Dia biasa saja!
Laki-laki itu sungguh biasa saja di mataku. Dibandingkan dengan laki-laki yang pernah kukenal, dia tidak bisa kusejajarkan dalam kategori calon pendamping pada pandangan pertama. Rata-rata orang akan melihat bentuk fisik sebagai takaran enak dilihat walaupun tidak menjamin keabsahan pola pikir demikian.
Laki-laki itu, yang akan dikenalkan Bang Mul padaku sangat jarak dari jangkauan menawan. Dia berparas rata-rata keturunan kami, kulit sawo matang, bermata sedikit cipit, berkacamata, tubuhnya tidak kekar juga tidak kurus, tingginya tidak jauh beda dengan Bang Mul. Seperti laki-laki dewasa pada umurnya, dia menempatkan dirinya sebagai orang yang tidak macam-macam. Sifatnya belum kuselami lebih jauh tetapi dari tata bahasa maupun cara menanggapi pembicaraan, tampak sekali dia menghargai lawan bicaranya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti sudah dipikirkan matang-matang, sehingga tanpa cela dan tiada menyinggung perasaan sampai terluka. Bahasa tubuhnya telah menghipnotisku untuk mengenal lebih jauh kepribadiannya. Dalam dialog ringan bersama Bang Mul, dia membuatku paham pemikirannya bisa diterima akal sehat.
Dia mungkin memang laki-laki biasa saja. Karena biasa itu pula Bang Mul berani mengajukannya untuk calon pendamping hidupku. Bang Mul tentu tidak salah menilai akan hal-hal kecil dari dirinya, Bang Mul pasti sudah punya penerawangan tersendiri akan kepribadiannya.
“Dia tidak sebaya abang, bukan?” tanyaku dalam perjalanan sebelum duduk dalam diskusi ringan kami bertiga di salah satu warung kopi Kota Pesisir Barat. Aku patut mempertimbangkan usia sebelum sadar dia jadi milikku. Usia yang terlalu tua akan membuatku tidak mudah beradaptasi dan memahami keinginan laki-laki yang akan sekamar denganku. Terlalu muda pun tidak masuk dalam kategori, bagiku, muda masih butuh pendewasaan, muda masih bergairah meluapkan emosi dalam berbagai hal, barangkali aku tidak akan sanggup meredamnya.
“Teman abang banyak, tidak hanya yang sesusia saja. Dia jauh lebih muda dari abang dan Muis maupun Mus,” jawab Bang Mul.
Aku menghela nafas lega dalam-dalam. Cari nada bicaranya, mereka berdua sudah sangat akrab satu sama lain. Bang Mul lebih banyak mengeluarkan pendapat permainan bola semalam di salah satu channel televisi swasta. Laki-laki itu sesekali menimpali dan membenarkan perkataan Bang Mul, walau sesekali tidak setuju dengan pendapat Bang Mul, laki-laki itu tetap dengan santun membantahnya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti sudah diatur dengan rapi sehingga benar-benar pas pada takaran sesuai kemauan lawan bicara.
Dia, Jamaruddin, dari namanya saja barangkali sudah sangat kampungan sekali untuk kategori mantan penduduk kota besar sepertiku. Seperti yang sudah kukatakan, fisiknya tidak seberapa dibandingkan dengan laki-laki ganteng yang pernah mengajakku diskusi tentang sebuah persoalan selama ini. Walau tidak juga termasuk dalam kategori tidak rupawan, Jamaruddin masih bisa masuk ke dalam kategori enak dibawa ke mana-mana.
Semakin lama Bang Mul mengajak Rudi bicara, semakin kelihatan aura bintang dalam diri laki-laki itu. Tutur bahasa yang lembut tetapi tidak dilembut-lembutkan, tatapan matanya teduh tanpa dicipitkan, gerak tubuhnya hanya akan menoleh seperlunya saja, menjadikan nilai tambah bagi Rudi. Dalam hati, aku malah bertanya-tanya alasan Rudi belum menemukan pendamping diusianya yang hampir kepala tiga. Pertanyaan ini tentu saja tidak akan pernah terjawab sebelum aku mengenal Rudi lebih lama dan menyelami karakter laki-laki tersebut lebih bijaksana.
Sesekali Rudi menoleh ke arahku, barangkali ingin mengajakku terlibat dalam topik pembicaraan mereka. Aku malah jadi kikuk, dengan terburu aku keluarkan smartphone dari dalam saku lantas pura-pura sedang membaca pesan masuk. Padahal aku sedang salah tingkah diperlakukan demikian, tepatnya, malu ketahuan memperhatikan Rudi. Rudi tidak menegur bahkan bertanya apapun, laki-laki itu hanya melihat sekilas gerak-gerikku kemudian kembali menyahut pembicaraan sakral khas laki-laki tersebut.
