Keputusan yang akan kuhadapi ini lebih menegangkan dibandingkan dengan keputusan kelulusan pascasarjana di depan para professor kampus terkemuka Amerika. Aku yakin akan lulus karena sudah mempelajari segala teori yang berkenaan dengan bidang ilmu yang menjadi fokus pembelajaran selama perkuliahan.
Aku sudah mendiskusikan hasil tugas akhir dengan banyak teman dari berbagai negara. Aku pun membuat penelitian terhadap tugas akhir dengan sebenarnya sampai mewawancara pihak penyelenggara pendidikan setempat. Tugas akhirku waktu itu mengangkat tema pendidikan multikultur. Aku memberikan pertanyaan kepada beberapa kalangan dari berbagai ras di salah satu pendidikan dasar terkemuka. Rasanya benar-benar lebih gampang sekali.
Mahar? Pernikahan? Laki-laki? Adalah segelintir masalah kehidupan yang berbeda teori. Aku memiliki pandangan bersilangan dengan masyarakat marjinal maupun masyarakat modern lainnya. Masing-masing punya teori tersendiri dalam menilai suatu pernikahan dan sosok laki-laki idaman. Teori ini tidak diatur dalam satu buku khusus sehingga mudah dipahami dan dipelajari maupun dijelaskan kepada orang banyak.
Seorang temanku, Mellani, dari Texas, sudah tinggal bersama kekasihnya tanpa ikatan pernikahan semenjak lulus sekolah menengah. Hal itu menjadi biasa di lingkungan barat, berbeda dengan kehidupan kami di Aceh. Pacar Mellani, entah siapa namanya, bekerja di salah satu perusahaan besar, memiliki banyak selingkuhan, tetapi tetap kembali ke rumah begitu malam menjemput. Tanpa ikatan pernikahan sehingga kedudukan Mellani terkatung-katung. Mellani sanggup menjalani kehidupannya karena tuntunan ekonomi dan juga kebutuhan biologis. Soal rasa?
“Aku mencintainya!”
Dan aku sangat tidak paham makna cinta yang keluar dari mulut Mellani.
Hanya budaya timur juga yang mengenal istilah mahar dalam pernikahan, tepatnya dalam ajaran Islam. Kami menerima pinangan dari seorang laki-laki setelah membawa mahar sesuai kesepakatan.
Cuma sekali hatiku dekat secara mendalam dengan seorang laki-laki. Aku tidak memasukkan Haikal ke dalam kategori masalah yang berhubungan dengan hati. Selama ini aku belum pernah sekalipun mendapatkan perasaan nyaman berada bersama Haikal.
Perhatian Rudi berbeda, seperti yang sudah kukatakan berkali-kali, namun Rudi mampu menghipnotisku masuk ke dalam lingkaran cinta yang diagung-agungkan semua manusia. Beginilah rasanya jatuh cinta, dekat dengannya aku merona bahagia, jauh dengannya aku sengsara.
Aku tidak mendapatkan jawaban yang jelas dari Bang Mul. Aku butuh kejelasan hubungan kami yang sangat membuat lara hatiku. Aku belum pernah pacaran sebelumnya, wajar saja aku tidak siap menerima putusan menyakitkan dalam hidupku.
Putus sambung dalam hubungan cinta sudah biasa bagi Dara, tidak bagiku. Dara, bahkan sudah mengganti plat mobil penjemput di depan rumahnya sebelum aku mengetahui isi hati Rudi dalam hati sebenarnya. Cinta Dara hampir tidak jauh berbeda dengan cinta dalam definisi Mellani. Perbedaannya, kehidupan kami tidak membenarkan pasangan belum menikah tinggal satu atap.
Permintaan Dara padaku untuk melepas Haikal bagai angin lalu. Haikal tetap pada aktivitasnya. Dara tetap teguh mencari laki-laki yang benar-benar mampu mencukupi kebutuhan materialnya. Dara seperti tidak puas mendapatkan laki-laki yang sudah masuk ke dalam pilihan tepat.
Rata-rata laki-laki yang menjemput Dara di rumahnya memiliki wajah tampan dan mengendarai kendaraan roda empat. Sudah sejak lama aku tidak mendapatkan laki-laki penjemput Dara memarkirkan kendaraan roda dua di depan rumah mereka.
“Ini pacar baru Dara,” Mak Sari selalu menggebu-gebu memperkenalkan laki-laki yang menunggu Dara di depan rumahnya. Suara Mak Sari melengking ke langit ke tujuh. Tak lain supaya aku mendengar, dan menyindirku, kamu tida laku-laku!
