"Hari ini pulang sendiri lagi nggak apa-apa?" tanya Reza begitu bel pulang sekolah berbunyi. "Atau mau nunggu aku beres latihan?"
Aku yang sedang merapikan barang-barang ke dalam tas menggeleng. "Pulang sendiri aja. Lagian aku harus belanja juga jadi nggak bisa pulang terlalu sore."
"Reza!" suara seorang cewek dari daun pintu.
Aku dan Reza menoleh berbarengan dan melihat Sasha berdiri di pintu. Saat kami sudah menyadari keberadaannya, Sasha berjalan mendekat. "Hari ini latihan kayak biasa, 'kan?" tanyanya dengan nada riang.
Reza mengangguk satu kali. "Iya."
"Ya udah aku istirahat dulu ya. Mau nitip sesuatu, nggak?"
"Enggak. Makasih." jawab Reza datar.
Begitu Sasha pergi, aku menepuk pelan lengannya. "Ketus banget sih jadi orang. Nanti Sasha ngambek gimana?"
"Kenapa harus ngambek?" tanya Reza bingung.
Aku menggerutu. "Ya, nggak tahu. Siapa tahu aja dia ngambek karena kamu ketus sama dia. Terus karena liat kamu bareng aku."
"Lah! Hak aku dong?! Memangnya dia siapa aku?" protes Reza mengomel.
Calon pacar mungkin? batinku bergumam. Tapi aku memilih diam dan tidak menjawab. Setelah barang-barangku rapi di dalam tas, aku berjalan keluar kelas diikuti oleh Reza.
"Ya udah kamu sok istirahat sana. Nggak ganti baju?"
"Mau anterin kamu dulu ke gerbang."
Aku mencibir. "Nggak akan nyasar kali! Udah ah sana! Nanti aku dimarahin temen-temen kamu. Dikiranya aku yang nahan-nahan kamu di sini." ujarku mendorong pelan Reza agar menjauh dariku.
Reza menggerutu sambil menahan lenganku. "Ih, kok nggak mau banget deket sama aku? Takut ada yang marah ya?"
Jantungku seakan berhenti berdetak.
Tidak ada yang marah tentu saja. Aku tidak ada hubungan dengan siapapun. Reza juga teman dan tetanggaku. Wajar kalau kami lebih dekat daripada hubunganku dengan teman-teman yang lain. Tapi kepalaku langsung memunculkan wajah Ale dan kalimatnya kemarin.
Kalau Reza pacar kamu, berarti aku juga bakal rebutan cewek sama anak Taruna.
Apa maksudnya dia memberitahu perasaannya padaku? Ah, nggak mungkin sih! Mungkin memang Ale cuma iseng aja menjahiliku. Tapi kalau iya...?
"Za! Hayu atuh ulah bobogohan wae!" seru Beni dari lapang.
"Tuh, sana! Udah dipanggil Beni tuh!" perintahku pada Reza.
Akhirnya Reza menurut dan meninggalkanku untuk menghampiri teman-temannya. Teman satu timnya sudah berkumpul dan melakukan pemanasan di lapang.
"Kabarin aku kalau ada apa-apa ya!" seru Reza sebelum berjalan menjauh.
Aku mengangguk sambil mengacungkan jempol. Setelah Reza berkumpul dengan teman-temannya, aku berjalan menuju gerbang utama. Begitu aku mengambil ponsel untuk memesan ojol, ternyata sudah ada notifikasi pesan dari Ale.
Ale: pulang sama siapa? aku di deket sekolah kamu nih
Lah? Kok berani-beraninya anak Bina Bakti ada di sekitaran SMA Taruna?
Saat aku hendak menjawab pesannya, tiba-tiba Ale menghubungiku.
"Halo?" sapaku.
"Ayo naik!"
"Kamu di mana?" tanyaku kebingungan. Aku celingak-celinguk mencari keberadaan Ale.
"Liatnya lurus ke depan. Aku di jalan dekat pertigaan."
Begitu aku mengikuti arahan Ale, aku bisa melihat sosok pria dengan motor besar di ujung jalan. Samar-samar aku bisa melihat motif seragamnya yang tidak tertutup jaket. Ale lalu melambaikan tangannya padaku.
Aku berjalan ke arahnya sambil waspada. Entah mengapa aku takut ada orang yang menyadari kalau ada anak Bina Bakti bersamaku. Meski aku tidak tahu bagaimana interaksi para cowok dua sekolah itu jika di luar, tapi aku tidak mau ambil risiko. Aku tidak mau membuat runyam hubungan antar sekolah yang memang sudah buruk.
"Kok ada di sini?" tanyaku begitu sampai di hadapan Ale.
"Sengaja. Mau pulang bareng kamu." jawab Ale dengan senyum simpul. Hal itu membuat jantungku sukses berdetak dua kali lebih cepat.
"Aku mau ke pasar dulu beli pesanan Ibu. Jadi mau naik ojol aja." ujarku.
