"Harinya selalu dingin, ya, Paman!" serunya begitu Hal turun ke lobi.
Hal mengambil sebuah gelas yang asapnya mengepul, ia lalu menyeruputnya, segelas kopi hangat. "Jumlah pohon sama dengan jumlah manusia dan hewan. Yah, sudah pasti dingin. Kita juga jarang kena sinar matahari jadinya."
Ini adalah hari Minggu, hari besar yang selalu mereka berdua tunggu. Di saat dunia sudah tidak lagi berjalan, tidak ada bedanya mau itu Minggu akhir pekan atau Senin penuh tekanan. Semuanya sama-sama kosong, tetapi Hal dan Milly sudah menetapkan Minggu sebagai hari di mana mereka harus keluar. Meski kadang di hari lain pun mereka juga keluar.
Milly mengemas piring tempat roti dan salad mereka pagi ini begitu selesai. Wanita itu langsung mencucinya bersama dengan gelas sisa kopi dan teh tawar. Selain pohon yang berserakan, tanaman sayuran dan buah juga berserak di beberapa tempat. Hal berteori kalau hewan tidak berubah menjadi pohon, melainkan berubah menjadi tanaman biasa. Saat mereka menggali tanah beberapa hari lalu, bukannya menemukan lobang semut atau cacing, mereka malah menemukan rumput ilalang yang tumbuh di dalam tanah. Sedangkan beberapa bahan makanan lainnya mereka jarah—lebih tepat disebut mengambil milik sendiri, mereka menyatakan diri sebagai pemilik seluruh dunia—dari swalayan, yang bisa bertahan sampai dua atau tiga tahun lagi.
"Kita mau ke mana hari ini?" Sebuah lap putih yang terletak di meja diambil oleh Milly, dia menyapu-nyapu telapak tangannya yang basah sampai kering. Lalu kembali bertanya, "Ke mana, Paman Bodoh?"
Hal yang meletakkan dagu di kepalan tangannya terperanjat mendengar panggilan yang telah lama tidak ia dengar itu. "Minggu lalu aku yang tentukan, hari ini kau saja."
"Oh? Karena aku panggil Paman Bodoh, langsung pakai kau, ya?"
Mereka saling melirik dengan wajah merengut beberapa saat. Sampai akhirnya Hal tidak tahan dan hampir menyemburkan ludah sendiri, ia terbahak-bahak. Melihat Hal begitu, Milly pun tidak bisa tahan juga, ikut tertawa bersama Hal.
Butuh waktu satu jam lebih selepas itu bagi Milly untuk keluar dari kamar. Hal menunggu di lantai bawah, di lobi hotel. Selama menunggu, Hal mengubah posisi duduknya yang awalnya normal di atas sofa, jadi duduk di lantai, lalu duduk di atas meja kaca sambil memeluk betisnya, sampai duduk di sandaran punggung di sofa. Ia menaruh bokongnya di situ dan punggungnya malah dia tempat bokong. Membalik cara.
"Jangan jadi anak kecil lagi. Paman sudah mau empat puluh."
"Aku baru tiga puluh setahun lalu."
"Itu lebih setahun. November nanti Paman sudah tiga dua."
"Siapa peduli. Sekarang umur tidak berguna rasanya."
"Aku juga heran kenapa Paman bisa tampak muda belakangan ini."
"Benar, kan?"
Mereka kembali tertawa selepas-lepasnya. Sudah lebih setahun sejak mereka tidak lagi mendengar suara apa-apa. Bukan berarti menjadi tuli. Hanya saja klakson mobil dan sepeda motor atau derunya, kicauan burung, suara radio dan televisi, juga suara orang lain tidak lagi ada. Tawa mereka yang terbahak-bahak begini yang mengisi senyapnya dunia.
Milly yang selesai tertawa langsung memberi sebuah kertas yang dilipat-lipat pada Hal.
