Read More >>"> The Maiden from Doomsday (10) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Maiden from Doomsday
MENU
About Us  

Terpotong dahan yang menembus dada Milly itu. Hal yang melayangkan kapaknya tidak berhenti di situ saja, ia lantas memotong akarnya dan yang terakhir menebang batangnya. Pohon tidak dapat melawan serangannya, jadi sangat mudah untuk menebasnya. Perkiraan Hal benar adanya.

Namun Milly tidak baik-baik saja. Hal memangku kepala Milly yang masih kejang-kejang. Dada sebelah kirinya sudah bolong. Hal bahkan bisa melihat jantung yang hanya tersisa pinggirannya. Setelah dipotong, dahan yang menancap di dadanya terlepas sendirinya. Tidak tahu mau berbuat apa, Hal hanya diam memegangi Milly. Sepatah kata pun tidak keluar dari mulutnya. Kepalanya penuh tentang bagaimana ia dapat memperbaiki situasi saat ini. Datang pada pohon ek itu lebih bagus ketimbang pergi ke rumah sakit yang hidup segan mati tak mau di pusat kota.

"Pa ... man ...."

Hal masih juga diam. Ia bahkan tidak mendengar apa yang diucapkan oleh Milly. 

"Aku ... tidak ... mau mati."

Masih bisa dihitung jari, hari di mana Milly ikut bersama Hal, untuk pergi ke tempat yang jauh. Mati. Mereka ingin mati, tapi tidak kali ini. Hanya karena tahu bahwa mereka tak dapat menjadi pohon, langsung saja mereka ingin hidup. Yakin kalau semua orang akan menghilang, tinggal menunggu waktu terpilih sebagai manusia yang tersisa. Dan langsung pula keinginan untuk mati itu lenyap. Habis terbakar.

Hal juga begitu. Ia tidak ingin Milly berakhir. Dengan cepat ia melaju ke tengah kota, yang telah jadi dingin dan gelap. Di mana orang-orang? Tidak ada. Satu suara pun tak terdengar. Mau ke mana pun lampu mobil curiannya menyorot, tidak ada orang yang terlihat. Hal lanjut dengan sepeda motor yang tergeletak di aspal. Ia tidak dapat membawa mobil lagi. Sebab jalanan makin penuh dengan pohon.

Tangan Hal bergetar tiap kali menarik gas, ia mendengarnya. Suara dirinya sendiri yang masuk ke kepala dan berandai-andai akan sesuatu. Bagaimana jika tidak lagi ada orang. Pikiran itu menghantuinya. Ia berhenti di depan rumah sakit terbesar di kota Maury, menerjang pintu kaca lobi dan menyusuri lorong-lorong. Unit darurat tidak ada orang, ruang kepala rumah sakit, ruangan dokter, apotek, tidak ada satu pun manusia. Beberapa pohon yang menggantikan. 

Sementara darah masih juga mengucur dari dada Milly. Tidak lagi sekencang waktu masih di ruko. Sedikit saja yang keluar, gadis malang itu akan kehabisan darah sebentar lagi. Hal tidak bisa mengandalkan orang lain lagi. Ia membaringkan tubuh ramping Milly di sebuah kasur unit darurat. Lalu mencari ke setiap ruangan dan apotek. Ketika sedang mencari itu, ia terduduk ke lantai. Bagaimana cara menjahitnya?

Ia balik lagi ke unit darurat dan mendapati Milly sudah diam. Dadanya tertutup sendiri. Oleh daging baru tumbuh, tapi keras. Lebih tepat kalau disebut batang pohon. Tidak tahu namanya, hanya yakin kalau itu bagian dalam pohon, bagian terang putih atau krem yang biasa terlihat kalau pohon ditebang. Dirasanya leher dan hidung Milly, masih berdetak dan masih bernapas. Dibukanya sebelah mata Milly, sudah menghijau. 

"Ini mustahil," gumamnya.

Hal mengambil sebuah gunting perak dan menusuk lehernya sendiri. Tidak bisa tertembus, goresan pun tidak. Lalu ia keluar sebentar dari sana dan meninju batang pohon sekuat-kuatnya, yang hancur batangnya dan tangan Hal tidak bisa terluka. Ia masih abadi dan pohon tak lagi bisa melukainya. Hanya Milly yang berubah. Ia juga tak dapat menemukan pohon yang mengejar Milly lagi. 

