Hal menunjang pintu ruko. Ia bahkan belum mematikan mesin mobilnya dan segera masuk ke dalam ruko. Naik ke lantai empat, setengah berlari di tangga. Begitu di lantai empat, di pojok ruangan sana, ada seorang gadis yang berbaring. Milly.
"Milly! Apa kau tadi keluar?"
Milly segera duduk dan menoleh ke arah Hal, gadis itu memasang muka masam. Dan langsung membuang muka dalam sekejap. "Kenapa aku harus jawab?"
"Aku tidak main-main."
"Aku juga. Paman yang bilang jangan keluar, makanya aku tidak keluar. Memangnya kenapa?"
"Ya, aku juga yakin itu bukan kau."
"Siapa?"
Setelah bercerita pada Milly tentang wanita itu, Hal tidak percaya melihat tingkah Milly yang dari tadi diam mendengar, tiba-tiba langsung menampar Hal saat itu juga.
"Maaf. Tapi melihat orang mesum, bisa dibilang ini reflek." Milly duduk menjauh dari Hal lalu melanjutkan, "Paman, kau akhirnya menampakkan wujud aslimu. Kau orang kotor. Terangsang dengan anak sekolahan sampai buat cerita begini? Aku yakin kau mau macam-macam denganku."
"Kau anak bau kencur, aku lagi serius! Wanita itu mirip denganmu, hanya saja lebih tua. Dia mungkin dua puluh."
"Apa benar dia menghilang seperti anak itu?"
"Aku percaya apa yang kulihat. Bisakah kau mengingat sesuatu? Hubungan atau apa saja yang menurutmu aneh? Tidak mungkin ada orang lain yang tahu tentang janji kita."
Namun tidak sedikit pun Milly bisa membantu. Dia tidak mengingat atau mungkin tahu pasal sesuatu yang berhubungan dengan anak itu. Hanya saat bayangan di kelas saja.
"Tunggu, Milly. Mimpimu waktu aku mati, bisa kauceritakan?"
"Yah, kalau diingat-ingat, semuanya berawal dari aku yang ... tidak jadi."
Milly pergi ke lantai bawah membawa kasur lipatnya. Dan meninggalkan Hal yang masih menunggu lanjutan tadi. Hal bergegas begitu sadar, mengikuti Milly yang masih menuruni tangga. Di tangga tangannya menggenggam lengan Milly. Hingga gadis itu berhenti turun dan menjatuhkan kasurnya tanpa sengaja.
"Apa itu? Ceritakan."
"Kenapa harus? Paman memang tidak mengerti, ya. Aku tidak jadi cerita berarti aku tidak ingin!"
Milly memang menaikkan nada suaranya, tapi begitu selesai dia terdiam. Bibirnya bergetar dan matanya berair, hingga menetes semua air mata itu.
Hal sadar kalau itu bukan hal yang baik. Ia berpikir mungkin mimpi itu bukan hanya tentang dirinya mati, tapi juga beberapa hal yang sensitif. Namun rasa penasaran menggerogoti kepalanya, ia memanfaatkan momen tangisan Milly. Dan mendekap gadis itu begitu erat. Mungkin tampak seperti ia peduli dengan kondisi Milly, tapi tidak begitu. Ia hanya ingin membandingkan pelukan wanita tadi dengan pelukan Milly. Hanya sebuah keinginan liar.
Tubuhnya sedikit lebih kecil dibanding wanita tadi. Namun Milly sedikit lebih berisi. Memang terasa begitu hangat saat Hal memeluk wanita tadi, tetapi memeluk Milly jauh lebih hangat. Rasanya Hal tidak ingin melepasnya. Tidak peduli apa, Milly jauh lebih membuatnya nyaman. Rasa penasaran yang tadinya untuk wanita itu berubah menjadi untuk Milly. Hal ingin mendengarnya. Hal ingin tahu apa yang membuat gadis yang ia peluk ini menangis. Hal ingin Milly tetap jadi seperti biasanya, bukan seorang gadis yang tampak lemah begini.
"Bukannya kita janji bakal terus bersama untuk jadi pemilik dunia? Ceritakan, bukan tentang mimpinya, tapi tentang apa yang buat kamu menangis."
Milly mengelap setiap air matanya yang jatuh menetes, mengucek-ngucek matanya sampai merah, dan berusaha mengatur napasnya. Namun dia masih sesenggukan untuk bicara.
"Aku sudah cerita ke paman bagaimana ibu dan ayahku. Tapi aku belum cerita tentang yang buat aku diusir sama ibu aku."
