Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta.

Bagaimana rasanya memiliki keluarga ...Read More >>"> Rembulan (Bab 04) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rembulan
MENU
About Us  

Happy Reading

 

04. Dunia or Komedi?

"Dunia sedang memainkan komedi. Luna adalah pemeran utamanya."

Manik mata pemilik tatapan sendu mulai bergerak mengedip perlahan guna menyesuaikan cahaya. Dinding bernuansa putih serta berbagai alat medis menjadi bukti bahwa cewek itu berada di UKS sekolah. Seingatnya tadi, dia berada di tengah lapangan tapi sekarang sudah ada di ruangan kesehatan sekolah.

Kepala cewek itu menoleh menangkap sosok yang selalu ia lihat akhir-akhir ini. Jeman orangnya. Baru saja ingin membuka mulut, Jeman malah membungkam mulut itu cepat. "Udah gausah bilang makasih. Cukup lo jangan ngerepotin, itu aja." Cowok itu melenggang pergi setelah meminun teh yang seharusnya diberikan kepada Luna.

Desastrova menunggu kabar dari Jeman selama beberapa menit. Wajah cool yang dibawa cowok itu membuat rasa khawatir ketiga sahabatnya sedikit memudar.

"Gimana?" tanya Mahen menatap penuh penasaran ke arah Jeman.

"Gimana apanya?"

"Kondisinya njing," umpat Mahen saking capeknya dengan kebodohan Jeman. Andai saja ada pembuangan manusia di dekatnya, sudah pasti dia melempar sahabat yang tengilnya tiada tara itu.

"Sama aja, kayak manusia pada umumnya."

"Gue nanya kabarnya tu cewek goblok." Pertikaian diantara keduanya semakin memanas.

"Baik," jawab Jeman dengan nada menyebalkan yang selalu dia punya.

Sementara di ujung pintu, sudah berdiri Devan dan Ade, bersiap untuk memasuki kelas. Satu batu dan satu rumput itu tidak ikut dengan pembahasan Jeman dan Mahen. Mereka tau jika mereka gabung maka tak perlu meminum obat untuk menaikkan darah, cukup dengan berbicara saja.

Pelajaran PPKN tengah berlangsung. Bukan Jeman namanya jika tidak begerak. Sebuah pesawat kertas siap melayang di tangan Jeman. Saking gabutnya, lelaki itu juga menulis serangkaian kalimat romantis.

Angin tampaknya tak bisa diajak kompromi. Mainan yang tadi berada di genggaman Jeman, kini mendarat dengan baik di atas meja milik pak Hartono.

"Kepada gadis cantik pemilik tatapan sendu, aku mencintaimu layaknya senja di ujung kalbu. Aku tersesat diantara ribuan kata menuju memiliki mu. Apa yang harus aku lakukan? Tertanda si tampan, Jeman."

Pak Hartono sengaja membacanya keras-keras. Gelak tawa mulai bergema di kelas. Tak terkecuali Devan, Mahen dan Ade. Bukan mereka yang melakukan tetapi mereka yang malu terhadap tingkah sahabat mirip monyet itu.

"Caramu terlalu basi kawan. Seharusnya kau mengatakan, 'wahai adinda, kamu selalu mendiami hatiku bagai sang saka merah putih. Parasmu secantik Raden Adjeng Kartini. Aku mencintaimu layaknya cinta bapak BJ. Habibie. Maukah kau menjadi kekasihku? Akan keperjuangkan kau seperti aku memperjuangkan negaraku' kayak gitu."

Bagai sudah berpengalaman, pak Hartono merangkai kata-kata sesuai dengan pengetahuannya.

"Eaaaa...." Seisi kelas bersorak. Sedang Jeman, lelaki itu menunduk sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Wajahnya memerah menanggung malu.

....

Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Luna duduk di sofa panjang dengan kripik kentang di pangkuannya. Tak lupa gadis itu memutar kartun kesukaannya, Detektif Conan.

Gadis itu terlalu kecil untuk dianggap dewasa. Entah sampai kapan dia terus kekanak-kanakan. Mungkin dia akan segera dewasa karena luka.

Atmosfer seketika berubah saat wanita paruh baya mulai menampakkan wajah awet mudanya. Dengan keadaan lelah, wanita itu berjalan sempoyongan ke arah kamar tanpa menyapa Luna sama sekali. Sebenci itukah dia pada anak satu-satunya sampai melirik pun sudah tak sanggup?

Setetes cairan bening meluncur bebas dari pipi gembul milik Luna. Perasaan yang sama setiap harinya selalu ia pendam sendiri. Tak ada tempat untuk mengeluarkan keluh kesah itu. Bibirnya bergerak perlahan memunculkan suara serak, "kapan, mama mau nanya keadaan Luna? Bahkan untuk tersenyum ke arah Luna pun tidak pernah."

