Clarin memainkan pulpennya ke kiri dan kanan. Ia bosan mendengarkan Bu Hani menjelaskan. Sesekali ia melihat ke tempat Atlas sahabatnya. Atlas terlihat sangat serius memerhatikan Bu Hani dengan saksama. Wajar, karena ia menyukai pelajaran Ekonomi. Clarin mencoba mengganggunya. Ia mengambil secarik kertas lalu menuliskan dua kata "SERIUS AMAT??" dari Clarin. Kertas itu digulung lalu ia lemparkan ke Atlas. Sayangnya, kertas itu jatuh di depan kaki Bu Hani, saat beliau membalikkan badan hendak bertanya pada anak-anak. Bu Hani memungutnya lalu membacanya keras-keras, "Serius amat dari Clarin. Clarin, kemari kamu!!" tegur Bu Hani. Clarin maju ke depan dengan takut. "Untuk siapa ini?" Clarin menjawab, "Untuk Atlas, Bu." Bu Hani semakin marah, "Atlas!! Kamu ke sini sekarang."
Atlas maju dan berdiri di samping Clarin. "Kalian selalu saja membuat saya marah. Kalian sudah kelas tiga SMP. Seharusnya kalian semakin bertanggung jawab! Sekarang keluar dan punguti sampah yang ada di sekolah ini, jumlahnya harus 100 bungkus sampah, mengerti!!" perintah Bu Hani tegas.
"Loh Bu, saya juga ikut? Kan, yang melempar kertas dia bukan saya?" protes Atlas tak terima. Bu Hani menatap Atlas kesal, "Tapi pesan ini untukmu. Kamu sahabatnya kan, sesama sahabat harus saling membantu. Sudah jangan banyak bicara lebih baik kalian segera keluar. Jangan harap ibu mengizinkan pulang sebelum selesai mengerjakan hukuman!"
Atlas keluar dengan bersungut-sungut. Ia memelototi Clarin tajam. Clarin hanya tersenyum nakal padanya. "Peace bro!" ujar Clarin tanpa merasa bersalah.
"Bro, bra, bro, enggak lucu! Udah tahu Bu Hani guru killer, ngapain ngelempar kertas? Lo pikir zaman apa'an lempar-lemparan kertas?! Ini gara-gara lo. Kalau tadi enggak ada acara ngelempar kertas, pasti gue masih di kelas," omel Atas panjang. Atlas menuju ke dekat gawang di halaman sekolah mereka, ia memunguti sampah plastik di sekitaran gawang itu. Sekolahnya baru saja selesai istirahat, wajar jika banyak sampah plastik bertebaran di dekat gawang itu. Clarin masih berdiri di koridor sekolah kemudian berjalan mendekati Atlas, "Ya'ela gitu banget. Baru juga suruh mungut sampah," celoteh Clarin berusaha menghibur Atlas. Clarin kini memunguti sampah yang berada di sekitar kakinya. Ia mengambil tempat yang sama dengan Atlas.
"Cla, mendingan lo beresin sampah di gawang sebelah sana," kata Atlas sambil menunjuk gawang yang berlawanan dengan gawangnya sekarang ini. Atlas menambahkan lagi, "Di gawang sebelah sana juga banyak, enggak mungkin loh kita bisa selesai dalam sejam kalau enggak bagi-bagi tugas tempat mungutin sampahnya," protes Atlas. Clarin masih memunguti sampah di tempat yang sama dengan Atlas, ia pun menjawab Atlas, "Biarin lah. Kan enggak ada larangan dari Bu Hani untuk memungut sampah di tempat yang sama."
"Iya tahu. Tapi halaman sekolah kita ini luas. Lo mau sampai nanti malam baru kelar mungutinnya? Inget enggak tadi Bu Hani bilang berapa jumlah sampahnya? 100 sampah Cla, lo lupa ya?" ujarnya lagi. Clarin dengan santai menimpali, "Enggak sih. Gue mager aja jalan ke sono, Tlas. Jauh banget tempatnya."