Mak Sari sangat bangga dengan prestasi Dara menggaet laki-laki mapan semaunya. Seandainya Mak Sari tahu, melihat, bahkan mendengar, Rudi datang menjemputku menuju pelaminan, entah apa sudut pandang penayangan live drama seri versi Mak Sari di Kampung Pesisir.
Aku harap, Mak Sari maupun Dara, dan semua orang Kampung Pesisir, tidak mengetahui status hubunganku dengan Rudi.
Oh, tidak mungkin, Haikal, laki-laki itu mengetahuinya!
***
“Saya belum mampu memenuhi syarat mahar keluargamu,” Rudi duduk di hadapanku dengan tatapan sulit kuartikan. Angin semilir menyentuh pengharapanku akan kabar baik. Bibir pantai dekat Pelabuhan Karang berubah menjadi sangat panas sekali. Kami duduk di sebuah café lesehan di dekat pantai menjelang matahari terbenam. Sayangnya, hari ini matahari tampak lesu sekali.
Aku menangkap sinyal tidak baik dari ucapan Rudi.
“Saya tidak menikah dengan mahar, saya menikah denganmu!” lugas sekali pernyataan Rudi.
Aku belum mampu berkata-kata. Aku tidak tahu harus berkata apa. Ungkapan perasaan perihal cinta tidak pernah kudengar dari omongan kami. Mengeluarkan kalimat terakhir, seakan-akan Rudi menegaskan begitu perih rasa yang diemban selama ini.
“Menikah untuk menyambung silaturahmi antara dua keluarga, menikah untuk kebahagiaan, untuk melahirkan generasi penerus bangsa. Menikah bukan dilaksanakan dengan riya dan membuang banyak harta. Saya menikah, artinya, saya mampu menghidupi dua nyawa dalam kehidupan saya, dan mampu membiayai hidup anak-anak saya jika mereka lahir.”
Angin menerpa wajahnya dengan perih sekali.
“Jika saya memberiku mahar 25 mayam saat ini, bagaimana kehidupan kita setelah itu? Saya bisa berusaha, tetapi saya tidak tahu takdir yang akan menimpa saya setelah kita menikah. Hidup mati, sehat sakit bukanlah saya yang torehkan dalam tinta emas sehingga bisa saya ambil kembali suatu saat jika dibutuhkan. Mahar 25 mayam tidaklah cukup dalam pernikahan kita, urusan adat yang lain mengikuti, juga akan mengeluarkan biaya besar.”
Aku tergugu.
“Saya punya kerabat. Kamu punya kerabat. Keluarga saya punya kerabat. Keluarga kamu pun punya kerabat. Kamu anak bungsu, satu-satunya perempuan. Saya anak sulung, tanggung jawab keluarga sepenuhnya kepada saya setelah Ayah tiada. Saya tidak mungkin mengadakan pesta peresmian pernikahan hanya mengundang orang kampung saja dan lauk ikan asin!”
Rudi meneguk air kelapa muda tanpa menoleh ke arahku. Mataku sudah sangat pedih dan terbinar-binar. Antara haru dan bahagia mendengar ucapan Rudi. Seandainya keluarga saya mendengar, barangkali hanya Bang Mul atau Bang Mus yang mau menelusuri lebih bijaksana pendapat Rudi. Ibu dan Bang Muis, aku hanya bisa menjamin sampai takaran empat puluh persen ke bawah.
Ibu dan Bang Muis sama-sama akan mempertahankan pendapat mereka. Memang, Bang Mul paling dekat dengan Ibu, tetapi Bang Muis paling dominan memakan habis tabiat Ibu. Ibu memilih, kami tidak bisa lagi menolak, Bang Mul sekalipun. Ibu selalu mendengar ucapan Bang Mul, tetapi Ibu tidak bisa diubah pendiriannya.
“Apa yang akan kita lakukan?” tanyaku putus asa.
“Jalani saja sebagaimana mestinya, kita sudah memiliki jodoh masing-masing. Orang baik akan mendapatkan jodoh yang baik. Kamu akan mendapatkan jodoh sepantasnya,”
“Ayo kita ke rumah!” paksaku.
“Saya bukan orang yang melanggar aturan. Saya berhak menolak karena saya tidak sanggup. Saya tidak mau menyakiti hati seorang Ibu karena saya juga memiliki Ibu. Saya tidak mau mendengar cemoohan orang lain karena saya hidup dalam lingkungan masyarakat,”
“Aku ingin bersamamu,”
“Saya juga ingin, tapi bukan dengan cara di luar kesanggupan kita!”
Benar. Rudi mencintaiku!
Tubuhku seperti menggigil. Matahari sudah mencapai batas terbawahnya hari ini. Kami tidak menemukan pemandangan memukau karena mendung menyelimuti warna orange pusat tata surya tersebut.
***