"Tania memang putri papa, tapi tetap saja usul kamu ini tidak bisa papa terima," putus Anton.
"Pa, mas sebetulnya memiliki perasaan melebihi dari sekedar adik pada Tania, maafkan mas, Pa, perasaan itu memang sudah lama adanya," aku Arsya dengan wajah tertunduk seakan ia melakukan kesalahan.
"Tapi, masalah Tania terlalu berat untuk kamu tanggung, apalagi anak itu tidak pernah bersikap baik pada kamu. Kamu itu berhak bahagia, Mas. Jangan korbankan diri kamu hanya karena ingin menyelamatkan keluarga ini. Masalah Tania biar papa saja yang cari solusinya."
"Mas melakukan ini bukan semata-mata karena mau menyelamatkan keluarga ini dan juga kasihan pada Tania, Pa, tapi mas melakukan ini karena mas juga ingin selamat dan bahagia bisa memiliki Tania."
"Kamu seyakin itu bisa bahagia sama anak itu?" Anton lagi-lagi masih tidak mau terima begitu saja usul sekaligus solusi dari Arsya yang sejak malam tadi membuat dirinya bergadang sepanjang malam.
"Pa, jangan bicara begitu, gimana kalau Tania dengar," sela Melinda yang sejak tadi berada diantara mereka. "Mama enggak masalah mas, kalau kamu memang serius, tapi asalkan Tania juga mau dan rela bukan karena terpaksa, karena pernikahan itu bagaimanapun sebab terjadinya tetap harus ada kerelaan dari kedua belah pihak," nasihat Melinda.
"Papa akan tanya sekali lagi pada Tania siapa laki-laki brengsek itu." Lantas pria itu gegas beranjak dari kursinya.
Arsya dan Melinda yang saling bertukar pandang juga segera mengikuti Anton yang berjalan menuju, kamar Tania.
"Bangun kamu Tania!" Kemarahan Anton tidak pernah mereda padahal hampir tiga hari berlalu, pria itu masih tidak terima dengan kelakuan sang putri.
Tania yang masih tidur terlalu lama merespon perintah papanya, hingga pria itu terpaksa menarik sang putri kasar dari kasur. Tubuh Tania terhempas kelantai, beruntung bukan pantatnya yang mendarat lebih dulu melainkan badannya.
"Papa!" teriak Melinda yang baru saja masuk kedalam kamar Tania. Wanita itu begitu kaget melihat anaknya lah yang bertubrukan keras dengan lantai.
Begitupun dengan Arsya, pria itu tak kalah khawatirnya. Ia gegas membantu Melinda yang ingin memapah Tania duduk di pinggir kasur.
Melinda bertambah khawatir ketika Tania bernafas tidak beraturan, desahannya terdengar seperti menahan sakit. "Nak kenapa? Ada yang sakit? Dimana, sayang?" Melinda menyusuri setiap inci tubuh putrinya seraya menatap wajah pucat pasi milik gadis itu.
Tania hanya menggeleng, ia takut-takut menatap wajah papanya yang sejak hari pertama masih memperlihatkan amarah.
"Papa tanya sama kamu sekali lagi, siapa yang menghamili kamu?" Anton berucap sangat lantang dan mengintimidasi, hingga Tania hanya bisa menunduk dengan tangan yang gemetaran.
Melinda mencoba menguatkan sang putri dengan menggenggam tangannya yang gemetaran.
"Jawab, Tania!" titah Anton.
"Enggak, Pa," gadis itu menjawabnya dengan terbata-bata. Namun, jawaban yang tidak seharusnya itu justru membuat Anton semakin murka. Pria itu lantas maju dan hendak menampar putrinya, tapi dihalau oleh Arsya hingga pria itu yang terkena kibasan.
"Pa udah, Pa. Tania lagi tidak sehat," mohon Arsya tanpa peduli dengan rasa sakit diwajahnya akibat dari kibasan tangan Anton.
"Baik Tania, jika kamu tidak mau menjawab. Secepatnya kamu harus menikah dengan Arsya." Usai mengatakan keputusan akhir, Anton lantas keluar meninggalkan mereka bertiga.
Sedangkan Tania syok mendengarnya, tidak kira sang ayah akan menyuruhnya menikahi saudaranya sendiri. Arsya dan Melinda juga kaget mendengarnya. Keduanya tidak menyangka, Anton akan membuat keputusan secepat itu.