"Kita mau ke sini?" tunjuk Hal pada sebuah gambar di kertas licin itu. Gambar taman bermain untuk keluarga, isinya macam-macam wahana. Cukup terkenal di kota tempat mereka tinggal sekarang. Meski terkenalnya itu dulu. Milly dengan mantap mengangguk pada Hal setelah kembali melihat kertasnya.
Maka melangkahlah mereka ke luar. Melewati pintu kaca berlapis, dulu pintunya mungkin otomatis terbuka saat lantai di dekatnya dipijak, tapi sekarang harus tarik-dorong sendiri. Mereka menaiki sepeda tandem. Sejak beberapa bulan lalu, hanya sepeda yang bisa dinaiki. Mobil dan sepeda motor penuh risiko, kata Hal. Sebab bensinnya. Milly mengiyakan saja apa katanya.
Butuh sejam lebih untuk bisa sampai. Tentu saja karena mereka beberapa kali berhenti. Ada minimarket di pinggir jalan, mereka langsung singgah. Minum beberapa kaleng soda dan teh kemasan. Dipilih mana yang belum kedaluwarsa. Lalu lanjut lagi mengayuh sepeda, melewati jalan yang diselingi pepohonan, dan terguncang-guncang oleh akar yang mencuat ke atas jalanan. Berbelok ke sebelah kanan, dan membuka gerbang yang Hal yakin tingginya tujuh atau delapan meter.
Di taman bermain itu, setiap wahananya, tidak ada yang berdebu. Karena memang tidak ada yang di dalam ruangan, kecuali beberapa tenda dan ruang bertembok di ujung belakang. Tidak ada satu pun pohon di sana, jadi cahaya matahari langsung terasa, meski masih tetap dingin. Sebuah pilihan yang tepat bagi mereka berdua untuk memakai jaket tebal.
"Ah, lihat! Ada yang melayang, Paman."
Hal mendongakkan kepalanya mengikuti telunjuk Milly, matanya mendapati beberapa tanaman Yanga menjalar di atas rel wahana kereta.
"Itu tidak melayang."
Milly mengelap napas dan memegang dagu Hal, mendorongnya ke atas sambil menunjuk ke langit lepas. "Yang di atas," katanya.
Benar saja. Ada tanaman yang tumbuh di langit, berbaris membentuk ujung anak panah. Barisan burung. Dulu Hal pernah melihat yang seperti itu sekali dua kali. Mungkin burung yang sedang mengepakkan sayap, tiba-tiba berubah jadi tanaman, tapi tidak jatuh ke tanah. Tetap melayang di langit. Terkena panas dan hujan, tanpa tanah. Layu menguning semuanya.
Lalu mereka mengelilingi seluruh taman bermain. Masuk ke rumah hantu, yang benar-benar jadi rumah hantu asli sepertinya. Penuh debu! Selepasnya naik ke atas kereta yang tidak bisa berjalan. Hanya menaikinya dan sedikit berimajinasi. Mereka menaiki semuanya, kecuali satu. Sebuah wahana yang ditutup keseluruhan. Bianglala!
Hal menyepak kaca pintunya sampai pecah. Ia memereteli hingga terbuka pintunya. "Kita masuk!"
Mereka duduk di dalamnya. Bersebelahan, bahu dan kaki mereka bersentuhan. Milly menidurkan kepalanya pada bahu Hal. Dan mereka terus begitu sampai hari sudah kelewat siang.
"Masih ada waktu, mau pakai jalan memutar?" tanya Hal.
"Nanti gelap waktu di jalan."
"Kita tinggal cari tempat tidur."
Mereka kembali mengayuh, menyusuri jalan aspal yang pecah sekelilingnya. Langit makin redup, sudah mau senja. Tambah gelap pula di jalan, sebab tertutupi pohon di sana-sini. Tidak ada lampu di sepeda, Hal mengandalkan matanya untuk dapat melihat jalan. Sesekali salah acuan juga, hampir menabrak pohon. Jika ada jalan yang berlobang tidak terlihat oleh Hal, maka bokong mereka akan menghantam tempat duduk, Milly hampir jatuh malahan.
