Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta Wanita S2
MENU
About Us  

Setiap yang bernyawa pasti akan punya jodoh masing-masing, tidak di masa hidup mungkin akan ada di dunia yang sudah ditentukanNya suatu masa nanti. Pasti pasti akan bertemu, hanya butuh sedikit kesabaran agar jodoh tidak menghilang.

Memang, aku sedang butuh kesabaran.

Aku, berdiri di tengah masyarakat yang tidak mau melepaskan diri dari genggaman rasa ingin tahu lebih banyak terhadap masalah orang lain. Di sini pula aku hidup dan menjalani semua mau dengan menutup rapat-rapat pendengaran agar tidak ikut larut dalam peperangan. Buku lama mungkin sudah sangat usang, tetapi yang usang itu tidak pernah hilang. Karena buku hidupku usang, yang dulu sudah mencipta perang, sekarang bahkan hampir menjadi kembali benderang.

Mak Sari terus mencari-cari alasan agar dapat menghasut kehidupanku. Hari minggu dengan banyak insiden yang membuat detak jantungku seakan berhenti jika berhadapan dengan Haikal, menjadi satu-satunya alasan Mak Sari menjerumuskan harga diriku ke dalam pusara kenistaan ucapannya. Mak Sari ibarat televisi berwarna puluhan inci yang berkeliaran di mana-mana. Televisi Mak Sari ini tanpa iklan, tidak ada sponsor khusus untuk menayangkan live show dengan tema tak pernah bervariasi. Topik utama tetap aku, keluargaku, keburukan dalam diriku, kelakuanku yang tak pernah baik di matanya, aktivitasku yang terkadang sampai malam, masih sempat Mak Sari mencari celah menunggu waktu aku pulang. Maka tidak heran, setiap kali pulang walaupun malam sudah lewat pukul sepuluh, dari kaca mobil dapat kulihat kedai Mak Sari masih terbuka. Kadang di malam bergerimis, di mana orang enggan keluar rumah sekadar duduk di kedai Mak Sari, perempuan itu masih tetap menungguku pulang. Herannya, Ibu di rumah sering kudapati sudah terlelap jika aku pulang larut karena berbagai aktivitas di luar. Ibu sudah paham betul apa yang aku lakukan, aku pun pasti mengabari seandainya butuh waku beberapa jam sebelum sampai di rumah. Kegiatan yang padat membuat Ibu cepat mengistirahatkan dirinya dari pada menungguku pulang, aku juga tidak memaksa Ibu melakukan itu.

Mak Sari menggali celah agar aku terperosok. Aku masih mengulur sabar agar lebih panjang dari yang kuingini. Seandainya tali sabarku putus, terpancing sedikit saja dengan ucapan Mak Sari, menanglah dia dari peperangan tak stabil yang sengaja dibuatnya sendiri.

Kehadiran Haikal memang sudah punya tempat tersendiri dalam menyudutkan posisiku di Kampung Pesisir. Kadang pula tanpa sengaja aku pulang beriringan dengan Haikal di malam larut. Secara nyata aku tidak menyadari Haikal membuntuti di belakangku. Belakangan aku mengetahui hal ini karena disengaja Mak Sari membuka pembicaraan murahan di pagi buta. Sehabis subuh, saat matahari belum lagi merangkak sepenggalah, belum pula sampai tanganku menggenggam sapu lidi, Mak Sari sudah berkoar-koar dengan suara yang nyaris melengking.

“Pantas saja pulang malam, tidak tahunya pacaran!”

Aku tidak habis pikir, Mak Sari dengan gagah berani mengeluarkan suaranya di depan kedai. Malah orang yang ingin membeli gula di pagi hari agar dapat menyeduh kopi biar tidak pahit, tidak jadi mampir ke kedainya. Mak Sari pun kelihatan tidak tertarik mempromosikan kedainya di pagi hari, malah menyambung acara rutin tak berpemasukan dengan mata membulat ke arahku.

“Semalam saya lihat dia pulang sama anak lajang depan rumahnya, tahu apa kita apa yang mereka kerjakan di luar sana? Jangan-jangan memang sudah pernah berduaan di tempat sunyi. Jangan sampailah Kampung Pesisir malu karena orang ini berdua ditangkap lalu dikawinkan. Sudah berulang kali saya kasih tahu, tetap saja tidak berubah kelakuan lulusan luar negeri itu!”

