Hampir pukul lima, aku pamitan kepada Sandra dan Kang Umar. Aku juga berkata akan bergabung dengan ekstrakulikuler teater. Sandra lalu menyerahkan formulir padaku sebelum aku berjalan ke luar ruangan.
Tadinya aku ingin menghampiri Reza di lapangan, tapi aku urungkan karena Ibu menyuruhku membeli beberapa bahan untuk pesanan nasi boks. Ibu sudah mengirim uangnya ke rekeningku beserta ongkos ke supermarket. Tadinya aku menawari diri untuk pergi ke pasar. Tapi Ibu bilang langganan Ibu di pasar tidak buka sampai sore. Lagipula barang yang dibeli tidak banyak dan harganya tidak jauh antara pasar dan supermarket.
Setelah mengirim pesan kepada Reza, aku berjalan menuju jalan besar. Aku urungkan niatku memesan ojek online dan menunggu angkot. Lebih baik uangnya aku simpan atau kuberikan pada Ibu.
Tidak lama ada angkot yang menghampiri. Aku segera naik. Sialnya jalanan sangat padat dan butuh waktu lebih lama menuju ke supermarket. Pasti karena bertepatan dengan jam pulang kerja.
Jarak yang harusnya ditempuh selama sepuluh menit menjadi dua kali lipat. Aku mengirim pesan ke Ibu bahwa akan pulang terlambat karena jalanan macet. Akhirnya aku berniat untuk naik ojek online saja dari supermarket karena jaraknya tidak begitu jauh ke rumah.
Begitu masuk ke supermarket, aku segera menuju ke rak-rak tempat bahan belanjaan yang ditulis Ibu. Setelah membayar dan mengambil kembalian, aku keluar dari supermarket dan berniat memesan ojek online. Saat itu juga aku melihat Reza dengan kumpulan anak-anak SMA Taruna lainnya di sebrang jalan, termasuk ketiga teman Reza. Aku menaruh ponsel kembali ke saku dan menyebrang.
"Za?" tanyaku. Reza segera melihatku, dan raut wajahnya berubah kaget.
"Kok kamu masih di sini? Kirain udah pulang." tanya Reza.
"Aku habis belanja," jawabku sambil memperlihatkan kantung plastik ke Reza. "Kamu mau ke mana?"
Aku bisa merasakan semua mata cowok-cowok itu memperhatikanku. Beni, Dika dan Mansyur juga melihat ke arahku dengan raut wajah panik. Saat itu aku merasa ada yang tidak beres.
"Mau jenguk Ilham, Win. Anak IPA 4. Dia katanya kecelakaan," Beni menjawab pertanyaanku. Tapi aku masih merasa curiga.
"Oh," sahutku. "Ya udah aku pulang duluan ya." Aku memilih tidak memperjelas kecurigaanku. Apa pun yang akan mereka lakukan, sebaiknya aku tidak usah ikut campur. Lagipula aku masih harus mengantarkan belanjaan kepada Ibu. Bisa-bisa pesanan nasi boks Ibu keteteran kalau aku berlama-lama di sini.
"Aku anter aja," Reza memberikan helm padaku.
Aku menggeleng, "Nggak usah. Kan kamu ada keperluan lain. Nanti aja abis dari rumah Ilham kamu mampir dulu ke rumah. Pasti Ibu nyiapin makanan buat kamu," ujarku.
Orangtua Reza sudah bercerai beberapa tahun lalu. Adik perempuan Reza tinggal bersama ibunya di luar kota, sedangkan Reza bersama ayahnya. Ayah Reza suka bekerja hingga larut malam bahkan kadang tidak pulang sama sekali. Mengetahui itu, ibuku selalu mengajak Reza untuk makan atau untuk menginap. Karena itu aku sudah menganggap Reza seperti saudaraku sendiri. Begitu juga Ibu yang kadang lebih perhatian pada Reza. Kata Ibu sih karena Reza selalu sendirian di rumahnya tanpa orangtua. Makanya supaya dia tidak kesepian, Ibu jadi lebih sering memperhatikan dia.
Aku berbalik dan hendak menyebrang jalan, tapi aku merasakan tangan Reza menarik tanganku. "Ayo, aku pulang aja. Ngebayangin masakan ibu kamu tiba-tiba aku jadi laper."