Jalan yang mereka ambil melewati kota Maury, tempat mereka dulu tinggal. "Kenapa kita ke sini? Tidak sempat sampai sebelum gelap."
"Yah, pastinya, aku mau menginap semalam di sini, bagaimana?"
Dalam setahun ini mereka sudah pergi ke mana-mana. Ke beberapa kota dan desa. Mendaki gunung, bermalam di tepi laut, atau mengikuti arah sungai yang melewati empat kota panjangnya. Namun sekali pun Milly tidak ingin kembali ke Maury. Jika itu ke kota yang lain, dia mau-mau saja dua atau tiga kali ke sana. Katanya bahan makanan menipis di sana, di kota Maury.
"Kita cuma semalam, besok pagi langsung kembali." Hal ingin merasa sedikit nostalgia dengan kotanya, jadi ia berkeliling kota sampai hari sudah gelap.
Di sebuah rumah sakit mereka berhenti, "Pohon apa ini?"
"Paman, kita cari hotel atau apartemen dulu."
Hal turun dari sepeda dan melangkah masuk ke rumah sakit. Ia memanggil Milly yang masih berdiri di luar. Di lobi rumah sakit ada banyak lilin berserak. Milly masih juga enggan bahkan setelah Hal berkali-kali memanggil. Padahal bagi Hal tempatnya sudah cocok untuk bermalam, tidak perlu cari-cari lagi di saat gelap begini. Setelah adu mulut beberapa saat, barulah Milly ikut masuk ke dalam.
Hal menyalakan banyak lilin dengan sebuah pemantik, ia menaruhnya di sekitar dinding dan di tengah-tengah ruangan. Lalu mencari dapur di lantai satu, langsung dapat, di ujung, dekat pintu belakang. Sebuah dapur yang sudah terlapisi debu, tapi di dalam sebuah lemari besi, ada beberapa cup mie instan, dan sayuran yang mengering. Hal membuka lemari es, bau busuk langsung menyeruak, ada banyak daging. Ia langsung menutupnya kembali dan mendapati sebuah meja lebar dari besi juga. Lilin yang dipegangnya diarahkannya ke meja, ada dua piring di sana, dengan beberapa mangkuk yang berisi makanan. Sudah cukup lama agaknya dibiarkan begitu saja, sampai kering semua.
"Paman, kenapa aku ditinggal?"
"Ah, coba cari air. Kita makan mie instan hari ini."
Gelap sudah jadi bagian dari hidup mereka sekarang. Sudah berbulan-bulan mereka mengandalkan lilin untuk penerangan. Mau itu makan malam atau hendak tidur, mereka biasa saja tanpa benar-benar kegelapan.
Hal mengajak Milly ke lantai atas, ke ruang inap kelas atas. Ada sofa dan televisi di dalamnya. Hanya orang berduit pasti yang bisa membayarnya waktu dunia masih baik-baik saja.
"Aku tidak begitu ingat bagaimana awalnya semua orang berubah jadi pohon." Hal membuka obrolan setelah lama berdiam dengan Milly.
Milly yang memunggungi Hal berbalik hingga mereka harap-hadapan berbaring di ranjang. "Kita yang memintanya."
"Yah, rasanya ada yang hilang. Bagian kecil."
Milly terkekeh sebelum akhirnya membalas, "Itu karena Paman tua. Makanya jadi lupa, pikunnya dari dulu sudah ada."
Rumah sakit itu dipenuhi tawa mereka. Menggema ke seluruh kota.