Mak Sari tidak puas dengan berdiri saja di depan kedainya, mendapat respon biasa saja dari orang yang lewat di jalan depan kedai Mak Sari ikut ke jalan. Kedai dibiarkan terbuka lebar sedangkan Mak Sari jalan-jalan kecil mendekati rumahku dan rumah Haikal, mencari cara agar emosiku terpancing dan Haikal maupun ibunya keluar. Tetapi Mak Sari hanya bisa menggigit yang tak terasa masuk ke dalam mulutnya, pagi-pagi sekali sebelum jalanan ramai Haikal sudah berangkat ke tokonya di Kota Pesisir. Ibu Haikal masih seperti hari-hari sebelumnya, tidak pernah mengubris ocehan Mak Sari yang bersuara ingin menyaingi petir yang belum pernah datang selama aku pulang dari Amerika. Mak Sari tidak pernah putus harapan, beberapa orang tua yang sedang olahraga ringan dibuatnya ikut terlibat pembicaraan itu.

“Semalam saya lihat sendiri mereka pulang berdua, mobil di depan, motor di belakang, tetaplah mereka beriringan!” ucap Mak Sari. Lawan bicara Mak Sari sesekali menoleh ke arahku dengan kening mengkerut. Selebihnya mereka hanya mengangguk dan memberi senyum akan ucapan Mak Sari.

***

 Entah apa yang terjadi, malam setelah Mak Sari mengebor pertahananku sampai membuat pikiranku benar-benar kacau, rumah jadi ramai. Ketiga abangku tanpa ditemani istri mereka sudah duduk di ruang keluarga bersama Ibu. Aku mencium gelagat tidak baik yang akan segera menimpa keluargaku. Mungkin saja Ibu berniat melakukan sesuatu yang belum ingin aku lakukan, atau bahkan Ibu ingin memindahkan ragaku keluar rumah ini beberapa waktu untuk menghindari cemoohan Mak Sari.

Bang Mul, Bang Muis dan Bang Mus duduk berhadapan dengan Ibu. Bang Mul memakai sarung dan kaos oblong warna putih susu, sedangkan kedua abangku yang lain mengenakan celana kain dan kemeja kotak-kotak. Bang Mul seperti sudah paham apa yang ingin disampaikan Ibu, Bang Muis dan Bang Mus masih tenang merokok dan meneguk secangkis kopi panas perlahan-lahan.

Aku diminta ikut menemani obrolan mereka yang masih seputar keluarga masing-masing. Ibu menanyakan keadaan Bang Muis dan Bang Mus beserta keluarganya. Kondisi Bang Mul tentu saja tidak perlu Ibu ketahui karena rumah abang tertuaku ini bersebelahan dengan rumah kami. Firasatku seakan membenarkan kecurigaanku terhadap Ibu yang ingin aku pindah rumah sebentar, hal ini tersirat dari omongan Ibu dengan Bang Muis dan Bang Mul. Ibu tak henti-henti memaksa jawaban dari Bang Muis dan Bang Mul tentang kondisi rumah mereka.

“Ibu tahu sendirilah bagaimana rumah saya, Rita kurang perhatian terhadap rumah kami. Dia sibuk mengurus toko, bahkan barang-barang yang baru sampai sering kali berserak di rumah belum sempat kami beresi. Untuk makan sehari-hari kami pun jarang di rumah, anak-anak juga diurus sama asisten rumah tangga yang sudah kami gaji setiap bulan.”

“Bilanglah sama Rita jangan begitu, kasih perhatian sedikit kepada anak-anakmu. Seorang anak itu sangat butuh kasih sayang ibu, Muis!”

“Nantilah saya anjurkan Rita lebih banyak di rumah. Lagian anak-anak pun juga punya kesibukan sendiri, pagi sampai siang sekolah, pulang dari itu les, malam ngaji sebentar di masjid depan rumah, pulang sudah lelah mereka. Rita pun harus jaga toko sampai sore, malam baru saya jaga setelah pulang kerja.”

Entah karena tidak tahu berkata apalagi, Ibu berpaling pada Bang Mus. “Bagaimana dengan kamu, Mus?”

“Ibu tahu sendiri rumah kami tidak sebesar rumah Bang Muis, Afni bekerja sampai sore dan tidak sempat memasak untuk keluarga. Anak-anak sering kami belikan makan dari pada perut mereka kosong.”

