"Cla, ayo cepat bangun!!" tegur Atlas dari luar kamar. Clarin yang masih ogah-ogahan menarik selimutnya dengan rapat. Ia berusaha memejamkan mata lagi. Atlas berteriak kembali, "Cla, buruan! Kita bisa telat nih!" seru Atlas lantang. Clarin melirik ke arah jam wekernya. Masih pukul setengan enam. Nambah lima atau sepuluh menit lagi enggak apa-apa kali. Clarin kembali memejamkan matanya.
"CLARINN!! Kalau masih enggak bangun juga, gue tinggal. CLARIIIIN ...!" ujar Atlas yang semakin marah dan mulai menggedor-gedor pintu. Clarin menutupi telinganya dengan bantal. Mau tak mau Atlas masuk ke kamar Clarin.
"Astaga, woi bangun! Mau ditinggal?" tanya Atlas marah.
"Huahhmm," Clarin menguap, "baru jam setengah enam. Sekolah kita kan, dekat sini. Belum telat kok, lagipula gue punya kunci duplikatnya," kata Clarin merajuk.
"Bangun sekarang atau gue tinggal. Kalau masih mau tidur, gue berangkat sekarang."
"Ya udah sonoh berangkat. Ntar' gue jalan sendiri. Paling cuma ngancam."
Atlas pergi ke toilet dan mengambil gayung berisi air. Ia mencipratkan air ke tubuh Clarin. Alih-alih bangun, Clarin malah menutup tubuhnya dengan selimut.
"Ya ampun Cla, susah banget bangunin lo!" geram Atlas kesal. Atlas belum menyerah, ia menarik selimut Clarin dan meraih tangannya.
"Ayo Clarin, buruan!" kata Atlas yang segera menggeret Clarin ke toilet. Atlas mendorong Clarin ke dalam tapi Clarin berdiri di depan toilet dengan kaku. Clarin belum mau masuk ke toilet. "Apa lagi? Buruan, mandi yang bersih."
"Atlas," Clarin meraih tangan Atlas, "mandi'in dong."
"Kalau lo tadi bangun lebih awal, dengan senang hati akan gue mandi'in."
"Dasar mesum!" ujar Clarin sambil mencubit pipi Atlas.
"Auuw!!" keluh Atlas memegangi pipinya yang menjadi korban.
"Jangan kelamaan mandinya. Gue tunggu di luar," kata Atlas dari luar toilet. Atlas menuju ke teras depan rumah Clarin. Sekolah mereka tidak terlalu jauh dari rumah. Biasanya Atlas akan menjemput Clarin untuk berangkat sekolah bersama. Kebetulan rumah mereka bersebelahan. Jadi, mereka tidak kesulitan untuk berangkat sekolah bersama. Hanya Clarin yang tiap harinya bermasalah dengan tidur kesiangan. Mereka biasanya jalan kaki dari rumah ke sekolah.
Clarin buru-buru merapikan buku di meja belajar. Ia memasukkan semua buku yang berserakkan di meja belajar. Termasuk buku-buku yang ada di lemari. Clarin tidak pernah benar-benar menyiapkan buku pelajarannya. Ia selalu bangun kesiangan dan dengan akal cerdasnya ia memutuskan untuk membawa semua buku pelajaran. Entah untuk hari itu atau hari keesokkannya atau bahkan untuk tiga hari ke depan. Ia berlari ke ruang makan. Clarin mengambil selembar roti lalu segelas susu. Ia meminumnya dengan cepat.
"Mbak Clarin, ini bekal makan siang. Satu lagi buat Mas Atlas," ujar Irma yang sengaja membuat dua bekal makan siang. Clarin mengambil dua lembar roti tawar serta susu kotak dua.
"Siap Ma, aku berangkat dulu, daah!" kata Clarin sambil berlari keluar. Clarin bergegas ke teras depan. Atlas sudah menunggu di teras layaknya seorang cover boy yang melipat tangannya.
"Sorry lama. Udah lumutan ya??" goda Clarin cepat.
"Bawel. Ayo berangkat!" ajak Atlas buru-buru. Merekapun berangkat bersama. Sepanjang jalan, Clarin sibuk meminum susu kotaknya. Ia memberikan susu satunya ke Atlas. Kemudian roti tawar yang ia bawa juga ia berikan ke Atlas satu lembar. Atlas juga berusaha menghabiskan sarapannya berupa susu kotak dan roti tawar. Sering bangun kesiangan membuat mereka jarang sarapan bersama. Atlas telah menghabiskan sarapannya lebih dulu daripada Clarin. Kini ia bertanya soal PR Sejarah Clarin. "Clarin, PR Sejarah lo udah kerjain belum?"