***
Ada kalanya Hal memimpikan sesuatu. Tentu saja mimpi waktu tidur. Ia akan bermimpi tentang bermacam situasi ketika malam. Sejak kecil Hal tahu kapan sedang bermimpi atau kapan saat benar-benar bangun. Dan kali ini ia bermimpi tentang sebuah pohon. Pohon yang sedikit lebih tinggi darinya, seperti tabebuya pendek. Bunganya sama sekali tidak ada, kering kerontang.
Yang membuat aneh ialah pohon tersebut bersuara. Hal celingak-celinguk berusaha mencari asal suara, meski ia tahu datangnya dari pohon yang ada di hadapannya saat ini. Namun tetap ia membuat-buat kiraan kalau datangnya dari orang yang ada di sekitar. Setelah beberapa saat ia berkeliling, tetap nihil keberadaan orang lain selain dirinya. Maka pasrahlah ia dan kembali ke dekat pohon, menempelkan telinganya ke batang pohon. Makin jelas suaranya!
Ia fokuskan segalanya pada telinga. Sampai hanya telinganya dari seluruh panca indra yang bekerja. Maka suara samar yang parau itu mulai terdengar, "Pa ...."
Masih belum jelas, Hal makin menempelkan telinganya. Tidak ada lagi jarak, sampai serbuk-serbuk di batang pohon itu masuk ke telinganya, baru kemudian terdengar lagi, "Pa ... man ...."
Itu suara Milly, dan hanya Milly pula yang memanggilnya begitu. Lantas terbangunlah ia segera dari tidurnya. Tengkuk dan seluruh muka habis dibanjiri keringat. Hari masih gelap, di jam saku yang ia selipkan di kantong celananya, menunjukkan masih tengah malam. Milly juga masih terlelap di sampingnya.
Ia lanjutkan lagi tidurnya, esok pagi-pagi sekali mereka ingin kembali ke kota sebelah, akan memakan waktu yang lama seperti tadi kalau naik sepeda. Hal memejamkan mata, mengosongkan pikirannya, dan kembali hilang kesadaran. Tertidur. Dan kembali pula ia bermimpi. Kali ini bukan tentang pohon, melainkan seorang gadis sekolah menengah.
Gadis itu duduk di ayunan sebuah taman, memakai jaket putih yang kumal. Tampak sedang kesal dengan wajah cemberut yang keras, hingga tampak urat-urat di dahinya. Gadis itu kemudian menapakkan kakinya berkali-kali ke tanah di bawah ayunan. Sampai naik abu dan tanah ke hidungnya, dan dia sendiri yang bersin pada akhirnya. Kemudian dia mengayunkan tubuhnya kencang-kencang, sampai tercampak pula ke tanah.
Situasi kemudian berubah ke sebuah sungai. Di tepi sungai, gadis itu membawa sebuah kantong plastik besar yang isinya kertas-kertas berbentuk pesawat. Lalu dia campakkan kantong itu, tapi tidak jadi. Dia melihat beberapa ikan di sungai, jadi urung kantong itu dicampakkan. Dan pergi ke tempat lain untuk membuang sampah.
Berubah tempat pula lagi ke sebuah atap bangunan. Gadis itu memakai seragam sekolahnya dan berteriak-teriak. Kakinya dinaikkan satu ke atas dinding pendek pembatas atap.
Berganti lagi ke tempat yang dipenuhi pepohonan ek. Di sana gadis itu menangis sejadi-jadinya. Dia mengucek matanya sampai memerah, mengelap-lap air mata yang menetes ke pipi di bawah mata. Lalu mengambil sebuah pisau lipat yang mengilau ujungnya, begitu tajam. Lalu diiris pergelangan tangannya yang putih dengan pisau itu, berkali-kali, tapi tetap tidak ada luka. Darahnya tidak keluar, kulitnya pun tak tergores.
Kini gadis itu berpindah ke sebuah kafe. Yang bau kopi di mana-mana. Diminumnya secangkir besar kopi hitam tanpa gula, dan kepahitan sampai hampir muntah. Beberapa saat kemudian dia mengambil sebatang keretek, dibakarnya dengan korek ujung keretek itu, lalu dihisapnya ujung yang lain. Mengembuskan asap dari mulut. Dia bahkan meminum beberapa gelas anggur.