Sebuah notifikasi terdengar dari arah meja. Handphone bermerek apel yang Luna segani, menyala dengan sendirinya. Kepala cewek itu celinguk ke kiri kemudian ke kanan guna memastikan keberadaan mamanya.

Karena penasaran, Luna membuka chat itu dengan mudah karena benda pipih tersebut tidak memiliki pola ataupun kunci. Gematar tangan mungil itu saat menyentuh layar HP yang tak pernah dia sentuh sebelumnya. Rasa penasaran tadi membawa jiwa Luna ke dalam lubang luka baru.


Adnan Ames Wijaya. Nama yang selalu Luna tunggu dalam kehidupannya. Nama yang selalu Luna banggakan dalam setiap cerita palsunya. Dan nama yang selalu Luna nanti keberadaannya.

Lelaki bernama Adnan adalah ayah kandung Luna. Sejak satu tahun terakhir, hubungan keluarga mereka dapat dikatakan sudah berantakan. Adnan yang selalu mementingkan harta dan Gita—mama Luna yang keras kepala.

Tangis gadis itu semakin menjadi. Kenapa ayahnya berubah? Dia bukanlah Adnan yang Luna kenal. Adnan yang selalu memanjakan Luna. Adnan yang setiap harinya mengabari Luna. Lalu mengapa sekarang dia berubah?

Gita dengan sigap merampas benda itu dari genggaman anaknya. Dengan mata melotot, wanita di depan bersiap melayangkan segala amukan untuk Luna.

"Berani-beraninya kamu membuka HP saya!? Lancang ya kamu?"

Plak—
Satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi Luna, membuat warna yang awalnya putih menjadi merah merona.

"Maaf ma," lirih gadis itu tak berani menatap mamanya.

"Ikut saya," pinta Gita tegas.

Terjadi lagi. Seutas tali yang menjadi makanan Luna kini mendarat di kaki mungil gadis itu. Kenapa mamanya begitu kasar kepadanya? Apa salah Luna? Dimana letak yang tak Gita suka? Gita terlalu kejam untuk disebut orang tua. Dia tak pantas mendapat gelar seorang ibu.

"Aaaaaargh! Kapan semua ini berakhir. Tuhan, kapan aku bahagia? Sakit tuhan, sakit. Kalau pukulan dan cambukan, Luna masih bisa tahan, tapi hati Luna? Mirip Hello Kitty, tuhan." Isak tangis gadis itu mengisi jalan sepi di dekat taman.

Jika ada yang lebih lusuh dari pakaian tak disetrika, maka itulah penampilan Luna. Rambut acak-acakan, luka lebam di sekujur tubuh, darah dari pipi, serta kakinya yang tidak beralas sama sekali membuat gadis itu terlihat seperti gelandangan.

Jembatan ini menjadi saksi, betapa terlukanya cewek itu sekarang. Cambukan selalu saja dia dapat, tetapi dia selalu bingung, dosa apa yang dia lakukan sampai mendapat perlakuan sekejam ini?

"Sakit, sakit banget ya Allah. Kaki Luna luka, pipi Luna berdarah. Apa salah Luna? Luna rajin sholat, Luna rajin berdoa untuk kedua orang tua Luna, tapi kenapa mereka jahat. Sakit banget Tuhan." Cewek itu terus memukul dadanya tanpa henti. Dia duduk tanpa alas di sana. Seperti gelandangan pada umumnya.

Guntur mulai bersuara. Alam seakan tak membiarkan gadis bernama Luna bahagia. Bulan menyinari bumi dengan cahaya remang-remang. Padahal, gadis bernama Luna sedang membutuhkan cahaya bulan, sesuai dengan arti namanya.

Gerimis terasa hangat di malam hari. Tengah malam begini, siapa yang ingin basah kuyup diterpa hujan? Luna orangnya. Dunia sedang memainkan komedi. Luna adalah pemeran utama.

"Woi! Lo udah gila!?" Terdengar teriakan dari seberang jalan. Pemilik suara itu berlari menarik tangan Luna.

Sepertinya cewek itu telah kehilangan akal. Jika saja tak ada cowok itu, mungkin dia sudah melompat ke bawah jembatan.

"Kalo mau mati ya mati aja, jangan lompat di jembatan, gue takut lo bakal gentayangan di sini," cetus cowok itu.

Jeman. Dia adalah Jeman. Dengan kantong plastik di tangannya, dapat dipastikan cowok itu sehabis dari toko. Lokasi ini memang tidak jauh dari kompleks rumahnya, berjalan kaki pun kita bisa sampai di sana.

