Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Maiden from Doomsday
MENU
About Us  

"Ke mana kita pergi? Paman pasti tidak ada uang, kan?" kata Milly yang menyunggingkan senyum di tengah tangisnya.

"Kita tidak perlu uang untuk ke sana," jawab Hal.

Mereka tidak saling bicara lagi. Milly hanya diam saja, ikut bersama Hal pergi ke tempat yang jauh. Apa yang berada di dalam kepala Hal sama dengan Milly, meski tidak saling memberi tahu. Namun tidak satu pun cara terpikir oleh Milly, berbeda dengan Hal yang tahu bagaimana untuk mewujudkan isi kepalanya.

Awalnya mereka ke pinggir tempat Hal tidur beberapa hari ini. Melihat tendanya sudah tidak ada lagi, Milly sempat ingin bertanya dan akhirnya tidak jadi. Karena dengan melihat wajah Hal saja, Milly sudah bisa menebak apa yang terjadi. Itu sudah jadi pengetahuan umum semua orang yang tinggal di apartemennya. Dan Milly juga tidak punya alasan untuk peduli.

Beberapa barang tergeletak begitu saja di tanah, diguyur hujan. Setelah mengambil apa yang perlu dibawa, Hal melanjutkan kepergian dengan Milly di belakangnya. Meski tahu bagaimana mewujudkan isi kepalanya, tapi Hal tidak tahu di mana isi kepalanya bisa terwujud untuk segera pergi. Di situ pula Milly bersuara.

"Di sekolahku, ada sebuah mitos. Tentang pohon pengabul keinginan di pinggir kota," tunjuk Milly ke jalan ke pinggiran kota Maury, tempat di mana pohon ek tumbuh sejak lama. Hutan yang ditinggalkan orang-orang.

"Mereka juga banyak bercerita tentang pohon itu" jawab Hal yang teringat obrolannya dengan rekan kerjanya, terutama A dan D. Kedua temannya itu bahkan berkali-kali mencari pohon pengabul. "Punya keinginan?" selorohnya.

Milly menimpali, "Kalau apa yang akan kita lakukan sama dengan yang di kepalaku, pergi ke sana bukan pilihan yang buruk. Terserah dengan terkabulnya atau tidak! Aku hanya ingin di sana."

Maka berangkatlah mereka untuk pergi ke tempat yang jauh. Sama sekali bukan niat hati untuk pergi bersama. Istilahnya hanya suatu kebetulan, bahkan jika itu yang disebut takdir. Taman memang punya cerita untuk mereka. Itu pula yang menggerakkan mereka untuk saling mengajak. Dan tanpa sadar mereka juga tahu begitu saling tatap-menatap di sana. Tahu bagaimana dan ke mana mereka.

Kini mereka di pinggiran kota Maury. Di tengah-tengah pepohonan ek. Hal mengikatkan tali di dahan yang dirasanya agak kuat. Lalu menyeret batang pohon yang telah tumbang ke bawah talinya. Ia naik berdiri di atas batang itu.

"Kau ingin pergi juga?" ia bertanya pada Milly. "Lehermu akan patah."

"Paman bodoh? Memang bodoh, tapi jangan ditunjukkan! Kalau tidak mau pergi, buat apa repot-repot berjalan ke mari dengan seorang gelandangan di bawah hujan?"

"Siapa orang yang paling kausuka?"

"Untuk apa tanya-tanya begitu. Ayahku tidak bisa jadi alasan untuk tetap hidup! Kenapa rasanya paman mau mencegahku ikut pergi? Taliku juga tidak dipasang, tidak ada tali yang cukup."

"Siapa yang paling kaubenci?"

"Aku benci semua orang." Milly memeluk betisnya setelah terduduk ke tanah. "Semuanya baik-baik saja di awal, sampai orang-orang mendengar tentang ayah dan ibuku dulu. Mereka menyebut ibuku lacur, padahal dia yang menyewa gigolo. Dan ayahku disebut pemerkosa, padahal dia hanya meniduri perempuan yang suka padanya." Dagunya ditaruhnya di atas lutut, "Karena itu mereka menyebut kami kotor. Ibu juga menyebutku kotor. Semua orang selalu sama akhirnya, aku mau mereka semua menghilang. Orang-orang, dari dunia ini."

Hal tidak jadi berdiri, ia duduk di atas batang pohon. "Dulu ayahku orang yang penyayang. Ibuku juga lembut, tidak pernah marah sekali pun."