Pertemuan ini – mungkin – hanya untuk mempertemukan fisik kami saja!
Waktu berlalu dengan cepat sekali, tidak terasa sudah hampir satu jam kami duduk di warung kopi menghadap ke laut tersebut. Warung kopi di pinggir pantai ini menghadap ke Pelabuhan Barang, di mana terlihat satu kapal besar sedang menurunkan barang berat dan barang lainnya untuk kebutuhan Kota Pesisir Barat. Berlari kecil saja kami akan sampai ke pelabuhan tersebut dalam waktu tak lebih sepuluh menit saja. Dan bila senja tiba, pelabuhan ini akan dikerumuni muda-mudi, bahkan orang tua dengan anak mereka, menikmati jagung bakar sambil menunggu saat-saat matahari tenggelam.
Warung kopi ini namanya Waroeng Kenangan, bentuknya sangat minimalis dan cocok untuk keluarga maupun anak muda. Kudengar, jika malam minggu warung kopi ini biasanya menghadirkan penyanyi-penyanyi berkelas di Kota Pesisir Barat untuk menghibur pengunjung. Tata letak warung ini sebagian menggunakan meja dan kursi, sebagian lagi lesehan dalam bentuk bilik-bilik kecil yang bisa menampung maksimal lima pengunjung. Sebenarnya, Waroeng Kenangan bisa dikatakan sebagai café saja, namun masyarakat di sini mengenalnya sebagai warung kopi. Warung kopi ini pun dikunjungi oleh pengunjung saban waktu, minum kopi atau makanan ringan sambil online dengan internet gratis. Rata-rata warung kopi di Kota Pesisir Barat sudah berfasilitas internet gratis, jika tidak akan sepi pengunjung yang rata-rata anak muda atau mahasiswa.
Angin pantai akan menyimak sejuk sampai ke pori-pori. Ternyata, masyarakat Kota Pesisir Barat sudah lupa akan musibah besar tersebut. Waroeng Kenangan penuh muda-mudi yang sedang bercengkrama dengan sesama mereka bahkan sendirian saja dengan laptop. Di antara mereka, ada yang terlihat malu-malu melihatku di sini. Warung kopi memang alternatif lain untuk menghilangkan penat setelah seharian di kampus. Beberapa mahasiswa yang lewat di depanku menunduk hormat dan tersenyum sambil berlalu cepat. Aku maklumi kegiatan mereka, dan tidak bisa kupungkiri di antara mereka terdapat mahasiswa yang berbakat di kampus. Begitulah, semua orang punya keahlian masing-masing bukan. Dan di warung kopi begini, mereka bisa berekspresi dalam hal positif dan negatif. Bermodal satu gelas kopi atau teh lebih kurang lima ribu saja mereka bisa duduk berjam-jam lamanya, tidak tertutup kemungkinan ide-ide brilian untuk kegiatan kemahasiswaan lahir dari warung kopi begini.
Bang Mul memberi isyarat kami harus pulang.
“Kami pulang dulu, lain kali kita ketemu lagi. Sudah lama kita tidak bertemu semakin cakap saja kamu, Rudi. Terima kasih waktunya ya, si Inong mau belanja keperluan bulanan katanya,” Bang Mul berdalih aku yang buru-buru.
Kami meninggalkan Waroeng Kenangan setelah membayar minuman ringan di kasir, Bang Mul dan Rudi minum kopi dan aku hanya meneguk teh hangat saja.
Bang Mul membiarkanku mencerna maksud dan tujuannya mengajak Rudi bertemu. Aku bisa memahami arah tujuan Bang Mul. Mungkin saja setelah ini Bang Mul dan Rudi akan terlibat pembicaraan sengit mengenaiku dan masa depan kami. Perkenalanku dengan Rudi semacam pertemuan fisik semata, seperti yang sudah kuduga sebelumnya. Rudi melihat wajahku dari dekat dan aku melihat wajahnya.
Perjalanan pulang lebih banyak kami isi dalam diam saja, tidak seperti saat Bang Mul mengajakku pagi tadi. Aku begitu menggebu-gebu ingin mengetahui laki-laki yang sudah dipertemukan denganku beberapa menit lalu. Setelah bertemu, aku sama sekali tidak menemukan apa yang belum kuketahui soal rasa. Pikiranku biasa-biasa saja. Kami hanya bertemu. Bertemu saja sesuai keinginan Bang Mul dan keluargaku.
Ternyata, begitukah wujud calon suamiku?
***