Ketika selesai membawa Milly ke ruang inap, Hal mencari generator ke seluruh ujung rumah sakit. Setelah ketemu langsung dipasangnya dan menyala teranglah rumah sakit itu. Satu-satunya cahaya dari seluruh kota.

Hal menghempaskan badannya ke sofa dan mengucek seluruh wajah dengan telapak tangan. Ia yakin ada yang tidak beres dengan permintaan pada si pohon, si anak kecil. Seperti segala sesuatunya mengincar Milly. Ia berpikir tentang segala pertanyaan yang muncul di benaknya.

Kenapa pohonnya mengincar Milly? Kenapa tidak ada lagi orang di tengah kota, yang awalnya ramai. Siapa wanita yang mirip dengan Milly? Ketika larut untuk mencari-cari pertanyaan lainnya, ia terpejam dan hilang sadar. Tertidur mengorok dengan wajah ketutup rambut gondrong.

Matanya kembali terbuka begitu kecebur air. Bukan, ia disiram seember penuh oleh Milly. Hal tidak sempat mengomel, ia langsung teringat dada Milly dan mendorong gadis itu ke dinding. Berusaha untuk membuka kaus putih yang dipakai Milly, tampak masih baru. 

"Paman Bodoh! Mentang-mentang aku siram pakai air, langsung keluar bejatnya!"

Hal berhenti. Ia memeluk Milly. Masih sama hangatnya, masih sama rapuh tubuhnya. Ada yang membedakan, ialah punggungnya, ada beberapa daun di balik kaus putih itu. Hal menyentuhnya, terasa dengan jelas ada yang kasar di balik lembutnya kain.

"Tidak masuk akal, kan. Aku malah jadi pohon, cuma sedikit memang," kata Milly setengah berbisik dan memaksa tawa di akhir ucapannya.

"Pohon itu. Kita balik lagi ke sana. Kita minta supaya dia buat kamu jadi normal lagi."

"Eh, tunggu dulu. Tumben pakai bahasa sopan?"

Sudah jadi kebiasaan setiap orang untuk memanggil kamu pada lawan bicara. Kecuali orang-orang kasar, mereka menggunakan kau. Sampai-sampai semua orang menganggap yang menggunakan kata "kau" hanya mereka yang tidak berpendidikan, atau tidak memiliki etika. Tentu saja Hal juga begitu, ia seorang buruh.

"Jangan banyak bicara."

"Kenapa buru-buru? Aku, Milly, gadis cantik nan baik hati ini, sudah menyiapkan sarapan. Puji aku, hormati aku!"

"Makanannya pasti lebih menjijikan dari ucapan yang masak."

Milly menggeram, giginya gemeletuk. "Terserah mau makan atau tidak. Yang pasti omongan itu bakal jadi penyesalan."

"Aku hidup tanpa penyesalan."

Mereka ke dapur rumah sakit dengan saling mengoceh. Milly terus menendangi Hal dari belakang. Namun itu tidak menyakiti, Hal masih memikirkan kondisi Milly. Memang ada daun yang mencuat dari bagian dada Milly yang bolong malam tadi. Tidak tahu lagi, lobang itu tertutupi sesuatu yang agak keras. Matanya juga masih menghijau, tanpa ada tanda-tanda berarti. Mungkin saja Milly akan berubah jadi pohon. Atau mungkin juga itu hanya bagian dari penyembuhan. Mendatangi pohon pengabul di pinggir kota adalah pilihan yang ada saat ini. Karenanya Hal bersikukuh hanya akan sedikit makan, ia buru-buru mau ke sana.

"Jangan menyesal," kata Milly.

"Ini pasti mengecewakan. Sedikit saja."

"Jangan minta tambah, ya."

Milly pasti sudah lama terbangun. Dia sampai membuat banyak makanan dengan bahan-bahan di dapur rumah sakit. Menu yang memenuhi empat sehat lima sempurna. Sebuah impian kecil Hal sejak dulu untuk bisa memakan masakan perempuan, dan itu terkabul sekarang tapi pikirannya masih sedikit kacau.