Sampai sore Milly bercerita mengenai dirinya. Awalnya Milly memang menceritakan bagaimana dirinya diusir oleh ibunya waktu hujan itu. Kemudian ceritanya berlanjut ke hubungannya dengan ibunya yang tidak pernah benar-benar hangat, atau bagaimana dia begitu membenci gigolo ibunya itu. Dan pada akhirnya dia bercerita masa kecilnya bersama ayahnya.
"Aku sudah cerita tentangku. Kenapa paman tidak cerita juga? Menyuruh orang telanjang tapi tidak ikut telanjang, bukanlah hal yang baik untuk paruh baya."
"Aku setuju untuk cerita, tapi analogi itu berlebihan. Kenapa juga pakai paruh baya di akhir." Hal memasukkan air panas ke dalam cup mie instan, membagi satu pada Milly dan satunya untuk ia sendiri. "Tidak ada yang benar-benar pantas diceritakan. Aku cuma mau apa yang kupunya tidak direbut orang. Itu saja."
"Karena orang tua menjijikan itu?"
"Karena itu, beberapa tahun lalu aku mau punya sesuatu yang besar. Yang tidak ada duanya, dan tidak akan pernah kuberikan pada siapa pun. Yang membuatku berani melawan dua orang itu untuk mempertahankannya."
"Kekanak-kanakan, tapi aku tidak heran. Kata orang, semakin tua dirimu, semakin kekanak-kanakan sifatmu. Paman pasti sudah masuk fase itu."
"Aku suka itu. Saat mulutmu punya sesuatu yang membuat mental seseorang bisa terguncang."
"Aku malah tidak percaya paman ini masokis."
"Itu sudah kelewatan, Milly."
"Bukannya paman suka? Aku janji bakal begini terus sampai kita hilang dari dunia."
Bersama habisnya mie instan mereka, habis pula sore itu. Ruko yang awalnya ditembus cahaya kekuningan dari jendela, berubah jadi gelap gulita. Hal menerawang jauh dari jendela, mencari-cari cahaya bulan, tapi tidak ada yang kelihatan. Bulan pun tertutup awan malam itu.
Pada dasarnya Hal adalah seorang buruh, jadi memperbaiki beberapa bagian bukan hal yang sulit atau butuh waktu baginya. Ia dengan sigap mengganti kunci ruko. Ia juga memaku semua jendela dan pintu belakang ruko. Semua peralatan untuk mengerjakan itu dibawa dari panglong. Di jalan kembali tadi pagi, ia sempat berbelok ke sebuah panglong kecil yang tidak terlalu jauh dari sana. Panglong itu tutup, tapi setelah Hal meminta baik-baik untuk membukanya, pemiliknya langsung memberi apa yang Hal butuhkan tanpa perlu membayar. Sebuah keberuntungan.
"Kota semakin kosong, kan? Kenapa kita harus paku semuanya? Memangnya bakal ada orang yang ke mari? Lagipula, kenapa kita pakai lilin?"
"Merepotkan bawa-bawa generator. Lilin lebih bagus, kalau ada yang datang, langsung ditiup," jawab Hal sambil membakar tiga sumbu lilin besar.
"Dari siapa kita bersembunyi?"
"Siapa lagi kalau bukan pohon-pohon itu."
Ada sesuatu yang ingin Hal coba. Namun ia tetap harus bersiap untuk kemungkinan terburuk. Jika ada pohon yang datang, maka tebakannya bisa dibuktikan malam ini.
"Aku dengar sesuatu. Paman juga?"
"Apa itu?"
"Ada orang yang minta tolong."
Hal segera turun ke lantai satu. Kapak pemberian temannya, D, sudah ada di tangan. Diayunkan beberapa kali ke udara. Milly mendekatinya begitu Hal diam. Mereka sama-sama menempelkan telinga ke pintu.
"Tolong aku! Tolong! Tolong! Tolong aku!"
Memang samar, tapi Hal bisa mendengar teriakan minta tolong berulang itu makin mendekat. Kian terdengar suaranya. Hal membuka kunci pintu dan melangkah sekali ke teras ruko. Milly menempel di punggungnya. Hal yakin kalau suara itu dari seorang perempuan. Terasa halus dan serak tiap kali teriak. Arahnya datang dari sebelah kiri, dengan kata lain dari jalan raya.
