Happy Reading
03. Dia Lagi?
"Alam semesta memilih orang lemah seperti dia sebagai bahan lawakan. Sungguh tidak lucu."
Hari yang ditunggu hampir semua pelajar kini telah tiba. Sebagian orang menghabiskan hari libur mereka dengan bermalas-malasan. Namun sebagian lagi memilih untuk meninggalkan rumah lebih pagi untuk sekadar mencari kehangatan yang mereka tak rasakan di dalam rumah.
Seperti halnya dengan Luna. Cewek itu bermain-main di taman kesukaannya padahal matahari belum muncul. Taman yang tau persis latar kehidupan Luna dan bagaimana cewek itu berinteraksi pada dunia. Terpantau, cewek itu telah duduk menunggu matahari di tempat kesukaannya.
"Kalo aja Ando masih hidup, mungkin sekarang Ando lagi temenin Luna liat matahari terbit."
"Dor...."
"Eh ayam kentut." Luna menoleh pada orang yang iseng mengejutkannya di pagi buta seperti ini.
"Anjir jahil banget," bentak Luna pada manusia cap binatang di sampingnya.
"Wah lo ternyata bisa ngumpat juga?" Cowok itu memilih duduk di sebelah Luna.
"Lu ngapain di sini?" tanya cowok itu.
"Aku mau liat matahari terbit."
"Matahari doang? Lu rela bangun pagi-pagi buat liat matahari doang?"
Luna menoleh pada manusia berotak kicik di samping. "Trus kalo kamu, ngapain di sini?"
"Olahraga," jawabanya ketus.
"Lah, kamu rela bangun pagi banget hanya buat olahraga?" Luna balik membalas dengan serangannya.
"Anjirlah. Gue kalah."
Jeman. Cowok itu adalah Jeman. Taman ini merupakan taman yang seringkali dia kunjungi karena sangat dekat dengan kompleks rumahnya. Dari kecil, cowok itu tak pernah absen mengunjungi tempat ini. Banyak sekali sejarah yang dia ukir bersama tiga orang sahabatnya.
Luna dan Jeman diam sejenak. Mereka sibuk dengan isi pikiran masing-masing.
"Kak, bisa duduk di sini sebentar? Cukup sampai matahari muncul." Luna menghembuskan napas kasar sembari memohon kepada kakak kelasnya, Jeman.
"Kenapa? Lo takut?"
"Gak gitu," sangkal Luna cepat.
"Terus?" tanya Jeman kembali.
"Kalo aku terusin kamu gak bakal paham. Otakmu kan kecil."
"Ngehina banget lu, Anjir." Jeman berdiri berniat pergi. Tetapi tangan Luna berhasil membuatnya mematung di tempat. Uluran tangan cewek itu berhasil menahan Jeman. Luna ikut berdiri kemudian memandang Jeman yang tentu lebih tinggi darinya.
"Sebentar aja kak," ucapnya dengan tatapan penuh harapan.
Matahari kini memunculkan cahanya. Siapapun yang melihat akan terkesima. Warna merah bercampur jingga di awan sangat memesona. Menarik perhatian siapapun yang memandang dengan mata.
Luna memandang lukisan alam di sana. Tempat yang ia sukai ini merupakan tempat paling cocok melihat cahaya dunia terbit. Luna mendongak menyesuaikan tinggi wajahnya dengan Jeman. Entah bayangan dari mana hingga cewek itu melihat rupa Ando pada Jeman.
Luna mengucek beberapa kali matanya. Namun hasil yang dia dapat tetap sama. Di depan itu adalah Ando. Tanpa pikir panjang, gadis yang sering disapa Luna, memeluk tubuh kikuk milik Jeman.
Sungguh nyaman, sungguh hangat. Hati yang telah lama membeku kini mencair lagi. Pagi ini dia menemukan lagi detak jantungnya. Ando, pemenang hati Luna. Walaupun wujudnya sudah tidak ada namun kasih sayangnya akan terus mengalir dalam darah Luna.
Jeman tak bergerak. Tangan yang dari tadi bergerak ingin melepas dekapan cewek di depan kini turun terdiam. Ingin sekali Jeman melepas pelukan itu tetapi isi otaknya tak mengizinkan. Alsan utama Jeman hanya diam adalah ia teringat pada beberapa luka sayatan yang ada di pergelangan tangan Luna.
