Hal sudah mati. Paru-parunya makin memburuk sampai ia tidak lagi bisa bernapas. Di dunia yang jangankan rumah sakit atau dokter, manusianya pun tidak lagi ada, bagaimana ia akan berobat. Cuma dari pohon mayat saja ia kebal, bukan dari penyakit sebab rokok dan alkohol.
Dulu sekali saat ia mendatangi pohon di pinggiran kota Maury, mulutnya benar-benar mengeluarkan keinginan yang sesaat. Jika ia yang memiliki dunia ini, hanya untuknya, maka tak ada sesiapa pun yang boleh ada di situ, pintanya. Baru setelah itu mau menggantung diri ia, tapi urung pula. Sebab seorang gadis, yang tidak lain tetangganya sendiri. Hal mendengarnya, permintaan si gadis pada pohon, adalah untuk menghilangkan semua orang dari dunia ini.
Malu ia dilihat tengah menangis oleh gadis itu. Dan tergesa-gesa lari meninggalkannya. Ia tak tahu mau ke arah mana berlari. Yang penting tidak di depan gadis itu lagi. Di jalan, baru sadar pula Hal tadi, oleh sebab dirinya yang masih merasa malu hanya karena dilihat tengah menangis. Untuk apa ia merasa malu, padahal dirinya telah memantapkan hati untuk mati. Di tengah pelariannya itu, berhenti pula ia. Di tengah jalan beraspal yang kecil, duduk ia mendongak ke langit.
Lama ia duduk di jalan itu. Ada berjam-jam agaknya. Dingin malam yang menusuk tulang tak lagi diindahkan tubuhnya. Ia menatap dalam-dalam langit gelap tanpa sinar rembulan, apalagi bintang-bintang itu. Kosong, katanya dalam hati.
"Dunia juga kosong. Tidak ada untungnya jadi pemilik dunia." Ia menggumam begitu meringkukkan badan ke atas aspal. Dan mulai tertidur lagi.
Hanya sebentar memang. Dan itu sebenarnya juga bukan karena ia mengantuk. Bukan juga karena lelah. Seperti tubuhnya dimasuki oleh sesuatu tak kasat mata tiap kali ia bernafas. Yang membuatnya hilang tenaga. Sampai terbaring dengan mata terpejam.
Subuh hari baru ia terbangun. Dibangunkan orang lebih tepatnya. Seorang pria tua dengan sepeda. Hal berbaring di tengah jalan, sudah pasti mengganggu orang.
"Nak, bangunlah. Jangan tidur di tengah jalan begini. Kau mabuk?"
Hal menggeleng pelan dan berdiri sambil celingak-celinguk. Ia masih setengah sadar, hanya berjalan meninggalkan pria tua itu. Sementara dirinya berjalan kembali ke kota, pria tua tadi lanjut mengayuh sepeda sampai ke daerah pepohonan itu.
Dari jauh Hal mendengar teriakan meski samar. Suaranya sama dengan suara pria tua tadi, tapi ia acuh tak acuh. Tetap berjalan ke arah kota, mau mati. Di kepalanya ia sudah membayangkan bagaimana dirinya akan ditabrak oleh truk jika berhenti di tengah jalan yang agak besar di tengah kota.
Semakin jauh ia berjalan, semakin besar jalan rayanya. Makin lebar dan makin banyak yang berlalu-lalang pagi buta itu. Makin menjadi-jadi pula teriakan mereka, makin semrawut semua orang lari-larian. Namun Hal juga tidak lagi peduli. Ia masih mobil atau truk yang melaju, karena di jalan itu semua kendaraan berhenti. Pengemudinya kabur semua.
Hal tetap tidak mengindahkan orang-orang itu. Ia inginkan kematian yang cepat, jadi langkahnya ia percepat. Setengah berlari. Sampai ke tengah kota Maury, barulah ada kendaraan yang lalu-lalang. Segera saja badannya menghantam bemper mobil yang melaju. Dari kejauhan awalnya mobil sudah memberi klakson, tapi melihat Hal yang tak mau minggir, mobilnya malah makin laju menghantam tubuh Hal, hingga tercampak beberapa langkah ke depan. Badannya yang ceking itu berguling-guling terseret aspal. Sebagian kulitnya sudah terkelupas, dagingnya kelihatan.
Sudah begitu pun mobilnya tidak berhenti. Hal juga belum mati, jadi ia kembali menyeret tubuhnya. Matanya yang sudah gelap memandang masih mencari-cari kendaraan lainnya. Kalau bisa yang agak besar atau truk sekalian, agar tubuhnya dapat terlindas. Namun ia tidak jadi lanjut mencari. Setelah melihat seseorang di dekatnya berubah.
