Sejak Indri mau buka suara tadi malam, Delta semakin gencar mendekatinya. Misalnya pagi ini, pria itu secara khusus datang pagi sekali kerumah Indri hanya untuk mengajak Indri pergi bareng ke kantor.
Lalu Indri tentu saja sudah sulit sekali menolak. "Jalan nya jauhan sedikit, bisa nggak sih!" Bukan Delta namanya jika tidak menempeli Indri, seperti kena lem.
"Kamu takut ada yang marah? Siapa?" gurau pria itu sekalian.
Ck, Indri mendengkus kesal seraya terus melangkah.
"Hmmm, hmmm, ruanganmu tuh di sana! Jangan masuk kesini." Indri menghalangi jalan Delta agar pria itu tidak masuk ke dalam ruangannya yang hampir 80% personilnya sudah berada di tempat duduk masing-masing.
"Iya aku tahu, iseng dikit."
"Bukan dikit, tapi banyak. Yang kemaren-kemaren enggak dihitung."
Delta hanya tersenyum mendengarnya seraya pamit pergi dengan cara memaksa Indri untuk mencium tangannya. Tapi, tidak disangka sebab kelakuan Delta, Indri tersenyum tipis nyaris tidak terlihat.
"Aneh,"dengkus Indri seraya berjalan menuju kemejanya.
"Kamu dekat sama personalia baru itu?" Indri tidak menyangka gerak-geriknya diperhatikan oleh Iraz yang duduk nya bersebelahan, bahkan saat ini pria itu memangkas jarak hanya agar mendengar jawaban Indri.
"Enggak," jawab Indri seadanya.
"Bohong. Dekatkan? Buktinya kamu pergi bareng dia, iya kan?"
"Ya karena kami satu kampung, tapi enggak dekat."
Pria itu malah mencebik tidak percaya, lalu kembali ketempatnya. Sementara Indri kembali melanjutkan aktifitasnya yang tertunda.
Indri tidak tahu bahwa pria yang bernama Iraz itu sedikit kecewa melihat kedekatannya dengan Delta.
"Oooh, iya, Ndri bukannya kemarin kamu bareng Delta di pantry, lagi makan, kan? Itu enggak dekat maksudnya." Pria itu kembali teringat tempo hari dan sarkastik pada Indri.
"Iya." Indri masih tidak terlalu peduli, ia pikir hanya sebuah bentuk rasa ingin tahu dari rekan kerja.
"Deketin kamu itu enggak semudah ituloh, Ndri. Kok dia bisa?"
Indri mengedikkan bahunya tanda ia tidak tahu dan juga tidak mau ambil pusing.
"Indri! Kita juga udah lama rekanan, tapi mengapa kita enggak bisa dekat?"
Indri sedikit terkejut mendengar pertanyaan Iraz, tapi ia masih mencoba untuk tidak begitu hirau. Indri masih sibuk menata setiap letak benda-benda di meja hingga menghidupkan komputer.
"Sepertinya selama ini aku selalu mengenyampingkan tentang itu hingga aku kalah start, tapi belum terlalu jauh kan, Ndri?"
Lagi-lagi Indri hanya bisa mengernyitkan keningnya tanda ia tidak terlalu paham arah pembicaraan pria di sampingnya yang memang terdengar ambigu.
"Aku ikut bersaing bersama Delta, enggak masalah, kan?"
"Maksudnya bersaing?"
"Bersaing memperebutkan kamu."
Lantas gadis itu langsung mengalihkan perhatiannya pada komputer yang sudah menyala. Indri tidak ingin membahas hal-hal mengenai perasaan, karena ia sangat sensitif akan hal itu.
Dibanding menganggap eksistensi pria di sampingnya itu, Indri lebih memilih fokus pada layar komputer yang menunjukkan laporan-laporan riset pasar yang telah dibuatnya. Laporan ini akan segera ia kirimkan pada ketua divisi.
"Udah selesai itu, jangan diliat-liat lagi. Langsung kirim aja." Iraz yang sejak tadi selalu memperhatikan gerak-gerik bahkan sampai pada hal-hal yang menjadi pusat perhatian Indri hingga tidak menganggapnya ada.
