Jujur. Aku tidak menaruh sesuatu di luar kemampuanku. Termasuk masalah laki-laki. Aku tidak menargetkan sosok yang terpahat bagai persolen tanpa cacat sedikitpun. Bagiku, laki-laki sama halnya dengan manusia kebanyakan. Tiada yang sempurna, tiada pula yang sangat rendahan sekali. Sama-sama memiliki kelebihan di bagian tertentu yang sulit ditelusuri sebelum mengenal lebih dekat.
Seperti apapun juga, selama 25 tahun baru kali ini aku benar-benar merasakan persaingan yang tidak bisa kuartikan sama sekali. Ternyata inilah masalah asmara. Begitu mudah pula memutar fakta menjadi khayalan semu. Kupikir, urusan asmara hanya sebatas kenal dengan lawan jenis, saling memahami mau masing-masing, saling melengkapi kekurangan dan kelebihan, saling membahagiakan maupun saling mendebatkan masalah sepele hingga besar. Ternyata, pendidikan yang kutempuh sampai ke negeri adidaya dunia belum mampu mendefisinikan kata asmara tersebut. Bayanganku semua sama, maksudnya setiap orang akan merasakan persoalan yang sama. Tanpa kuketahui ternyata masalahku jadi rumit antara keluarga, sahabat, teman masa kecil, sampai seorang jodoh yang belum kukenali.
Dara tidak berhenti sampai aku lupa bahwa dia telah menyakitiku. Sifatnya sudah hampir sama dengan Mak Sari, barangkali sudah diturunkan oleh ibunya. Cara yang dilakukan Dara membuatku benar-benar merasakan dirugikan dalam hal harga diri. Dara telah berhasil membuatku beradu mulut dengan Ibu dan Bang Mul.
“Abang tidak habis pikir, bisa-bisanya kamu melakukan itu!”
“Lakukan apa, bang?”
“Ah, jangan pura-pura tidak pahamlah,” baru kali ini aku melihat aura Bang Mul berbeda dari biasanya. Wajah Bang Mul terlihat memerah di bawah bayang senja. Kepalaku terasa sangat pusing menghadapi masalah yang belum kuketahui akarnya.
“Kamu tidak bermaksud mempermainkan kami bukan?” ujar Bang Mul lagi. Aku mengeleng. Benar-benar tidak paham apa yang telah terjadi dalam keluargaku. Ibu yang berdiri di teras memasang wajah dengan sulit kuartikan selama hidupku. Layaknya, Ibu tidak akan menolongku kali ini. Tapi karena apa?
“Saya tidak paham apa yang abang bicarakan,” aku mengerutkan kening. Senja sudah begitu cepat berlari dan pergi meninggalkan terang. Dari balik daun mengayun perlahan seperti kulihat dua orang mengintip pembicaraan kami. “Sebaiknya kita bicara di dalam saja, bang,”
“Begitu? Selama ini kamu sudah berubah menjadi gadis yang tidak penurut sama orang tua?”
“Saya tidak tahu ke mana pembicaraan ini,”
“Kamu tidak tahu apa tidak mau kasih tahu?”
“Saya tidak tahu,” rasanya begitu frustasi aku menerima sikap Bang Mul. Kepalaku sudah mendidih menghadapi sesuatu yang membuatku bingung. Kulihat Ibu sudah tidak ada lagi di teras, dan aku berlari masuk ke rumah tanpa kupedulikan Bang Mul. Aku duduk di kursi tamu dan Bang Mul sudah berdiri di depanku.
“Saya tidak tahu,” aku menunduk. Bayanganku tidak bisa menangkap tafsiran apa-apa dari amarah yang dilontarkan Bang Mul padaku.
“Lihat ini!”
Kuangkat wajah, ponsel Bang Mul berada persis di depan mataku dengan layar memperlihatkan gambar dua orang dari belakang. Itu aku dan Haikal!
“Dari mana abang mendapatkan itu?”