“Lain pula masalahmu, Mus. Jangan sering-sering beri makan di luar anak-anakmu, suruh masak makanan enak sama Afni, apa kerja perempuan tidak bisa masak untuk anak-anaknya?”

“Iya, nanti saya sampaikan pesan Ibu,”

Mungkin kini gilirannya. Ibu akan memutuskan ke rumah siapa aku akan dititip. Ibu berpaling ke arah Bang Mul sebelum memulai percakapan seriusnya.

“Begini,” Ibu mulai bicara hati-hati. Aku benar-benar dibuat tidak tenang. Membayangkan tampang Kak Rita dan Kak Afni saja sudah hilang selera bicaraku, apalagi harus diungsikan ke rumah mereka karena seorang Mak Sari. “Maksud Ibu menyuruh kalian pulang malam ini menyangkut masalah Inong, Ibu sudah sampaikan pada Mul supaya cepat dicari jalan keluarnya.”

Aku masih meraba-raba, kemungkinan aku tinggal di rumah Bang Muis maupun Bang Mul akan semakin menipis. Ibu melirik Bang Mul.

“Kita sudah sering diliputi masalah semenjak Inong pulang, banyak pula orang yang membicarakan Inong,” Bang Mul memulai. Aku masih menerka-nerka. “Malam ini kami semua ingin tahu dari kamu sendiri, apakah benar selama ini kamu ada hubungan dengan Haikal?”

Sangat jauh dari perkiraanku. Aku mencari-cari alasan lain dari pertanyaan Bang Mul. Mungkin saja sebelum aku duduk di sini, mereka sudah lebih dahulu membicarakan ini. Aku saja yang tidak begitu peka terhadap suasana dan tidak menguping sedikti saja pembicaraan mereka saat menyeduh kopi di dapur. Mereka sudah sama-sama tahu apa yang akan dibicarakan; mengenai jodoh. Apalagi? Jodoh untukku. Apa penting sekarang aku beranjak ke kamar, menghitung bintang-bintang di langit yang tidak bisa kulihat dari dalam kamarku. Belum terlintas dalam benakku saat ini untuk segera membicarakan masalah pria dalam konteks sangat serius.

“Kami sering melihat kalian berdua,” mungkin maksud kami itu, hanya Bang Mul dan Ibu. “Kami pun tidak melarang hubungan kalian seandainya serius,”

“Dan Haikal sanggup melamarmu!” potong Ibu. Setidaknya dapat kutangkap ke mana arah perkataan Ibu. Nada bicara Ibu memberi sinyal bagiku untuk mengatakan bahwa Haikal belum tentu benar-benar sanggup melamarku, jika pun kami serius.

Ah, serius? Yang benar saja. Aku suka sama Haikal. Sebatas suka saja. Dilamar Haikal? Mungkin belum saatnya, aku masih harus menata hati sebelum menerimanya bukan saja perkara sanggup atau tidak Haikal melamarku. Aku kenal Haikal semenjak kecil, kami sama-sama tubuh dalam masa yang tidak terhitung lagi, kami sangat paham kondisi masing-masing, kecuali Haikal menaruh hati padaku.

“Haikal sering memperhatikanmu, kamu juga membalas perhatiannya. Kami tidak melarang kami serius dengannya, tetapi kamu tahu sendiri keluarga Haikal seperti apa,” Bang Mul tidak pernah merendahkan orang lain selama ini. Tafsiranku terhadap rasa tidak suka Bang Mul pada Haikal di hari kami bakar ikan inilah jawabannya. Bang Mul masih menganggap Haikal seperti orang lain menilainya. Bang Mul akan melanjutkan perkataannya, aku harus mendengar sebelum menjawab pertanyaan pertamanya. “Kamu sudah tahu Haikal kerja di mana? Seperti kata orang, Haikal kerja sebagai penjaga toko, berapalah pemasukan dia sebulan dibandingkan denganmu. Kamu harus perhatikan ini baik-baik sebelum memutuskan kehidupanmu dengan siapa. Masalah membina keluarga bukan hanya perkara hati suka dan mencintai, keluarga perlu dihidupi dari rejeki halal dan berkecukupan.”

Bang Mul mau mengatakan Haikal tidak hidup berkecukupan? Seperti tahu isi hatiku, Bang Mul melanjutkan kata-katanya.

