Atlas dan Clarin menuju ke parkiran sepeda di halaman depan sekolah mereka. Mereka hendak mengecek sepeda Tito dan kawan satu geng Tito. Clarin memeriksa ban sepeda milik Tito. Ban itu masih kempes akibat ulahnya barusan sebelum masuk kelas tadi. Clarin tersenyum senang karena rencananya berhasil. Clarin memang sengaja membuat kempes ban sepeda Tito karena Tito terlampau sering mengganggu Atlas dan dirinya saat makan siang di kantin sekolah. Atlas memberitahu Clarin supaya bergegas dari situ, "Cla, buruan. Tito and the gank udah pada keluar sekolah. Mereka ke halaman depan nih! Udah belum nih., Cla?" tanya Atlas memastikan. Clarin mengangguk dan memberitahu Atlas. "Bereslah. Sudah gue cek dan kondisi ban Tito masih aman terkendali. Kita pulang sekarang atau mau lihat mereka kebingungan mereka dulu?" tanya Clarin menawarkan. Atlas berkata, "Lihat dulu lah, jarang-jarang gue lihat anak berandal nuntun sepeda."
Atlas menarik tangan Clarin dan mengajaknya bersembunyi di balik pilar di dekat parkiran sepeda di halam sekolah mereka. Dari pilar itu, Clarin bisa melihat Tito bersama teman-temannya berjalan bersama dengan kompak ke parkiran sepeda. Clarin dan Atlas mengintip dari balik pilar dan memastikan bahwa Tito tahu jika sepedanya itu kempes.
"A...aku pul..ang dulu ya!" ujar Dimas lalu menyingkir dari gerombolan Tito. Tito, Steve, serta Marvel segera menuju ke sepeda mereka masing-masing. Tito lebih dulu sampai di sepedanya. Ketika hendak melaju keluar sekolah ia melihat ban sepedanya yang sudah kempes. "Sial!!" teriaknya kencang. Tito melihat ban sepeda itu kemudian enoleh ke kedua temannya, "Kok bisa sepeda gue kempes! Sepeda kalian kempes enggak?"
"Punya gue enggak. Punya gue fine kok," ucap Marvel. Steve kini buru-buru menoleh ke arah ban sepedanya ia memastikan jika ban sepedanya juga aman. "Punya gue juga kok To. Bukannya tadi udah sempet lo pompa ban sepeda di rumah lo ya?" tanya Steve penuh selidik. Tito mengangguk bingung, "Iya, gue inget tadi gue kan pompa ban sepeda gue. Tapi kan aneh, kalau misal ini tiba-tiba kempes tanpa sebab. Eh, jangan-jangan gue dikerjain sama anak di sekolah ini?"
Steve mengiyakan dan setuju dengan pendapat Tito, "Mungkin juga sih. Lo soalnya nakal banget sih, enggak pernah kapok.Lo mau bareng gue enggak? Gue bonceng sampai di depan gang rumah lo?" ujar Steve menawarkan bantuan. Tito menggeleng. Ia kemudian berlari ke Pak Dodit yang sibuk mengatur kendaraan bermotor yang menjemput para siswa. "Pak Dit, Tito mau pinjam pompa sepeda ada enggak Pak?" tanya Tito. Pak Dodit menjawab, "Di belakang pos satpam ya Mas!"