Milly terkekeh mendengar ucapan Hal, "Ha! Semua orang pasti tahu itu bohong."

"Pastinya, tapi aku tidak bohong," balas Hal. "Mungkin dua puluh tahun lalu. Mereka kehilangan pekerjaan sampai menganggur berbulan-bulan. Ayah malah ketagihan minum dan judi. Dia bahkan sampai memukul ibu. Habis itu memukulku jika dia kalah judi, menggores wajahku tiap kali aku meminta uang untuk sekolah. Ibuku sudah kelewat takut pada ayah, jadi tidak berani melawan. Untuk sedikit meringankan kepalanya, ibuku akan terus memarahiku, memaki, dan meludahi. Selama dua puluh tahun, begitu terus."

"Habis pergi, apa kita bakal bebas?" tanya Milly.

"Entah. Siapa yang tahu seperti apa itu kematian? Kita hanya pergi dari sini, tapi kita tak tahu tujuan kita yang jauh itu seperti apa. Makanya aku tanya, apa kau memang benar mau pergi?"

Belum sempat Milly membuka mulutnya, semuanya berhenti. Hujan bukan berhenti turun, tapi seperti tergantung tetes-tetesnya. Daun-daun ek yang bergoyang terkena angin pun berhenti. Hal dan Milly serentak menyentuh hujan yang berhenti, dan jatuhlah hujan itu ke tanah. Sebuah pohon ek tua yang tidak jauh dari mereka, bangkit sendiri akarnya dari dalam tanah. Berjalan dengan akarnya ke dekat Hal dan Milly.

Pohon itu menyusut, menjadi putih dan halus batangnya. Akarnya pun ikut memutih, terpintal menjadi dua. Ujung pohon membentuk sebuah kepala. Daun-daunnya berkumpul menutupi seluruh permukaan yang memutih. Sebuah pohon baru saja berubah menjadi anak perempuan! Yang hanya menutupi tubuh dengan daun-daun ek. Hal dan Milly menerima apa yang mereka lihat. Setelah pesawat kertas yang lalu, mereka sudah sadar sesuatu yang mustahil tengah menimpa mereka. Dan anak perempuan dari pohon itu ialah anak yang sama dengan yang mereka temui di dalam mimpi dan saat pesawat kertas menyerang mereka.

"Tidak peduli kapan, kalian selalu merepotkan. Kalau begini, bisa sulit jadinya. Begini saja, silakan bunuh diri. Namun kalian tidak akan pernah berhasil. Ini juga kemauan kalian sendiri," tutur si anak.

Anak itu mengulurkan tangan kirinya yang berubah menjadi dahan, memanjang hingga menyentuh Hal dan Milly. Dipatahkan menjadi dua dahan itu, dan masuk masing-masing satu ke tubuh Hal dan Milly. Lalu kembali menjadi tangan.

"Kuharap ini terakhir kalinya kita bertemu!" pamit anak itu yang menghilang begitu saja.

Milly menengok pada Hal, "Paman percaya yang barusan itu?"

"Aku percaya pada mataku, dan kita tidak punya alasan mencari tahu tentang anak itu. Kita akan pergi," jawab Hal yang lanjut menggantung lehernya di tali. Sempat pula ia menunjuk ke arah sisa tali, di mana sebuah pisau saku tergeletak.

Hal gantung diri dan Milly mengikis pergelangan tangannya. Bayangan mereka tentang masa lalu berkelebat di kepala. Hal mengingat masa-masa ayah dan ibunya masih penyayang. Dan Milly mengingat segalanya tentang ayahnya. Namun mereka tidak jadi pergi. Karena mereka tidak bisa mati.

***

Hal menjatuhkan tubuhnya setelah memanjat ke pohon kelapa. Ia mendaratkan kepalanya di atas tanah. Tidak terjadi apa-apa. Agak sakit, tapi tidak ada luka. Kepalanya hanya seperti menabrak sesuatu. Ia menusuk-nusuk dadanya dengan pisau dan bahkan menelan pisau itu. Pisaunya memang menembus dada, tapi tidak ada luka dan sakit. Setelah pisau dicabut juga tidak ada lubang atau goresan. Ketika ia menahan napas hingga berpuluh-puluh menit, ia tidak kekurangan oksigen.