Luna beserta mata sayunya mendongak menatap lelaki itu, "kamu lagi kak?" Bibirnya seakan tak mampu berucap lagi setelah banyak menguras air mata. Luka itu tidak akan kering, tidak akan pernah.

"Lo lagi? Ngerepotin banget lu." Jeman melontarkan kata-kata sadis untuk menutupi rasa khawatir. Beberapa hari bertemu dengan Luna, cowok itu mulai merasa simpati pada gadis terluka itu.
Jeman beralih menatap pergelangan tangan Luna. Apa yang dia pikirkan, benar adanya. Ya tangan itu telah digores lagi.

Jeman manarik tangan Luna untuk duduk.

"Lo gak kasihan sama tangan lo?" tanya cowok itu basa-basi.

Luna hanya menggeleng pelan. Menandakan bahwa dia tidak tertarik dengan pembahasan Jeman.

"Lo kenapa si? Kalo ada orang yang lewat, dia pasti ngira lo orang sinting."

"Udah gak pake sendal, mata sembab—" Lelaki itu mengusap air mata Luna. Sekaligus memperbaiki tampilan matanya.

"—rambut acak-acakan lagi," lanjutnya kemudian memperbaiki pula rambut Luna.

Cewek itu terkesima dengan perilaku Jeman. Mereka tidak memiliki hubungan apa-apa, tapi mereka memiliki rasa kagum dan khawatir dalam waktu yang bersamaan.

"Luna lo gak bahagia lagi ya?"

"Kenapa kamu ikut campur? Itu semua kehidupan aku, kamu gak ada hubungannya." Luna itu egois, dia lebih suka memendam lukanya sendiri. Dia tidak suka bila orang tau tentangnya. Lebih baik dia berbicara bohong dan bercerita palsu daripada harus jujur akan semua yang dialaminya.

"Luna, bahagia itu sederhana. Manusia saja yang membuatnya susah. Senyum aja kita udah termasuk bahagia. Maka dari itu, ayo senyum Lun." Untuk pertama kalinya lelaki itu bijak dalam melontarkan kalimat. Entah bisikan setan apa yang sedang bersama cowok itu sekarang.

"Walaupun senyumnya pura-pura?" Luna sepertinya meragukan perkataan Jeman.

"Hm. Kita akan terus berpura-pura sampai terbiasa. Lo bakal bahagia kalo lo udah terbiasa. Jadikan pura-pura itu sebagai hal biasa, maka kebahagiaan datang dari depan mata."

Kedua insan itu sama-sama menatap kosong jalan raya tak berpenghuni. Gerimis semakin lebat. Sepertinya akan turuh hujan malam ini.

"Lo mau tetep di sini?" tanya Jeman. Dibalas anggukan oleh Luna.

"Ayo gue antar lo pulang," tawar lelaki itu sambil berdiri.

Luna menggeleng sembari tersenyum, "nggak usah kak, di rumah gak ada apa-apa. Aku nggak punya rumah yang benar-benar aku suka untuk pulang." Hambar sekali senyum itu. Tak menandakan semangat hidup lagi.

Hujan telah turun dengan lebat. Sedang kedua orang di sana masih berdiri tanpa pikiran. Jeman menarik tangan Luna tanpa ingin melepasnnya, "mau nyoba bahagia?" tanya Jeman di sela luka Luna.

Mereka berlarian melawan hujan. Pakaian keduanya sudah berat akibat basah kuyup. Luna menatap kosong bangunan bak istana di depan. Dia memandang penuh harapan pada rumah itu.

"Ayo masuk, lo udah menggigil." Untung saja Jeman memberikan sweaternya tadi. Jika tidak, mungkin bibir pucat Luna akan bertambah pucat karena dingin.

"Astaga ini penyu, disuruh beli garam malah hujan-hujanan. Aduh nanti kalo kamu sakit eomma juga yang repot."

Baru saja di depan pintu, rasa iri Luna sudah merajalela. Dia membayangkan kapan ia akan mendapat perlakuan seperti itu dari mamanya.

"Eh, kamu bawa siapa?" bisik Titi, mama Jeman.

"Temen Jeman, ma. Dia sendirian, kasian banget di tengah jalan tadi." Tingkat kepekaan seorang ibu memang tinggi. Baru saja melihat tatapan Luna, serta raut wajah Jeman, bisa disimpulkan bahwa wanita di depan itu adalah wanita yang terluka.

"Astaga kamu juga basah kuyup ya? Ini si penyu gak suruh kamu buat neduh apa?" Dengan sentuhan lembut, Titi menuntut Luna memasuki rumah bak istana.