Mendengar itu Tito berlari ke belakang pos satpam. Ia kemudian memompa ban sepedanya. Sedangkan Atlas dan Clarin mulai kesal karena Tito masih berusaha memompa ban dengan alat pompa sekolah. Clarin berharap Tito tidak berhasil memompa ban sepedanya, "Aduh, sekali-kali biar bocor tuh bannya Tito. Gue lagi pengen lihat dia nuntun sepeda. Dia bukan tipe orang yang mau ninggalin sepeda mahalnya itu di sekolah." Atlas menoleh ke Clarin lalu ia memerhatikan pemandangan di depannya itu. Tito memompa ban sepedanya sebanyak 5 kali tekanan pompa. Akan tetapi ban sepeda Tito tak kunjung terisi anginnya, "Aduh kayaknya bocor ban gue. Udah gue pompa tapi enggak mau masuk anginnya." Steve melihat temannya kesusahan segera membantu, "Sini, kasih gue. Gini-gini gue tuh sering bantu bapak memompa sepeda." Steve segera memompa ban sepeda Tito namun yang dikatakan Tito benar. Meski Steve sudah memompa ban itu sebanyak 5 kali sama seperti Tito, ban sepeda Tito tak kunjung membaik. "To, lo bareng gue aja. Daripada nunggu dijemput di sekolah lama. Sepeda lo taruh di sekolah aja. Besok baru dibawa pulang atau bapak lo suruh ambil dan suruh bawa ke tukang tambal ban," kata Steve. Tito menggeleng dan menolak tawaran temannya itu halus, "Gue jalan aja deh. Gue langsung ke tukang tambal ban sekarang. Lo pulang dulu aja. Thanks ya udah bantuin!"
"Lah yakin lo? Tambal ban dari sini jauh To, lo enggak capek dorong sepeda bawa tas berat kayak gitu?" protes Marvel. "Atau mau kita temenin ke tambal ban?" tanya Marvel menawarkan banuan opsi lain. Tito menggeleng, "Gue bisa sendiri kok, thanks. Ya udah gue duluan ya, keburu kesorean nih!" ujar Tito lalu perlahan mendorong sepedanya dengan santai. Steve dan Marvel akhirnya pulang mendahului Tito.
"Nah Tlas, gimana kalau kita lewat jalan yang sama kayak rute Tito pulang. Terus kita ejek dia dulu. Pokoknya usilin aja dia, toh dia sering gangguin kita berdua kan?" ujar Clarin. Atlas mengangguk dan mereka kini berjalan ke arah Tito. Clarin yang bersemangat kini memulai ocehannya lebih dulu, "Eh anak bandel, kenapa sepedanya? Ututututu ..., enggak bisa muter ya bannya?" goda Clarin. Atlas kini menambahkan, "Mau gue bantuin dorong enggak? Eits, lupa. Kita kan enggak sahabatan ya Cla sama dia."
"Makanya Tito, kalau punya sepeda dijagain jangan sampai kempes. Kebanyakan bully temen sih, pantes aja sepeda lo ikut kena bully sekarang," seloroh Clarin. Atlas segera menambahkan, "Ayo Cla, kita duluan aja. Biarin temen kita satu ini olahraga sore!" ujar Atlas lalu menggandeng Clarin menjauhi Tito. Tito yang dari tadi diam kini meneriaki dua orang yang ada di depannya itu, "Bacot lo! Pasti kerjaan lo berdua kan? Woii!! Beraninya main tangan sembunyi-sembunyi! Woi!!" teriak Tito dari kejauhan. Clarin menoleh ke arah Tito dan merasakan kepuasan tersendiri. Akhirnya ia berhasil mengerjai Tito. Setidaknya hari itu ia sangat puas.
*
Malamnya Clarin membawa tas ransel dan memasukkan beberapa CD Scoobydoo dan Mr. Bean. Clarin mengambil beberapa cemilan snack dari kulkas. "Ma, aku ke markas bentar samma Atlas. Bentaran doang, paling lama sejam. Boleh kan, Ma?"
"Boleh. Tapi jangan malam-malam Mbak, pulangnya. Ini tadi saya bikin sandwich. Dibawa aja, Mbak. Irma tadi bikin empat. Mbak bawa semua. Terus, anggur yang kemarin masih ada di lemari es."
"Iya, Ma, makasih ya! Udah kan Ma, cuman ini aja. Nitip apa lagi?" tanya Clarin pada Irma.
"Itu aja. Titip salam buat Atlas, ya!"
Clarin keluar dan mengendarai sepeda ke markas. Dari rumahnya ke markas tidak jauh sebenarnya. Namun agar ia sampai lebih cepat, maka Clarin mengendarai sepedanya ke markas. 'Mudah-mudahan Atlas bisa datang nanti. Awas aja sampai enggak datang,' ucapnya lirih.