Sebelum mengambil motornya, aku melihat Reza berbicara sesuatu kepada teman-temannya. Dari tempatku berdiri, aku melihat ekspresi wajah teman-temannya berubah kecewa. Setelah bersalaman dengan teman-temannya, Reza menyalakan motornya dan menghampiriku.
"Let's gooo,"
"Hati-hati, Jendral!" seorang temannya berteriak saat kami meninggalkan mereka.
"Jendral?" tanyaku.
"Biasa, anak-anak suka bercanda."
Aku mengulum senyum. Tapi aku tidak terbiasa menyembunyikan apa pun dari Reza. Mumpung hanya berdua. Akhirnya aku memberanikan diri bertanya, "Kamu mau tawuran ya?"
Tidak ada jawaban dari Reza. Ia bergeming sambil terus melihat ke jalanan di depannya.
"Bilang aja, sih. Aku nggak akan marahin kamu. Emangnya aku Pak Surya."
Bahu Reza naik lalu turun. Ia lalu berkata, "Nggak, kok. Aku cuma mau ketemu anak Bina Bakti aja."
Aku tahu kalau sekolah kami dan SMA Bina Bakti adalah musuh bebuyutan dari generasi ke generasi.
"Tawuran, dong?"
"Enggak, Winda." protesnya. "Cuma ngobrol aja. Lagipula harusnya cuma aku yang ketemu sama salah satu orang di sana."
"Oh, pertemuan antar pentolan gitu, ya?" ejekku sambil tertawa ringan. “Jangan-jangan pertemuan antar jenderal?”
Reza diam.
"Ada lagi yang harus aku tahu nggak selain kamu itu populer, pentolan sekolah dan punya peran penting di antara anak-anak cowok? Kamu jendralnya lho!"
Reza berkilah, "Udah ah apa sih jendral-jendral, nggak ada kok. Lagipula aku juga nggak mau jadi yang kayak begitu."
Tapi aku masih tetap ingin tahu banyak tentang Reza. Biarpun hampir setiap hari aku menghabiskan waktu dengannya entah itu di rumah atau di sekolah, banyak hal yang Reza tutupi. Reza seperti dua orang yang berbeda saat denganku dan dengan teman-temannya.
"Setahu aku kalau cowok punya pangkat tinggi di sekolah berati jago berantem. Ala-ala bad boy gitu, deh!" cibirku.
"Aku turunin, nih?!" ancam Reza. "Jangan dibahas ah udah."
"Nggak, aku masih mau tau cerita kamu. Reza si bad boy, Jendral SMA Taruna,"
Tanpa kuduga Reza memutar pedal gas dan membuatku secara tiba-tiba terbawa ke belakang lalu dengan refleks memeluknya erat. "Reza! Bercandanya nggak lucu ah!"
"Kamu, tuh yang nggak mau diem," timpal Reza diiringi tawa.
***
"Kok lama banget, Win?" Ibu langsung melontarkan pertanyaan ketika aku membuka pintu. Ibu pasti panik karena tidak bisa melanjutkan memasak untuk pesanan besok.
"Maaf, Bu. Macet banget, banget, banget." ujarku menaruh kantong belanjaan ke meja panjang di dapur. "Untung ketemu Reza di jalan."
"Iya, bu tadi juga ngebut di jalannya. Nggak sabar mau makan masakan Ibu," ujar Reza sambil cengengesan.
Ibu yang kembali sumringah mendengar kalimat Reza langsung membawa kami ke meja makan. Di sana sudah tersedia nasi hangat beserta lauk pauknya. Tidak mewah memang, tapi air liurku sudah menetes membayangkan rasanya.
"Sok, pada makan. Habis itu Winda bantuin ibu ya,"
Aku dan Reza dengan lahap menghabiskan makanan kami. Reza bahkan sudah dua kali menyiuk nasi dan lauknya. Bukan hal aneh juga karena porsi makannya seperti kuda yang kelaparan.
"Memangnya siapa yang pesen, bu? Banyak banget kayaknya." ujarku setelah selesai makan dan membawa piring ke dapur untuk dicuci.
