Beberapa kali Delta memanggil nama hingga meraih tangannya, Indri tetap bergeming begitu saja. Bahkan saat mereka makan bersama di pantry, Indri bisa bersikap seolah ia lagi makan sendiri. Padahal disampingnya Delta sudah seeffort mungkin agar keberadaannya dianggap oleh Indri.
"Indri sebentar aja. Dengerin aku." Kali ini Delta nekat menarik Indri masuk ke gudang kosong, di dekat pantry.
"Lepasin nggak, Ta! Aku udah bilangkan, aku enggak mau." Indri benar-benar berupaya sebisa mungkin agar terlepas dari jegalan tangan Delta, hingga tangannya terluka sebab terkena bagian tajam arloji yang dikenakan Delta.
Lukanya hanya goresan, tapi mengeluarkan darah yang tidak sedikit. Delta yang melihat panik.
"Angkat tangan kamu agak keatas, Ndri. Kita ke pantry lagi, kotak p3k ada disana." Delta segera menarik Indri, untuk kembali ke ruang sebelah yang mereka sebut pantry.
Delta langsung mengarahkan Indri menuju ke wastafel untuk mencuci lukanya. Namun, darahnya masih terus mengalir bersamaan dengan air. Lantas pria itu melesat menuju kulkas, mengambil balok-balok kecil es batu dan ia masukkan kedalam gayung.
"Tanganmu masukkan kesini, Ndri."
Pria itu bernafas lega ketika darahnya sudah berhenti mengalir, setelah beberapa saat ia menyuruh Indri memasukkan tangannya ke dalam gayung.
"Aku pasangin perban dulu, Ndri." Delta baru saja mengambil kotak p3k dari lemari kabinet.
"Enggak. Biar aja kayak gini, ribet kalau pakai itu."
"Pakai salep aja kalau gitu."
"Enggak, biarin aja." Lantas Indri langsung melangkah pergi, menyisakan Delta yang masih mematung.
Lalu saat tersadar Delta memilih untuk tidak mencegah gadis itu lagi, ia sudah cukup terkejut ketika tidak sengaja melukai tangan Indri dengan arlojinya.
Setelah mengemasi kotak p3k dan mengembalikan pada tempatnya, Delta juga segera keluar dari pantry. Dan tidak sengaja ia melihat Indri yang tidak beberapa jauh, berjalan berdampingan dengan Iraz. Namun, Delta pikir kali ini ia harus memberi jeda dulu untuk Indri, mungkin nanti sore akan ia sambung lagi.
Lantas Delta langsung melangkah menuju keruangannya.
***
"Indri kali ini jangan kabur lagi, aku mohon," pinta Delta yang baru saja muncul di ruangan yang sudah kosong dari orang-orang kecuali Indri.
Gadis itu baru saja menghela nafas usai menyadari ia sudah terjebak dan tidak memiliki kesempatan untuk menghindar.
"Ndri aku mau ngomong, dengerin!" Delta tidak yakin, Indri dapat bertahan ditempatnya sebelum segala yang ingin ia sampaikan tuntas, jadinya pria itu mengambil tempat duduk di samping Indri seraya menahan kursi gadis itu pula agar tidak menjauh.
"Haruskah sedekat ini?" Indri protes dan ingin menjauh, tapi Delta terlalu cekatan menahannya.
"Iya, harus!"
"Yaudah cepat, mau ngomong apa?"
"Yang tadi malam kamu dengarnya kurang lengkap, aku beneran enggak cuma mau minta bantu itu, tapi kita coba jalani yang serius gitu, Ndri." Kali ini ketika bersitatap dengan Indri sedekat ini membuatnya canggung hingga ia tidak dapat dengan bebas mengutarakan maksudnya.
"Itu? Maksudnya gimana?" Indri sedikit bingung.
"Dengerin baik-baik, aku enggak mau ngomonginnya berkali-kali, sulit, malu juga. Maksudku yang aku bilang mau minta tolong kamu buat bantu aku lupain mantan, tapi bukan pelarian ataupun apalah lagi itu, bukan juga kayak pacaran gitu, Ndri, karena aku pikir kamu juga pasti enggak mau. Tapi, yang lebih menjanjikan gitu, kayak sebuah komitmen, mau enggak, Ndri?"