Kembali berubah tempat, kini gadis itu berada di dalam sebuah ruko kosong, duduk di pojokan ruang. Dia menunggu hingga beberapa saat. Sebuah pohon masuk ke dalam dan menusuk dadanya dengan ranting keras.
Pada akhirnya, gadis itu berdiam diri di sebuah rumah sakit. Dia berdiri di halaman depan, melambai pada seseorang yang entah siapa. Setelah berhenti melambai, wajahnya yang awalnya menyunggingkan senyum berubah tanpa ekspresi. Matanya yang cokelat menjadi hijau. Dia lalu terduduk ke tanah. Kakinya menggelap, perlahan menjadi akar yang menembus masuk ke dalam tanah. Tubuhnya menjadi batang pohon yang menyatu dengan leher. Kedua tangannya menjadi dahan dan ranting. Dia, gadis itu, sepenuhnya adalah pohon yang mirip tabebuya. Tanpa sepotong daun pun, gersang hitam, seperti akan mati. Tidak, lebih tepat kalau dibilang memang sudah mati.
Dia bersuara, "Aku bakal tetap menunggumu, Paman!" Dan pohon gersang itu mulai ditumbuhi dedaunan, langsung penuh dalam sekejap mata. Lalu dedaunan itu berubah warna menjadi putih, berkelopak mirip bunga. Hal menangis melihatnya.
***
Sehelai daun yang cupingnya memanjang jatuh mengenai kepala Hal. Ia menjambak seluruh rambutnya, sakit bukan main rasanya. Otaknya serasa mendenyut, berkali-kali ia hendak memanggil Milly, tapi tidak bisa. Suaranya tidak mau keluar. Sesaat kemudian kepalanya seperti kesetrum listrik, seluruh tubuhnya bergetar, ia lalu merangkak ke dekat pohon. Dan seketika pula semua rasa sakitnya menghilang.
Lekat-lekat ia pandangi pohon itu. Melangkah di sekelilingnya, memutari pohonnya. Ia kemudian memegangi batangnya, begitu hangat, nyaman terasa tiap kali bersentuh kulit. Begitu bedanya dengan pohon lain yang selalu dingin. Pohon ini memanglah kecil dan gersang, tapi berada di bawahnya seperti terlindungi oleh sebuah pohon raksasa yang rindang.
Hal mendekatkan tubuhnya, ia melingkari lengannya ke sekeliling batang pohon. Dipeluknya erat pohon itu, bukan karena keisengan atau perbuatan bodoh, hanya sebuah keinginan liar. Ia mulai mengingat sesuatu yang amat berharga, bukan memori tentang sesuatu, tapi tentang perasaan yang ia yakini pernah dirasakan olehnya dulu sekali. Hangatnya pohon itu terasa rapuh, Hal seperti bisa menghancurkannya kapan saja. Namun ia berusaha selembut mungkin menyentuhnya.
"Apa yang Paman lakukan?" tanya Milly yang baru keluar dari rumah sakit.
Hal menoleh pada wanita itu, pada Milly. "Aku lagi memeluk sesuatu yang berharga, Milly. Oh, haruskah aku memanggilmu Milly dari masa depan?"
"Apa maksud Paman? Karena mau peluk aku tidak bisa, jadinya mau peluk pohon? Apa lagi masa depan itu?"