Satu suapan masuk ke mulutnya, bersentuhan langsung dengan lidah yang biasa makan mie dalam cup. Ketika ia mengunyah makanan itu, rasanya seperti kembali ke tahun-tahun yang lama. Masa ketika kedua orang tuanya masih waras. Ia sebisa mungkin tidak makan dengan cepat-cepat, malu sudah meremehkan di awal. Milly yang duduk di seberang meja juga terus menatapnya sambil ikut makan. Hal berusaha keras tidak mengubah ekspresi wajahnya. Ia buru-buru memikirkan topik untuk dialihkan.

"Orang-orang di seluruh kota sudah tidak ada lagi. Mungkin mereka pergi keluar kota. Mungkin juga berubah, karena semalam pohonnya makin banyak. Apartemen yang paling mahal di tengah kota itu juga penuh pohon di dindingnya. Beberapa bangunan lain hancur karena ditumbuhi pohon. Jadi aku penasaran, dari mana asalnya perempuan kemarin malam?"

Milly menceritakan tentang perempuan yang berubah m menjadi pohon itu. Tidak dikurangi atau ditambahi. "Semuanya terjadi begitu saja, aku hampir mati rasanya."

"Memang hampir mati. Makanya kita harus ke pinggir kota. Mana bisa orang yang menyuruh untuk janjian, malah mengingkari janji."

"Haha, aku masih hidup, kok."

***

"Tidak bisa. Kebodohan apa yang kalian perbuat lagi. Ini bukan kali pertama kalian kembali setelah berubah."

"Jangan buat semuanya tambah rumit, hantu pohon!" teriak Hal.

Hal dan Milly sampai ke pinggiran kota selesai makan. Mereka menaiki sepeda sampai menemukan mobil bak terbuka kemarin malam, dan begitu sampai di kawasan yang padat pohon, mereka kembali menaiki sepeda. Hanya satu sepeda, karena Milly tidak pandai menaikinya. Hal terpaksa terus memboncengnya yang duduk di batang sepeda. Hidung Hal masih merasa keharuman rambut Milly, bahkan saat sudah sampai. 

Dan di sinilah mereka, berteriak-teriak pada setiap pohon ek. Setelah setengah jam agaknya, baru mereka didatangi oleh seorang anak kecil. Anak perempuan yang sama dengan yang kemarin-kemarin. Pohon ek yang berubah.

Hal langsung memintanya untuk mengembalikan Milly seperti semula. Dan bertanya tentang segala pertanyaan yang dipikirkannya kemarin malam.

Anak itu hanya tersenyum tiap kali Hal naik darah karena permintaannya tidak akan dikabulkan. "Ini bukan kali pertama kalian begini."

"Bukan kali pertama, bukan kali pertama. Apa cuma itu yang bisa keluar dari mulutmu?"

"Ah, bagaimana aku bisa lupa tentang ini." Anak itu mendekat pada Milly lalu berkata, "Si pria tidak mengingatnya, tapi engkau tidak begitu, bukan? Milly."

Hal merasa kepalanya sudah berasap. Ia tidak bisa mencerna apa yang dikatakan anak itu. Lebih-lebih lagi, ia tidak tahu mengapa Milly tampak tidak tenang. Milly terus menundukkan kepalanya dan melirik Hal sesekali. Gadis itu pun terus membuat-buat senyum di wajahnya. Bukan seperti Milly.

"Kembalilah saat kau akan mati. Hanya mereka yang ingin mati, dua insan, pria dan wanita yang datang bersamalah yang dapat mengajukan permintaan. Ini pesan mutlak dari ibu dan ayahku."

"Memangnya kau anak siapa?" tanya Hal yang menggaruk-garuk kepalanya, meski tidak gatal.

"Siapa yang tahu. Mungkin saja Dewa atau Tuhan sekali pun."

"Yah, siapa peduli jika itu Iblis sekali pun. Aku siap mati demi Milly."

"Terkadang ucapan bukanlah yang benar-benar dirasakan, Hal."

Tidak ada lagi. Hal memang tidak ingin mati. Ia berusaha berbohong, tapi tentu saja itu ketahuan. "Lalu bagaimana dengan keadaan Milly? Atau tentang wanita itu? Atau tentang pohon yang mengejar Milly? Kenapa pertanyaan pun tidak kaujawab?"