“Dari mana? Kamu sudah sangat piawai bersandiwara!”
“Saya tidak bersandiwara!”
“Lihatlah ini baik-baik, dari belakang saja orang bisa memahami kalian berdua ada macam-macam. Kalian jalan berdua di waktu senja membuat orang bertanya-tanya, apalagi jalan kaki.”
“Kami ke masjid!”
“Iya. Kalian ke masjid, tapi berdua jalan kaki!”
“Apa salahnya, bang?”
“Tidak ada yang salah! Kamu dan dia sama-sama membohongi kami semua. Abang sudah berbesar hati menerima keinginan kamu selama ini, kamu mengiyakan juga apa yang akan abang berikan untukmu. Dengan ada foto ini, harapan abang sudah sirna menjodohkan kamu dengan teman abang itu!”
“Abang jangan salah paham, saya tidak ada hubungan apa-apa dengan Haikal!”
“Foto ini?”
“Itu hanya foto,”
“Tapi foto berbicara!”
“Saya juga berbicara! Saya yang merasakan sendiri, saya yang mengalami sendiri, saya yang menginginkan sendiri bagaimana hidup saya kelak, saya tidak pernah berbohong pada siapapun, saya menuruti semua keinginan Ibu dan abang-abang, saya tidak akan mengecewakan kalian…”
“Lalu ini kenapa terjadi?”
“Kami bersahabat sejak kecil, abang lihat sendiri bagaimana saya di sini. Kami sama-sama mengerti apa yang kami kerjakan, kami berjalan di atas aturan agama yang tidak pernah kami ingkari. Sekali kami jalan berdua saja disalahkan bagaimana dengan orang lain yang berjalan diluar aturan agama!”
“Abang tidak sedang membicarakan orang lain!”
“Saya tidak mengerti kenapa abang menuduh kami begini, saya dan Haikal baik-baik saja sebagai sahabat. Jika abang tidak suka dengan dia katakan saja padanya pindah dari depan rumah kita. Biar abang puas tidak ada yang ganggu saya lagi. Saya merasa harga diri dicabik-cabik oleh abang saya sendiri, karena foto tak berkelas itu saya disidangkan begini. Saya punya hak untuk tahu apa yang membuat abang berpikiran sepicik itu. Saya lelah dirong-rong kalimat tak bermakna dari Mak Sari maupun Dara, lantas keluarga saya sendiri juga tidak percaya. Apa yang harus saya lakukan?”
“Dari tadi sudah Ibu katakan, jangan percaya si Dara!” kata Ibu kemudian. Bang Mul masih tegak berdiri. Aku tahu, Dara sudah berhasil menghasut Bang Mul.
“Oya? Jadi foto itu Dara yang kirim?” tanyaku. Tidak ada yang menjawab. “Saya sudah menduga ada yang tidak beres melihat foto itu, saya memilih tidak berprasangka terhadap orang lain tetapi dia memang biang keladi segala masalah saya!”
Baik Ibu maupun Bang Mul sama-sama diam. Bang Mul duduk menghadap ke arahku dan Ibu masih bersandar di dinding yang sudah dingin menghirup udara senja.
“Baru kemarin Dara datang ke rumah tanpa malu meminta saya melepas Haikal untuknya, hari ini sudah membuat onar bagai orang tak berpendidikan. Saya tidak tahu alasan Dara meminta Haikal sedangkan dia masih punya laki-laki lain sebagai pacarnya. Dara juga tahu saya tidak sedang menjalin hubungan istimewa dengan Haikal, tetapi dia datang memperkeruh suasana karena tidak ingin melihat saya senang. Saya tidak pernah membuat Dara sengara, dia yang selalu membuat saya bersedih…”
Mataku menerawang. Azan magrib terdengar sayup-sayup.