Sebuah senter dihidupkan oleh Milly, dia mengarahkannya ke sebelah kiri, mencari-cari rupa empunya suara. Sampai kelihatan ada yang bergerak, baru senter itu berhenti pindah-pindah. Benar adanya, seorang perempuan yang digoyang angin rambut tergerai miliknya, hanya memakai gaun tidur krem berlari menuju tempat mereka. Masih belum jelas dari apa perempuan itu hendak ditolong. Sebab ketika Milly menyorot belakang, tidak ada yang tampak mengejar.
Mengikuti arah senter, perempuan itu tiba di depan ruko, dan berlari ke arah Hal. Langsung dia bersembunyi di balik punggung Hal. Berjongkok dengan gemetar yang tidak ada hentinya.
"Kau lari dari apa?" tanya Hal menarik lengannya untuk berdiri.
"Orang-orang ... i-itu mau ... perkosa ... a-aku ... lari ... mereka ... pohon. Mereka jadi pohon!"
"Paman, kita bawa masuk dia." Milly menyambar sebelum Hal sempat bertanya lagi pada si perempuan.
"Kenapa harus?"
"Jangan pakai kalimat aku! Yang penting bawa dia dulu, paman tidak kasihan?"
"Untuk apa?"
"Mau dia bakal mati sekali pun, aku tidak mau dia mati di dekatku. Dia tidak kenal aku."
Mereka berdua membawa perempuan itu masuk. Milly meminjamkan jaket putihnya untuk dipakai. Gemetarnya hilang ketika Milly memberinya teh hangat dan mie instan. Seperti ayam diberi beras, perempuan itu makan tidak lagi pakai garpu, langsung dimasukkan semua mie ke dalam mulutnya. Dia minum semua isi cup. Dengan malu-malu meminta lagi pada Milly. Setelah habis tiga porsi barulah dia berhenti makan. Padahal perempuan itu begitu langsung, tidak ada lemak berlebih di tiap bagian tubuhnya saat Milly melihatnya. Malahan hanya model yang punya tubuh seperti itu bagi Milly. Jadi agak heran melihatnya makan dengan lahapnya, kecuali dia sudah lama tidak makan. Lapar berat.
Perempuan itu mulai bicara, "Maaf ... ini memalukan, ya."
"Yah, bukan apa-apa. Aku cuma tidak sangka bakal melihat perempuan yang seperti model makan mie instan seperti orang kelaparan." Milly tidak pernah tanggung dalam menyampaikan isi kepalanya.
"Haha, memang saya sudah dua hari tidak makan."
"Kenapa begitu?"
Sebelum lanjut bicara, perempuan itu melirik Hal yang berdiri dengan tegaknya memegang kapak.
Hal yang sadar langsung buka mulut. "Bicara saja."
"Paman Bodoh, tinggalkan kami berdua. Tolong gunakan otakmu meski kecil dampaknya."
"Kenapa harus?"
"Bodoh,. tinggalkan kami!"
Hal menghela napas. Ia memang tidak perlu khawatir, tapi bersiap untuk kemungkinan terburuk bukan berarti tidak perlu juga baginya. Maka ia langsung mendekat ke perempuan itu dan melepas jaket Milly yang dipakainya. Hal bahkan melipat gaun tidur perempuan itu ke atas untuk melihat punggung dan tubuh bagian depannya. Ia juga memeriksa seluruh kepala, kaki, dan lengan gadis itu.
Sontak Milly langsung menunjang Hal. Hingga terlepas perempuan itu dari genggaman Hal. Sementara si korban sedang meringkuk di lantai menahan tangis.
"Bodoh, kau memang mesum. Keluar, Paman Bodoh!"
"Aku cuma mau memastikan."
"Aku saja!"
Hal memang hanya ingin memastikan tubuh perempuan itu. Bukan berarti tidak mungkin jika di perempuan terkena pohon atau setidaknya mulai berubah. Namun tidak ada apa-apa di sana. Tubuh perempuan itu bersih. Kecuali bau menyengatnya.
"Aku minta maaf. Dia bukan orang yang benar-benar buruk, cuma sedikit buruk saja. Tapi kami memang harus melakukan itu. Kau tahu sendiri bagaimana semuanya jadi gila akhir-akhir ini," kata Milly setelah Hal turun ke lantai bawah. Hanya Milly dan si perempuan yang ada di lantai empat sekarang.
"Saya yang harus minta maaf karena merepotkan."
"Siapa namamu? Kau bisa cerita bagaimana kau sampai berlari ke arah yang kosong begini?"