"Karena gadis di sampingmu, tahu tentang segalanya. Jika engkau ingin tahu juga, kenapa tidak bertanya padanya."

Hal menoleh pada Milly yang membuang muka. Ada sesuatu yang berusaha Milly sembunyikan, entah apalah itu. Yang pasti bisa jadi itu jawaban dari semua pertanyaan. 

"Kalau begitu, ada satu lagi yang mau kutanyakan. Ini terkait dengan permintaan kami sebelumnya. Adakah lagi orang yang tersisa?"

"Mau itu manusia apalagi hewan, tidak ada siapa pun lagi. Bisa jadi ada beberapa yang di luar kendaliku. Seperti pohon yang mendatangi kalian malam tadi. Itu bukan ulahku hingga dirinya jadi seperti itu."

Ada satu lagi yang bisa setara dengan anak itu, mungkin. Hal berusaha memakai kepalanya, mengingat segalanya tentang kemarin. Dan ia mendapatinya, "Apa itu wanita yang mirip dengan Milly? Di mana dia?"

"Tanya pada si gadis." Dan hilanglah anak perempuan itu. Tubuhnya tertutupi dedaunan yang beterbangan, dan seketika menghilang. Lenyap bersamaan dengan dedaunan yang jatuh ke tanah.

Milly masih diam. Setelah beberapa saat lamanya, baru dia bersuara, "Paman, ayo kita kembali. Kita tinggal di rumah sakit saja, ya. Aku mau pakai listrik."

"Tunggu dulu, Milly. Apa yang kau tahu tentang wanita itu? Bagaimana dengan wanita itu?"

"Padahal tadi sudah pakai 'kamu', malah balik lagi. Kasarnya sulit hilang, ya."

"Jawab saja, Milly. Kau punya hubungan dengannya? Tahu sesuatu tentang kondisimu saat ini? Di mana wanita itu, dan apa hubungannya denganmu? Bisakah kau kembali seperti semula, kau tidak akan jadi pohon, bukan?" Hal menaikkan suaranya, ia hampir teriak di tiap ucapannya. Milly hanya bisa ternganga mendengar itu.

"Kenapa pula itu? Kenapa harus? Kita bakal baik-baik saja setelah ini. Jadi kembali saja sekarang."

"Aku bakal mengantarmu ke rumah sakit. Habis itu aku langsung cari wanita itu. Ke mana pun itu."

Milly kembali diam. Bahkan sampai mereka balik ke rumah sakit. Tanpa sepatah kata pun, Milly langsung turun dari sepeda. Gadis itu bahkan tidak mengubah mukanya yang kosong tanpa ekspresi.

"Di mana dia, Milly? Kamu pasti bisa merasakan dia. Karena kemarin wanita itu sendiri yang mendatangi ruko kita."

"Apa itu? Paman kembali panggil aku pakai kamu? Hah, bodoh tidak bisa diatur. Dia di luar kota. Lawan arah tempat pohon ek."

"Aku bakal cepat kembali. Aku juga minta maaf, tapi tetap saja, kenapa kamu tidak mau cerita?"

Milly yang awalnya melangkah memasuki rumah sakit memunggungi Hal, kini berbalik. Gadis itu menyatukan kedua telapak tangannya hingga berbunyi dan menyunggingkan senyum yang paling lebar tanpa dibuat-buat, senyum paling tulus yang pernah dilihat oleh Hal. Karena memang dia jarang tersenyum, kecuali senyum yang mencemooh. "Karena lebih baik paman mendengar darinya sendiri," katanya.

Hal ikut tersenyum juga mendengarnya. Sekarang ia yakin kalau tidak ada masalah besar di balik ini. Mungkin ada sesuatu yang membuatnya salah paham. Buktinya Milly begitu baik-baik saja sekarang. Toh dia menyetujui Hal mencari wanita itu.

"Aku bakal cepat kembali." Hal memutar sepedanya dan mengayuh dengan cepat. Ia tidak ingin membawa Milly takut terjadi sesuatu jika bertemu dengan wanita itu. Meski ia yakin semuanya bakal baik-baik saja, tapi tidak ada salahnya untuk tetap waspada.