"Pergi lagi nih?" tegur Bu Harni, ibu Atlas.
"Iya ada client yang harus ditemui," jawab ayah Atlas, Pak Hardi.
"Bu Diana atau client beneran?" sindir Bu Harni ulang.
"Bu Diana itu client Papa, Ma." Bu Harni beranjak dari sofa ruang tamu menuju ke bangku kerjanya. "Client apanya? Tiap hari Sabtu ketemuan. Udah kayak ABG pacaran. Aku pulang ke rumah bukan disambut malah pergi keluar sama clientmu itu. Merasa enggak salah?!"
Pak Hardi menggelengkan kepalanya, "Ya kamu tidak kenal dengan orangnya. Jangan judge orang lain begitu. Toh kamu sibuk sendiri dengan editor bukumu. Siapa namanya—Dion, Doni, Dio? Bilangnya meeting malah makan siang di café. Atlas enggak terurus sama sekali. Lalu mana peranmu sebagai ibu? Ibu tapi kerjaannya meeting sama editor."
"Jangan coba-coba menyalahkanku. Kamu sendiri apa sudah menjadi ayah yang baik buat Atlas?? Belum kan! Dari dulu kerjanya meeting-meeting sama wanita lain. Kamu pikir aku tidak tahu?!!" ujar ibu dengan marah.
Pak Hardi menggebrak meja. Dengan nada tinggi ia bicara, "Jangan sembarangan kalau bicara! Aku menemui Diana karena urusan bisnis. Toh kalau ini selesai, aku tidak akan menemuinya lagi. Daripada kamu yang terus-menerus bikin' buku tapi enggak ada hasil sama sekali. Bilangnya bulan depan terbit, bulan depan jadi, mana buktinya? Satupun buku enggak ada yang dipajang di toko. Dia cuman memanfaatkanmu. Asal janji tapi enggak ada pembuktian sama sekali." Atlas yang sedari tadi mendengar pertengkaran orang tuanya keluar dari kamar. Ia melengos begitu saja tanpa pamit pada orang tuanya.
"Atlas mau ke mana kamu?" tanya Pak Hardi tiba-tiba.
"Bukan urusan Papa," ucap Atlas sinis. Ia bahkan tak menjawab pertanyaan ayahnya itu.
"Ini gara-gara kamu, Ma. Pergi keluar bukannya pamit malah melengos." Kali ini Bu Harni berdiri dan mendekat ke Pak Hardi. "Enak saja. Dia seperti tiu meniru ayahnya yang tidak pernah pamit kalau sedang meeting dengan wanita lain!"
"Oh, ya?!! Yang benar saja. Tentu didikanmu yang salah. Mana pernah aku mengajarkan etika yang buruk pada Atlas."
Bu Harni menyahut, "Hah, apa katamu! Jangan sekali-sekali kamu—"
Atlas buru-buru memotong percakapan orang tuanya. "Aku pergi," kata Atlas seketika. Ia keluar dan mengambil sepedanya, lalu melesat dengan cepat. Ia sudah muak dengan pertengkaran kedua orangtuanya yang tak kunjung selesai. Dari dulu selalu hal itu yang mereka permasalahan. Editor dan client meeting. Atlas berusaha mempercepat kayuhan sepedanya.
*
Di perempatan, seorang gadis menyebrang jalan. Atlas tak melihat gadis itu dan tidak sempat menarik rem sepedanya. Gadis itu ditabraknya. Atlas segera turun dari sepeda dan melihat kondisi gadis itu. Ternyata gadis itu pingsan. Ia membawa gadis itu ke tepi trotoar. Ia mengeluarkan balsem dan hendak mendekatkannya ke hidung gadis itu. Tak lama gadis itu sadar dan menoleh ke Atlas dengan mengernyitkan alis. "Lo siapa? Ini di mana?" tanyanya agak ketakutan.