"Udah kok. Tadi malam gue kerjain. Kalau Sejarah gampang Tlas. Kalau Bahasa Jawa, Indonesia, terus ketambahan Bahasa Mandarin, gue angkat tangan. Kenapa emang?" Tanya Clarin. Atlas menggaruk kepala dan nyengir lebar, "Ya gue pinjem punya lo ya. Nomor 3 dan nomor 4 belum gue isi. Di buku paket enggak ketemu jawabannya. Gue cari di Google juga terbatas banget jawabannya."
"Hemm, apa sih soalnya?" Tanya Clarin. Atlas berusaha mengingat kembali soal nomor 3 dan 4 PR Sejarah mereka. "Nomor 3 itu alasan Belanda membentuk VOC. Kalau nomor 4 soalnya tentang dampak pembentukan VOC untuk Bangsa Indonesia."
"Oh yang itu, emang enggak ada di buku sih. Itu ada di penjelasannya Bu Ririn. Nah nomor tiga itu gini Tlas—"
"Enggak usah lo jawab sekarang, gue enggak akan paham. Gue lihat buku PR lo aja ya ntar." Atlas buru-buru menghentikan kawannya itu berceloteh tentang sejarah Indonesia. Mendengarkannya saja membuat ia mengantuk dan tak bersemangat. Apalagi jika Clarin mulai bercerita tentang sejarah, ia tak akan mau diminta berhenti cerita di tengah jalan. Clarin harus menyelesaikan ceritanya dan harus ada yang mau mendengarkan dongeng sejarahnya. Siapa lagi yang mau mendengarkan jika bukan Atlas. Untuk mengurangi kebahagiaan di awal pagi itu, lebih baik Atlas tidak mendengarkan dongeng sejarah dari Clarin. Untuk mengalihkan perhatian Atlas mengajak Clarin untuk berlomba lari ke sekolah ketika mereka hampir mendekati sekolah.
"Cla, lomba lari yuk. Siapa pun yang kalah harus mau melakukan apa yang diminta pemenang."
"Ogah, tas gue berat." Atlas menggoyang-goyangkan tas Clarin. "Gila, bawa apa saja lo? Isi bata merah semua, berat banget," komen Atlas pada Clarin.
"Ya enggak lah. Sembarangan kalau komentar. Isi buku pelajaran kemarin yang belum gue keluarkan. Baru gue masukkan tadi pagi," keluh Clarin ke Atlas.
"Ckckck, malas enggak sembuh-sembuh. Makan'nya, kalau bangun itu subuh. Biar bisa ngeluarin buku. Jadi repot sendiri kan," omel Atlas. Dari dulu Clarin memang tak pernah benar-benar menyiapkan buku sekolahnya. Ia selalu memasukkan buku kemarin ditambah dengan buku pelajaran hari ini. Kadang kalau tidak malas, ia baru menyiapkan bukunya. Atau beberapa buku ia tinggal di bawah laci meja. Sehingga ia tak perlu repot membawa pulang bukunya dan membawa lagi bukunya sekolah. Namun kebiasaan itu Clarin hentikan karena beberapa buku paketnya hilang di sekolah. Sehingga ia harus membeli buku paket yang baru. Semenjak ia kehilangan buku paket, Clarin tak pernah meninggalkan bukunya di kelas lagi.
"Iya, iya bawel mulu. Udah kayak Irma lo. Itu-itu terus yang dibahas."
"Salah lo sendiri enggak bisa bangun pagi. Pokoknya, enggak ada alasan. Kita tetap lomba lari. Dari sini sampai sekolah." Clarin hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tahu ini salahnya. Ia tidak dapat menolak tawaran Atlas. Toh sudah bisa dipastikan siapa yang akan menang.
"Oke. Siap-siap, 1 ..., 2 ..., 3!!" kata Atlas yang telah berlari mendahului Clarin. Clarin berusaha mengejar Atlas. Kali ini ia benar-benar kewalahan. Biasanya ia selalu menang dari Atlas jika masalah lomba lari. Ini semua gara-gara tas ransel beratnya. Meski begitu Clarin berusaha mengejar Atlas. Ia tidak ingin Atlas menang. Clarin yakin Atlas akan menyuruhnya melakukan hal yang aneh-aneh jika ia kalah. Namun, sekencang apa pun Clarin berlari Atlas justru berada lebih jauh darinya. Sekarang Atlas sudah tidak terlihat lagi. Mungkin ia sudah sampai di sekolah.
Benar saja, saat Clarin sampai di sekolah Atlas berdiri di depan pagar dengan senyum kemenangan khasnya. Atlas melambaikan tangannya dan wajahnya berseri-seri. Clarin berjalan lambat terengah-engah dengan sisa tenaga yang masih dimilikinya. "Curang ..., hosh ... hosh ... hosh," kata Clarin yang terengah-engah. Atlas tersenyum lagi, "Siapa suruh bawa pelajaran kemarin. Jadi kalah kan!" semprot Atlas dengan nada senang.