"Ya udah, lo yang di sini. Gue ke sana mungutin sampah," ucap Atlas mengalah. Atlas berjalan dengan tangan yang masih penuh plastik bungkus jajanan sekolahnya. Pak Bambang biasanya akan menyapu halaman sekolah setelah semua anak pulang. Sedangkan jam pulang sekolah masih lama. Atlas mengembuskan napas panjang berusaha bertahan dengan hukuman yang ia jalani. Sayangnya, niat baik Atlas tak mampu membuat Clarin berhenti mengikutinya. Clarin justru menuju ke tempat di mana Atlas berada, yaitu ke gawang seberang.
"Lo ngapain ke sini juga Cla?! Kan tadi udah gue bilang kalau lo di sana, gue yang beresin sampah di gawang sini. Susah banget sih ngobrol sama lo!" keluh Atlas. Atlas mengomeli Clarin dengan wajah cemberut.
"Atlas, lo kan sahabat gue. Gue akan pergi ke mana pun lo pergi," Clarin berkata dengan mantap. Atlas menggelengkan kepalanya berusaha tak peduli dengan celotehan Clarin. Atlas kemudian berkata, "Terserah lo deh, pokoknya gue enggak mau sampai rumah malam. Gue mau selesaikan hukuman sore ini. Kalau lo masih mau berlama-lama di sekolah ya silakan."
Clarin meraih kresek sampah hitam dan membukanya di tempat mereka. Ia menyandarkan kresek hitam ke tiang gawang sekolah mereka. Satu per satu sampah mereka masukkan ke dalam tas kresek hitam besar sembari menghitung jumlah sampah yang telah mereka kumpulkan.
"Tlas, lo haus enggak? Kita ke kantin sebentar yuk! Gue haus banget. Enggak mungkin juga kita masuk ke kelas kan," ajak Clarin. Atlas menggeleng memilih tetap mengerjakan hukumannya.
"Ya udah, gue ke kantin sebentar. Tapi tolong kalau Bu Hani keluar, beritahu dia gue ke toilet ya." Clarin meninggalkan sapu lidi yang semula ia pegang. Ia berlari kecil ke kantin sekolah. Jam masih menunjukkan pukul 12.00. Bel pulang sekolah tentu masih lama. Jam segini tidak ada siswa yang pergi ke kantin. Clarin bisa membeli jajan tanpa khawatir harus berebut dengan teman satu sekolahnya.
"Bu Ratna beli jajan Bu!" teriak Clarin kencang. Bu Ratna bertanya, "Mau beli apa mbak? Loh bukannya sekarang jam pelajaran ya mbak?" tanya Bu Ratna masih heran melihat kehadiran Clarin di kantin. Istirahat kedua sekolahnya baru saja selesai. Semua siswa juga sedang di kelas saat ini, tetapi Clarin justru berada di kantin membeli jajan. Clarin mengambil plastik kemudian dengan gesit tangannya mengambil bermacam gorengan, mulai dari pisang goreng, ote-ote, tahu isi, juga risoles mayonaise. Khusus risoles, ia mengambil lima risoles.
"Sekarang belum jam pulang sih Bu. Tapi saya kan dihukum, terus saya lapar. Kalau lapar nanti saya bisa pingsan. Lah, hukumannya kan belum selesai Bu, daripada numpuk hukuman mending numpuk lemak kan Bu," kata Clarin beralasan. Clarin memberikan plastik yang penuh dengan gorengan pada Bu Ratna untuk dihitung.
"Sebentar Bu, jangan ditotal dulu ya. Ini Clarin masih mau nambah jajanan lagi." Clarin mengambil plastik lagi kemudian ia memasukkannya ke dalam plasti. Kali ini ia membeli camilan. Ia mengambil kacang, macaroni pedas, kripik pisang, kripik singkong, serta cokelat.
"Sudah, Bu. Berapa ya semuanya?"
"Semua jadi 50.000 rupiah mbak." Clarin mengeluarkan dompetnya dan membayar jajannya. Setelah membayar, ia kembali ke halaman sekolah untuk melanjutkan hukumannya. Sebelum melanjutkan lagi, Clarin menawari Atlas untuk makan jajan bersamanya dan beristirahat sejenak.