"Eh, BTW nama kamu siapa?" Seperti pada ibu-ibu pada umumnya, Titi juga senang menggunakan bahasa gaul mengikuti zaman.

"Kenalin, aku Luna tante. Angkasa Arunika Aluna," jawabnya dengan sopan dan lembut

"Lah nama kalian tertukar ya?" Apa yang Luna bilang dahulu? Titi pun menyadari hal tersebut.

Jeman menyengir lebar. Dia merasa menggigil sekarang.

Setelah beberapa menit, Luna duduk di sofa sembari bercengkrama dengan Titi. Baru beberapa menit yang lalu mereka kenalan, tapi Titi dengan mudah membuat siapa saja nyaman berada bersamanya.

Luna juga tak sungkan untuk bercerita dan menjawab sedikit tentang sekolahnya. Berada di antara keluarga cemara, hanya menjadikan rasa irinya menjadi-jadi. Tapi dia senang, setidaknya setitik cahaya kasih sayang mulai muncul dalam hidupnya.

....

Kamis, 20 Juli 2023

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Niscala
299      190     14     
Short Story
Namanya Hasita. Bayi yang mirna lahirkan Bulan Mei lalu. Hasita artinya tertawa, Mirna ingin ia tumbuh menjadi anak yang bahagia meskipun tidak memiliki orang tua yang lengkap. Terima kasih, bu! Sudah memberi kekuatan mirna untuk menjadi seorang ibu. Dan maaf, karena belum bisa menjadi siswa dan anak kebanggaan ibu.
About love
1097      509     3     
Romance
Suatu waktu kalian akan mengerti apa itu cinta. Cinta bukan hanya sebuah kata, bukan sebuah ungkapan, bukan sebuah perasaan, logika, dan keinginan saja. Tapi kalian akan mengerti cinta itu sebuah perjuangan, sebuah komitmen, dan sebuah kepercayaan. Dengan cinta, kalian belajar bagaimana cinta itu adalah sebuah proses pendewasaan ketika dihadapkan dalam sebuah masalah. Dan disaat itu pulalah kali...
Temu Yang Di Tunggu (up)
16036      2826     12     
Romance
Yang satu Meragu dan yang lainnya Membutuhkan Waktu. Seolah belum ada kata Temu dalam kamus kedua insan yang semesta satukan itu. Membangun keluarga sejak dini bukan pilihan mereka, melainkan kewajiban karena rasa takut kepada sang pencipta. Mereka mulai membangun sebuah hubungan, berusaha agar dapat di anggap rumah oleh satu sama lain. Walaupun mereka tahu, jika rumah yang mereka bangun i...
Orange Haze
345      240     0     
Mystery
Raksa begitu membenci Senja. Namun, sebuah perjanjian tak tertulis menghubungkan keduanya. Semua bermula di hutan pinus saat menjelang petang. Saat itu hujan. Terdengar gelakan tawa saat riak air berhasil membasahi jas hujan keduanya. Raksa menutup mata, berharap bahwa itu hanyalah sebuah mimpi. "Mata itu, bukan milik kamu."
DarkLove 2
1143      509     5     
Romance
DarkLove 2 adalah lanjutan dari kisah cinta yang belum usai antara Clara Pamela, Rain Wijaya, dan Jaenn Wijaya. Kisah cinta yang semakin rumit, membuat para pembaca DarkLove 1 tidak sabar untuk menunggu kedatangan Novel DarkLove 2. Jika dalam DarkLove 1 Clara menjadi milik Rain, apakah pada DarkLove 2 akan tetap sama? atau akan berubah? Simak kelanjutannya disini!!!
Aku Benci Hujan
4924      1391     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...
Gue Mau Hidup Lagi
354      223     2     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?
Aku Biru dan Kamu Abu
572      325     2     
Romance
Pertemuanku dengan Abu seperti takdir. Kehadiran lelaki bersifat hangat itu benar-benar memberikan pengaruh yang besar dalam hidupku. Dia adalah teman curhat yang baik. Dia juga suka sekali membuat pipiku bersemu merah. Namun, kenapa aku tidak boleh mencintainya? Bukannya Abu juga mencintai Biru?
IDENTITAS
657      440     3     
Short Story
Sosoknya sangat kuat, positif dan merupakan tipeku. Tapi, aku tak bisa membiarkannya masuk dan mengambilku. Aku masih tidak rela menjangkaunya dan membiarkan dirinya mengendalikanku.
Redup.
426      257     0     
Romance
Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja, sebuah kehilangan cukup untuk membuat kita sadar untuk tidak menyia-nyiakan si kesayangan.