"Gue Atlas, lo enggak apa? Masih ada yang sakit?" tanya Atlas khawatir. Gadis di samping Atlas menggeleng, "Enggak, cuman sakit sedikit di siku."
"Oh, gue antar pulang. Rumah lo di mana?" tanya Atlas menawarkan untuk mengantarnya pulang.
"Enggak perlu, makasih. Kalau gitu gue pulang," gadis itu berdiri dengan susah payah.
"Siapa nama lo?" tanya Atlas. Gadis itu menjawab, "Nila," katanya sambil tersenyum. Lalu gadis itu berjalan pergi.
Atlas tersenyum simpul. "Bodoh banget enggak tanya nomor HP. Atlas, Atlas, kayak baru sekali lihat cewek." Atlas memutar sepedanya ke arah berlawanan. Ia mengayuh sepedanya lagi. Atlas berharap Clarin tidak mengomelinya. Ia sudah molor selama 30 menit dari janjiannya. Atlas berharap Clarin tidak marah.
"Misi, Clarin!!" sapa Atlas dari luar. Clarin bersegera keluar dari markas dan mendapati Atlas. "Hehehe ...., maaf ya!" celoteh Atlas sambil cengar-cengir.
"Macet lagi alasannya? Udah basi!!" Clarin mengomeli Atlas dan memelototinya. Atlas ngeloyor masuk ke markas. "Nyantai kali. Nih, cemilannya," ujar Atlas sambil menyodorkan beberapa camilan.
"Perut gue dari tadi udah keroncongan, nungguin lo enggak dateng-dateng."
"Sabarlah Cla, dari rumah ke sini kan butuh waktu. Bawa CD-nya enggak?" tanya Atlas yang langsung mengambil posisi di sofa usang robek favorit mereka.
"Di atas kasur. Ambil sendiri aja."
Atlas mengambil kaset DVD. Ia duduk di sofa dan mengambil sandwich yang dibawa Clarin. Clarin duduk di bawah sofa sambil makan camilan. Sesekali ia menengok ke arah Atlas. Clarin merasa ada yang aneh dengan Atlas. Kenapa lagi nih anak?
"Kenapa lagi?" tanya Clarin tanpa basa-basi.
"Kenapa apa?" Clarin meraih botol mineral di sampingnya. "Berantem lagi ya?" tanyanya pada Atlas. "Enggak apa. Udah bukan urusan lo juga," kata Atlas cuek.
"Apa'an sih, Tlas! Tiba-tiba nyolot gitu."
"Gue enggak nyolot, emang bukan urusan lo, Cla."
"Atlas, mau bilang seratus kalipun gue enggak percaya. Muka' udah kusut enggak karuan bilang enggak kenapa-kenapa. Lo enggak bakal bisa bohong di depan gue. Kali ini masalah apa lagi? Masih sama seperti dulu?" tanya Clarin terus mengejar jawaban dari Atlas.
"Gue heran, kenapa bisa berantem terus, udah tahu anaknya enggak keurus gara-gara berantem. Udah gitu sibuk sama urusan mereka sendiri."
"Sabar Tlas, paling bentaran juga kelar. Tunggu aja, siapa tahu ada keajaiban." Atlas menggelengkan kepalanya. "Keajaiban apa? Tahu gini tadi gue langsung kabur dari rumah. Udah suntuk banget di rumah."
"Mulai nih. Jangan ngomong aneh-aneh, Tlas. Kalau mereka bingung nyari' lo gimana?"
"Urusan mereka lah bukan urusan gue."
"Sekalipun mereka sering berantem, mereka tetap orangtua lo. Jadi waktu lo hilang bakal dicari," omel Clarin berharap Atlas lebih tenang.
"Pepatah dari mana tuh?" sanggah Atlas.
"Dari gue sendiri lah," ucap Clarin sangat pede. "Lagian nasib gue gimana? Lo enak, main kabur. Ntar' orang tua lo pada nyerbu rumah gue dengan sejuta pertanyaan penculikan. Habis, yang deket sama lo cuman gue. Jadi kalau lo ngilang tiba-tiba, gue orang pertama yang jadi tersangka. Terus, kalau lo kabur nasib pelajaran Spanyol gue gimana? Bisa bobrok drastis," imbuh Clarin.