Sambil mengaduk-aduk ayam yang sedang diungkep di atas kompor, Ibu menjawab, "Teh Ratna yang rumahnya di blok sebelah. Kantornya ada acara. Pesen konsumsinya ke Ibu. Lumayan sampai 100 boks."
Selesai membersihkan piring, aku berganti baju lalu bergabung di dapur bersama Ibu. Di ruang tengah aku melihat Reza yang sudah tertidur di karpet masih dengan mengenakan seragamnya. Kancing kemeja putihnya sudah dibuka dan memperlihatkan kaus berwarna hitam sebagai dalaman. Dia pasti kelelahan habis latihan futsal. Bahkan aku bisa mendengar dengkur halusnya. Sambil berjalan aku memberikannya bantal dari sofa.
Di dapur, aku mengambil sayuran untuk aku bersihkan dan aku potong-potong sebagai lalap. Setelahnya aku memotong tempe dan tahu. Tidak terasa waktu sudah hampir pukul sembilan. Tak lama Ayah pulang dan disusul dengan suara Reza yang entah sejak kapan sudah terbangun.
"Za, kamu punya SIM A, kan?" tanya Ayah pada Reza sambil berjalan ke dapur. Aku mencium tangan Ayah, disusul oleh Ibu.
Reza ikut menghampiri ke dapur. "Punya, Om. Kenapa?"
"Besok kan kalian libur, tolong anter pesanannya Teh Ratna ya ke kantornya. Terus Om mau pinjem motor kamu. Om ada perlu ke beberapa tempat, banyak makan waktu kalau pakai mobil,"
"Boleh, Om," jawab Reza. "Nanti motornya aku simpen di sini aja."
"Kamu sekalian nginep di sini aja. Temenin Om tuh nonton bola." ujar Ibu.
Aku menyela, "Jangan ah, bu. Ayah sama Reza kalau udah barengan kayak lagi nobar satu RT. Berisik."
Aku kira Reza akan memprotesku karena melarangnya, tapi ternyata dia malah berpamitan. Setelah mencium tangan Ayah dan Ibu, Reza menghampiriku.
"Bangunin aku ya kalau sampe siang belum ada kabar." bisiknya. Aku tahu Reza pasti sudah berniat begadang.
"Aku siram pake air satu ember kalau kamu susah bangun juga," ujarku.
"Oke," tungkasnya lalu berjalan menuju pintu keluar sambil menyampirkan seragam dan tasnya di pundak.
***
Hampir pukul sebelas siang, Reza berjalan terburu-buru ke rumahku. Motornya sudah sejak pagi dibawa Ayah. Baru saja aku berniat mendatangi rumahnya karena aku duga pasti ia masih tidur.
Rambut Reza acak-acakan dan masih basah. Pasti dia baru bangun dan panik. Ibu memang menjanjikan pesanannya sampai pukul dua belas saat istirahat makan siang.
"Ayo berangkat sekarang." ajak Reza. Ia lalu masuk ke dalam rumah dan menaikan boks-boks berisi makan siang pesanan Teh Ratna ke mobil.
Mobil Ayah adalah satu-satunya kendaraan tersisa milik keluarga kami. Sebelumnya Ayah juga punya satu motor, tapi dijualnya sebelum kami pindah ke Bandung. Ibu melarang Ayah menjual mobil karena selain Ibu membutuhkannya untuk usaha katering, Ibu juga tidak mau Ayah sering angin-anginan di motor.
Selesai boks dimasukan ke mobil, aku duduk di kursi depan dan Reza langsung menyalakan mesin. Aku berharap kami tidak akan terjebak kemacetan akhir pekan Bandung yang sudah pasti membuat kesal semua orang.
"Acak-acakan banget itu rambut, ih!" protesku melihat rambut Reza yang terlihat semakin kusut saat hampir kering. Rambut Reza memang sedikit ikal dan akan terlihat berantakan kalau tidak disisir.
Reza membawa jari-jarinya untuk menyisir rambut sambil berkaca lewat spion. "Kamu kenapa nggak bangunin dari pagi, sih?"
Aku merengut. "Kamu aja yang kebluk. Nggak liat itu berapa kali aku telfon?"