"Tlas, mau enggak? Gue beli banyak karena dibawa pulang ke rumah juga. Lo mau jajan apa? Gue tadi beli gorengan dan jajan ringan. Ada pisang goreng kesukaan lo, ote-ote, risoles mayo, kacang, kripik, terus--"
"Gue pisang goreng aja. Lo enggak ditanyain Bu Ratna kenapa beli jajan jam segini?" tanya Atlas heran ketika Clarin jajan dengan santainya di saat mereka menjalani hukuman Bu Hani.
"Ditanya tadi. Ya gue jawab lagi kena hukuman. Gue bilang daripada pingsan dihukum mending isi perut dulu kan. Terus ya udah dia bolehin beli jajan. Lagian gue juga bayar loh, enggak utang."
Atlas menghela napas dan menikmati pisang gorengnya dengan mendengarkan omelan Clarin. Di kelasnya, cewek yang paling nakal salah satunya adalah Clarin. Atlas berusaha memberitahu jika sahabatnya itu bersikap di luar batas. Namun kadangkala semakin diomeli tingkah Clarin semakin menjadi. Kadang Atlas hanya menonton dan melihat kenakalan sahabatnya itu.
"Hari ini Bu Hani lagi baik ya. Dia enggak suruh kita untuk bersih-bersih di toilet. Gue ogah banget kalau bersihkan toilet. Apalagi toilet cowok, duh pasti jorok banget."
"Dari mana lo tahu jorok? Emang pernah bersihin toilet cowok lo?"
Clarin mengambil risolesnya dan melahapnya satu gigitan, ia mengunyah cepat dan menelan risolesnya. "Pernah. Dulu gue dihukum Pak Joko. Gara-gara enggak mengerjakan PR Geografinya. Gue disuruh bersihkan toilet cowok. Ih, parah banget ya kaum lo kalau lagi di toilet." Clarin meneguk air dan melanjutkan deskripsinya, "Waktu itu kita beda kelas. Lo juga enggak masuk waktu itu. Lo tahu sendiri kan, gue paling males banget kalau pelajarannya Pak Joko. Ngehafal lempengan mulu, belum lagi diminta gambar pergerakan lempeng. Males banget gue."
"Iya, untung lagi baik Bu Hani. Awas kalau lo ulangi lagi, enggak usah berangkat bareng kita ...," ancam Atlas ke Clarin. Clarin lalu merapat ke Atlas dan berusaha membuatnya tidak marah lagi, "Jangan lah, ntar' gue bareng siapa?"
"Urusan lo, EGP," kata Atlas tak mau peduli. Mendengar itu Clarin hanya bisa tersenyum, "Paling cuman gertak doang, cuman omdo kan, kita udah sahabatan sembilan tahun. Tujuh tahun duduk di kelas yang sama. Selama itu ancaman begitu enggak pernah kamu lakukan. Kita tetap berangkat dan pulang bareng. Paling parah juga ngambek, ngambek paling lama dua hari. Besoknya udah happy-happy aja. Bilangnya enggak mau satu kelompok, pas ada kerja kelompok manggil-manggil. Itu namanya malu-malu butuh!"
Atlas diam dan berusaha melupakan kata-kata kawannya itu. Namun bila dipikir-pikir Clarin benar. Selama ini ia tidak pernah benar-benar marah pada Clarin. Ada juga makin lengket dengannya. Ia sendiri bingung mengapa ia tidak dapat menjauhi Clarin meski dengan alasan apa pun. Atlas bukan orang yang mudah bergaul dengan orang lain. Ia hanya memiliki Clarin sebagai teman dekatnya. Teman laki pun tidak ada. Jadi wajar bila segala hal tentang Clarin ia tahu betul. Dari kebencian Clarin pada kucing lalu kegemarannya pada kartun Doraemon. Ia bahkan rela menerima telepon jam sebelas malam bila Clarin yang meneleponnya. Meski yang dibicarakan hanya seputar kartun Doraemon atau nilai ulangan Fisikanya yang jelek, ia tetap mau mendengarkan. Tidak ingin pura-pura mengantuk atau tidak ingin menyuruh Clarin menutup telepon.
