Sejak awal perkenalan kami, Rudi sudah membulatkan tekad untuk menjalin hubungan serius bersamaku. Hubungan yang kami bangun melahirkan kekaguman dari diriku kepada Rudi. Sifat Rudi selalu saja lebih tenang dalam menghadapiku yang ingin cepat mendapat respon darinya. Rudi salah satu laki-laki yang memiliki dua jawaban pasti dalam hidupnya.
Antara iya dan tidak akan terlontar dari dalam dirinya begitu aku mengajukan suatu permohonan. Terkadang, aku menyesali sikap memaksa terhadap balasan pesan singkat Rudi yang sangat lama sekali. Lama-kelamaan, aku terbiasa dengan rutinitas Rudi tersebut. Aku sangat hafal betul kapan Rudi akan membalas pesan singkat dariku.
Aku pun tidak perlu susah-susah memanggil nomor ponselnya berulang kali di hari kerja, bahkan hari minggu sekalipun Rudi bisa tidak mengangkat telepon dariku karena tidak ada alasan. Rudi tidak akan pernah mengungkit masalah terdahulu yang membuat beban pikiranku bertambah. Hari kemarin selalu Rudi tempatkan di suatu lubuk hati terdalam, hari ini adalah menjalankan dengan penuh semangat.
Perhatian yang kubutuhkan tidak seutuhnya Rudi berikan dengan berlimpah. Rudi akan membalas pesanku jika sesuatu yang benar-benar mendesak sekali. Rudi mengabaikan pesanku jika berhubungan dengan urusan rasa dan sejenisnya. Rudi bungkam soal suara kasih dan sayang dari mulutnya. Rudi akan memperlihatkan rasa kasih dan sayang dari sikap dan perhatiannya, walau ujung-ujungnya – sekali lagi – tidak Rudi penuhi tepat aku memintanya.
Seperti janjiku pada Kak Rita tempo hari. Aku akan berkunjung ke toko Kak Rita bersama Rudi. Dengan susah payah aku memaksa Rudi supaya bisa menemaniku ke toko milik Kak Rita, tepatnya milik abangku.
Kami datang lewat jam lima sore. Aku sudah memberitahu Kak Rita perihal kedatangan kami. Kak Rita menunggu dengan wajah dihiasi senyum merekah. Dapat kutebak, Kak Rita senang sekali datang pembeli, bukan karena Rudi calon adik iparnya dan bukan karena aku adik iparnya. Kak Rita memamerkan koleksi terbaru kepadaku, pakaian-pakaian perempuan masa kini dengan berbagai motif. Rudi menunggu di kursi tunggu pembeli di depan pintu masuk, sedangkan kami mengobrol di dalam sambil melihat-lihat dagangan khusus perempuan dari toko abangku ini.
“Cocok sekali pilihan Bang Mul ya?” ungkap Kak Rita gembira. “Saya pikir dia sama dengan pegawai negeri lain, cuma naik sepeda motor saja, tidak tahunya punya mobil juga!”
Aku tersenyum penuh kemenangan. Kak Rita selalu menilai seseorang dari penampilan fisiknya saja.
“Jika diperhatikan, tidak jelek-jelek amat ya,” lanjut Kak Rita. Aku manyum. “Bisalah dibawa ke mana-mana,”
“Kak, model yang ini berapa ya?” aku mengalihkan pembicaraan sebelum berlanjut ke hal-hal lain. Kak Rita sangat antusias menjelaskan model pakaian terbaru dengan harga-harganya. Kakak ipar keduaku ini pun memilih satu set pakaian dengan harga hampir setengah juta.
Tidak ada niatku membeli pakaian yang ditawarkan Kak Rita. Kakakku ini punya cara tersendiri memikat pembeli. Tujuan utamaku ke sini hanya untuk mengenalkan Rudi pada Kak Rita yang tidak memenuhi undangan kami malam itu. Sayangnya, Kak Afni tidak berada di antara kami. Kak Rita saja sudah cukup mewakili Kak Afni dalam menilai Rudi lebih dekat.
Kak Rita mendekati Rudi, dengan nada bicara yang menjurus ke arah transaksi. Rudi benar-benar lurus-lurus saja hidupnya.
“Bagus lho, Rudi,”
Rudi mengeluarkan isi dompetnya tanpa basa-basi lagi. Hanya sekali menanyakan pendapatku, namun Kak Rita memotong terlebih dahulu.
