Inilah urusan hati? Aku terhempas ke jurang yang teramat dalam. Aku bahkan lupa jalan pulang ke rumah. Aku menatap bayangan Rudi dari balik kaca mobil. Mobil Rudi berlalu meninggalkanku, aku masih belum menghidupkan mesin kendaraan roda empat itu.
Ini keputusan terberat untukku. Aku belum pernah, aku tidak pernah, menjalin hubungan dengan laki-laki manapun. Karena suatu kebiasaan, yang berhubungan dengan keegoan masyarakat hubunganku dengan Rudi jadi terhalang. Ibu dan Bang Muis mempertahankan mahar 25 mayam karena kedudukan keluarga kami, dan kedudukanku sebagai perempuan terhormat.
“Ibu memutuskan keputusan terbaik untukmu,” masih teringat ucapan Ibu semalam. “Tidak mudah laki-laki mendapatkan gadis dari rumah ini!”
Ya. Tidak mudah laki-laki mendapatkan gadis perawan di tanah Aceh. Semua merunut pada peraturan yang ada, mahar. Orang lain mudah saja menikah dengan mahar rendah.
“Karena mereka bukan keluarga terpandang!”
Orang lain tidak mendapatkan sandungan saat dilamar.
“Karena mereka tidak sama sepertimu!”
Aku mengerti maksud Ibu.
Kustarter mobil dalam pandangan kabur menghadap jalan. Jalan hidupku tidak akan semudah jalan kendaraan roda empat ini membawa pulang ragaku kembali ke wajah orang terkasih di rumah. Mereka memutuskan yang terbaik untukku. Aku pun memutuskan yang terbaik bagi mereka.
Rudi, terbaik untukku, tetapi aku tidak akan dapat menjangkaunya dalam waktu tak tentu.
Mobilku melaju kencang sekali. Tidak seperti biasa aku menancap pedal gas sekencang ini. Aku ingin meluapkan perasaan pada asa yang tidak akan pernah dapat kuraih lagi. Kehidupanku tidak berada dalam dongeng pengantar tidur, ada pangeran penyelamat datang membawa sekarung emas lalu kuberikan kepada Rudi untuk melamarku.
Mobilku melaju di jalan dua ruas Kota Pesisir Barat. Masih dalam posisi kencang. Kiri kanan sudah tampak sepi. Sayup-sayup aku mendengar azan magrib dari penjuru tanah kelahiranku. Sahut-sahutan memanggil jamaah menunaikan tiga rakaat sebelum hari ini berakhir dan malam membawa segenap lelah ke peraduan.
Kalau tahu begini, kenapa aku tidak memaksa Rudi kawin lari. Tetapi kami, hidup dalam kehidupan beradab. Ini menyangkut harga diri!
Kawin lari memang tidak membutuhkan mahar, kami akan mendapatkan perlakuan rendah dari masyarakat sampai anak keturunan. Jika demikian, aku sangat egoistis. Tidak ada gunanya pendidikan tinggi, tidak ada gunanya gelar dosen, hilang sudah bangga dari adat-istiadat.
Hari sudah semakin remang, dari spion dapat kulihat sebuah mobil membuntutiku. Aku kenal mobil itu.
Karena dia, juga tidak bisa melepasku!
***