"Eh, ntar' pendaftaran SMA mau masuk mana?" tanya Atlas yang mengganti topik pembicaraan.
"Belum tahu. Paling SMA sebelah," jawab Clarin singkat.
"Enggak masuk negeri?" tanya Atlas lebih jauh.
"Enggak tertarik. Lo sendiri masuk mana?" tanya Clarin sambil mengumpulkan daun-daun kering ke kantong kresek hitam.
"Yang pasti sebelah," ucap Atlas pendek. Clarin mengumpulkan botol-botol mineral dan memasukkannya di kresek sambil menghitungnya satu-satu. "Enggak jadi pindah ke luar kota?" tanya Clarin lagi. Dulu Atlas pernah bercerita jika ia akan pindah ke luar kota. Namun, sampai detik ini Atlas masih di sini, di tempat yang sama seperti Clarin.
"Batal. Papa ada urusan bisnis di sini," ujar Atlas seraya memberikan beberapa bungkus makanan ke Clarin. Clarin menerimanya dan memasukkan ke kresek hitam. "Bagus lah. Nanti gue doakan supaya kita sekelas lagi. Pasti bakal seru banget," ucap Clarin antusias.
"Jangan sampai lah," ucap Atlas tidak menyetujui ide Clarin itu. Atlas menyapu beberapa daun kering di dekatnya.
"Harus lah, ntar' gue puasa dan pantang sehari semalam biar sekelas sama lo," ucap Clarin semangat.
"Terserah," ujar Atlas pasrah.
Clarin mengambil selembar daun besar lalu memotongnya kecil-kecil agar terlihat banyak. "Tapi cepat juga ya, bentar lagi UNAS. Habis UNAS perpisahan terus jadi anak SMA. Enggak berasa udah tiga tahun sekolah di sini," cerocos Clarin.
"Lo mau di sini sampai tua?" sindir Atlas ke Clarin.
"Ya bukan gitu juga. Lo diajak ngomong enggak nyambung banget. Makan'nya buruan punya pacar biar nyambung. Gue bahas apa, lo malah bahas apa."
"Ya benar kan kata-kata gue tadi. Mau sampai kapan lo di sini, sampai tua? Dasar cewek bawel!!" ledek Atlas.
"Cowok enggak laku!" sindir Clarin.
"Kayak lo laku aja!!" balas Atlas.
"Kalau gue bukan enggak laku, tapi belum saatnya."
"Sama aja Mbak ...!" seloroh Atlas sambil melempar bungkus makanan ke arah Clarin.
"Beda lah!" kata Clarin sambil melempar bungkus makanan pada Atlas. Atlas kemudian menghentikan aksi mereka berdua, "Udahlah Cla, nanti kita enggak selesai. Mereka memunguti lagi sampah yang berserakan karena mereka jadikan sebagai bahan lemparan mereka barusan. Atlas melihat tumpukan sampah mereka semakin penuh. Ia bertanya pada Clarin, "Menurut lo Bu Hani bakalan ngitung enggak ya sampah yang sudah kita kumpulkan ini?" tanya Atlas. Clarin langsung menjawab dengan ketus, "Enggak lah. Eh, Bu Hani paling males kalau urusan beginian. Dia kasih hukuman di luar nalar terus enggak akan mau hitung sampah sebanyak ini. Pasti nanti dia minta Pak Bambang yang hitung supaya dia bisa santai. Besoknya dia tanya ke Bambang, Bang ada berapa kemarin sampah yang mereka kumpulkan? Nah, kalau Bambang jawabnya kurang dari target hukuman kita, misalnya harusnya ada 100 bungkus plastik bukan 80 bungkus plastik, kita kena tambahan hukuman."