"Aku enggak ngerti."
"Yah komitmen semacam berencana membangun sebuah hubungan yang lebih pasti gitu, Ndri, yang ujung-ujungya menikah."
"Hmmm, nikah?"
"Bukan, bukan gitu, gimana ya ngejelasinnya." Delta menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dalam kepalanya padahal ia kira tidak begitu rumit menjelaskannya, tapi saat menyampaikannya pada gadis didepannya entah kenapa menjadi berbelit-belit hingga gadisnya tidak mengerti.
"Aku kayaknya cuma bisa bantu yang pertama, selebihnya enggak bisa. Yang pertama itu kan, kamu minta bantu lupain mantanmu. Yah kalau misalnya cuma jadi teman aja enggak masalah buatku." Kali ini Indri bicara banyak, dan Delta pikir ini akan menjadi sekali seumur hidupnya mendengar ini.
"Secara enggak langsung kamu kok kayaknya nolak aku ya, Ndri? Kenapa? Aku bikin kamu risih atau aku terlalu ribet buat kamu?" Delta merasa sedikit tersinggung walau Indri tidak sepenuhnya menolak permintaannya.
"Kamu enggak kenal aku, Ta. Banyak hal di dalam diriku yang akan bikin kamu kerepotan. Lagipula aku enggak pernah mikir buat nikah."
"Kenapa?" Delta sungguh tertarik dengan kalimat terakhir yang dikatakan Indri.
"Aku takut nanti dunia orang kiamat, hanya karena pasangannya aku."
Delta tidak habis pikir, Indri memiliki pemikiran seperti itu terhadap dirinya. Delta kira ia sudah terlalu mengenal Indri, tapi nyatanya masih ada yang belum ia kenal mengenai gadis itu. Pernikahan mungkin telah menciptakan kesan yang amat menyedihkan dikepalanya. Delta sedikit tahu bahwa Indri adalah anak broken home, tapi ia tidak terlalu begitu tahu permasalahan apa yang menyebabkan perceraian itu terjadi. Delta pernah dengar cerita perceraian itu dari saudaranya, Akmal.
Lantas Delta menunjukkan keprihatinannya dengan menggenggam kedua tangan Indri. "Pernikahan menciptakan kenangan buruk buatmu kah? Cerita aja, Ndri, aku bakal dengar."
"Iya, kamu benar, pernikahan terlalu menakutkan buatku. Setiap kali aku mendengar tentang perceraian, entah aku kenal atau tidak dengan orangnya dadaku selalu ikut sesak. Jika aku mengalami semua itu, aku pikir aku bakal kehilangan alasan buat bertahan. Aku benar-benar tidak mau mengalami itu."
"Enggak semua pernikahan berakhir cerai, Ndri. Seperti mama dan papaku. Kita harus mikir yang positif-positif aja. Semua enggak akan terjadi, jika kita membangunnya dengan komitmen yang benar-benar kuat."
"Tapi aku pikir, nasibku mungkin tidak akan jauh seperti mama, karena aku memiliki sifat dan sikap yang persis mama."
"Sifat gimana maksudnya, Ndri?"
"Aku selalu takut hidup dalam masalah, dan jika terkena masalah aku enggak pernah mau menyelesaikannya, dan berujung lebih memilih lari. Lain lagi dengan sikapku yang sama sekali tidak ramah, terkadang aku juga sadar itu enggak baik, tapi aku kesulitan mengubahnya karena memang itu sifatku yang menjadi sikap mendarah daging. Orang-orang yang mungkin kenal, bisa memaklumi tapi kalau orang lain yang enggak tahu menahu mungkin udah berpikir dua kali mau berhadapan denganku, karena raut wajahku memang benar-benar tidak enak dipandang, mungkin pula mengesalkan."
"Iya sih, emang agak mengesalkan. Cuma aku tahu betul, sulit memang mengubah kepribadian, sekalipun ingin. Sejujurnya aku juga begitu, Ndri, tapi seiring waktu aku belajar buat mudah tersenyum, ini juga masukan dari mama sih. Karena mama juga gitu dulu, tapi semenjak menikah dengan papa, mamaku belajar lebih membuka diri. Enggak apa-apa, Ndri, aku ngerti sikapmu memang begitu."
Bersambung ...