“Dia sangat suka, kok, pasti dipakainya!”
Begitulah. Niat mengenalkan Rudi jadi pembeli. Seandainya Bang Muis mengetahui kelakukan Kak Rita terhadap kami, aku tidak bisa menjamin abangku itu tidak marah besar. Bang Muis menyayangiku dengan caranya yang berbeda dibandingkan Bang Mul yang begitu memperhatikan setiap gerak-gerikku.
Laki-laki dibaluti sifat angkuh dan keras kepala seperti Bang Muis tetap saja memiliki empati, apalagi kepadaku, adik perempuan satu-satunya. Lebih baik aku tidak menyinggung soal ini kepada siapapun. Aku pun yakin Rudi tidak akan membocorkan perjalanan singkat kami menyelami hati Kak Rita. Dengan begitu, hati Kak Rita senang, maka dia akan mencoba menyukai Rudi, dan Kak Rita akan membela Rudi jika disentil sedikit saja oleh Kak Afni nantinya.
***
Aku menunggu Rudi di Waroeng Kenangan. Berkali-kali kuketuk layar smartphone namun tidak terlihat satu pesan atau pun panggilan masuk dari Rudi. Kami sama-sama berjanji bertemu hari menjelang sore. Aku yang memaksa Rudi bertemu.
Lima menit berlalu, kulihat Rudi keluar dari mobilnya masih dengan baju dinas. Rudi berjalan ke arahku dengan langkah pelan. Raut wajahnya lelah sekali. Tampak sekali Rudi kurang tidur bahkan terbeban dengan pekerjaannya.
“Sudah lama?” suara Rudi tidak seperti biasanya. Lebih serak.
“Baru saja,” kataku berbohong. Padahal sudah lebih tiga puluh menit aku menunggu kedatangan Rudi.
“Maaf, saya lupa,” jujur sekali. Hatiku geram bukan main. Berkali-kali aku mengirim pesan singkat tidak dijadikannya sebuah pengingat. “Ada apa? Kok bertemu mendadak?”
Aduhai. Tidak adakah rasa rindu di hatinya?
Laki-laki ini benar-benar seperti tidak berperasaan ya. Jelas-jelas aku dalam keadaan tidak baik sehingga ingin bertemu. Hatiku dalam keadaan timpang dan segera butuh amunisi agar segera bisa bangkit kembali. Aku sudah menambatkan hati padanya, sedangkan Rudi biasa saja menanggapi pertemuan kami.
“Aku ingin bicara hal penting,” kuabaikan etika sopan santun. Rudi belum mengubah cara bicaranya denganku. Masih formal. “Kami sudah mengadakan pertemuan keluarga,”
“Bang Mul sudah kasih tahu,” jawab Rudi santai. “Masalahnya apalagi?”
Rasanya, ingin kuketuk kepala laki-laki di depanku itu. Masalah apa? Tentu saja urusan mahar yang masih menganjal di hatiku. Sebelum Rudi melamar, dan mendadak shock mendengar patokan mahar yang sudah ditentukan keluarga, sebaiknya aku membicarakannya dengan Rudi. Berdua saja. Dengan Rudi aku akan mendapatkan pemecahan masalah ini.
“Menurutmu, masalahnya apa?” tantangku.
“Tidak ada masalah apa-apa, saya sudah katakan pada Bang Mul,”
“Kamu setuju?”
“Saya sudah jelaskan jawabannya kepada Bang Mul,”
“Kepadaku?”
“Bang Mul lebih tepat menjelaskannya,”
Sudah. Titik. Bagaimana pun aku memaksa, Rudi tidak akan menjawab pertanyaanku itu.
Tiba-tiba aku merasa sangat pusing. Laki-laki ini membuatku sakit kepala!.
***
“Apa yang Rudi katakan sama abang?” tanyaku begitu sampai di rumah. Bang Mul berbaring di depan televisi, menonton dialog pertumbuhan ekonomi negara berkembang ini.
“Duduklah dulu,” ujar Bang Mul tidak kalah santainya dengan Rudi. Hatiku tidak tenang. Bang Mul dengan Rudi sama-sama menyimpan misteri yang membuatku tidak bisa berbuat apa-apa.
“Sebaiknya abang katakan sekarang sebelum aku mati berdiri!” ujarku emosi.
