Cinta akan datang dengan sendirinya!
Aku mendengus kecil saja. Di kamar penuh buku berserak dan tempat tidur acak-acakan aku menatap diri di depan cermin. Semalaman mataku perih menatap layar notebook bermerak buah Apel terbelah di belakangnya. Lagi-lagi aku terpesona dengan merek dagang yang bermarkas di Cupertino, California, Amerika Serikat. Aku membelinya saat tiga bulan di Amerika, teman-temanku memberi saran supaya aku membeli produk ini. Aku memang awam terhadap merek teknologi, namun setelah kugunakan beberapa lama baru kudapatkan perbedaan dengan merek dagang lain yang berserak di Asia dengan harga lebih murah.
Aku sedang mengerjakan sebuah jurnal ilmiah supaya bisa diterbitkan dalam waktu dekat ini. Sebenarnya ide mengerjakan jurnal ini berasal dari Erni karena sudah pernah menerbitkannya. Aku tidak melupakan keempat sahabat yang punya kesibukan masing-masing itu. Lia termasuk salah satu di antara kami yang sering ke luar negeri. Sesekali Lia memamerkan foto dirinya dari berbagai belahan dunia dengan pemandangan memukai. Lia pun ikut mengenalkan calon suaminya yang berasal dari Belanda. Kurasa, kedekatan Lia dengan bule itu sudah ke arah serius. Lia juga sudah berani berpose dengan penutup kepala seadanya, hanya sebatas kepala dan leher saja. Gaya berpakaiannya pun sudah sangat modern, celana ketat, baju juga ketat. Aku menyerah jika membicarakan Lia.
Kazol termasuk golongan yang sangat jarang berinteraksi denganku. Aku memaklumi kesibukannya bekerja di pemerintahan. Namun Diana, juga bekerja sebagai pegawai bahkan teramat sering menghubungiku, tidak hanya melalui pesan singkat, chatting di jejaring sosial, kami kerap bercerita melalui sambungan suara.
Erni memaksaku membuat jurnal. Erni pula yang katanya akan memfasilitasi jurnal ini supaya bisa terbit di kampusnya, mungkin juga di skala nasional. Butuh waktu lama untukku menulis satu paragraf awal jurnal ilmiah yang sudah selesai kukerjakan semalam. Lama tidak menulis setelah selesai tugas akhir di Amerika membuat pikiranku buntu.
Aku berbaring terlentang. Getaran dari smartphone andalanku membuyarkan lamunan panjang tentang masa depan cerah.
Apa kabar? Lagi apa? – Rudi.
Hampir saja aku melupakan laki-laki ini. Rudi sudah masuk ke dalam kategori laki-laki pilihan menurut versi Diana. Sejauh ini hanya Diana yang kuberitahu urusan perjodohanku dengan Rudi. Diana memberikan beberapa saran supaya kedekatanku dengan Rudi bisa saling melengkapi.
Aku malah merasa terabaikan setelah berhubungan dengan Rudi. Laki-laki itu jarang sekali mengabari hidupnya masih menyala atau tidak. Aku sendiri tidak memahami dengan pasti akan rasa terhadap laki-laki itu. Aku hanya belajar mendalami perasaan lebih jauh karena Rudi satu-satunya pilihan yang diterima keluargaku. Seringkali aku mengirim pesan singkat, Rudi akan membalasnya menjelang malam atau lewat jam sembilan malam. Alasannya selalu sama, tidak sempat melihat handphone.
Sesibuk itukah dia? Aku tidak tahu. Jika pun Rudi mengirim pesan terlebih dahulu, hanya dua kata atau empat kata. Apa kabar? Lagi apa?
Aku menjawab dan balik bertanya. Rudi akan membalas satu jam kemudian, bahkan pernah dibalas esok harinya. Aku memilih tidak mengirim pesan apapun lagi kepadanya. Kutunggu Rudi mengirim pesan terlebih dahulu. Aku pun terbiasa dibuat seperti ini olehnya.
Pilihan lain, sesekali aku mengirim pesan kepada Haikal yang langsung dibalas dengan penuh cerita oleh laki-laki itu. Haikal tetap bersikap seperti biasa. Walau kami sangat jarang bertemu, Haikal masih sering mengabari kedudukannya di toko pakaian bahkan mengajakku bergurau melalui pesan singkat tersebut.
Sulit untukku menerka tabiat Rudi. Saat baiknya muncul mungkin, Rudi akan mengajakku bertemu dan kami mendiskusikan banyak hal. Namun di saat lain, seperti sekarang ini, Rudi hanya mengirim pesan seperlunya saja. Pikiranku melayang ke mana-mana. Firasat tidak suka dijodohkan muncul tiba-tiba, tidak ada yang tahu seperti apa pendekatan Bang Mul kepada Rudi. Kali saja Bang Mul memaksa Rudi menerimaku dan keluarga ini. Kali saja Bang Mul mempromosikan diriku di tingkat yang sangat tinggi dengan diikuti gelar megister dari Amerika. Kali saja Bang Mul tidak paham Rudi sudah menolak tetapi masih mempertimbangkan hati abangku.
Rudi sopan. Itu sudah jelas sekali. Rudi pengertian. Itu pun sangat jelas. Rudi perhatian. Itu yang masih menjadi tanda tanya bagiku. Menurut teori Diana, seseorang itu jika sudah bermain di ranah perasaan akan membutuhkan lebih banyak waktu bersama. Sejauh ini, Rudi tidak menampakkan pembenaran teori asal-asalan Diana. Teori ini akan berlaku pada Haikal yang sedikit saja disentil akan langsung melonjak tinggi sampai susah kembali.
Rudi muncul dan tenggelam dalam anganku. Pendekatan khusus dalam kategori orang yang sedang dalam masa penjajakan tidak dilakukan Rudi dengan maksimal. Rudi tidak pernah menggombal, tidak pernah mengutarakan perasaannya, tidak pernah berlebihan menanggapi sifatku yang kadang menggebu dan tak sabar, tidak pernah tidak membalas pesan singkat dariku walau dalam waktu lama. Semua keinginanku dipenuhi Rudi tanpa cacat sedikitpun bagi orang-orang yang menilai.
Aku membutuhkan perhatian lebih dari orang yang akan meminangku dalam waktu dekat. Perhatian yang dapat kuartikan sebagai ungkapan perasaan sebenarnya dari Rudi. Selama ini aku belum pernah tersentuh secara hati dalam arti sebenarnya.
Menerima sifat Rudi yang semacam butuh tak butuh ini, membuatku ingin kembali ke lain hati. Ah, seperti aku pernah memiliki hati yang lain.
***