Ale langsung saja mencegahku. "Terus ngapain aku ke sini kalau kamu naik ojol? Aku anterin 'kan bisa."
Ragu, aku menjawab. "Yakin mau anter aku ke pasar?"
"Anterin kamu ke Jogja juga aku mah hayu."
"Gombal banget!" cibirku sambil menahan diri untuk tidak tersipu.
Ale terkekeh. Ia kemudian memberikan helm padaku. "Nih, ayo naik. Takut keburu macet."
Tidak sampai dua puluh menit, kami sampai di pasar terdekat dari sekolahku. Aku menyuruh Ale menunggu di supermarket atau kedai kopi terdekat sementara aku belanja. Tapi cowok itu bersikeras untuk ikut ke dalam pasar denganku.
"Panas, Ale. Sempit lagi lorong-lorongnya. Badan kamu 'kan tinggi." sergahku.
"Udah, ah ayo! Lagian ke pasar doang mah aku juga sering." kilah Ale malah menarik tanganku untuk masuk ke dalam pasar.
Akhirnya aku pasrah saja mengikuti keinginannya. Meski cukup deg-degan dan kikuk karena harus berbelanja dengan Ale, tapi cowok itu malah seakan menikmati berdesakan di pasar. Memang sih keadaan pasar tidak begitu ramai. Tapi tubuhnya yang tinggi besar terlihat tidak leluasa bergerak di lorong-lorong pasar yang sempit. Belum lagi beberapa kali aku melihat kepalanya menabrak barang-barangnya yang digantung.
"Hati-hati!" kekehku melihat Ale lagi-lagi terbentur.
"Siapa yang ngegantung pisang di sini sih?!" gerutunya sambil mengusap kepala.
"Sakit, nggak?" tanyaku. Otomatis tanganku memegang keningnya. Bagian kening Ale berubah kemerahan.
Ale malah tersenyum lebar. "Langsung sembuh soalnya udah dipegang sama kamu."
"Hih!" omelku langsung melepaskan tanganku dari keningnya. "Udah ah. Yuk pulang."
Langsung saja Ale membawakan kantung belanjaan yang sebenarnya bisa aku bawa sendiri dan mempersilakanku untuk berjalan duluan. "Mau makan dulu, nggak? Atau beli sesuatu buat di rumah?" tanyanya saat kami berjalan menuju parkiran.
Aku menggeleng. "Ibu pasti masak di rumah. Kamu mau beli sesuatu?"
"Aku pengen beli martabak, sih. Tapi jam segini kayaknya belum pada buka deh." gumam Ale.
Melirik jam tangan, aku mengangguk. Kalau tukang martabak sih baru buka sekitar satu atau dua jam lagi. "Ganti apa, dong?"
Berpikir sejenak, Ale kemudian menjawab. "Temenin aku beli Mekdi aja gimana? Yang deket-deket sini aja sambil jalan ke arah rumahmu."
"Ya udah. Tapi take away aja ya? Aku takut Ibu nunggu." sahutku.
"Siap, komandan." seru Ale sambil memberikan helm padaku.
Perjalanan menuju rumahku mulai padat karena sudah masuk jam pulang kerja. Setelah membeli McDonald lewat drive-thru, kami bergegas kembali menyusuri jalan karena Ibu sudah meneleponku. Tak kusangka, Ale mengendarai motornya lebih cepat dari sebelumnya.
"Ale! Jangan nyalip-nyalip ih!" jeritku memegang erat-erat jaketnya. Aku tidak berani memegang pinggangnya, apalagi sampai memeluknya.
"Makanya pegangan yang bener!" seru Ale di balik helm full face-nya.
Pegangan ke mana lagi? Batinku bertanya dengan panik.
Saat sedang bingung di jok belakang, tiba-tiba Ale menyalip sebuah truk besar dengan kecepatan tinggi. Sontak aku segera memeluk pinggangnya dan memejamkan mata. Hawa panas dan suara mesin truk seketika mengenai wajahku.
"Ya ampun! Ale! Aku masih mau lulus SMA!" omelku masih memejamkan mata.
Kudengar tawa Ale yang terbawa angin. "Tenang aja! Aman kok sama aku. Asal kamu pegangannya kayak gini."
Kupukul bahunya pelan. "Dasar cowok! Ada aja akalnya!"
"Aku ngebut lagi nih?" ancam Ale yang aku tahu hanya menggertak.
"Kamu pembalap ya? Jangan-jangan anak geng motor?" tanyaku.
Belum sempat kudengar jawabannya, Ale sudah siap untuk menyalip lagi kendaraan di depan. Otomatis aku kembali memeluk pinggangnya lebih erat. Kuharap Ale tidak mendegar detak jantungku yang kini berdetak dua kali lebih cepat. Pertama, karena adrenalin dari kebut-kebutan di jalan. Kedua, karena aroma parfum Ale yang memenuhi hidungku saat aku memegang erat padanya entah mengapa membuatku tiba-tiba menjadi gugup dan deg-degan.***