"Mau ya, Nak. Ini juga demi kebaikan kamu," bujuk Melinda karena wanita itu tahu anaknya tidak akan semudah itu terima keputusan suaminya.
Sementara Arsya hanya menunjukkan tanda setujunya melalui mata.
"Ma, tapi kan mas Arsya saudaraku." Prasangka Melinda benar, putrinya tidak akan mudah buat diyakinkan hingga menerima begitu saja, walau itu perintah papanya sekalipun.
"Kalian enggak memiliki hubungan darah sama sekali, Nak. Kalian hanya saudara angkat, jadi boleh menikah."
Sesekali matanya melirik Arsya, Tania mencoba untuk tidak terpancing emosi melihat pria itu ikut menggenggam tangannya bahkan duduk berdampingan dengannya, seolah mereka dekat dan Tania terima itu semua.
Lagi-lagi ego Tania yang sudah berhasil diredam muncul kembali, bahkan upayanya yang telah meminta maaf pada Arsya mungkin akan sia-sia.
"Ma, enggak bisa ya aku diasingkan begitu aja. Enggak masalah kok, Ma kalau aku harus hidup sendiri." Tania merasa dirinya berhak memberikan pilihan yang mungkin akan disetujui sang ibu.
"Enggak bisa sayang, papa mu mana mau begitu. Ini udah solusi paling baik, Nak."
"Aku enggak mau nikah sama orang yang aku benci, Ma. Mama sendiri tahukan, dan mama sendiri juga yang bilang kalau mau menikah itu harus dengan sesorang yang benar-benar kita inginkan dan begitupun sebaliknya." Gadis itu kembali memperlihatkan sifat kerasnya, bahkan ia menepis tangan Arsya.
Arsya yang memilih diam saja merasakan hatinya begitu perih. Lagi-lagi seseorang yang selalu diharapkan agar melihat kearahnya kini kembali pada mode semula, yang sungguh Arsya tidak sanggup menghadapinya.
"Ma, aku keluar dulu," pamit Arsya yang tidak bisa menahan gejolak dihatinya. Ia sakit hati, lagi-lagi untuk kesekian kali harus tersakiti oleh orang yang sama.
Melinda menahan Arsya sebelum pria itu benar-benar keluar "Sabar ya, Nak."
***
Melinda kembali dibuat pusing oleh Tania, gadis itu memilih mogok makan usai melakukan tawar-menawar pada Melinda, tapi tetap keputusan papanya tidak bisa diganggu gugat.
"Mas, Tania dari pagi tadi tidak mau makan." Melinda sudah kehabisan cara, dan terpaksa memanggil Arsya.
"Arsya coba bujuk, Ma." Arsya terburu-buru naik ke lantai dua. Kamar Tania masih tertutup, tapi sangat mengejutkan ketika Arsya nasuk tidak menemukan Tania diatas tempat tidurnya.
Pria itu berkeliling dari pojok kepojok bahkan membuka lemari-lemari untuk menemukan Tania. Saat memeriksa kamar mandi ia juga tidak menemukan Tania, lantas ia pikir Tania kabur melalui jendela. Namun, dihati kecilnya berkata Tania mungkin terlalu gila jika nekat kabur melalui jendela kamarnya yang benar-benar tinggi.
"Ma!!" Arsya berteriak seraya berlari kecil menuruni tangga. Pria itu kalang kabut dibuatnya.
"Kenapa, Mas?" Melinda juga ikut panik melihat putranya.
"Tania enggak ada di kamarnya, Ma."
"Hah!? Yang benar kamu, Nak? Tadi ada." Melinda menaiki tangga untuk ke lantai dua dan diikuti Arsya di belakangnya. Melinda merasa tidak percaya dengan pernyataan Arsya karena sejak Tadi Tania selalu di kamar.
"Yaampun Tania!" eluh Melinda seraya memegangi kepalanya.
"Mama duduk aja Ma, tenang dulu, Tania enggak bakal kenapa-kenapa. Biar Arsya cek lagi kamar mandi maupun toilet."
Kamar Tania memang memiliki fasilitas yang cukup, dilengkapi kamar mandi dan toilet yang memiliki ruang terpisah. Kamar mandi Tania yang sangat luas menjadi tujuan utama Arsya saat ini.
Bersambung ...