Seperti dugaanku, jalanan sudah padat. Hampir pukul setengah satu akhirnya kami sampai di kantor Teh Ratna yang berada di daerah Buah Batu. Teh Ratna sudah menunggu di lobi kantor. Ia langsung menghampiri saat melihatku membawa kresek besar berisi nasi boks.
"Maaf ya, Teh jadi telat." ucapku merasa tidak enak.
Teh Ratna menyuruh beberapa pegawai kebersihan membawakan kresek nasi boks. "Nggak apa-apa, Win. Teteh juga baru nunggu sebentar, kok."
Setelah semua boks diturunkan dari mobil, Teh Ratna memberikan amplop sisa pembayaran makanan. Lalu tanpa kuduga ia juga memberikan uang pecahan lima puluh ribu padaku.
Aku menerima dengan bingung, "Ini buat apa, Teh?"
Sambil tersenyum Teh Ratna berkata, "Itu buat kamu jajan." setelahnya Teh Ratna pamit kembali ke lantai atas.
Aku menghampiri Reza yang menunggu di pintu masuk. Dengan senyum lebar aku berkata, "Makan, yuk, Za? Aku baru dikasih uang sama Teh Ratna. Lumayan bisa makan cuangki atau mi kocok. Tapi kamu bayarin minum."
Reza menolak dan malah menawarkan hal lain. "Kita nonton aja yuk?"
Aku terdiam. Mana cukup lima puluh ribu untuk nonton berdua. Sepertinya Reza mengerti kebingunganku. Ia menyuruhku masuk ke mobil dan berkata, "Tenang aja kali, aku yang bayarin."
Tanpa banyak menyela, aku menurut. Aku sudah pernah menghadapi Reza yang malah lebih marah kalau aku menolak ditraktir. Reza beralasan kalau yang ia lakukan hanya karena ia bisa dan nggak mau melihat aku harus berpikir dua kali setiap ingin membeli sesuatu.
"Selama ada aku, kamu nggak usah banyak mikirin ini-itu," selalu alasan Reza. "Anggap aja aku membalas kebaikan keluarga kamu."
Kami menuju ke sebuah mall terdekat di kawasan Jalan Gatot Subroto. Mall ini sangat besar karena terhubung dengan hotel mewah dan taman hiburan indoor. Sama seperti kebanyakan mall di Jakarta, di akhir pekan semua mall menjadi ramai pengunjung.
"Mau nonton aja apa mau naik roller coaster?" tanya Reza.
Aku langsung menjawab, "Nonton aja. Naik roller coaster pasti ngatri, belum lagi pasti banyak orang,"
Reza tertawa, "Lagian weekend gini mahal tiketnya,"
“Itu juga," tambahku.
Di luar dugaanku, antrian tiket dalam bioskop tidak begitu ramai. Padahal aku sudah berniat membeli lewat aplikasi. Tapi karena tidak begitu ramai, Reza memutuskan untuk mengantri sedangkan aku berjalan ke deretan kursi di pojok ruangan.
Tidak sampai lima menit Reza sudah berada di antrian paling depan. Aku mengecek ponsel dan mengirim laporan pesanan ke Ibu. Lalu aku mengecek lagi amplop yang tadi diberikan Teh Ratna dan memasukannya lebih dalam ke bagian tersembunyi di tas. Aku khawatir amplop itu jatuh atau diambil orang.
Reza menghampiriku dan memberikan satu lembar kertas kuning yang terbagi menjadi dua tiket. Ia lalu menunjuk ke arah kiri dan berkata "Aku ke toilet dulu," ujarnya. Aku mengangguk dan kembali menunggunya.
Aku mengecek film-film yang sedang tayang dan yang akan tayang dari poster di dinding. Reza sendiri membeli tiket untuk film aksi yang tidak aku ketahui. Aku hanya mengenal beberapa pemainnya. Aku memang tidak begitu mengikuti film dan hanya menonton film drama atau romance.
Saat sedang melihat-lihat poster film, seseorang menepuk pundakku. Aku berbalik dan melihat seorang laki-laki tinggi sudah berdiri di hadapanku. Dengan senyum tersimpul, ia berkata, "Hai, maaf ganggu. Boleh pinjem handphonenya buat telfon handphoneku, nggak? Punyaku kayaknya ilang,"
***