Indri menoleh sekilas, rasanya ia ingin kabur dari tempatnya secepat mungkin. Namun, ia belum menemukan alasan yang tepat.
"Ndri, tipe kayak kamu tuh aku rasa cuma satu di dunia. Jangan pergi ke orang lain, tetap seperti dulu."
Indri semakin bingung di buatnya. Berada di posisi ini lebih menyulitkan di banding sedang menghadapi ketua divisi untuk mempertanggung jawabkan laporan.
"Indri ikut aku sebentar, yuk. Ada yang mau aku omongin." Untuk pertama kalinya kemunculan Delta membuat Indri merasa lega. Pria itu langsung menarik Indri untuk mengikutinya. "Pinjem bentar ya, Bang, rekan kerjanya." Pria itu menyempatkan diri untuk izin yang seharusnya juga tidak diperlukan.
Delta menyeret Indri tidak terlalu jauh, karena ia bukan ingin mengajak Indri sembunyi, melainkan mengatakan sesuatu yang saat ini menjadi sangat penting.
"Ndri, kamis ini ikut pulang bareng aku ya. Sebentar aja, aku dapat undangan pernikahan dari mantanku dan acaranya tu hari kamis ini," mohkn Delta.
"Aku enggak mau pulang, aku sudah bilang dari kemarin." Indri masih tetap pada pendiriannya.
"Kita enggak lama-lama, Ndri disana. Sore berangkatnya kemudian malamnya kita langsung kepesta lalu pulang lagi kesini."
"Kamu enggak memperhitungkan kondisi badan ya. Enggak! Pokoknya aku enggak mau."
"Sekali ini, tolong aku, please!" Pria itu menangkupkan kedua tangannya seraya memasang raut memelas. Namun, ekspresi Indri hanya datar, gadis itu sama sekali tidak iba melihat Delta memohon. Padahal jika saja bisa, pria yang mengenakan kemeja biru langit itu juga ingin bertekuk lutut pada Indri agar mau menemaninya.
Saat menghadiri pesta Delta benar-benar tidak ingin dicap sebagai pria yang belum move on oleh mantannya, sekaligus agar ia terlihat sudah baik-baik saja setelah putus dengan berpura-pura membawa gandengan baru.
"Ndri, sekali ini. Kalau misal kamu mikirin takut lelah, yaudah habis menghadiri pestanya kita nginap di hotel, enggak langsung pulang. Ambil cuti sehari seharusnya enggak masalah, Ndri."
Namun, jawaban Indri tetap sama. Selain karena memikirkan lelahnya, Indri juga tidak ingin terlibat terlalu jauh dengan pria yang sedang berdiri dihadapannya. Kemarin, setelah bertemu dengan ibunya, jujur Indri masih merasakan sedikit tidak nyaman. Demi apapun, Indri tidak pernah mengingikan dekat dengan siapapun apalagi menjalin sebuah hubungan yang lebih serius, seperti yang diharapkan Delta.
"Kalau kamu memang tidak mau, sebagai gantinya kasih aku saran, aku harus gimana?" Delta sengaja membebankannya pada Indri, karena sedikit kesal sebab penolakan gadis itu.
"Ini hubungan kamu, dengan mantanmu, enggak seharusnya aku ikut campur. Sejujurnya, Ta, kemarin aku setuju mau bantu karena aku pikir kamu enggak akan bawa-bawa aku terlibat terlalu jauh. Aku enggak nyaman terhadap hubungan yang serius apalagi hingga semua orang tahu. Aku takut ada harapan dari orang-orang sekitar tentang hubungan itu." Indri menghela napas dan kembali melanjutkan perkataannya, "aku enggak mau bantu yang ini, Ta, jadi jangan tanya lagi." Lalu Indri pergi begitu saja, gadis itu kembali masuk ke dalam ruangannya.
"Yaelah rumit amat sih itu perempuan. Memangnya salah cuma jadi partner doang? Enggak minta juga status yang pasti." Baru kali ini Delta mendumel sendiri sebab kesal dengan seorang gadis.
Bersambung ...