.
"Ini—"
"Kalau benar berarti pelakunya—"
Gerbang dunia seakan terbuka. Hanya sesimpel ini? Tapi kenapa penyelesaiannya sangat rumit?
"Anda, anda adalah pelakunya mba!" duga Jeman.
Jari telunjuk cowok itu singgah di hadapan Liana, kasir kafe ini. Sedang sang empunya menatap Jeman penuh saksama laksana kebencian di sana.
"Jem?"
"Lo nggak tau Dev? Kita dari tadi di kecoh!"
"Anda adalah pelakunya. Mengapa saya yakin? Karena anda adalah karyawan yang bertugas di sini. Anda adalah satu-satunya orang yang dapat mengotak-atik ruangan ini."
"Anda tidak berniat membunuhnya kan?" tanya Jeman pada perempuan itu.
Liana menggeleng. Wajahnya berubah menjadi pucat. Keringatnya semakin bercucuran.
"Pistol itu, sebenarnya milik korban, Tarmanto. Itulah mengapa sidik jarinya ada di sana. Awalnya, alat berbahaya itu digunakan untuk membunuh ibu Gita."
"Kenapa saya?"
"Karena dia merasa tertindas. Terlihat dari ekspresi Tarmanto waktu ibu Gita memakinya. Pistol itu tertinggal di toilet, dan anda tidak sengaja menemukannya, Liana."
"Saat itulah anda merencanakannya. Sebenarnya anda kenal dengan pak Tarmanto bukan? Ya dia adalah orang yang merekam anda di toilet secara diam-diam. Anda mengetahuinya. Pertikaian terjadi di wc itu, tetapi pak Tarmanto dikuasai ego lalu pergi tanpa mengingat benda berbahaya yang dibawanya."
"Pada pukul enam lewat lima belas, anda memasang kartun upin ipin di televisi agar perhatian pengunjung teralihkan. Ditambah volume yang sangat keras membuat perhatian semua orang teralih."
"Anda membawa pesanan korban beserta dengan pistol, disaat mendengar nomor mejanya, pak Tarmanto berbalik mendapati anda. Dengan sigap, anda menarik pelatuk kemudian menewaskan korban."
"Pistol tak sengaja jatuh di samping korban karena makanan yang anda bawa juga hampir jatuh. Seandainya anda tidak melepas pistol itu, maka makanan akan jatuh. Yang artinya, perhatian semua orang tertuju pada anda."
"Lihatlah setitik noda berminyak di lantai itu, lalu bandingkan dengan pesanan korban, itu adalah noda makanan yang terpercik akibat keseimbangan wadah yang kurang."
"Mengapa pengunjung sangat sepi? Ya anda sengaja memasang tanda closed. Semua alibi yang saya jelaskan hanya dapat dilakukan oleh anda. Anda adalah orang yang sangat mengenal tempat ini."
"Sidik jari anda tidak dapat ditemukan karena anda memakai kaos tangan."
"A-apa buktinya? Kenapa kamu main tuduh-tuduh aja dengan logika kamu yang asal-asalan itu!" sangkal Liana.
Jeman menunjukkan smirk nya, "sidik jari pada jaket serta handphone korban. Disana jelas sidik jari anda. Itu berarti, anda melakukan hubungan kontak dengan korban."
Liana menggeleng. Kakinya rapuh. Air mata tak kuasa ia tahan. Perempuan itu menatap kedua tangannya penuh arti.
"Itu semua karena kesalahan orang asing itu, dia melanggar privasi saya, dia-dia—"
"Tapi bukan begini caranya mbak. Kami tau posisi anda, tetapi cara yang anda mainkan salah. Bukan apa-apa, tapi ini adalah nyawa," pungkas Devan.
"Anda kami bawa ke kantor polisi atas tuduhan pembunuhan!"
"Anda selamat bu," ucap Jeman kepada Gita.
....
Setelah mengerjakan kasus tadi, keempat cowok di sana berpisah. Sudah tidak mood lagi untuk melanjutkan healing mereka.
"Luna?"
Motor Jeman berhenti pada salah satu minimarket dekat tempat tinggal Jeman. Matanya menangkap sosok gadis yang mengalihkan perhatiannya.
"Lun, lo napa lagi hah?"
Luna menatap cowok itu penuh luka. Penampilan yang acak-acakan membuat cewek itu tak ada bedanya dengan gelandangan.
"Kamu lagi? Kapan Ando?"
"Lun, kalo lo sakit jangan kek gini Lun. Gue malu. Lo beneran udah jadi gelandangan."
Luna sama sekali tidak memedulikan perkataan Jeman. Matanya memancarkan cahaya sendu. Beberapa detik lagi, air itu akan jatuh.
"Aku, aku ini manusia tapi kenapa aku diperlakukan seperti hewan? Dipukul sesukanya, dikatai sembarangan, dan disakiti setiap hari. Kenapa?"
Cewek itu jatuh di pelukan hangat milik Jeman. Tak kuasa menahan beratnya beban, Luna menitikkan air matanya.
"Gak apa-apa Lun, kalau hari ini kita gak tersakiti maka besok kita gak bakal rasain apa itu perjuangan."
"Ini udah lebih dari perjuangan."
Luna beralih memukul punggung cowok yang dipeluknya.
"Bukan, ini bukan perjuangan, ini adalah siksaan."
Jeman tak tahan. Dia tak suka berada di suasana seperti ini. Cowok itu menggendong Luna sembari berjalan menuju apartemen ayahnya. Ya kompleks dan apertemen Jeman tidak jauh dari sini.
"Lo jangan nangis njing. Ngerepotin aja."
Jeman mengusap air mata gadis itu. Badannya sudah bersih. Walau begitu, luka kasar di telapak kakinya tidak akan hilang. Siapa suruh berjalan di aspal tanpa alas kaki?
"Lo udah bahagia Lun?"
Luna menggeleng pelan, "kamu kenapa bantu aku lagi, kak?" ucapnya menatap mata Jeman, sangat lembut.
"Mau aja, kasihan lebih tepatnya."
"Terima kasih untuk malam penuh tawa. Aku tahu ini luka, tapi setidaknya aku bahagia."
Cerita palsu! Itu palsu! Kata-kata yang keluar dari mulut Luna adalah palsu namun dipercaya oleh Jeman.
"Padahal gue kagak ngapa-ngapain."
Apa yang membuat gadis itu semerana sekarang?
....
Jumat, 21 Juli 2023