"Lain kali jangan begitu lagi, Nak." Baru saja, Melinda benar-benar dibuat panik hingga kepalanya sakit. Saat ini ia sedang bersama Tania, mengeringkan rambut anaknya di depan cermin.
Namun, Tania sejak tadi hanya diam seraya memandangi pantulan dirinya di cermin. Gadis itu bukannya merasa tidak bersalah, tapi rasa bersalah dan menyesalnya itulah yang membuat ia diam tidak tahu mau berkata apa.
Beberapa menit lalu Tania akhirnya ditemukan Arsya di dalam bathtub. Pria itu tidak tahu tujuan Tania sebetulnya apa berbaring dan menenggelamkan diri di dalam benda itu dengan keadaan air yang terisi penuh, yang jelas pria itu khawatir lantas mengangkat Tania untuk keluar dari sana.
"Makan ya, Nak habis ini," bujuk Melinda.
Namun, lagi-lagi Tania menggeleng. Saat ini pikirannya benar-benar tidak menentu dan penuh kebimbangan. Rasanya ia ingin menyerah saja pada kehidupan. Beberapa hari ini ia bukannya tidak berpikir, tapi hanya saja keterbatasan yang dimiliki bahkan tubuhnya yang melemah membuatnya terlalu sulit berfikir positif apalagi ia mendapat serangan terus dan keputusan sepihak dari sang ayah.
"Ma," panggil Arsya dari depan pintu yang menginterupsi Melinda melihat kearahnya. "Bubur kacang hijaunya, Ma." Pria itu mulai mendekat dan meletakkan bubur itu di meja rias.
"Bubur kacang hijau kesukaan kamu, Nak, mas Arsya yang pesenin, di makan ya sayang, ya." Lantas Melinda keluar dari kamar putrinya menyisakan mereka berdua.
"Untuk sementara kamu makan ini dulu ya, Tan. Bubur nasinya belum matang." Arsya menyodorkan mangkuk yang masih mengepulkan asap itu pada Tania. Namun, siapa sangka gadis itu justru menepisnya hingga benda itu terpelanting dan isinya berserakan di lantai.
Arsya yang tidak sempat mengelak terkena sedikit siraman dari bubur yang masih terasa menyengat di kulit itu.
"Kan tanganmu yang kena." Namun, Arsya malah memeriksa tangan Tania yang juga terkena cipratan. Pria itu lantas mencari kotak p3k yang tersimpan di laci meja rias.
Ia menemukan Betadine Antiseptic Ointment, salep itu lalu ia oleskan pada tangan serta jari Tania secara paksa, karena gadis itu berontak tidak mau.
"Mas enggak bakal mundur loh dari rencana papa itu, sekedar untuk kamu tahu, rencana itu mas yang sarankan loh pada papa," ujar Arsya dengan seringai jahilnya.
Seringai itu membuat Tania semakin emosi, hampir saja Hair dryer yang ada di depannya melayang ke kepala Arsya, jika saja pria itu tidak tangkas menangkap.
"Udah dong, Tan, musuhannya, mau sampai kapan? Hmm? Kamu kecewa kenapa? Sama mas sampai segitunya," tanya Arsya bersungguh-sungguh ia menatap sorot mata Tania yang terlihat sendu.
"Kamu ngerti enggak sih, aku bilang benci sama kamu." Tania sudah mulai menaikkan suaranya, tapi yang dilakukan Arsya justru menutup pintu kamar Tania.
"Enggak, jangan mikir macem-macem, mas nggak akan ngapa-ngapain kamu, cuma pengin ngobrol." Arsya memberi penjelasan atas tindakannya dan agar gadis itu tidak salah paham.
Pria itu duduk di pinggir ranjang. Ia ingin Tania menyetujui pernikahan mereka. Sebelumnya Arsya juga sudah meminta izin pada Anton dan Melinda perihal dirinya yang ingin membujuk Tania, dan kemudian itu disetujui asalkan tidak dengan kekerasan.
"Tania, pikirkan tentang janin yang ada di rahim kamu, ketika dia lahir dia membutuhkan seorang ayah."
"Kamu pikir aku bisa hamil sendirian tanpa adanya ayah dari janin ini." Tania salah pengertian ia pikir Arsya mengatai janinnya tidak memilih ayah dalam artian lain, bukan sebagai aib keluarga.