“Mana mungkin, kamu masih hidup kok,”
Aku meletakkan tubuh lelah di samping Bang Mul. Aku geram sekali menghadapi sikap Bang Mul yang mempermainkan perasaanku. Di hadapan Bang Mul aku selalu bersikap manja dan tidak pernah menggunakan bahasa formal.
“Ayolah, bang,” desakku.
“Apa? Rudi belum mengatakan apa-apa,”
“Dia bilang sudah membuat keputusan, dia sudah katakan sama abang,”
“Kamu bertemu dia?”
“Iya,”
Bang Mul kembali fokus ke depan tayangan iklan di televisi. Sia-sia saja aku membuang pikiran menanti jawaban Bang Mul. Badan dan batinku sangat lelah sekali. Rudi mengabaikan perasaanku padanya.
“Rudi meminta mahar dikurangi,” ujar Bang Mul kemudian.
“Benar kan? Aku bilang juga apa, abang yang ngotot harus 25 mayam!”
“Abang tidak langsung setuju kan? Ibu dan Bang Muis yang tidak mau tawar-menawar lagi,”
“Abang sama saja, akhirnya ikut juga keputusan ini!”
“Abang sudah membicarakannya dengan Ibu,” aku dapat menebak jawaban Ibu dari raut wajah Bang Mul. Mata Bang Mul tidak berpaling dari televisi. Dialog dengan pakar hebat di layar kaca itu memaparkan pendapatnya tentang kondisi finansial masyarakat dan cara penyelesaianya. Tahu apa pakar itu? Dia hanya duduk di kota besar dan tidak terjun langsung ke daerah terpencil, melihat upah pekerja di daerah-daerah tidak sesuai dengan upah minimum sebagaimana sudah ditetapkan pemerintah.
“Kenapa dari dulu abang tidak katakan ini pada Rudi?”
“Katakan apa?”
“Bahwa keluarga kita mematok mahar tinggi,”
“Rudi hanya meminta negosiasi, dia tidak mau melibatkan keluarga terlebih dahulu sebelum keputusan mahar itu kelar. Keluarga Rudi akan datang ke rumah kita begitu mahar itu sudah sesuai kemampuan dia memberikannya,”
“Abang sudah tanya berapa dia sanggup?”
“Dia sanggup memenuhi 25 mayam, dia cuma meminta kurang lagi karena satu dan lain hal yang abang tidak tanya padanya,”
“Berarti dia tidak setuju. Itu kan kata-kata halus yang digunakannya dalam menolak. Dia tidak enak sama abang, merasa bersalah sama aku, atau tidak mau membebani keluarganya. 25 mayam tidaklah sedikit untuk Rudi, Bang! Sudah wajar dia mencari yang lebih rendah dari itu.”
“Tanggapan Rudi jadi pertimbangan kita juga,”
“Kita? Aku tidak mau ikut-ikutan menyakiti hati orang lain, aku sudah memberikan pendapat tapi tidak pernah didengar!”
“Kita tidak hanya mendengar pendapat satu orang saja, keluarga kita ada beberapa orang, masyarakat kita tidak hanya di Kampung Pesisir saja. Orang-orang akan menilai taraf hidup maupun kesuksesan suatu keluarga bukan dari satu orang. Keluarga kita jauh lebih terpandang dari pada yang kita pikirkan selama ini. Kerabat Ayah, sahabat Ayah, orang-orang yang mengenal Ayah. Kerabat Ibu, sahabat Ibu, orang-orang yang mengenal Ibu. Ayah dan Ibu merupakan dua orang yang memiliki nama besar di kecamatan kita. Menikahkan bungsu perempuannya dengan mahar dibawah 20 mayam saat ini sungguh merupakan tamparan telak bagi kedua orang tua kita!”
“Rudi berhak menawar, bang!”
“Dia berhak. Laki-laki manapun yang akan meminang gadis memiliki kesempatan yang sama. Kita menentukan mahar 25 mayam karena kami mengetahui betul Rudi, maupun keluarganya akan melakukan tawar-menawar. Abang dekati Rudi terlebih dahulu sebelum keluarganya datang ke rumah kita, abang yang pertama sekali mempertemukan kalian dan abang punya kewajiban memutuskan kelanjutan hubungan kalian,”
Lebih baik aku tidak menikah saja!
“Rudi punya banyak pertimbangan, tanggung jawab hidupnya bukan dia seorang. Kamu akan baik-baik saja bersama Rudi, abang jadi jaminannya!”
***