Luka serta sakit dapat dimengerti bagaimana besarnya oleh Jeman. Ingin sekali ia membalas pelukan itu untuk menenangkan Luna, tetapi gengsi menjadi tembok yang terlalu tinggi untuk dilampaui. Hal ini yang sangat dibenci oleh Jeman. Melihat manusia menangis di hadapannya langsung.
Tidak tau saja cowok itu kalau cewek yang ada di depannya merupakan korban dari lawakan dunia. Orang acapkali mengatakan, "jika kita gagal dalam keluarga, kita akan berhasil dalam percintaan." Tetapi nyatanya kalimat itu tidak berlaku bagi Luna. Alam semesta memilih orang lemah seperti dia sebagai bahan lawakan. Sungguh tidak lucu.
****
Tiga printilan Jeman telah tiba di depan rumahnya. Hal utama yang mereka lakukan adalah menggoda bi Jiah, asisten rumah tangga Jeman. Mereka memulai dengan kata-kata manis lalu mengakhiri dengan harapan palsu. Persis seperti buaya tak berotak.
Jeman mengeluarkan motor dari garasinya bersiap untuk berangkat ke sekolah. Sementara dari arah pintu, Titi datang dengan kotak berwarna pink bergambar princess lengkap dengan tumbler bergambar Frozen.
"Heh anak penyu, tunggu dulu!" teriaknya berhasil menghentikan Jeman.
"Ne Eomma, ape?"
"Ini ambil, jangan lupa dihabiskan ya, awas aja kalo gak habis."
"Devan, Mahen, Ade, lapor ke tante Titi cantik kalo bekalnya gak di habiskan," lanjut wanita paruh baya itu.
Ketiga cowok di sana tertawa terbahak-bahak menertawakan Jeman. Siapa cowok yang mau membawa kotak bekal apalagi dengan gambar princess diusia begitu?
Mahen membekap mulutnya dengan tangan kekarnya. "Kalo Jeman dapat, berarti kita?"
"Ya bener, kalian semua adalah anaknya Titi yang cantik. Ini untuk kalian." Baru saja Mahen katakan sudah dinotice oleh Titi ahjumma.
Titi memberikan tiga kotak bekal lainnya. Berbeda dengan Jeman, meski berwarna tetapi setidaknya mereknya adalah Tupperware. Tidak ada pula gambar princess di sisinya. Sehingga tiga orang tersebut dapat menghembuskan napas lega.
"Ya udah, Titi ahjumma, kami berangkat dulu," dalih Mahen cepat.
"Emang tante keliatan tua ya? Kok dipanggil ahjumma?" Titi memanyunkan bibir merasa kecewa.
"Eh anggak kok tante. Tante itu masih cantik, cantik banget. Patuy aja masih suka nyosor." Ade datang melerai Mahen dan Titi.
"Hacciu...." Atuy, papa Jeman datang bergabung dengan mereka. Lelaki itu bersin sebab namanya diseret-seret.
"Kalian pergi aja cepet, nanti terlambat. Patuy mau pacaran dulu sama Titi eomma." Atuy merangkul bahu Titi, menunjukkan keseriusan.
Begitulah mereka. Atuy dan Titi sangat menyayangi tiga anak asuhnya dan satu anak kaplingnya. Bukan hal yang asing bagi mereka untuk bercanda. Tidak ada lagi kecanggungan diantara orang-orang itu.
Mereka menarik gas menuju sekolah. Mereka berangkat lebih pagi agar bisa berjalan santai nanti.
Sekitar lima belas menit berkendara, keempat cowok itu sampai pada tempat tujuan. Mereka memarkir motor bersama motor lainnya. Berjalan dengan wibawa adalah ciri khasnya. Lalu pada saat di kelas, mabar adalah aktivitas utama.
Bel istirahat telah berbunyi lima menit lalu. Semua manusia berbondong-bondong menuju kantin guna mengisi kekosongan perut. Selain kenyang akan makanan, mereka juga akan kenyang dengan vitamin pencuci mata yang berfungi untuk meningkatkan semangat hidup. Hanya dengan memandang empat cowok penuh visual di depan sana. Manusia selalu kagum pada mereka. Sudah pintar, berprestasi, membanggakan, punya bakat di bidang masing-masing, ganteng pula. Kurang lengkap apalagi coba?