“Haikal baik, kondisi ekonomi keluarganya sudah lumanyan, tetapi untuk kamu Haikal belum tentu lebih baik,”

“Tujuan Bang Mul bicara seperti itu untuk apa?” suara berat Bang Muis menggetarkan suasana. Ini akan jadi masalah jika Bang Muis ikut campur sebelum waktunya. “Biarkan Inong jawab dulu suka atau tidak!” tegas Bang Muis. Aku senang, akhirnya Bang Muis yang selama ini sangat tidak peduli dengan adik bungsunya ini membelaku secara terang-terangan.

“Iya Bang Mul, sebaiknya kita dengarkan keputusan ini dari Inong,” Bang Mus mendukung.

“Maksud Mul hanya memberi gambaran saja,” sudah kuduga, Ibu pasti akan membela Bang Mul. Biar bagaimana pun, Bang Mul seorang yang kukenal sangat kalem dan bijaksana, akhir-akhir ini kurasa Bang Mul selalu menuruti keinginan Ibu dan bahkan tidak jauh berbeda dengan Ibu dalam bersikap. Kedua abangku memilih diam, mereka tidak akan memperpanjang mukadimah jika sudah berhadapan dengan Ibu. Sebaiknya, aku harus segera menjawab.

Tapi apa?

“Bagaimana Inong?” desak Bang Mul.

Bagaimana apanya? Aku dekat dengan Haikal iya, kedekatan kami seperti apa aku tidak tahu.

Aku menunduk dalam-dalam. Meraba-raba isi hatiku selama ini. Sidang dalam keluarga ternyata lebih berat dibandingkan dengan sidang saat mendapat gelar magister di Amerika. Sidang masalah hati ini pun terasa jauh lebih memusingkan ketimbang aku pelajari hasil penelitian tesisku. Aku belum siap ditanya mengenai perasaan. Selama ini aku dekat dengan Haikal karena kami sama-sama sudah mengenal lama. Alasan apalagi? Aku sangat bingung.

“Diam itu berarti benar Inong,” ujar Bang Mul lagi.

“Janganlah dipaksa Bang Mul!” suara Bang Muis keras sekali. “Biarkan dia jawab dulu, masalah suka atau tidak itu mainnya di sini,” dalam menunduk aku dapat membayangkan Bang Muis menunjuk ke arah hatinya.

“Saya tahu, Muis,” Bang Mul membela diri. “Kamu juga tahu sendiri keluarga Haikal seperti apa, barusan kita sudah sepakat mengenai mahar dan lain-lain. Inong adalah bungsu yang mempunyai nilai tinggi bagi keluarga kita, lagi pula kita berhak menentukan ketentuan tersendiri dalam mencari yang terbaik.”

“Dari tadi kelihatannya Bang Mul kurang senang dengan Haikal,” Bang Muis tidak mau kalah.

“Saya senang, tetapi saya lebih senang seandainya Inong mendapatkan seseorang yang sederajat dengan kita. Kemampuan ekonomi perlu dipertimbangkan sebelum dia masuk dalam keluarga kita, Muis. Kamu sendiri bilang jarang tidur sebelum siap faktur pembelian dan penjualan. Ini juga sama, mana mungkin setelah menikah nanti kita yang cari pekerjaan mapan untuk suami Inong. Atau mungkin malah kita yang harus membiayai kehidupannya, jadi tanggungan Ibu dan Inong tidak bisa bernafas harus bekerja sendirian.”

Ya Tuhan. Kurasa, ini sudah lari ke mana-mana.

“Bang Mul ada benarnya, Bang Muis,” bahkan, kali ini Bang Mus membela Bang Mul. Aku tidak menyangka Bang Mul begitu menilai orang. “Inong pahamlah kondisi kita, keluarga kita sejak dulu dikenal sebagai orang terpandang. Dari segi pendidikan kita tertinggi, ekonomi pun kita masih tertinggi di Kampung Pesisir. Ayah pasti akan setuju dengan keputusan kita, ini masalah hidup mati adik kita kelak. Saya merasa sehati dengan Bang Mul, sebaiknya kita mencari seseorang yang mapan dari segi ekonomi dan fisik sebelum meminang Inong,”

“Fisik sudah jelaslah, Mus,” ujar Bang Muis. “Dia laki-laki, harus tampan, dari keluarga jelas asal-usulnya,”

“Ekonomi juga penting, Muis!” Ibu menambahkan. “Kamu sendiri tidak cukup-cukup, gaji sudah banyak malah buka usaha. Rumah sudah besar kamu bangun satu lagi untuk aset ke depan. Mobil sudah ada kamu beli lain lagi untuk Rita.”