"Sekarang aku berpikir, kenapa ada sesuatu yang tidak bisa kuingat. Aku mengenalmu, tapi tidak ingat bagaimana kita bertemu. Aku tidak ingat kapan kita meminta agar semua orang menghilang dari dunia ini pada sebuah pohon ek. Aku juga tidak ingat bagaimana kita akrab, rasanya seperti kita tiba-tiba memang begini adanya." Hal melepaskan pelukannya dari pohon, lalu melangkah harap-hadapan dengan Milly, ia berkata, "Dan kenapa pula aku merasa kau seharusnya tidak setia ini. Tentu saja kau masih muda, tapi harusnya lebih muda. Yang paling penting, bagaimana bisa aku lupa tentang hari itu, hari di mana kau mengubah Milly menjadi pohon!"
"Apa maksud Paman? Aku Milly, jangan bodoh!"
"Kau yang jangan bersikap bodoh lagi. Aku mengingatnya, aku ingat dan aku tahu bahwa kau bukan Milly-ku, kau hanya orang gila yang datang dari masa depan. Dan sekarang enyahlah! Pergi dari sini! Jangan membodohi diri lagi. Kumohon pergilah! Jika kau tidak bisa mengembalikan Milly, setidaknya pergilah dari hadapanku!"
Ia berteriak, menjerit, menangis sejadi-jadinya. Hal bertekuk lutut dan memukuli lantai semen yang pecah akibat akar pohon. Milly yang masih berdiri di depannya pun tak dapat menahan tangis.
Lebih dari setahun lalu, sejak Hal mencari Milly, yang datang dari masa depan. Saat itu ia belum tahu siapa sebenarnya wanita yang berdiri di depannya ini. Ia hanya tahu bahwa penyebab Milly-nya diserang oleh pepohonan disebabkan oleh wanita itu. Dengan tergesa-gesa ia mencari ke luar kota, ke tempatnya tinggal sekarang.
Seorang wanita sudah mengikutinya sejak lama di belakang. Ia baru sadar ketika tanpa sengaja menoleh ke belakang secara tiba-tiba sampai si wanita belum sempat sembunyi. Bertemu pandang mereka berdua.
"Kau, kemari! Aku ingin bicara padamu!" seru Hal.
Wanita itu menuruti, dia harap-hadapan dengan Hal. Setiap kali mata mereka tanpa sengaja bertemu, si wanita akan langsung menunduk ke bawah.
"Apa kau penyebabnya? Siapa kau sebenarnya? Apa yang kau inginkan?" Hal menyerbunya dengan pertanyaan. Namun wanita itu tampak tidak acuh pada pertanyaan tadi, dia lebih memilih menatap wajah Hal yang berusaha untuk serius dari tadi. Bahkan setelah Hal menaikkan nada suaranya sambil memakai telunjuk, dia tetap tidak mengindahkannya.
Tak tahan melihat sikap wanita itu, Hal langsung memegang kepala si wanita, ia meremasnya. "Siapa kau?"
Wanita itu meringis, "Kenapa Paman bertanya lagi. Milly ya Milly. Tolong lepaskan!"
Hal melepasnya. "Apa maksudmu Milly? Apa hubungannya denganmu? Apa kalian saudara?"
"Aku datang cuma untuk Paman."
"Dari mana kau datang?"
"Dari masa depan."
"Kau menggunakan pohon itu juga?"
"Kita sama-sama menggunakannya."
Hal memijat keningnya yang basah kena keringat. "Aku di mana? Jika kau benar-benar Milly, di mana aku?"
"Tidak ada. Paman sudah tidak ada di masa depan. Karena itu aku jauh-jauh ke sini. Jadi kita bisa tetap berdua. Aku sampai membantu anak itu mengubah semua manusia menjadi pohon. Kalau cuma anak itu, butuh tiga tahun untuk bisa menyisakan kita berdua, tapi aku bisa menyingkatnya jadi tiga hari."
"Aku tidak peduli bagian kau ikut membantunya atau apalah itu. Yang kutanya, kenapa Milly-ku juga hampir menjadi pohon?"
"Apa maksud Paman? Cuma ada satu Milly, dan itu aku. Gadis itu kasar dan tidak tahu malu, dia hanya akan menyusahkan, jadi lebih baik dia ikut menghilang dari dunia ini."