"Bagus juga ya perkiraan lo," puji Atlas untuk sahabatnya itu. Clarin yang merasa dipuji berkata, "Bukan perkiraan sih Tlas, tapi gue dengar cerita barusan dari kelas sebelah. Kelas sebelah wali kelasnya kan Bu Hani. Atlas mengangguk-angguk. Ia memberitahu Clarin jika jam menunjukkan pukul satu. "Cla, sepertinya sudah sampai 100 bungkus sampah plastik. Gue ke dalam memberitahu Bu Hani. Lo di sini dulu ya," ujar Atlas. Atlas masuk ke kelas dan memberitahu Bu Hani soal pengerjaan memungut sampah mereka. Clarin memutuskan untuk duduk di lantai koridor sekolah depan kelasnya. Sambil menunggu Atlas ia mengamati sekeliling sekolahnya. Sebentar lagi pemandangan sekolah yang hijau dan asri tidak bisa ia lihat kecuali ia masuk SMA sebelah. Clarin berusaha mengingat kenangannya saat pertama kali masuk SMP, ia diminta untuk membawa satu pot tanaman. Satu pot tanaman yang ia bawa dulu adalah tanaman pandan. Kini di seberang kelasnya, yaitu kelas 7a, terdapat pot tanaman pandan. Mungkin saja itu pandan yang dulu ia bawa namun potnya sudah berbeda. Ia tersenyum memandangi pot pandan itu. Atlas menepuk pundak Clarin dari belakang, "Jangan senyum-senyum sendiri Cla. Lo pulang enggak? Kita disuruh masuk kelas, doa pulang." Clarin berdiri dan meninggalkan nostalgia singkat masa SMP yang dulu.
"Clarin dan Atlas besok diulangi lagi ya. Supaya kalian membantu Pak Bambang membersihkan halaman sekolah."
Atlas menjawab "Enggak Bu, saya minta maaf." Atlas menyenggol lengan Clarin yang belum mengeluarkan suara sama sekali. Mendapat kode dari Atlas Clarin pun berkata, "Membersihkan sekolah kan bukan tugas saya dan Atlas saja Bu. Tapi juga tugas seluruh warga sekolah. Di catatan PPKn ibu saja begitu tulisannya," ujar Clarin. Seluruh kelas tertawa mendengar jawaban Clarin sehingga kelas kembali menjadi ribut. Bu Hani berusaha menenangkan, "Sudah, sudah, kalau masih ribut tidak ada yang pulang. Clarin kamu maju dan pimpin doa pulang." Clarin maju dan bersiap di depan untuk memimpin doa pulang. Sesuai doa pulang, semua anak kelas Clarin berhamburan keluar kelas dan berlomba untuk mengantre jajanan di luar sekolah. Atlas masih merapikan mejanya yang penuh dengan alat tulis. Begitu pula dengan Clarin. Ia merapikan mejanya. Ia memasukkan buku-buku paket, catatan, buku latihan serta alat tulisnya ke dalam tas. Tepak makan yang ia letakkan di luar ia masukkan kembali ke dalam tas bekalnya. Clarin bertanya kembali pada Atlas, "Gimana Tlas, nanti malam lo bisa ke markas enggak?"
"Gue enggak bisa Cla. Nanti malam ada janji dengan Papa membeli setrika."
"Lah, kenapa belinya sama lo bukan sama mama lo?"
"Setrika yang kita beli itu hadiah kejutan untuk Mama. Jadi tidak mungkin kami pergi bersama Mama." Clarin mengangguk mendengar penjelasan Atlas. Atlas selesai lebih dulu dan ia pulang duluan dibanding Clarin, "Gue duluan ya. Kabari kalau lo sudah sampai rumah. Sorry banget kalau hari ini enggak bisa pulang bareng lo, daaaah Clarin!" kata Atlas. Clarin menghela napas karena harus pulang sendirian. Ia berusaha mengingat kapan terakhir ia keluar bersama ayah atau ibunya. Namun ingatan yang seperti itu tak mau muncul. Entah karena ia lupakan atau memang tidak pernah ada ingatan itu. Clarin tak mau berlama-lama memikirkan soal pergi belanja bersama orangtua, karena semua itu hanya akan membuatnya menjadi semakin iri dengan keluarga Atlas. Ia akhirnya keluar kelas dan berharap segera sampai di rumah untuk bermain game online.
-tbc-