Entah untuk yang keberapa kalinya, gadis dengan piyama corak batik itu mondar-mandir tidak jelas di dalam kamarnya. Ditangannya memegang kotak kecil. Sudah hampir beberapa menit ia gelisah dan ragu-ragu membuka kotak yang isinya testpack itu.
Lalu setelah menghirup nafas dalam-dalam dan meyakinkan dirinya sendiri, gadis itu segera masuk ke toilet yang sekaligus bersatu dengan kamar mandi. Tentu saja benda yang digenggamnya sejak tadi, dibawa masuk kedalam.
Lantas setelah beberapa menit kemudian, ia merasakan sesak sekali di dadanya, kepalanya pening. Melihat garis dua dari benda itu terasa seperti tersambar petir di siang terik.
Tania meletakkan benda itu di atas meja rias, kedua tangannya meramas rambut yang sama sekali tidak bersalah. Ia tidak percaya akan menuai hasil yang selama ini ditakutinya.
Namun, ini bukan salahnya sendiri. Tania segera menjernihkan pikiran dan meminimalisir detak jantungnya yang kencang sekali. Lalu, karena tidak ingin terlalu lama terjebak dalam penyesalan, sendirian. Gadis itu segera keluar dari toilet dan langsung menghubungi sang kekasih.
Gadis dengan paras cantik itu tak henti-hentinya menyugar rambut, dikala telponnya belum bersambut.
Sekitar tiga menit-an, barulah telponnya bersambut dengan suara seorang laki-laki.
Virgo : hmm? Kenapa, pagi-pagi nelpon?
Tania : aku ... aku
Tania gugup alhasil suaranya terdengar seperti orang gagu di seberang sana.
Virgo : kenapa, Tan. Kamu mimpi buruk?
Tania : bukan
Tania tidak bisa untuk tidak menangis, ia merasa berdosa dan merusak segalanya.
Virgo : terus kenapa? Kangen aku?
Tania : bisa kita ketemu sekarang? Aku mau ngomongin sesuatu?
Virgo : kamu nangis? Iya-iya kita ketemu sekarang, aku otw
Telpon mereka terputus usai pria itu terdengar agak panik dan tergesa-gesa. Tania merasa cukup lega mendengar reaksi Virgo, setelah mengetahui dirinya menangis walau ia belum memberi tahukan segala yang telah terjadi.
Dengan langkah yang tidak seperti biasanya, Tania menuruni tangga. Ia ingin berada di lantai dasar dan menyambut kedatangan kekasihnya, yang ia harapkan kelak, setelah tahu dapat menenangkan dirinya.
Meski dengan tertatih-tatih dan masih digerayangi gemetar yang belum hilang, Tania akhirnya mampu mencapai lantai dasar. Gadis itu terus duduk di sofa.
Tidak dapat dielakkan, Tania membayangkan reaksi orang tuanya setelah tahu hasil dari Keberengsekannya nanti. Entah di tendang dari kartu keluarga atau dinikahkan segera. Tania pikir itu mungkin konsekuensi yang harus ditanggung. Namun, ia pikir tidak apa-apa jika Virgo selalu berada di sisinya.
Sekitar 30 menit kemudian, laki-laki itu telah menyambangi rumah mewah yang kini penghuninya hanya Tania. Pria itu tersenyum seraya mendatangi Tania.
"Kamu kenapa?" tanya Virgo dikala Tania memeluknya erat, seakan takut terpisahkan.
"Aku hamil." Pernyataan Tania itu membuat Virgo tersentak dan berusaha menatap mata gadis yang berada dalam dekapnya.
"Kamu bohong?" tanyanya.
Sementara Tania mulai merasa takut saat mendapati reaksi Virgo yang sama sekali tidak menunjukkan rasa senang.
Tania menggelengkan kepalanya, dan menatap manik laki-laki di depannya. "Kamu enggak mau tanggung jawab? Aku hamil anak kamu."
"Tania, sumpah aku kaget. Kamu ngeprank aku?" Virgo masih tidak percaya seolah-olah ia tidak pernah melakukan sesuatu yang melewati batas pada Tania.
"Enggak ada yang ngeprank kamu, ini benar. Aku hamil anak kamu. Kamu enggak percaya? Setelah apa yang kita lakuin bersama, kamu masih meragukan aku?"
"Kan kita ngelakuinnya pakai pengaman."
"Enggak ada yang enggak mungkin Virgo saat kita udah benar-benar ngelakuin itu. Kamu mana tahu kalau pengaman itu rusak." Tania
Sudah mulai frustasi dengan sikap kekasihnya yang naif.
"Yaudah kalau gitu gugurin aja, toh dia belum berbentuk apa-apa."