"Maksud mas bukan gitu, kamu salah pengartian."
"Terus gimana?"
"Maksudnya anakmu itu perlu sosok seorang ayah untuk menyelamatkannya dikehidupan masa depan. Kamu enggak mungkin engga tahu kan, sering banget anak-anak yang terlahir dari hubungan luar nikah dianggap aib," jelas Arsya, tapi Tania hanya diam. "Kita nikah bukan buat senang-senang kayak orang lagi kasmaran terus nikah gitu, Tan, tapi buat ngelindungin kamu dan anak kamu dari orang julid diluar sana."
"Memangnya harus nikahnya sama kamu?"
"Ya enggak harus aku sih, tapi kan Virgo udah enggak mungkin, kata kamu sendiri kan, tempo hari."
"Sekalipun aku harus nikah, kamu enggak termasuk pilihan aku, Mas."
"Ya ampun setega itu ya kamu ngucapin kata-kata itu di depan orangnya langsung. Ya udah kalau itu memang mau kamu, tapi tipekal pria yang mau kamu nikahi itu gimana? Atau memang maunya sama Virgo? Yaudah ayo mas anterin kamu keliling dunia nyariin Virgo." Arsya sudah cukup kesal, tapi ia mencoba mengenyampingkan egonya demi tidak meningalkan Tania lagi seperti kemarin. "Atau coba kamu telepon Virgo nya, siapa tahu diangkat. Kasi tahu dia dan kasi pandangan kedepannya, bakal seperti apa jika dia tidak bertanggung jawab."
Sementara Tania hanya menganggap perkataan Arsya itu seperti angin lewat, yang tidak perlu digubris. Lantas Arsya bergerak mengambil handphone milik Tania yang sejak tadi berada di atas kasur.
"Enggak, Mas! Kamu mau ngapain?" Tania bangkit dan ingin merebut handphonenya. Tentu saja itu tidak akan mudah, karena Arsya masih berencana untuk menahan handphone gadis itu lebih lama, lantaran ada sesuatu yang ingin ditemukan dari benda pipih itu.
"Mas jangan telepon keluarganya Virgo," mohon Tania bahkan sampai rela berlutut.
Arsya yang melihat aksi Tania hanya bisa geleng-geleng kepala, sebegitu besar gadis itu ingin berkorban untuk sang kekasih yang sudah pergi meninggalkannya.
"Tania ... Tania, berhasil Virgo merebut seluruh hati kamu, sampai kamu sebodoh ini, bahkan ketika dia sudah pergi meninggalkan kamu," ucap Arsya miris. "Lalu solusi yang kamu mau itu gimana, Tan? Mau ngilang gitu aja? Solusi yang kamu pilih itu kurang tepat, semua orang kenal kamu dan kamu juga terlahir di keluarga terpandang, tidak mungkin tiba-tiba menghilang, lantas setelah kamu menghilang itu papa dan mama harus memberikan alasan apa pada mereka?"
Lantas Tania hanya bisa terdiam seraya tertunduk. Ia merasa semuanya memang sudah salah, tapi jika harus menerima solusi dari papanya dan menikah dengan Arsya, Tania pikir ia lebih baik mati saja. Sebesar itulah penolakan Tania terhadap sosok Arsya.
"Sebelum mengambil keputusan kamu harus benar-benar memikirkannya dengan matang, Tan, ini bukan hanya menyangkut diri mu saja, tapi juga keluarga dan janin kamu. Aku tidak masalah jika kamu menolakku, tapi kamu harus realistis Tania, banyak nama yang harus kamu selamatkan."
Ucapan Arsya benar-benar menampar Tania, selama ini ia memang selalu kekanak-kanakkan, bahkan ia pun sadar hanya saja masih ingin menuruti keras hatinya.
"Habis ini kamu makan dulu, Tan, pikirkan janin itu." Terakhir sebelum pria itu bergerak membereskan segala tumpahan bubur kacang hijau yang masih berserakan di atas lantai.
Memang tidak salah jika kita mencintai seseorang dengan begitu tulus, hanya saja jangan tinggalkan rasional mu di suatu tempat.
Bersambung ...