"Ya paham, gue cuma lo butuhin waktu pelajaran Spanyol aja. Berkali-kali gue cerita dan tanggapan lo selalu memihak orang tua gue. Padahal di sini mereka yang salah."
Clarin menjadi bingung karena tiba-tiba Atlas menegurnya seperti itu. "Kok gue yang lo omelin?! Dibilangin baik-baik, enggak pernah dengerin. Maksud gue, percuma kalau kabur cuman buat narik perhatian mereka. Setelah lo ketemu, mereka bakal berantem lagi. Enggak ada gunanya lah," omel Clarin lagi.
"Enggak usah sok bijak. Lo bilang seperti itu karena enggak pernah ngalamin. Lo enggak tahu apa-apa tentang mereka, Cla."
"Ye, dikasih tahu baik-baik juga. Bener-bener ...," Clarin setengah naik pitam. Ia mencoba menarik napas dan menenangkan dirinya. "Gue cuma nasihati Tlas, siapa juga yang mau sok bijak. Gini nih, males ngomong sama lo. Lo kalau dibilangin enggak pernah dengerin. Ademin dulu tuh, pikiran! Bikin orang emosi aja!"
"Ya udah. Bosen dengerin lo ngomel, kecilin volume tv-nya. Gue mau tidur. Jangan berisik."
"Eh, lo udah nemuin permintaan lo belum? Gue penasaran nih," kata Clarin. Atlas menjawabnya kembali dengan asal, "Itu kan perintaan gue Cla, lo enggak perlu ikut ambil pusing. Kalau udah nemu gue juga bakal langsung bilang ke lo tanpa enunggu lama lagi."
"Lama banget sih, emang lo mau minta apa ke gue? Jangan melakukan hal kriminal ya. Gue enggak akan mau. Apalagi bantuin lo!" protes Clarin. Atlas menutupi wajahnya dengan bantal dan ia berusaha untuk tidur. Clarin mengecilkan volume. Ia membuka camilan dan makan dengan emosi. Dari dulu Atlas enggak pernah mau dengerin nasihatnya. "Dasar. Giliran gue ngomel enggak didengerin," gerutu Clarin kesal.
Atlas telah memejamkan matanya. Clarin melirik ke arah Atlas. Ia tetap terlihat keren meski ia sedang tidur. Atlas dari dulu seperti ini. Ia tidak suka bila Clarin ikut mencampuri urusan keluarganya. Meski Clarin berusaha memberi saran dan nasihat pada Atlas, Atlas justru mengomeli Clarin balik. Clarin mengambil selimut yang dibawanya dari rumah. Ia lalu menyelimuti Atlas. "Paling enggak orang tua lo ada di rumah. Meski ribut mulu kerjaannya, tapi mereka di rumah. Orangtua gue malah enggak pernah kasih kabar. Mama sibuk kerja, Papa apa lagi. Enggak telepon, ataupun email. Inget enggak, waktu orangtua lo ribut di depan halaman rumah cuman ngeributin masalah lo duduk di depan atau di belakang waktu mau pergi sekolah. Mungkin itu bikin lo risih, tapi buat gue itu nyenengin banget. Meski mereka ribut karena masalah simpel, itu udah buat gue merasa mereka peduli. Jadi berasa kayak anak terlantar. Mungkin mereka sering ribut di rumah, seenggaknya mereka masih ada buat lo. Waktu ngambil rapot pun mereka juga dateng bareng kan. Kalau gue, Irma yang ngambil, pembantu yang pura-pura nyamar jadi kakak kandung gue. Good night, Tlas!" ujar Clarin lalu keluar dari markas. Atlas yang dari tadi berusaha tidur kini merasa bersalah pada Clarin. Harusnya ia mau mendengarkan sahabatnya tadi. Toh sudah sering banget Clarin ceramah soal keluarganya. Dan baru kali ini Clarin meneritakan masalah keluarganya.
*