Bang Muis terdiam.

“Muis ada benarnya juga, kita harus dengarkan pendapat Inong terlebih dahulu,”

Aku lagi. Dari tadi aku ingin lepas dari pertanyaan Bang Mul. Seharusnya tidak perlu kujawab. Tapi harus.

“Apa benar kamu ada hubungan dengan Haikal?”ulang Bang Mul.

Bagaimana ini? Aku tidak tahu, Bang Mul. Kami sama-sama berteman.

“Inong, jawab pertanyaan abangmu!” tegas Ibu.

Tidak tahu, Ibu!

Aku memejamkan mata. Tidak ada bayang Haikal di sana. Kupejam lagi lebih dalam. Sahabatku; Arin, Tutun, Erni, Kazol. Kupejamkan lagi; Asma, Irus, Misan, Risma. Kupejamkan lebih dalam lagi; tidak ada. Aku terus meraba ke lubuk hatiku paling dalam; Banda Aceh, Amerika; kedua kampusku.

Tidak mungkin aku tidak membayangkan Haikal. Dia menjelma sebagai sahabat karibku. Aku kagum sama dia, sebatas pada fisik dan aura dalam dirinya. Untuk memiliki?

“Kami hanya berteman,” putusku.

Benarkah?

“Sudah jelas.” Senyum Bang Mul beda dari biasanya. Aku meradang kesakitan yang tidak terdefinisi. Inilah kelemahanku yang mungkin dialami oleh semua perempuan di bumi Aceh, aku tidak akan pernah berani bertanya kepada Haikal tentang perasaan. Bahkan, aku tidak pernah mendiskusikan masalah hati dengan Haikal yang selalu mengistimewakan hadirku dalam waktunya. Barangkali, urusan hati biarkan kupikirkan lagi nanti.

Sejujurnya, aku nyaman bersama Haikal. Rasa yang belum pernah kudapati dari lelaki mana pun selama ini. Untuk mengetahui perasaan aku tidak pernah tahu, selama ini aku belum berhadapan dengan soal rasa dan suka. Aku punya teman laki-laki, sebagai teman diskusi dan berbagi. Tetapi Haikal, mungkin lebih sekadar berbagi kisah yang berasal dari negeri antah berantah. Aku cukup nyaman berada bersama dirinya. Itu saja.

“Saya kenal seorang laki-laki,” ujar Bang Mul kemudian. Belum reda getaran dalam hatiku Bang Mul sudah memulai persoalan yang lebih hebat dari sebelumnya. “Abang akan mengenalkannya untukmu,”

Aku mengerutkan kening.

“Dia pilihan tepat, saya kenal orangnya secara baik-baik, keluarganya, maupun kemapananya,” lanjut Bang Mul. Aku melirik Bang Muis dan Bang Mus. Kedua abangku itu hanya diam saja. Mungkin bayangan laki-laki yang akan dikenalkan untukku sudah terlebih dahulu diberitahu kepada mereka.

“Kamu harus segera memikirkan ini, Inong!”

***

Pagi harinya, menyapu halaman pun rasanya enggan kulakukan. Waktu yang kulalui pun begitu lamban sekali. Di kampus, aku bahkan memperlihatkan sifat yang berbeda. Banyak orang yang kurugikan hari ini, beberapa mahasiswa yang membutuhkan bimbingan tugas akhir kucoret lebih banyak dari biasanya. Teguran teman sesama dosen kujawab sekenanya dan tidak kutanggapi dengan serius. Sampai di rumah menjelang magrib, aku malah kedatangan tamu yang sangat kuhindari.

Kami duduk di teras rumah, kebetulan aku sedang tidak bisa beribadah, dan aku tidak tahu bagaimana dengan tamuku ini. Dalam remang senja, di saat matahari pergi jauh meninggalkan panas kami bicara tanpa melihat wajah masing-masing.

“Lepaskan dia untukku, Nong!” ucapnya.

Dulu juga pernah kudengar permintaan itu, waktu kami menerima ijazah menengah atas. Padahal, waktu itu hubunganku dengan orang yang dimaksud belum sedekat ini.

“Biarkan aku memilikinya, kamu sudah cukup bahagia bisa kuliah di luar negeri,”

Apa hubungannya?