Sementara Milly yang sudah jauh ditinggalnya masih melambaikan tangan. Sampai dia terduduk ke tanah dengan wajah bercucuran keringat dingin.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
the invisible prince
1514      810     7     
Short Story
menjadi manusia memang hal yang paling didambakan bagi setiap makhluk . Itupun yang aku rasakan, sama seperti manusia serigala yang dapat berevolusi menjadi warewolf, vampir yang tiba-tiba bisa hidup dengan manusia, dan baru-baru ini masih hangat dibicarakan adalah manusia harimau .Lalu apa lagi ? adakah makhluk lain selain mereka ? Lantas aku ini disebut apa ?
Senja di Sela Wisteria
409      254     5     
Short Story
Saya menulis cerita ini untukmu, yang napasnya abadi di semesta fana. Saya menceritakan tentangmu, tentang cinta saya yang abadi yang tak pernah terdengar oleh semesta. Saya menggambarkan cintamu begitu sangat dan hangat, begitu luar biasa dan berbeda, yang tak pernah memberi jeda seperti Tuhan yang membuat hati kita reda. “Tunggu aku sayang, sebentar lagi aku akan bersamamu dalam napas abadi...
Luka Adia
672      407     0     
Romance
Cewek mungil manis yang polos, belum mengetahui apa itu cinta. Apa itu luka. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu menyayat hati dan raganya. Bermula dari kenal dengan laki-laki yang terlihat lugu dan manis, ternyata lebih bangsat didalam. Luka yang ia dapat bertahun-tahun hingga ia mencoba menghapusnya. Namun tak bisa. Ia terlalu bodoh dalam percintaan. Hingga akhirnya, ia terperosok ...
PUBER
1781      732     1     
Romance
Putri, murid pindahan yang masih duduk di kelas 2 SMP. Kisah cinta dan kehidupan remaja yang baru memasuki jiwa gadis polos itu. Pertemanan, Perasaan yang bercampur aduk dalam hal cinta, serba - serbi kehidupan dan pilihan hatinya yang baru dituliskan dalam pengalaman barunya. Pengalaman yang akan membekas dan menjadikan pelajaran berharga untuknya. "Sejak lahir kita semua sudah punya ras...
Mari Collab tanpa Jatuh Hati
2717      1302     2     
Romance
Saat seluruh kegiatan terbatas karena adanya virus yang menyebar bernama Covid-19, dari situlah ide-ide kreatif muncul ke permukaan. Ini sebenarnya kisah dua kubu pertemanan yang menjalin hubungan bisnis, namun terjebak dalam sebuah rasa yang dimunculkan oleh hati. Lalu, mampukah mereka tetap mempertahankan ikatan kolaborasi mereka? Ataukah justru lebih mementingkan percintaan?
Reaksi Kimia (update)
4953      1246     7     
Romance
》Ketika Kesempurnaan Mengaggumi Kesederhanaan《 "Dua orang bersama itu seperti reaksi kimia. Jika kamu menggabungkan dua hal yang identik, tidak ada reaksi kimia yang di lihat. Lain halnya dengan dua hal yang berbeda disatukan, pasti dapat menghasilkan percikan yang tidak terduga" ~Alvaro Marcello Anindito~
BUNGA DESEMBER
452      306     0     
Short Story
Sebuah cerita tentang bunga.
Cinta di Sepertiga Malam Terakhir
4340      1190     1     
Romance
Seorang wanita berdarah Sunda memiliki wajah yang memikat siapapun yang melihatnya. Ia harus menerima banyak kenyataan yang mau tak mau harus diterimanya. Mulai dari pesantren, pengorbanan, dan lain hal tak terduga lainnya. Banyak pria yang datang melamarnya, namun semuanya ditolak. Bukan karena ia penyuka sesama jenis! Tetapi karena ia sedang menunggu orang yang namanya sudah terlukis indah diha...
AVATAR
7059      2005     17     
Romance
�Kau tahu mengapa aku memanggilmu Avatar? Karena kau memang seperti Avatar, yang tak ada saat dibutuhkan dan selalu datang di waktu yang salah. Waktu dimana aku hampir bisa melupakanmu�
Love in the Past
482      354     4     
Short Story
Ketika perasaan itu muncul kembali, ketika aku bertemu dengannya lagi, ketika aku harus kembali menyesali kisah itu kesekian kali.