"Enggak bisa. Lomba ini enggak sah. Wajar kalau lo menang, tas gue berat," protes Clarin yang berusaha mengatur napasnya.
"Eits ..., peraturan tetap peraturan. Nanti gue kasih tahu hukuman apa yang cocok buat lo."
"Awas sampai aneh-aneh. Bakal gue tonjok!!"
"Don't worry, be happy!" kata Atlas berlalu meninggalkan Clarin. Lalu ia berbalik mengedipkan mata untuk Clarin disertai dengan senyuman. Clarin tersenyum kecil. Senyuman itu yang selalu membuatnya semangat lagi. Ia memang menyukai segala hal tentang Atlas. Senyumannya, ketawanya, selalu ceria. Semenjak SMA, Atlas jarang sekali tertawa. Boro-boro ketawa, senyum aja terpaksa. Atlas lebih sering diam dan melamun. Ia tidak pernah mau bercerita pada Clarin soal masalahnya. Meski begitu Clarin tahu mengenai masalah Atlas. Ia pernah melihat kedua orang tua Atlas bertengkar hebat ketika menunggu Atlas yang tiba-tiba pergi tanpa pamit waktu itu. Dari situ Clarin sadar bahwa Atlas tidak pernah betah tinggal di rumah. Keluarga Atlas tidak harmonis. Tiap kali Clarin tanya ada apa, Atlas selalu mengalihkan topik pembicaraan. Hal itu berhasil membuat Clarin melupakan persoalan Atlas. Lebih-lebih jika topik itu tentang games yang baru diliris. Pasti akan membuat Clarin penasaran setengah mati. Namun sekali lagi, Clarin tahu bahwa Atlas hanya ingin menutupi masalah keluarganya. Clarin hanya sengaja tertarik pada topik pengalihan pembicaraan. Ia tahu bahwa Atlas tidak akan menceritakan apapun soal keluarganya. Tapi Clarin percaya suatu saat nanti Atlas akan bercerita padanya. Semoga saja Atlas akan segera bercerita padanya.
Atlas mendahului Clarin ke kelas. Clarin masih berusaha mengatur napasnya. Sesampainya di kelas ia minum membasahi tenggorokannya yang kering. Atlas mengeluarkan buku pelajaran pertama hari itu. Clarin yang duduk di belakang Atlas persis kini penasaran akan hukuman dari Atlas. Ia akhirnya bertanya, meskipun Atlas belum memberitahunya, "Tlas, hukumannya apa? Kasih tahu sekarang aja deh. Biar gue siap mental. Lagipula kenapa harus tunggu nanti sih, kalau Lo bisa beritahu gue sekarang?"
"Gue pinjam PR Sejarah lo. Soal hukuman lo, nanti gue kasih tahu. Sekarang gue mau fokus menyalin PR Sejarah supaya gue enggak disuruh keluar Bu Ririn."
"Setelah lo nyalin, kasih tahu gue ya. Gue penasaran nih, enggak bisa konsen belajar kalau gue penasaran gini," protes Clarin. Clarin membongkar tasnya. Ia mengeluarkan semua buku yang ada di tasnya. Terlalu banyak buku yang ia bawa, Clarin meminta Atlas membantunya mencari. Atlas yang membantu Clarin mencari PR Sejarah juga mengomelinya, "Kan sudah gue bilang tadi. Jangan bawa banyak buku. Akhirnya gini kan, setengah mati buat cari satu buku. Udah gini, sekarang lo pisahin buku hari ini taruh di luar semua. Lo taruh di laci meja. Buku kemarin masukkan tas lo. Nah ini kan buku PR lo?" tanya Atlas pada Clarin. Clarin hanya mengangguk dan ia menunjukkan halaman yang harus disalin Atlas. Clarin mengeluarkan semua buku pelajaran hari ini dan meletakkannya di laci meja.
"Setelah lo salin, kasih tahu gue ya Tlas, supaya gue tenang selama pelajaran." Atlas menyeringai mengetahui Clarin sangat penasaran dengan hukumannya itu. Atlas kini fokus menyalin PR Sejarah Clarin. Ia berencana memberitahu Clarin saat istirahat nanti atau saat pulang sekolah nanti. Selama 10 menit, Atlas menyalin PR Clarin. Jawaban yang Clarin tulis tidak ada di buku paket. Atlas membaca kata demi kata, jawaban Clarin memang sudah terstruktur. Bukan lagi jawaban dengan bahasa berat Bu Ririn soal sejarah, namun jawaban siswa SMA, karena sekali membaca kalimat Atlas langsung paham maksud Clarin. Atlas sengaja tidak persis menyalin kalimat Clarin, ia mengganti beberapa kata dengan kata yang serupa supaya tidak dianggap mencontek PR teman. Sesudah menyalin ia memberikan buku PR itu pada Clarin. Tak lama kemudian, bel sekolah mereka berbunyi menandakan jika pelajaran sekolah mereka akan segera dimulai.
*