"Sekali lagi kutanyakan, apa kau penyebabnya? Kau ingin mengubahnya jadi pohon?"
"Dia sudah jadi pohon. Di jalan waktu Paman mencariku, aku sudah mengubahnya jadi pohon. Mengirim orang ke dekatnya sama sekali tidak bisa diandalkan, jadi aku sendiri yang pergi mengubahnya."
"Jangan bercanda, kau sialan!"
Hal berlari, mengambil sepeda motor yang terparkir di pinggir jalan, dan mengemudikannya menuju rumah sakit. Ia menarik gas sampai maksimal, rambut panjangnya beterbangan ke belakang. Kata-kata wanita yang mengaku dari masa depan itu mengganggunya.
Begitu terlihat bagian depan rumah sakit, Hal langsung lompat dari sepeda motornya. Ia bahkan tidak mematikan atau menurunkan giginya, langsung melompat dan terseret aspal hingga berdarah. Sedangkan motornya menabrak pohon dan hancur. Dipikirnya ia tidak akan terluka, tapi ternyata tidak. Meski begitu Hal tidak punya waktu untuk memikirkan itu, dengan sempoyongan ia melangkah perlahan menuju rumah sakit.
Ada sebuah pohon di sana. Tepat di tempat Milly berdiri melambaikan tangan tadi. Di akarnya ada kain robek, yang sama persis dengan kaus putih Milly tadi. Hal menggeleng dengan mata yang berkaca-kaca, ia bertekuk lutut di bawah pohon itu. Merangkak pula ia hendak masuk ke rumah sakit, berpikir bahwa itu bukan Milly. Dan yakin Milly telah masuk ke dalam.
"Milly! Milly! Milly! Aku pulang, di mana kamu? Kamu janji bakal tunggu, kan? Aku tahu sekarang siapa wanita itu, jadi cepatlah turun, cepat keluar! Milly!"
"Aku di sini, Paman."
Hal menoleh ke belakangnya dengan menyunggingkan senyum, ia menghapus air mata yang masih mengalir dari matanya. Namun bukan Milly-nya yang bicara itu, melainkan Milly dari masa depan.
"Kenapa? Kenapa kau mengubahnya? Bukannya dia juga dirimu?"
"Kami tentu saja tidak sama. Sekarang, aku bakal sembuhkan luka Paman dulu. Sejak Paman punya kemauan untuk hidup, luka itu tidak lagi bisa langsung disembuhkan, sudah tidak abadi lagi. Jadi, biar aku—"
"Diam! Cepat kembalikan Milly jadi normal! Kau bisa, kan? Kalau bisa mengubahnya jadi pohon, kau bisa kembalikan dia, kan? Aku tidak akan masalah dengan perbuatanmu kalau kau kembalikan dia."
"Aku tidak bisa. Aku cuma bisa mengubahnya jadi pohon, bukan sebaliknya. Lagipula, kalau bisa, aku tidak mau. Dia cuma akan mengganggu kita."
"Enyahlah kalau begitu! Jika kau tidak bisa kembalikan dia, setidaknya pergi dari sini! Aku mau tanya pada anak itu, dia pasti bisa berbuat sesuatu."
"Paman tidak boleh ke sana. Mulai sekarang, kita bakal hidup berdua, tanpa ada satu pun orang yang mengganggu." Milly dari masa depan itu memegang kepala Hal, dan beberapa daun muncul menutupi seluruh kepala Hal.
Ia tidak sadarkan diri. Milly menahannya agar tidak jatuh. Butuh tiga jam lebih baginya untuk sadar kembali.
"Di mana ini?"
Milly mengusap kepala Hal yang ditaruh di atas pahanya. "Di rumah sakit, Paman," jawabnya, "lihat sekeliling, semua orang sudah jadi pohon, cuma tinggal kita berdua sekarang."