Kulit orang itu menggelap, lalu mengeras. Kakinya memanjang dan bercabang. Kedua tangannya ikut memanjang dan terbelah beberapa bagian. Lehernya membesar, menyatu dengan kepala dan badannya. Baju dan celananya robek, sebab tubuhnya yang makin membesar. Kulitnya yang keras berubah jadi berlapis-lapis. Dedaunan tumbuh dari tangannya yang membelah-belah tadi. Orang itu jadi sebuah pohon!
Hal terpana memandanginya. Mengabaikan rasa sakit dari tubuhnya yang terkoyak kena aspal. Matanya tertuju pada pohon yang menjejakkan akar ke bawah aspal. Seorang manusia yang menjadi pohon begitu indah baginya. Asalkan semua orang jadi pohon begitu, dan ia tidak, maka bisakah ia menjadi pemilik dunia ini? Tanpa berbagi pada siapa pun. Pikirnya.
Dibaliknya tubuh bersimbah darahnya, terlentang menatap langit. Ia menyunggingkan senyum, lalu tertawa lepas. Sudah habis keinginan untuk bunuh diri. Sekarang ingin ia menikmati kepunyaan yang baru.
Waktu-waktu setelah itu, ia pura-pura panik seperti kebanyakan orang. Ikut mengungsi dan mencari asal-muasal orang pohon, orang yang berubah jadi pohon. Sampai habis dimakan waktu. Sembari punya tembakau dan bir tanpa batas dari dunia yang tidak seorang pun punya kuasa. Sesuka hati saja mau apa, dan dapatkan pulalah sendiri. Bulan-bulan dan tahun-tahun setelahnya, ia baru sadar sesuatu yang amat penting.
Ia satu-satunya di dunia. Yang tidak dapat jadi pohon. Bahkan jika Hal sengaja mendatangi orang pohon, supaya dapat tertular, itu juga tidak berguna. Ia tetaplah manusia. Baru setelah itu tahu ia betapa sudah takdirnya ia jadi pemilik dunia. Baru sekali itu rasanya seorang Hal punya sesuatu yang tak sesiapa pun bisa merebut.
Sampai ia bertemu kembali dengan tetangganya. Seorang gadis yang ikut meminta pada pohon hari itu. Satu-satunya orang selain dirinya yang tidak dapat menjadi pohon.
"Paman, boleh aku minta dunia ini?"
Mereka berdua lari. Sisa-sisa manusia tahu bagaimana mereka kenal terhadap orang pohon. Tidak semudah yang mereka kira untuk bisa memiliki dunia dan menghilangkan seluruh manusia. Malah mereka diburu oleh semua orang. Mau itu untuk penelitian, mau sekadar melampiaskan ketakutan. Namun semakin lama mereka dikejar, makin banyak pula yang menjadi orang pohon.
Yang akhirnya, Hal sudah tak ayal lagi, kalau hanya mereka berdua tinggal manusia yang masih hidup.
"Apa lagi yang mau kita buat?" Tetangganya, Milly, bertanya.
"Apa, ya? Kita ... buat rumah. Dari pohon, dari orang-orang. Habis itu, kita bisa saling mengeluarkan uneg-uneg. Kita tulis segala hal yang mau kita tulis, segala yang mau kita ungkap."
"Eh, apa itu? Yah, aku yang bodoh karena tanya hal begini."
"Aku serius."
Hal yang membangun pondok kayu reyot. Sedangkan Milly hanya menyiapkan minuman dan makanan. Untuk beberapa alasan, semua hewan juga menjadi tanaman. Kalau makanan instan sudah tidak ada lagi, atau sudah kedaluwarsa, mereka hanya akan memakan sayur. Terkadang mereka akan membuat tepung dari gandum yang mereka tanam sendiri, tapi itu jauh setelah pondok mereka selesai. Tanah mana pun di dunia jadi subur. Bahkan tanah tempat mereka membangun pondok, yang di tengah-tengah kota. Mereka hidup dengan terlalu sederhana, meski menjadi pemilik dunia.
Waktu-waktu setelah itulah, baru Hal jujur dengan kondisinya. Bagaimana ia memuntahkan setiap hari dan sulit bernapas. Tidak lama setelahnya, Hal mati. Meninggalkan seorang gadis sendirian. Milly satu-satunya manusia.