Milly pun tidak ada bedanya, mereka sama-sama tidak mati mau apa pun cara yang mereka pakai. Anak itu, yang  berkali-kali mendatangi mereka, menyimpan rahasia, itu yang Hal pikirkan. Pada akhirnya mereka tidak dapat apa-apa tentang anak itu setelah mengelilingi hutan ek, dan pasrah dengan diri mereka sendiri yang gagal mati.

"Kenapa kita tidak bisa mati? Bukannya itu aneh? Kita jadi abadi!" Milly berseru pada Hal yang kini tengah bergolek di atas batu besar pinggir sungai. Di tengah-tengah pepohonan ek, ada hilir sungai.

Hal cekikikan, "Ha! Itu bukan yang pertama kali. Pesawat kertas kemarin juga mustahil bisa sebanyak itu! Belum lagi tulisannya yang cuma tentang kita. Anak itu sengaja buat kita jadi begini."

"Kenapa kita?" lanjut Milly.

"Karena kita." Hal memejamkan matanya setelah itu. Ia mencoba tidur di atas batu.

Milly yang tidak bisa mengolah kata-kata Hal ke dalam kepalanya juga ikut tidur. Berbaring di tanah dengan punggungnya yang tegak bersandar pada batu besar.

Hari itu mereka habiskan untuk tidur sampai pagi besoknya. Dan mereka mulai bermimpi lagi. Tentang mereka sendiri, yang jauh di masa depan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Jika Aku Bertahan
12720      2691     58     
Romance
Tidak wajar, itu adalah kata-kata yang cocok untuk menggambarkan pertemuan pertama Aya dengan Farel. Ketika depresi mengambil alih kesadarannya, Farel menyelamatkan Aya sebelum gadis itu lompat ke kali. Tapi besoknya secara ajaib lelaki itu pindah ke sekolahnya. Sialnya salah mengenalinya sebagai Lily, sahabat Aya sendiri. Lily mengambil kesempatan itu, dia berpura-pura menjadi Aya yang perna...
Premium
Akai Ito (Complete)
6740      1343     2     
Romance
Apakah kalian percaya takdir? tanya Raka. Dua gadis kecil di sampingnya hanya terbengong mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Raka. Seorang gadis kecil dengan rambut sebahu dan pita kecil yang menghiasi sisi kanan rambutnya itupun menjawab. Aku percaya Raka. Aku percaya bahwa takdir itu ada sama dengan bagaimana aku percaya bahwa Allah itu ada. Suatu saat nanti jika kita bertiga nant...
Horses For Courses
11719      2333     18     
Romance
Temen-temen gue bilang gue songong, abang gue bahkan semakin ngatur-ngatur gue. Salahkah kalo gue nyari pelarian? Lalu kenapa gue yang dihukum? Nggak ada salahnya kan kalo gue teriak, "Horses For Courses"?.
Well The Glass Slippers Don't Fit
1406      639     1     
Fantasy
Born to the lower class of the society, Alya wants to try her luck to marry Prince Ashton, the descendant of Cinderella and her prince charming. Everything clicks perfectly. But there is one problem. The glass slippers don't fit!
UnMate
1039      605     2     
Fantasy
Apapun yang terjadi, ia hanya berjalan lurus sesuai dengan kehendak dirinya karena ini adalah hidup nya. Ya, ini adalah hidup nya, ia tak akan peduli apapun meskipun...... ...... ia harus menentang Moon Goddes untuk mencapai hal itu
Tumbuh Layu
382      253     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
Kuncup Hati
662      456     4     
Short Story
Darian Tristan telah menyakiti Dalicia Rasty sewaktu di sekolah menengah atas. Perasaan bersalah terus menghantui Darian hingga saat ini. Dibutuhkan keberanian tinggi untuk menemui Dalicia. Darian harus menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Ia harus mengungkapkan perasaan sesungguhnya kepada Dalicia.
Pensil HB dan Sepatu Sekolah
59      56     0     
Short Story
Prosa pendek tentang cinta pertama
NIAGARA
467      347     1     
Short Story
 \"Apa sih yang nggak gue tau tentang Gara? Gue tau semua tentang dia, bahkan gue hafal semua jadwal kegiatan dia. Tapi tetap aja tuh cowok gak pernah peka.\" ~Nia Angelica~
Veintiséis (Dua Puluh Enam)
813      449     0     
Romance
Sebuah angka dan guratan takdir mempertemukan Catur dan Allea. Meski dalam keadaan yang tidak terlalu baik, ternyata keduanya pernah memiliki ikrar janji yang sama sama dilupakan.