***
Mungkin, ini malam yang paling berat untukku. Seandainya bisa membalik posisi aku memilih menjadi anak-anak saja; bermain, bermain, dan bermain saja. Aku tidak perlu melibatkan perasaan terhadap apapun yang sedang kukerjakan. Dalam posisi dewasa begini, segala aspek butuh kedewasaan dalam berpikir dan memecahkan masalah. Terlebih, urusan jodoh semakin mendekati masa sakral begitu usia menanjak tua.
Laki-laki mana yang mau menikahiku?
Haikal? Dengannya hidupku penuh pertentangan. Dia seakan tidak diciptakan untukku sebagai seatap, dia hanya sebatas teman berbagi keluh kesah dalam suka duka.
Dalam berbagai hal, Haikal masuk dalam kategori laki-laki idaman. Fisik, tutur kata dan sifatnya terkadang sulit untuk dilupakan dalam pandangan pertama. Sejak dulu pula Dara mengejar-ngejar Haikal tetapi tidak membuahkan hasil, Haikal dekat denganku sebagai sahabat dan Mak Sari menghalang-halangi Dara mendekati Haikal karena masalah finansial. Justru sekarang ini keluargaku yang melibatkan materi memandang Haikal sebagai seorang laki-laki sejati. Seakan hidup bergelimpangan harta merupakan pilihan semua orang, padahal belum tentu senang seperti yang terlihat. Ada saja masalah yang datang, contoh saja Bang Muis yang sering kali mempertahankan sifat egoisnya menghadapi Ibu bahkan istrinya. Pernah pula kulihat Bang Muis duduk termenung saat usahanya kacau balau dan untung tak kunjung kembali. Sisi lain Bang Muis merupakan pegawai yang mempunyai gaji tetap dan tidak merasa kekurangan suatu apapun.
Aku tidak memandang harta dalam memilih laki-laki.
“Laki-laki mapan masuk prioritas, Nong!” suara Tutun di ujung telepon. Dalam senyap malam aku sangat merindukan sahabat-sahabatku. Bukan aku mengabaikan Irus, Risma, Misan maupun Asma. Keempat sahabat di kampung memiliki kapasitas masing-masing sesuai kemampuan mereka menalar banyak soal ringan. Untuk Tutun, aku merasa lebih dekat dibandingkan dengan Arin, Kazol maupun Erni.
“Rejeki bisa datang dari mana saja bukan?”
“Iyalah, paling nggak kamu musti punya pilihan jelas. Mana mungkin kamu menikah dengan pengangguran?”
“Kerja kan bisa dicari,”
“Halo! Seorang ibu dosen harus mencari kerja lagi untuk suaminya? Hidup ini butuh kejelasan dalam hal yang sulit kita mengerti. Laki-laki mapan akan membuat hidupmu bahagia, dalam arti kata kamu tidak akan kelaparan. Memang, kita hidup bukan cuma untuk makan saja tetapi kita perlu makan sebelum memulai aktivitas. Kamu butuh hidup yang harmonis karena selama ini kamu sudah mendapatkan semua dari keluargamu. Bayangkan jika suamimu tidak memiliki penghasilan berlebih?”
Aku mendengus.
“Makanya, sebagai sahabat ya, aku nggak mau kamu jadi tumbal kesenangan fisik semata!”
“Jadi? Fisik bukan pilihan?”
“Tetap. Tapi nggak mesti sempurna kalilah kayak aktor Korea, lama-kelamaan kamu bosan juga. Terpenting enak dilihat, enak diajak ke mana-mana, tidak membosankanlah. Kamu bisa merasa sendiri bagaimana nyaman sama orang yang mendekatimu. Kalau nyaman dan kamu berbunga-bunga, sikat saja!”
Tutun selalu penuh ambisi mengeluarkan jurusnya. Pendapat Tutun ada benarnya, manakala kupikirkan jalan hidupku ke depan. Aku punya rumah besar, biaya pengelolaan seluruh rumah butuh banyak, aku punya mobil yang tidak hanya butuh bensin tetapi sesekali butuh dirawat lebih, aku sering bepergian ke luar daerah saat kampus mengutusku, dan itu butuh dana.