“Kamu tahu sendiri, aku menyukainya sebelum kamu suka,”

“Aku tidak merebutnya darimu,”

“Kamu merebutnya, Nong!”

“Kapan?”

Dara diam. Aku was-was melihat ke jalan. Dara masih berani datang ke rumah setelah apa yang diperbuat oleh dirinya dan Mak Sari. Aku harus lebih hati-hati, bisa saja Mak Sari merasa kehilangan Dara lantas mencari-carinya.

“Dari dulu kamu yang menginginkannya, bukan?” tanyaku. “Berapa lama aku membiarkan kalian berdua agar bisa berdekatan? Hampir 8 tahun aku menata hati supaya tidak teringat lagi masalah kalian berdua. Selama itu pula kamu malah menyukai laki-laki lain dan mengabaikannya di depan matamu. Sekarang, begitu aku sudah pulang dan dia dekat lagi denganku kamu malah memintanya kembali?”

“Aku sudah pernah mendekatinya, Nong?”

“Lantas? Ibumu yang melarang? Aku cukup bersabar menghadapi kelakuan ibumu. Lama-lama aku tidak tahan menerima ejekan yang dialamatkan kepadaku seorang. Kamu tanpa merasa bersalah malah datang ke rumahku, meminta Haikal kembali untukmu, kamu tahu sendiri antara aku dan Haikal tidak ada hubungan apa-apa. Maumu apa, Dara?”

“Haikal!”

“Kalau begitu, ambillah dia sebelum ada perempuan lain melamarnya!”

“Aku tidak bisa, pacaran saja aku tidak diterima bagaimana mau melamarnya, bisa jatuh harga diriku!”

“Kamu pikir? Harga diriku sebagai perempuan masih ada? Aku bahkan tidak dihargai oleh ibumu, semenjak aku pulang sampai detik ini tiap saat ibumu membicarakan aku di belakangku,”

“Jangan bawa-bawa ibu, ini masalah kita berdua,”

“Kita tidak ada masalah, kecuali kamu yang mencari masalah,”

“Masalahnya Haikal,”

“Kamu dekati dia supaya mau, jika tidak mau juga kamu harus perbaiki dirimu sendiri. Mana mungkin Haikal mau sedangkan dia lihat sendiri kamu berpelukan dengan laki-laki lain,”

“Haikal bilang begitu? Kapan?”

“Kamu benar-benar tidak peka. Hari minggu, di hari kami bakar ikan, kamu lewat di depan kami menuju tempat sepi. Haikal sendiri yang mengatakan pada kami itu kamu bersama pacarmu. Haikal pula yang bilang, sebentar lagi kamu akan putus dengan laki-laki itu dan mencari laki-laki lain yang lebih kaya!”

“Kamu jangan mengada-ada, Non!”

“Aku tidak mengada-ada, itulah penilaian Haikal terhadapmu,”

“Kamu yang menilai aku demikian, Haikal tidak akan mengatakan itu!”

“Lalu, kenapa Haikal tidak menerimamu?”

“Karena kamu!”

“Aku? Kenapa selalu aku yang dijadikan korban hubungan kalian? Kamu harus berkaca sebelum memutuskan benar atau salah. Aku tidak mau selalu jadi kambing hitam urusan hatimu untuk Haikal.”

“Sudah jelas buktinya, selama kamu masih hidup Haikal tidak akan pernah mau denganku,”

“Kamu menciptakan alasan, Dara! Kamu sendiri tidak pernah terbuka dengan perasaanmu sendiri, kamu menyukainya tetapi kamu berhubungan dengan laki-laki lain. Kamu ingin mendapatkannya, malah aku yang dijadikan sebab dia tidak menerimamu. Kamu tidak pernah ingat, ibumu sendiri yang datang menjelek-jelekkan Haikal di depan orang banyak. Haikal punya harga diri sama sepertimu yang merasa sudah kujatuhkan harga diri. Sebenarnya siapa yang tidak punya harga diri di antara kita?”

“Sudahlah. Susah bicara sama orang seperti kamu!”

Dara berlari pulang. Aku meremas kepala yang hampir pecah.