"Tapi dia ada!" tentang Tania, walau dirinya tidak begitu yakin, tetap saja menggugurkannya adalah hal yang tidak ingin ia pilih.
"Terus mau kamu bagaimana? Kamu mau mempertahankannya dan menuntut aku agar menikah dengan kamu?" laki-laki itu menyeringai sinis, seolah itu adalah hal yang paling tidak mungkin dilakukannya.
"Terus kamu mau meninggalkan aku gitu aja?" Tania mulai meneteskan air matanya, dan menyorot laki-laki dihadapannya tajam.
"Menikah dan punya anak belum masuk dalam keinginanku saat ini, Tan. Sorry! Aku enggak bisa nikahin kamu."
"Tapi ini anak kamu, Virgo!"
"Itu anak kamu, karena cuma kamu yang mau mempertahankannya," tegas Virgo tampak tersulut emosi. "Mimpiku masih banyak yang belum terwujud, Tan. Dan kamu tahu sendiri aku akan keluar negeri demi mewujudkan keinginan mama, dan jangan lupa, kemarin kamu yang nguatin aku biar pergi kesana, kata kamu demi orang tuaku yang hanya punya aku."
"Tapi itu sebelum aku tahu ada dia di rahim aku, Virgo!"
"Ada atau tidaknya dia di rahim kamu sama sekali tidak mempengaruhi keputusanku, Tan. Bagaimanapun aku akan tetap pergi. Aku kasih kamu kesempatan sekali lagi, kalau kamu mau mengggugurkannya kita tidak akan putus, tapi kalau kamu memilih sebaliknya maka aku minta maaf kita harus putus."
"Kalau aku menggugurkannya sama aja aku dengan seorang pembunuh. Sejujurnya aku sudah sangat menyesal atas apa yang kita lakukan, dan kelak aku tidak ingin menyesal untuk kedua kalinya."
"Ok, baik, jika memang itu pilihan kamu, aku harap jangan pernah libatkan aku dalam masalah ini. Aku tidak ingin keluargaku tahu. Secara tidak langsung ini kuanggap kamu mau mengambil tanggung jawab itu sendiri."
Laki-laki itu pergi begitu saja meninggalkan Tania yang mulai terisak.
Kecewa,takut, bingung, sakit hati bahkan rasa ingin mau mati, mendera perasaan Tania saat ini.
Ia mengharapkan rasa lega setelah memberitahukan sang kekasih perihal kehamilannya, tapi yang didapat justru hal yang lebih menyakitkan dibanding saat ia tahu kehamilannya.
Lantas setelahnya Tania hanya bisa mengingat-ngingat bahwa saat ini dirinya ditinggal sendirian, bahkan setelah banyak yang mereka lalui bersama.
"Gini ujungnya? Padahal 6 tahun bukan waktu yang singkat," lirihnya.
***
Tania tidak tahu lagi ia harus bagaimana, semakin dipikirkan semakin sakit kepalanya hingga mampu membuatnya berjalan kaki jauh dari rumah.
Beberapa jam lalu ia sempat menelpon dan mengirimi pesan pada Vanessa, sahabatnya, yang bekerja di toko roti. Namun, karena tidak ada jawaban dari gadis itu, membuatnya nekat berjalan kaki dari rumah menuju toko roti tempat Vanessa bekerja.
Pikiran yang berkecamuk tentu menjadi pemicu, Tania melakukan hal aneh yang seumur hidup tidak pernah ia lakukan.
Ia tertawa miris saat sampai disetengah perjalanan. Disaat ia menyadari kakinya telah melangkah jauh.
"Emang udah gila gue." Lagi-lagi ia berbicara sendiri seraya menertawakan dirinya. "Biasanya kalau pakai mobil enggak lama banget, ini gue rasanya udah lama banget tapi belum nyampe, apa udah pindah ya toko lo, Nes?" Ia bertanya pada udara malam yang terasa begitu menusuk padahal biasanya tidak.
Masih dengan piyama yang dikenakannya pagi tadi, Tania sudah tampak seperti orang mabuk apalagi dengan rambut yang asal ikat saja. Namun, gadis itu terus menuntun kakinya menyusuri trotoar.
Lalu lalang kendaraan sama sekali tidak memengaruhinya. Padahal biasanya Tania anti debu. Jika berjalan ia biasa sekali mengenakan masker, tapi kali ini jangankan debu kuman-kuman hingga bau keringatnya sendiri saja tidak ia pedulikan.
Kehamilannya memang membawa masalah baginya, tapi penolakan dari Virgo benar-benar membuat dunianya kiamat.
Bersambung...