“Intinya, laki-laki itu harus punya masa depan jelas!”
“Yang bagaimana?”
“Pekerjaan tetaplah. Kamu ini mutar-mutar nggak jelas ya, ketemu dulu sama teman abangmu itu. Kenal dekat, lihat rupanya, gaya bicaranya, cara makannya, cara jalannya pincang atau tidak, kalau perlu kamu buat seolah-olah kamu butuh perhatian lebih dan dia sanggup mempelihatkan sabar dan kedewasaan menghadapimu!”
“Apa itu perlu?”
“Pertemuan pertama nggak perlu, makanya kenal dulu, ketemu. Misalnya sudah berhubungan dekat, kamu sudah nyaman sama dia, baru kamu buat tingkah semacam maumu. Laki-laki dewasa itu dilihat dari sabar menghadapi masalah, dan cara dia menyelesaikan masalah. Laki-laki yang suka marah menghadapi pasangannya tentu saja belum dewasa dalam berpikir, sampai kapapun kamu akan melihat kemarahannya. Laki-laki yang tidak membesar-besarkan masalah sepele masuk kategori pilihan, mereka akan memahamimu sampai ke akar-akarnya dan kamu akan betah menghadapinya!”
“Segitunya?”
“Iya. Laki-laki itu penguasa. Apapun akan dilakukannya untuk kesenangan hidup mereka. Jangan coba-coba kamu didikte laki-laki selama kamu masih hebat seperti ini. Nah, laki-laki yang punya aura dewasa itu susah didapatkan masa kini. Ganteng banyak, kaya juga banyak, tetapi yang sayang sama istrinya belum tentu, apalagi selingkuh terbuka lebar masa teknologi ini!”
“Jauh sekali peneranganmu?”
“Harus! Kita dipilih laki-laki, kita juga harus memilih laki-laki!”
Benar!
Aku harus bertemu dengan laki-laki yang direkomendasikan Bang Mul. Sebelum melihat rupa dan gaya bicaranya, seperti usulan Tutun, aku tidak akan pernah mengenal laki-laki menarik lain selain Haikal yang pernah dekat denganku. Masa-masa kuliah yang berat membuatku tidak pernah menaruh harapan pada laki-laki mana pun. Di Banda, aku punya beberapa teman laki-laki, sebatas teman saja lalu menghilang. Di Amerika, bule-bule itu hanya cukup kujadikan teman diskusi dan belajar karena perbedaan kultur maupun keyakinan.
Kepalaku terasa sangat berat sekali. Jaringan telepon sudah kututup lebih satu jam lalu. Mungkin Tutun sudah tertidur pulas dan melupakan pembicaraan kami. Aku masih menatap langit-langit, laki-laki yang kujumpai besok merupakan pilihan abangku sendiri. Masa perjodohan yang teramat berat untukku. Belum lagi jika ini diketahui Mak Sari dan Dara, barangkali mereka akan senang dan mengumbar kemunafikan bahwa Haikal telah meninggalkanku.
Dan Haikal? Bagaimana perasaan laki-laki itu? Dia pasti akan baik-baik saja. Selama ini kami hanya berteman saja bukan? Haikal tidak pernah sekalipun memperlihatkan tanda akan rasa yang diembannya. Aku punya perasaan yang sulit menebak urusan hati, mungkin Haikal sudah memberi sinyal hanya saja aku tidak memedulikannya.
Haikal punya wewenang mengajakku kencan misalnya. Tetapi tidak mungkin. Haikal sudah dapat meraba jawabanku dan keluargaku. Ini benar-benar terasa berat bagiku. Aku pun tidak memahami isi hati ini, memikirkan Haikal sebuah pertanda bahwa aku menginginkan dirinya?
Siapa yang bisa mengajariku tentang rasa?
***