Kukira, urusan hati lebih gampang dibandingkan teori apapun dalam hidup ini.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sugar Baby Wanna be
412      326     2     
Romance
Kalian punya Papa posesif, yang terus mengawasi dan mengikuti ke mana pun? Sama! Aku benci Papa yang membuntuti setiap pergerakanku, seolah aku ini balita yang nggak bisa dibiarkan keluyuran sendirian. Tapi, ternyata saat Papa pergi, aku sadar kalau nggak bisa melakukan apa-apa. Penyesalanku terlambat. Kehilangan Papa menjadi pukulan terbesar bagiku. Hidupku berubah dan menjadi kacau. Aku bahk...
Kala Senja
33598      4772     8     
Romance
Tasya menyukai Davi, tapi ia selalu memendam semua rasanya sendirian. Banyak alasan yang membuatnya urung untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia rasakan. Sehingga, senja ingin mengatur setiap pertemuan Tasya dengan Davi meski hanya sesaat. "Kamu itu ajaib, selalu muncul ketika senja tiba. Kok bisa ya?" "Kamu itu cuma sesaat, tapi selalu buat aku merindu selamanya. Kok bisa ya...
ADIKKU YANG BERNAMA EVE, JADIKAN AKU SEBAGAI MATA KE DUAMU
219      167     2     
Fantasy
Anne dan Eve terlahir prematur, dia dikutuk oleh sepupu nya. sepupu Anne tidak suka Anne dan Eve menjadi putri dan penerus Kerajaan. Begitu juga paman dan bibinya. akankah Anne dan Eve bisa mengalahkan pengkhianat kerajaan? Siapa yang menikahi Anne dan Eve?
Shine a Light
793      515     1     
Short Story
Disinilah aku, ikut tertawa saat dia tertawa, sekalipun tak ada yang perlu ditertawakan. Ikut tersenyum saat dia tersenyum, sekalipun tak ada yang lucu. Disinilah aku mencoba untuk berharap diantara keremangan
Konspirasi Asa
2609      879     3     
Romance
"Ketika aku ingin mengubah dunia." Abaya Elaksi Lakhsya. Seorang gadis yang memiliki sorot mata tajam ini memiliki tujuan untuk mengubah dunia, yang diawali dengan mengubah orang terdekat. Ia selalu melakukan analisa terhadap orang-orang yang di ada sekitarnya. Mencoba untuk membuat peradaban baru dan menegakkan keadilan dengan sahabatnya, Minara Rajita. Tetapi, dalam mencapai ambisinya itu...
Daybreak
3787      1657     1     
Romance
Najwa adalah gadis yang menyukai game, khususnya game MOBA 5vs5 yang sedang ramai dimainkan oleh remaja pada umumnya. Melalui game itu, Najwa menemukan kehidupannya, suka dan duka. Dan Najwa mengetahui sebuah kebenaran bahwa selalu ada kebohongan di balik kalimat "Tidak apa-apa" - 2023 VenatorNox
THE DARK EYES
702      391     9     
Short Story
Mata gelapnya mampu melihat mereka yang tak kasat mata. sampai suatu hari berkat kemampuan mata gelap itu sosok hantu mendatanginya membawa misteri kematian yang menimpa sosok tersebut.
Premium
RARANDREW
17768      3306     50     
Romance
Ayolah Rara ... berjalan kaki tidak akan membunuh dirimu melainkan membunuh kemalasan dan keangkuhanmu di atas mobil. Tapi rupanya suasana berandalan yang membuatku malas seribu alasan dengan canda dan godaannya yang menjengkelkan hati. Satu belokan lagi setelah melewati Stasiun Kereta Api. Diriku memperhatikan orang-orang yang berjalan berdua dengan pasangannya. Sedikit membuatku iri sekali. Me...
Shut Up, I'm a Princess
820      521     1     
Romance
Sesuai namanya, Putri hidup seperti seorang Putri. Sempurna adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupan Putri. Hidup bergelimang harta, pacar ganteng luar biasa, dan hangout bareng teman sosialita. Sayangnya Putri tidak punya perangai yang baik. Seseorang harus mengajarinya tata krama dan bagaimana cara untuk tidak menyakiti orang lain. Hanya ada satu orang yang bisa melakukannya...
MANTRA KACA SENIN PAGI
3524      1285     1     
Romance
Waktu adalah waktu Lebih berharga dari permata Tak terlihat oleh mata Akan pergi dan tak pernah kembali Waktu adalah waktu Penyembuh luka bagi yang sakit Pengingat usia untuk berbuat baik Juga untuk mengisi kekosongan hati Waktu adalah waktu