***
Meski setengah mati, akhirnya mereka sampai juga di pohon itu. Pohon di pinggiran kota Maury. Milly memapah tangan Hal. Tubuh satu-satunya orang yang disayanginya itu memang sudah kurus kerempeng dari awal, tapi malah jauh lebih kurus sekarang.
"Kenapa harus repot-repot ke sini?"
Milly menoleh pada Hal yang melontarkan pertanyaan mengganggu itu. "Paman, ingat janji kita dulu? Paman bilang kita bakal sama terus, jadi kenapa sekarang malah mau mati? Memangnya enak hidup sendirian? Aku perempuan, memangnya bisa hidup sendirian? Kenapa sekarang malah mau pergi?"
Milly mengalihkan pandangan dari Hal sejenak, lalu berjalan mendekati pohon. Lama dia menggumam dengan memejamkan mata. "Aku mau paman tetap di sini. Paman tidak boleh mati. Dia harus tanggung jawab!"
Namun tidak ada sesuatu yang terjadi. Hal tampak tersenyum saja melihat usaha keras Milly. Bahkan sampai berjam-jam. Dari siang sampai ke malam. Sampai paginya lagi. Mereka berdua masih juga di pohon itu. Ketika sudah dua hari barulah sesuatu terjadi.
Pohon ek tua yang mereka datangi menjelma seorang anak perempuan. "Diriku ini sungguh jengkel. Kau tidak ingat bagaimana dulu kau kuundang ke mari? Bawa lawan jenismu. Lalu ingat bagaimana kalian bisa mewujudkan keinginan saat itu? Kalian mau mati. Aku hanya mewujudkan keinginan seseorang yang ingin mati. Wanita, kau tidak punya sedikit pun keinginan untuk mati lagi. Dan aku pun tak bisa mewujudkan keinginan sepihak dari si lelaki. Jika kalian berdua sudah hendak mati, buatlah lagi keinginan. Sampai saat itu aku akan menunggu."
Anak itu kembali menjadi pohon ek. Tidak mendengar sedikit pun sanggahan dari Milly.
"Kalau sudah mau mati, ya mati saja. Aku bakal mati, jadi hiduplah, Milly. Bukan mustahil untuk hidup sendirian. Lagipula, bukannya dari awal kita memang mau mati?"
"Kalau nyawaku harus jadi bayaran pun, tidak masalah. Paman yang harus menderita hidup sendirian. Aku ... aku ... tidak mau paman mati!"
"Aku tak mau Paman mati, sembuhkan dia!"
"Aku mau apa pun keinginan Milly untuk bisa menyembuhkan aku, tak pernah terwujud."
"Apa maksud paman?"
"Hah, bukan apa-apa."
Dua hari berikutnya, Hal sekarat. Milly menahan tangis berhari-hari. Melihat Hal yang tak dapat disembuhkan. Dan hanya menunggu detik-detik kematiannya.
Di tengah-tengah putus asa itu, Milly lebih memilih mati ketimbang hidup sendirian. Sedangkan Hal memang mau mati dari awal. Maka terkabullah keinginan mereka. Syarat dari pohon itu terpenuhi.
"Jika saja kita bertemu lebih awal dulu. Jika saja kita bersama-sama lebih dulu. Bisakah kita terus bersama?"
"Aku mau bertemu kembali dengan paman. Meski kami mati sekali pun."
Hal mati. Tinggallah Milly seorang diri. Dia susah payah menggali tanah di sebelah pohon untuk mengubur Hal. Lobang malam itu bahkan sangat pendek, Milly tidak kuat lagi. Dimasukkannya saja tubuh dingin kaku Hal ke dalamnya. Dan ditutupnya lobang itu dengan tanah kembali. Ditinggikannya dengan tanah-tanah di sekitarnya.
"Kau mau bertemu dengannya kembali, bukan?" kejut pohon ek itu.
Milly yang telah kehilangan kilau di matanya hanya tersenyum. Dia membaringkan tubuhnya di sebelah makam Hal. Tak ada keinginan lagi darinya. Dia hanya mau mati secepatnya. Tanpa makanan dan air mungkin dia akan mati beberapa hari ke depan. Dia harus menahannya, agar dapat menemui Hal.
"Aku akan memutarnya kembali. Seperti keinginan kalian yang terakhir, kalian akan bertemu kembali. Bukan di sini, melainkan di waktu yang telah lewat. Sampai saat itu tetaplah hidup, Milly. Meski sesaat kau akan kembali bertemu dengannya."
Maka diputarlah kembali segalanya.