"Aku tidak tahu arah. Hanya berlari ke sana ke mari saat gelap ini. Sadar-sadar sudah sampai ke area sini."
Perempuan itu tiga tahun lebih tua dari Milly. Dia memang seorang model fotografi. Beberapa kali dipotret untuk berbagai macam kepentingan. Rumahnya ada di pusat kota Maury, apartemen paling mahal sekota ini. Tempatnya orang-orang berduit. Namun sampai situ saja, tidak ada keuntungan di waktu yang gila. Uangnya tidak berguna untuk menyamankan dirinya belakangan ini. Apartemen mereka diserbu orang-orang. Mulai beberapa hari belakangan, tidak ada yang peduli hukum lagi.
Ketidaktahuan membuat orang nekat melakukan sesuatu yang biasanya dilarang. Mereka bahkan sudah siap mati kapan saja, tapi tetap mau enak di saat-saat terakhir. Maka pergilah mereka ke apartemen si perempuan, untuk tinggal di sana. Mereka merusuh setiap rumah, tidak peduli ada berapa yang jadi pohon, mereka akan menebasnya.
Milly juga baru tahu tentang ini, kalau setiap orang yang berubah jadi pohon ditebas, maka mereka tidak memberi pengaruh apa-apa lagi jika kita berkontak langsung. Sama seperti sayuran kering yang sudah dikemas, tidak membuat seseorang lantas menjadi pohon ketika memakannya. Namun beda perkara jika orang itu mencabutnya langsung baru memakannya, maka orang itu sudah bisa dipastikan akan menjadi pohon.
"Jadi mereka tinggal di apartemen itu dan mengusir pemilik aslinya?"
Perempuan itu tidak lagi bisa membendung air matanya. "Hanya yang laki-laki. Semua ... perempuan ... tidak. Kami ...."
Yang perempuan digilir. Kebanyakan yang menyerbu adalah lelaki berandalan. Jadi semua perempuan muda dipaksa melayani mereka. Tidak diberi makan, hanya diberi cairan perangsang. Selama seharian penuh para perempuan digilir tanpa bisa melawan.
"Saya ... saya ... orang yang kotor." Berteriak sejadi-jadinya perempuan itu, diselingi suara tangisnya yang lepas. Rasanya dia sudah lama sekali menahan sakit itu. Dan Milly paham akan itu.
Milly memeluknya. Mereka berdua menangis sejadi-jadinya. Milly cukup beruntung tidak berakhir seperti perempuan itu. Namun tetap saja mereka sama-sama merasakan bagaimana jika berada di posisi itu. Karenanya tanpa ragu seorang Milly bersedia membantu perempuan itu.
"Tapi tadi sore, semua orang di sana jadi pohon. Saya juga tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi. Semuanya tiba-tiba saja menjerit kesakitan, mata mereka menghijau dan seluruh tubuh mereka mengeras kecokelatan. Saya cukup beruntung bisa segera kabur. Seorang wanita bergaun putih membantu saya untuk kabur. Saya berlarian sampai larut malam. Katanya terus saja ke arah sini, agar saya bisa bertemu penyelamat."
"Penyelamat? Siapa itu?"
"Entahlah, saya juga tidak tahu. Bagi saya sendiri kamu adalah penyelamat saya."
"Yah, aku orang yang baik hati meski sedikit kasar. Ah, aku lupa, siapa namamu tadi? Panggil aku Milly, dan orang mesum tadi Paman Hal. Dia memang agak jahat, tapi sebenarnya dia orang baik."
"Agak jahat tapi sebenarnya baik?" Mereka berdua tertawa terbahak-bahak. "Kalau diingat-ingat, kamu mirip dengannya, Milly. Dengan wanita itu, tapi dia sedikit lebih tua. Mungkinkah itu kakakmu?"
Milly menjauh dari perempuan itu. "Milly, ada apa?"
"Matamu ... hijau."
Seketika perempuan itu menganga, dia melihat kedua belah tangannya menggelap kecokelatan dan mengeras. Kedua kakinya berpilin seperti akar yang disatukan. Dan kedua tangannya menjadi serupa dengan dahan pohon, tapi bisa bergerak lentur. Seluruh rambutnya menjadi hijau dan ditumbuhi daun. Dia berubah menjadi sosok pohon paling manusia yang pernah dilihat Milly.
"Tolong aku, Milly!"
"Paman Hal! Tolong!"
Salah satu dahan yang lentur itu menghantam dada sebelah kiri Milly. Menembusnya! Menyisakan lobang yang menumpahkan darah.