....
"Anak kelas sebelas ceweknya pada lucu ya?" Mahen tak ada hentinya memandang permainan basket anak kelas sebelas di lapangan.
Keempat cowok itu duduk di gazebo dekat lapangan basket. Tempat itu sudah diklaim milik mereka. Tak ada satupun siswa maupun siswi yang berani duduk di sana. Apalagi pada kursi panjang dari kayu yang ada di bawah pohon. Tempat itu adalah tempat favorit Jeman. Kalau kata Devan, "penunggu pohon itu takut sama lu Jem. Buktinya lu udah dikasih tahta buat jadi penerus penunggu pohon ini."
"Is lo ma cewek mulu," timpal Ade mendaratkan jitakan di kepala Mahen.
"Itu anak sakit ya?" Devan tiba-tiba bersuara. Menyadari satu hal menjanggal di sana. Kemudian menyadarkan sahabatnya yang lain.
"Mana dah?" tanya Jeman.
"Itu dekat ring." Devan menunjuk pada perempuan yang tampak lemah di sana.
"Eh iya. Lo liat kagak itu di baju olahraganya?" Ade juga menyadari perkataan Devan.
Melihat pemandangan itu, Jeman tak tinggal diam. Lelaki itu berdiri kemudian masuk di tengah-tengah lapangan. Kebetulan guru penjaskes sedang masuk ke dalam kantor.
"Jem kemana lo?" teriak Mahen tapi tak berniat mengejar.
Ketiga sahabat Jeman hanya memandang aksi cowok itu. Tak ada pengejaran, hanya ada kebingungan.
"Woi liat, itu kak Jeman bukan?"
Dengan penuh wibawa dan pelet ketampanan, Jeman berlari ke arah cewek yang ditemuinya kemarin. Dia perlahan melepas sweater hitamnya. Pada saat sampai, cewek yang dimaksud hanya diam menatap Jeman dengan wajah pucat tak bergairah.
"Kenapa, kak?"
Tanpa kata, Jeman mengikat sweater itu di pinggang Luna. Kesannya seperti memeluk cewek itu. Sedangkan Luna tak bergerak, terdiam panas dingin. Semua mata telah tertuju pada mereka. Ada yang melihat dengan penuh keseriusan, ada yang menganggap seperti di drakor, dan ada pula yang sirik melihatnya.
"Weh anjir, sweet banget."
"Mereka pacaran?"
"Kayak di wp-wp gak sih?"
"Dih, tu cewek aja yang kecentilan tebar pesona."
Kurang lebih seperti itu respon cewek rempong di sana.
"Kenapa?" Luna bertanya karena masih tak mengerti dengan suasana.
"Darah," jawab Jeman singkat.
Luna lantas menengok ke bawah. Benar saja di sana ada bercak darah.
"Lu kenapa pucat banget? Lo sakit?"
"Gak, kak."
"Kalo sakit gak usah ikut olahraga."
Luna menggeleng, "gak, aku gak sakit. Aku harus kejar nilai."
"Tapi lo pucat." Jeman tetap meyakinkan Luna meski cewek itu tak akan mendengarnya.
"Kesehatan gak perlu, nilai nomor satu," ucap cewek itu dengan wajah pucat.
Merasa tak ada yang ingin disampaikan lagi, Jeman berniat pergi. Namun kejadian kemarin terulang kembali. Tangan kecil Luna berhasil menarik tangan Jeman yang sudah berbalik. Cowok itu menoleh kembali dengan tatapan tanya.
"Kenapa lagi?" Jeman mengernyit bingung.
"Kak, makasi-"
Cewek itu jatuh di pelukan Jeman. Dia telah kehilangan kesadarannya. Reaksi tiga pasang mata di gazebo sangat terkejut. Mereka berdiri guna menyusul Jeman.
"Woi dia pingsan," teriak salah satu siswa di sana.
"Ya ampun, pingsannya aesthetic banget. Jatuh ke pelukan sang pangeran. Kalo gue, tanpa disuruh pun gue rela lakuinnya."
....
Rabu, 19 Juli 2023